Masih Perlukah Mengganti Arah Kiblat?

DatDut.Com – Semua kita sepakat bahwa dalam beramal, yang menjadi dalil adalah Alquran dan Sunnah. Tanpa terkecuali terkait penentuan arah kiblat yang menjadi syarat sah salat. Dalam hal ini, banyak pertanyaan yang muncul karena ada informasi bahwa istiwa matahari tepat di atas Ka’bah, sehingga arah kiblat masjid perlu diperbaiki.
Pertanyaan ini juga pernah muncul pada tahun 2010 saat ada lembaga yang memfatwakan perubahan arah kiblat berdasarkan Google Earth. Apakah semua asumsi dan fatwa itu mengikat dan mesti diikuti?.Jawabannya tentu tidak, karena fatwa adalah ijtihad. Ijtihad tidaklah suci.
Sebelumnya lembaga yang memfatwakan perubahan kiblat tersebut juga pernah mengeluarkan fatwa untuk tidak perlu merubah arah kiblat masjid di Indonesia. Ini dikarenakan arah kiblat umat Islam Indonesia cukup menghadap ke barat. Itu pun juga fatwa. Silakan dipilih mana yang diyakini lebih kuat, fatwa pertama atau kedua.

Terlepas dari perbedaan tersebut, mari kita lihat dalil yang menjadi pegangan dalam persoalan arah kiblat. Ada beberapa ayat dan hadis yang menyinggung masalah ini. Di antaranya firman Allah:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Kemana pun kamu keluar (berada), maka palingkanlah wajahmu ke syathr Masjidilharam,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 149).
Ada dua kata kunci di ayat ini. Pertama, kata syathr di dalam Mu’jam al-Ma’ani al-Jami’ berarti setengah dari sesuatu, arah, objek, dan lainnya. Dalam konteks ini, makna “arah” lebih tepat digunakan. Kedua, kata Masjidilharam yang berarti masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah.
Dua kata ini menyiratkan makna bahwa yang perlu dilakukan orang saat salat adalah menghadap ke arah Masjidilharam, bukan menghadap Ka’bah. Para ulama sepakat bahwa menghadap tepat ke Ka’bah hanya diwajibkan saat seseorang berada di hadapannya. Tentunya ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang berada dalam masjid.
Adapun yang berada di luar masjid, di balik bukit, atau pedesaan di sekitar Mekah pun hanya diwajibkan menghadap ke “arah” masjid. Sungguh, sangat memberatkan jika harus tepat mengarah ke Ka’bah, sedangkan Allah tidak menginginkan kecuali kemudahan bagi hamba-Nya.
Dalil dan argumen lain adalah hadis sahih riwayat Imam al-Tirmidzi yang redaksinya sebagai berikut:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Antara timur dan barat adalah kiblat,” (H.R. al-Tirmidzi, no. 345).
Hadis ini dinilai hasan dan sahih oleh Imam al-Tirmidzi sendiri. Konteks hadis ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya berlaku terhadap ahl al-masyriq (orang di timur). Timur dalam hal ini bukan Asia Tenggara, tetapi mencakup wilayah Syam dan Iraq yang berada di utara Mekah.
Berdasarkan hadis ini sahabat Nabi Saw., yaitu Ibn ‘Umar berkata, “Apabila engkau menjadikan bagian kananmu ke arah barat, kirimu ke arah timur, maka di antara keduanya adalah kiblat,” (Sunan al-Tirmidzi, no. 345).
Jika dianalogikan dengan posisi kaum Muslim di Indonesia, maka ما بين الشمال والجنوب قبلة (antara utara dan selatan adalah kiblat) sebagaimana orang Iraq dan Syam menjadikan antara timur dan barat sebagai kiblat. Ini dikarenakan Indonesia berada di arah timur Mekah.
Kesimpulannya, salat umat Islam di Indonesia tetap sah, meskipun tidak menghadap tepat ke arah Ka’bah, karena perintahnya hanyalah menghadap ke arah Masjidilharam, bukan Ka’bah. Yang juga perlu ditekankan, kiblat umat Islam di Indonesia cukup dengan menghadap ke Barat. Tetapi jika ingin merubahnya agar lebih tepat, maka silakan dilakukan dengan cara yang baik, tanpa pertengkaran dan permusuhan di antara pengurus dan jamaah masjid.

sumber : http://www.datdut.com/perlukah-mengganti-arah-kiblat/