Cerpen “Paing” (1)

P a i n g
Edi Haryono

TIBA di Jakarta pertama kali ia nyangkut di bengkel mebel dan bekerja sebagai buruh harian. Majikannya lekas jatuh simpati karena ia rajin dan jujur. Ia diajari menabung di sebuah bank. Meski kecil, ia setorkan upahnya tiap minggu.
Benarlah kata teman-temannya, ia ulet bagai rotan. Belum dua tahun, ia sudah memboyong istri dan seorang anaknya dari kampung. Teman-temannya melongo, mengakui tak mampu seberani itu.

Istrinya gembira bukan kepalang, selama ini mengira suaminya sudah melupakannya, sudah jadi orang kota, dan terbukti omongan para tetangganya itu salah sama sekali. la belai anaknya dan bisikkan pujian tentang bapaknya. Sementara menumpang di rumah majikannya ia menjadi tukang cuci dan seterika. Ia ambil pakaian orang lain untuk menambah penghasilan. Di situ pula anaknya tumbuh sehat, ketika dibuka pendaftaran sekolah, ia masukkan anaknya ke sekolah negeri agar kelak nasibnya lebih baik dari dirinya sendiri.

Tahun demi tahun ditempuhnya dengan penuh kesadaran meningkatkan diri, tidak baik terus menerus di rumah orang, lebih-lebih setelah istrinya mengaku sedang hamil lagi. Ia menghadap majikannya, ia memutuskan untuk mandiri.
“Itu niat yang baik, Paing. Meski aku sangat kehilangan, karena kalian sudah kuanggap famili sendiri. Tetapi jangan khawatir, tempatmu pasti akan diisi orang lain. Masih banyak orang berderet mengincar pekerjaanmu,” ujar majikannya.

Bersama anak-istri ia mengangkut barangnya ke kamar petak yang bisa disewa per bulan. Ia mulai melirik untuk menjadi penjual buah-buahan.
Sebelum subuh ia pergi ke pasar, menghadang para tengkulak menurunkan dagangannya. la cari akal bagaimana caranya bisa berjualan tanpa harus mengeluarkan banyak modal. Ia menghadapi orang-orang yang sangar dan sangat licin. Ya, kelicinan seperti itu ia merasa belum bisa. Syukur, akhirnya ia berhasil meyakinkan para tengkulak itu dan menggelar buah-buahan titipan. Sedikit bisa bernafas, seribu dua ribu bisa ia bawa pulang.

Di kamar itu istrinya juga terus menabung. Tiap hari ia sisihkan belanjanya; beras segenggam, gula sesendok, minyak seklenting dan apa saja yang bisa disimpan di kolong dipannya. Ketika anaknya minta sunat, ia keluarkan semuanya untuk membuat kue serta berbagai hidangan. Dengan demikian anaknya bangga dapat layak seperti teman-teman sekelasnya.

***
Namun benar kata orang, cobaan selalu menimpa siapa saja. Di pasar jualannya kena gusur. Ia termasuk pedagang kaki lima yang kena penertiban. Tubuhnya lemas, istrinya pun cemas.
“Apa perlu dikeroki?” hibur istrinya.
Ia mengangguk lunglai. “Pedagang-pedagang lain mampu menyewa kios,
tetapi kita...?”
“Sabar, Kang. Percaya saja pada yang memberi hidup. Jangan gampang putus
asa. Namanya saja hidup mandiri, ya beda dengan hidup mengabdi.”
Ia heran pada istrinya, “Kok sekarang kamu sudah pintar ngomong?”
Lho, sampeyan sendiri tho yang ngajari! Ingat nggak, waktu kita mau pindah ke sini, sampeyan bilang; hidup jadi buruh mebel sama saja dengan hidup mengabdi pada majikan.
Sekeras-kerasnya kita kerja, majikanlah yang mulia. Ingat nggak?
“Ya. Aku ingat,” jawabnya sambil terus menikmati kerokan.
“Lalu sampeyan juga bilang; lebih baik hidup mandiri, jadi kere atau raja yang mulai kita sendiri. Susah, sekarang sampeyan tidur, besok bisa cari usaha lain.”

Sejak lahir ia terbiasa bangun pagi, sebelum didahului oleh matahari. Istrinya telah menyiapkan teh panas manis dan kental. Ia hirup dalam-dalam. Kehangatan merayapi seluruh tubuh. Gairah hidupnya menyala kembali.
Ia melangkah menyusuri lorong-lorong pasar. Ia amati tingkah laku ibu-ibu yang sedang belanja. Rupanya hampir semua mengeluh dengan hilangnya becak.
Lalu esoknya lagi ia berjalan melewati rumah juragan bajaj. Tampak banyak bajaj baru. Sopir-sopir pada jongkok dan bergerombol menunggu.

“Mereka sudah siap narik sepagi ini?” tanyanya pada diri sendiri. “Pasti mereka butuh sarapan!”
Muncul sebuah gagasan. Lekas ia teliti sekitarnya, ternyata belum seorang pun berjualan di situ. Ia girang dan buru- buru pulang menemui istrinya. Lalu berdua lari ke sana ke mari menyiapkan segala sesuatunya.
Tengah malam istrinya memasak nasi uduk dan lauk-pauknya.
Juga menggoreng tahu, tempe, dan pisang. Sebelum matahari nongol ia berangkat dan siap melayani pembeli. Dugaannya tak secuil pun meleset. Sopir-sopir berebut mengisi perutnya. Ia bernafas lega.

Angan-angannya untuk memperoleh anak perempuan juga terkabul. Istrinya melahirkan anaknya yang ketiga dengan mules di rumah bidan. Untuk sementara ia serahkan jualan pada orang lain untuk membantu istrinya.
Namun, ketika ia akan mulai jualan lagi terkejut bukan main. Tempatnya telah dikuasai oleh teman yang semula sangat dipercaya. Bahkan sudah diubah dengan peralatan yang lebih permanen; tenda, gerobak, dan bangku-bangku.

Ia telah dikhianati. Marah seperti orang gila. Sungguh heran, temannya kalemkalem saja. Ia ingin berkelahi, tetapi buru- buru sadar, tidak bisa berkelahi. Ia jadi pecundang. Pukulan hebat menghantamnya. Ia roboh kesakitan.
Siapa lagi yang bisa cari nafkah, yang bisa memberi keperluan- keperluan bayi? Anaknya? Tidak, dia baru kelas II SMP. Lagi pula jangan  anaknya meniru nasibnya menjadi pedagang kere.
“Biar aku yang jalan, kang. Aku sudah cukup kuat!” ujar istrinya. “Aku akan ke rumah orang-orang yang dulu mencucikan pakaiannya. Barangkali mereka ada yang bisa menolongmu mencarikan pekerjaan.”

Ia mengangguk lemas. Maka, sambil menggendong bayinya yang masih merah, istrinya melangkah ke luar rumah. Tetangga-tetangga yang melihatnya menaruh iba tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Sambil berjalan pikirannya terus berputar, siapa lagi yang bisa ia datangi. Sudah dua hari tak ada secuil pun gelagat orang bisa menolongnya. Hanya kepercayaan pada yang memberi hiduplah yang membuatnya masih mampu bertahan.
Ia yakin pertolongan itu pasti datang. Tiba-tiba ia ingat rumah di pojok jalan itu, rumah tante pelatih senam. Sudah lama ia tidak pernah ke sana. Ya, sejak tante punya pembantu baru.

Di muka rumah itu ia berhenti. Sejenak hatinya gundah. Pintunya tertutup. Mungkin tante sedang tidak di rumah. Ia banyak memiliki teman dan relasi. “Biarlah kutunggu, sedikit merepotkan tak apa-apa toh ini sangat perlu!” pikirnya. Lalu hati-hati ia ketuk pintu.
“Mau cari siapa?” sapa pembantu.
“Tante ada?” tanyanya sambil membuka tutup bayi dalam gendongannya supaya tidak gerah.
“Oh, sedang istirahat, baru saja pulang. Akhir-akhir ini Tante sibuk sekali.”
“Cobalah sampaikan padanya. Saya perlu sekali.” Pembantu ragu-ragu.
Matanya meneliti, melihat pada bayi.
“Ya, tunggu dulu ya!”
Ia duduk di kursi. Pegal-pegal di pahanya ia kendorkan. “Ada apa? Oh, ini ya bayinya yang baru lahir itu? Aduh, kenapa jadi begini?” ujar tante tergopohgopoh.

la berusaha tetap tabah. Ia angkat wajahnya lalu pelan-pelan ia utarakan maksudnya. Dahi tante berkerenyit.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu... Siapa ya yang kemarin dulu... ah, mau Paing jadi tukang kebun?” ujar tante tiba-tiba.
“Tentu saja mau sekali!” jawabnya cepat. Harapannya mekar kembali.
“Kalau nggak salah temanku yang jadi peragawati. Dia bilang tukang kebunnya pergi dan butuh tukang kebun baru.
Banyak tanamannya yang mahal-mahal mati, sayang benar, aku sering ke sana dan... benar Paing mau? Dipikirlah dulu, sebab tempatnya jauh di Jakarta Selatan sana.”
“Nggak apa-apa Tante. Apalagi Kang Paing dulu petani, pasti gampang mengurus kebun!” jawabnya meyakinkan.
“Soal gaji pasti lumayan. Orangnya kaya sekali. Suaminya ahli minyak dari Amerika. Sekarang saja aku ngebel dia supaya tidak didahului orang lain.”

Tante beranjak ke meja telepon. Ia pura-pura tidak mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi diam-diam telinganya dibuka lebar-lebar. Sudah terbayang kesulitannya akan berakhir.
Telinganya menangkap pembicaraan soal gaji. Hampir saja ia melonjak gembira, “Oh, Sembilan puluh ribu!” Untung cepat ditahannya. Belum selesai tante meletakkan gagang telepon, seakan-akan ia sudah tahu semuanya.
Bukan main girang hatinya. Ia tak tahan lagi berlama-lama di situ. Ia ingin cepat berlari menemui suaminya.

Edi Haryono
Sumber :  Buku Bahasa Indonesia k13 kelas xi