Cerpen “Paing” (2)



***
SEUMUR hidupnya belum pernah Paing masuk rumah sebesar itu. Seluruhnya clikelilingi tembok tinggi. Untuk masuk orang harus memencet bel lebih dulu kemudian menunggu di luar gerbang. Sebuah kotak lubang terbuka dan muncul mata menelitinya. Setelah yakin siapa tamunya barulah gerbang bisa dibuka.
Untung ia datang diantar Tante.
Penjaga gerbang memberi hormat mempersilakan masuk. “Tante sudah ditunggu nyonya di teras belakang,” ujarnya sopan.
Tante melenggang menuju pintu bangunan utama. Ia terus mengintil di belakang. Seekor anjing lagi numprah di teras depan.
“Lesi! Lesi!” sapa tante. Anjing berdiri dan Paing undur dua tindak, “Edan, segede anak sapi!” serunya kaget. Lesi mendekat, mendengus-dengus ke kaki Tante. Lalu berlari mendorong pintu terbuka. Ia takut setengah mati.

“Jangan takut, Lesi lembut seperti wanita.”
Ia ragu-ragu masuk. Ruangan itu luas seperti lapangan. Tampak mebel-mebel besar mewah sekali. la ingat, pasti harganya ratusan juta. Banyak pula perabot antik yang sulit ia bayangkan seperti apa kayanya orang yang punya. Ia melongo dan jadi bego.

“Tunggu saja di situ!” perintah Tante.
Ia melihat Tante berjalan enak saja. Tumit sepatunya mengetuk lantai bergema ke seluruh ruangan. Lesi melonjak- lonjak kesenangan.
Ia merasa lega harus menunggu di balik pintu. Pikirannya terus melayanglayang ditiup angin sejuk pepohonan di teras itu. Ia terkejut, pundaknya ditepuk orang. Di belakangnya sudah berdiri perempuan muda.

“Ngalamun ya? Dipanggil-panggil diam saja. Ayo, ikut aku!” perintahnya.
“Kamu mau kerja di sini? Siapa namamu? Jangan kayak tukang kebun dulu!”
“Memangnya kenapa?”
“Huh, nyebelin. Sudah genit orangnya tak tahu diri lagi. Syukur nyonya cepat memecatnya. Ia diusir dari sini?”
“Diusir?”
“Terang, habis kerja sembarangan, banyak tanaman mati. Banyak yang hilang, pasti dijual buat beli ganja, suka teler sih!”
Perempuan itu nyerocos terus sama sekali tak memperhatikannya.

Ia sendiri sedang terheran-heran melewati lorong yang sangat panjang. Akhirnya sampai di pintu yang memisahkan bangunan utama dengan kebun yang luar biasanya luasnya seperti pegunungan. Ada beberapa pohon rambutan serta tanaman tanaman bagus, memang sayang tak terurus. Ada juga lereng menuju kolam renang di bawahnya. Di sebelah kolam renang ini barulah tembok tinggi yang Memisahkan diri dengan kampung di baliknya.

Dari bangunan utama ke kebun ada sebuah teras memanjang. Di sana tampak Tante bersama peragawati. Duduk di bantal besar dan dikelilingi bantal-bantal kecil yang berwarna- warni. Peragawati mengenakan singlet serta celana pendek kuning, sehingga kulitnya yang mulus sangat kontras dengan sekitarnya. Ketika ia diminta mendekat, tampak majalah-majalah berserakan di hadapannya.
Semuanya bergambar asing.

Perempuan yang tadi mengantarnya sudah menghilang ke bangunan utama.
“Siapa namamu?” sapa peragawati. la cepat menjawab, tetapi suaranya tercekik.
Firasatnya mengatakan sedang menghadapi wanita galak, terbalik sama sekali dengan bayangan semula.
Coba mana KTP-mu.” Ia gemetar mengambil KTP dari dompetnya yang baru disadari ternyata sangat kumal. “Kamu bisa membaca?”
Tiba-tiba tante ikut nimbrung, “Katanya sih lulus SMP. Benar kan Paing?” Ia mengangguk. “Ya, bisa”.
“Bicaralah yang keras. Di sini semua orang omong keras!” tante tertawa. “Di rumah segede ini kalau nggak keras pasti nggak kedengaran.”
“Kamu bisa kerja di sini mulai sekarang. Tak usah pulang setiap hari, bisa habis gajimu buat transpor. Masih ada kamar di samping belakang bisa kamu pakai. Iyem pembantu tadi akan ngasih tahu semuanya.” Peragawati menggeser pantatnya.

“Lihat dari sini, semua tanaman dan kebun kamu urusi tiap pagi dan sore, ditambah tanaman di halaman depan dan sebagian lagi di dalam rumah.”
Ia berhenti lagi untuk menimbang sesuatu.
“Tanyakan pada Iyem apa saja alatnya dan bagaimana cara memakainya. Untuk merawat tanaman gantung dan bunga di pot kecil, kalau nggak ngerti jangan diam saja, tanyalah langsung pada saya. Ingat, semuanya mahal, lebih mahal dari gajimu setahun. Maka, jangan kerja sembarangan.
Meski kamu bekas petani, ngurus tanaman ini lain sama sekali. Paham?!” Ia mengangguk. Dalam hati ia yakin tak akan kesulitan. Sebenarnya sejak kecil ia paling suka pekerjaan seperti itu. Yang menjadi pikirannya justru soal tinggal di sini, benar tidur dan makan segalanya terjamin, namun berarti tak ada lagi kesempatan ngobrol dengan istri dan waktu untuk mengawasi anak-anaknya.

***
DALAM waktu kurang dua minggu saja kebun sudah berubah indah. Tanaman serta bunga-bunga memancar segar. Rumput di lereng terpangkas rapi. Beberapa kran dan peralatan yang rusak diperbaiki sendiri. Semua tampak teratur dan rapi. Pekerjaan pun cepat ia rampungkan sehingga banyak waktu untuk istirahat.
Tetapi rupanya hal ini malah menerbitkan kecemburuan pembantu-pembantu yang tinggal sama-sama di situ. Mereka hampir tak pernah bisa istirahat, dari
pagi hingga tengah malam ada saja perintah mengerjakan tetek-bengek.
Peragawati dan suaminya semakin memberi kepercayaan lebih. Ia mulai kecipratan pekerjaan lain; membereskan sisa-sisa pesta. Boleh dibilang hampir tiap malam datang beramai-ramai teman peragawati atau orang-orang kulit putih ngobrol dan makan minum sampai larut menjelang pagi. Dari bar dalam rumah sampai gubuk di pinggir kolam berserak gelas, kaleng minuman, dan makanan yang semuanya mahal. “Pasti harganya lebih dari gajiku setahun. Alangkah murahnya barang mewah ini,” pikirnya.

Tetapi ia tetap menjaga kejujurannya. Sekali pun tak berani coba-coba berpesta sendiri. Sering barang tertinggal begitu saja; korek api emas, kaset, bahkan perhiasan yang lupa dipakai lagi setelah renang atau sudah terlalu teler, semuanya itu ia laporkan pada nyonya. Anehnya, kepolosannya ini sering menjadi bahan tertawaan pembantu lain dan sopir-sopir, yang menganggapnya goblok tak bisa memanfaatkan suasana.

“Paing!” teriak Iyem, “Kamu dipanggil nyonya!”
“Sebentar, tinggal sedikit pekerjaan ini.”
“Nyonya minta cepat.”
Ia menghela nafas, tak puas dengan perintah yang selalu mencampur-adukkan berbagai pekerjaan. Ia masuk ke dalam.
Peragawati tengah bicara di telepon dengan suaminya di kantor.
“Ya, right! Okey!” telepon diletakkan.
“Paing, kamu ganti pakaian dulu lalu ke bank ngambil uang. Tuan akan ke Abu Dhabi nanti sore. Sebentar lagi mobilnya dari kantor akan datang mengantarmu. Ingat, harus kamu sendiri yang ngambil. Bawa KTP-mu. jangan sekali-kali menyerahkannya pada sopir. Dia tidak bisa dipercaya. Kaset-kaset dan kacamata di mobil suka ilang.”

Peragawati minta diambilkan tas berisi buku dan beberapa rol film. “Sebelum ke bank kamu ke Kemang dulu memfotokopi buku dan cuci-cetak film ini. Tinggal saja di sana. Setelah dapat uang dari bank kembalilah membayar fotokopi dan foto.

Lalu ke laundry ngambil pakaian tuan sekalian membayar tagihan minggu lalu. Suruh sopir cepat ke kantor menjemput tuan. Bilang, jangan mampir-mampir.
Kamu sendiri kembali ke sini naik taksi. Paham?!”
Ia tenggelam di dalam mobil kelas satu. Di tangannya segepok uang dari bank, jumlahnya berlipat-lipat gajinya sendiri. “Alangkah kecil diriku, gajiku cuma sekali biaya ke laundry pun belum cukup!” hati kecilnya teraduk-aduk. Sementara itu di sebelahnya sopir dibakar cemburu dan marah. Mulutnya ngocol terus. Dia akan melawan siapa saja yang mencurigai dan memfitnahnya sebagai pencuri.
Dia siapkan golok di bawah bagasi mobil.

Ketika akhir bulan semua dikumpulkan, dari pembantu sampai sopir. Satu persatu dipanggil untuk menerima gaji. Tiba pada giliran dia segalanya terasa hambar. Ia yakin isi amplop itu jumlahnya pas seperti didengar istrinya di telepon rumah tante.

Ia serahkan amplop itu pada istrinya. Anak-anaknya menghambur penuh kerinduan. Suka-cita membayang di wajah mereka. Ia sendiri hambar.
“Ada apa, kang?” selidik istrinya.
Ia menggertakkan gigi, “Besok...”
“Mau kembali pagi sekali, ya?”
“Aku ingin ke pasar lagi, berkelahi!”

Bela Studio, 18 November 1991
Kompas, 15 Desember 1991
Edi Haryono
Sumber :  Buku Bahasa Indonesia k13 kelas xi