Saya
tertarik dengan jawaban ustadz dalam tanya jawab sebelumnya, bahwa
keshahihan suatu hadits itu ternyata hasil ijtihad. Mungkin buat saya
yang awam ini, apa yang ustadz sampaikan masih agak membingungkan, jadi
mohon penjelasan lebih lanjut.
Selama
ini yang saya pahami bahwa kalau ada hadits shahih, kita wajib ikut.
Malah teman saya bilang, tinggalkan semua pendapat ulama kalau sudah ada
hadits shahih. Sebab menurutnya para ulama empat mazhab sendiri yang
mengatakan bahwa kalau suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.
Ternyata
ustadz bilang bahwa keshahihan hadits itu sendiri justru hasil ijtihad
manusia juga. Mohon penjelasan dari ustadz dalam masalah ini. Terima
kasih sebelumnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah
keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang
mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.
Banyak
yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun
dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits
berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang
diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah
informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada
sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.
Padahal
sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan
hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa
logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh
karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh se
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah
keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang
mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.
Banyak
yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun
dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits
berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang
diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah
informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada
sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.
Padahal
sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan
hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa
logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh
karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang
peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain,
bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan.
Imam Bukhari Berijtihad
Semua
yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H) di dalam kitab Shahihnya adalah
hasil ijtihad beliau. Jangan sekali-kali kita menduga bahwa beliau
menerima wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap
perawi dengan mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai
pelosok negeri Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu
dihasilkan lewat ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu.
Tentu
kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Bukhari,
karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar
bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.
Begitu
juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim
(204-261 H) sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan
ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau
anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari
langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.
Tentu
kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Imam Muslim,
karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar
bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.
Tetapi
menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari
dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa?
Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli
hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang
kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.
Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang
hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih,
yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau
setelah 200 tahun Rasulullah SAW wafat. Yang jadi pertanyaan adalah :
Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari
dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?
Jawabnya
mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits
yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim
belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan
baik oleh para ahli hadits di zamannya.
Sebutlah
misalnya Imam Malik rahimahullah yang menyusun kitab Al-Muwaththa’. Di
zamannya, kitab Al-Muwaththa’ ini merupakan kitab hadits unggulan.
Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik
menghafal hadits-hadits di dalamnya.
Jadi
jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari
dan Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada
satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari.
Dan tidak satupun tabi’in yang menggunakannya juga. Mereka semua
beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Hal itu
terjadi karena para shahabat dan para tabi’in hidup lebih dulu dari
keduanya. Bagaimana mungkin orang yang hidup seabad sebelumnya bisa
menggunakan hadits yang diriwayatkan pada abad-abad berikutnya?
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Para imam
mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin
Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab
Shahih Bukhari dan Muslim.
Kenapa?
Pertama,
karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261
H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari
generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada
generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada
generasi sebelumnya.
Kedua,
karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits
paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari
mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus
mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu
muridnya?
Ketiga,
karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih
dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka
kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih
terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.
Kalau
dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya
semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian
disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang
penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan
semakin baik.
Dan
semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil
penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi
komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian
keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.
Keempat,
justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam
mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa
Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.
Memang
ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu
mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada
bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’.
Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak
bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya.
Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits
untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan
hukum (istimbath).
Kalaulah
benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi
istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang
digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan
sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang
lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu
bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim,
tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Al-Imam
Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang
masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya
saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis
kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Cuma baru
sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan
melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru
langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath
hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir
Sayangnya
banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang
sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki.
Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama
dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya.
Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para
ulama.
Padahal
keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti
hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus
menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan
haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa’ yang tiga khalifah
memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin
Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai
mujtahid dalam ilmu fiqih.
Entah
orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi
yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang
menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu
hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir
dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan
manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah
pasti benar.
Orang-orang
awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para
imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih,
maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan
keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang
hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal
maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat,
karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka
pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti
saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak
shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang
bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu
para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi
lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur,
sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i
itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri,
lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya
mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu
saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah,
mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam
hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol
dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar
meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih
pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan
tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara
penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata
nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah
kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena
dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma
menambah-nambahi agama.
Parahnya,
setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat
Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai
aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab
fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama
mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu
dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan
ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya
dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan
proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.
Dan boleh
jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih
murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu
Rasulullah SAW, lebih dekat.
Hadits di
zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu
hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh
level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik
cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas
keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan
yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.
Bayangkan
kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa
melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak
bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat
level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh
lebih rendah.
Apalagi
yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar
mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi.
Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh
dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang
masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas
hafalan dan kualitas keislaman mereka.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin
jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka
kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan
menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih
banyak lagi.
Seandainya
seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai
kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup
di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa
dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau
malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena
tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para
perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya
beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup
dan bisa diwawancarai langsung.
Maka
siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang
para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata
mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat
literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena
semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa
mengerjakannya.
Dosen
hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada
anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan
masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan
seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah
belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit
diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di
perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun
bisa melakukannya dengan mudah.
Apalagi
zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword
saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.
Kalau
baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari
Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan
merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.
Maka kita
tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad
kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di
abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan
kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih
baik lagi.
Anehnya,
jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian
kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di
zaman serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang
umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada
orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala
arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji
tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama
yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Lebih
lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan,
melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata
kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah
dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi
anugerah bagi alam semesta.
Seolah-olah
kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan
seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan
dihujani cacian makian dan sumpah serapah.
Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
http://santri.net/aquran-al-hadis/al-hadits/inilah-alasannya-menhapa-4-imam-mazhab-tidak-pakai-hadis-bukhory-muslim/