A. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Asal kata Artinya
Ijtihad Dari isim mashdar al-juhd at-taqah (tenaga, daya upaya, kuasa)
Jihaad dan
mujaahadah Dari bentuk masdar
Jaahada Pengerahan kemampuan
Ijtihad al-ijtihad dan at-tajahud Pengerahan segala kemampuan dan tenaga
Konsep ijtihad yang dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali adalah pencurahan segala daya upaya dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit.
Muhammad Iqbal, menjelaskan sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an:
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Kata jihaad dan mujaahadah memang memiliki makna yang sama karena keduanya satu akar kata, yaitu bentuk mashdar dari kata jaahada. Keduanya memiliki arti pengerahan kemampuan.
Dalam pengertian secara khusus, mujahadah secara fisik disebut
jihad sementara mujahadah dengan akal disebut ijtihad.
Adapun pengertian ijtihad menurut para ulama ada berbagai macam. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Imam Asy-Syaukani:
Mengerahkan kemampuan memperoleh hokum syari’at yang bersifat praktis (amali) dengan cara istinbath.
2. Menurut As-Subki:
Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih untuk
menghasilkan dugaan yang kuat tentang hukum syari’at.
3. Menurut Saifuddin Al-Amidi:
Mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga ia tidak mampu lagi mengusahakan yang lebih dari itu.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani di atas digunakan kata badzlul wus’i untuk menjelaskan bahwa ijtihad adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Artinya jika usaha tersebut tidak dilakukan dengan kesungguhan dan tidak sepenuh hati, maka itu bukan ijtihad. Sedangkan penggunaan kata syar’i mengindikasikan bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Penggunaan term ini untuk membedakan pengertian ijtihad sebagai usaha menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk kategori tiga hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Dalam defini Asy-Syaukani di atas juga disebutkan cara menemukan hukum syara’ dengan metode istinbath yang berarti mengeluarkan sesuatu dari kandungan lafal. Artinya, ijtihad adalah usaha memahami lafal dan mengeluarkan hukum dari lafal tersebut. Kata istinbath maksudnya adalah mengeluarkan hukum fikih dari Al-Qur’an dan As- Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul sehingga term istinbath identik dengan ijtihad.
Menurut Asy-Syaukani Ijtihad adalah usaha besar
yang memerlukan pengerahan kemampuan. Metode yang dipakai adalah Istinbath. Hasil usaha ijtihad adalah ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia.
Ali Hasballah melihat bahwa ada dua cara ulama ushul dalam melakukan istinbath, yakni:
1. Pendekatan melalui kaidah kebahasaan
2. Pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syari’at
(maqashidusy syari’ah).
Sementara itu dalam definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Subki terdapat penambahan kata al-faqih sebelum kata al-badzlu dan kata dhan sebelum kata hukmin syar’iyyin. Penambahan kata fakih berarti bahwa orang yang melakukan ijtihad bukanlah sembarang orang, melainkan harus orang yang pemahaman agamanya luas dan mendalam. Ada derajat dan kualifikasi tertentu bagi orang untuk disebut sebagai fakih.
Sedangkan kata dhan mengandung arti bahwa yang dicapai oleh mujtahid itu hanyalah bersifat dhan (dugaan) semata. Yang mengetahui kebenarannya yang hakiki hanyalah Allah. Jika ada firman Allah atau hadits Nabi yang menjelaskan status hukumnya, maka tidak lagi diperlukan ijtihad. Hal ini berdasarkan kaidah:
Artinya: Tidak ada ijtihad jika sudah terdapat nashnya
Dari ketiga definisi di atas terlihat bahwa kata ijtihad dalam hukum Islam adalah pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan satus hukum amali (praktis) suatu persoalan pada tingkat dhanni (dugaan).
Kata Amali memiliki pengertian bahwa ijtihad hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat operasional sementara pada aspek yang bersifat teoritis tidak termasuk dalam kategori ini. Sedangkan kata dhanni maksudnya adalah persoalan yang diijtihadi itu masih memungkinkan untuk dilakukan interpretasi, bukan sesuatu yang bersifat qath’i (pasti) Sehingga hasil yang diperoleh seorang mujtahid dalam ijtihadnya bersifat relatif, tidak mutlak kebenarannya.
Sebagai konsekwensinya, hasil ijtihad dari satu mujtahid itu bisa berbeda-beda. Bahkan Imam Syafi’i memiliki dua pendapat yang terkenal yang disebut sebagai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jaded (pendapat baru). Qaul qadim adalah pendapat (madzhab) yang beliau bangun ketika masih di Iraq sedangkan qaul Jadid adalah madzhab yang beliau bangun ketika beliau berada di Mesir.
Adanya qaul qadim dan qaul jaded ini bukan karena beliau tidak konsisten dalam keilmuannya, namun lebih menunjukkan elastisitas fikih dan menggambarkan perjalanan intelektual beliau sekaligus rasa rendah hati beliau. Elastisitas fikih karena dengan dua qaul tersebut terbukti bahwa produk fikih itu tidak bersifat statis namun bersifat dinamis.
Perjalanan hidup beliau tidak pernah berhenti untuk mencari ilmu. Kerendahan hati beliau ditunjukkan dengan tidak merasa gengsi untuk mengubah pendapatnya jika didapatkan ada dalil lain yang lebih kuat. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ijtihad merupakan konsep yang sangat penting dalam ajaran agama Islam. Ijtihad sebagai sarana berdialektika dengan realitas kehidupan dalam menjawab persoalan- persoalan kehidupan yang timbul. Sebagai ajaran Islam yang berfungsi membawa rahmat bagi semesta dan selalu dapat beradaptasi dengan
dimensi ruang dan waktu (Shalihatun likulli makan wa zaman).
Ijtihad dilakukan hanya pada yang bersifat operasional.
Yang di ijtihadi bukan sesuatu yang pasti (qath’i) sehingga kebenarannya tidak mutlak dan ada kemungkinan
untuk berubah.
B. DASAR HUKUM IJTIHAD
1. Dasar Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an, hadits, dan ijmak. Adapun
dasar hukum ijtihad yang berasal dari Al-Qur’an adalah firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An-Nisa: 59)
Dalam ayat di atas, ada tiga komponen yang harus ditaati, yaitu Allah, Rasulullah, dan Ulil Amir (pemegang urusan). Taat kepada Allah berarti taat adalah dengan melaksanakan isi dari Al-Qur’an. Taat kepada Rasulullah adalah dengan melaksanakan sunnah-sunnah beliau. Sedangkat taan kepada ulil amri adalah mengikuti hasil dari ijtihad para ulama yang memang memiliki otoritas untuk berijtihad.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
2. Hadits
Dasar hukum ijtihad yang kedua adalah hadits, yaitu percakapan Rasulullah pada saat beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Petikan dari percakapan beliau adalah sebagai berikut:
Artinya: Bagaimana kamu memutuskan jika ada suatu masalah? Muadz menjawab, «Aku akan memutuskannya berdasarkan kitab Allah. Jika aku tidak mendapatkannya maka aku akan memutuskannya berdasarkan sunah Rasulullah dan jika aku tidak mendapatkannya maka aku akan berijtihad dengan pengetahuanku dan aku tidak akan gegabah dalam berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda, «Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah.
Para Mujtahid adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan. Dan kepadanyalah seharusnya
kita bertanya dalam masalah- masalah agama yang belum kita ketahui.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ijtihad itu diakui secara sah oleh baginda Rasulullah saw. Namun harus diingat bahwa ijtihad itu haruslah dilakukan oleh seseorang yang mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu masalah-masalah yang diijtihadi adalah masalah yang tidak terdapat dalil qath’inya. Sedangkan masalah yang sudah ada dalil qath’inya tidak tidak boleh diijtihadi lagi.
Selain itu terdapat hadits dari Nabi:
Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad lalu dia benar, maka ia mendapatkan dua pahala dan jika dia salah, maka ia mendapatkan satu pahala.
3. Ijmak
Kita mengakui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum yang lengkap. Akan tetapi, hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an bersifat global, belum terperinci. Selain itu, ada banyak masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan masalah baru yang pada masa Rasulullah belum ada terjadi. Oleh karena itu, umat Islam sepakat menerima ijtihad sebagai salah satu sumber hukum.
C. BATASAN DAN RUANG LINGKUP IJTIHAD
Batasan dan ruang lingkup ijtihad adalah dalam masalah-masalah fiqih yang belum ada nashnya secara qath’i (pasti). Jadi, jika sesuatu itu sudah bernash qath’i tidak boleh ada ijtihad. Misalnya, mendirikan shalat adalah wajib berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Karena itu, tidak boleh seseorang berijtihad untuk merubah hukum tersebut.
D. SUMBER HUKUM ISLAM
Sumber hukum Islam dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum yang disepakati oleh para ulama dan yang tidak disepakati oleh para ulama. Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah, Al- Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas. Sebagaimana firman Allah.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa: 59)
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah dengan lafal bahasa Arab dan isinya adalah haq, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa beliau adalah benar utusan Allah, juga menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti hidayah beliau, dan membacanya termasuk mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepadanya.
2. Sunnah
Menurut istilah sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau.
3. Ijma (Konsensus)
Ijmak menurut istilah ushul fiqih adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Islam dalam satu masa sesudah wafatnya Rasulullah atas suatu hukum syara’ dalam satu kejadian.
4. Qiyas (Analogi)
Qiyas adalah menyamakan sesuatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang kejadian ada nash hukumnya untuk menyamakan hukumnya berdasarkan illat hukumnya.
Adapun sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama adalah istihsan, al-mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab shahabi dan syaddu dzari’ah. Artinya adalah sebagai berikut:
1. Istihsan (menganggap baik)
Menurut istilah arti istihsan adalah beralihnya seorang mujtahid dari qiyas jalli (qiyas yang terang) kepada qiyas khafi (qiyas yang masih samar).
Contoh: Madzhab Hanafi membolehkan orang yang haid membaca Al-Qur’an padahal menurut qiyas jalli tidak boleh karena orang yang haid itu berhadats besar sebagaimana orang yang junub yang tidak boleh membaca Al-Qur’an. Imam Syafii menolak istihsan dijadikan sebagai sumber hukum.
2. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Al-Mashlahatul Mursalah adalah kemashlahatan yang belum ditetapkan oleh Syari’ (maksudnya Allah dan Rasulullah) sebagai suatu hukum untuk dilaksanakan dan tidak ada dalil syar’i untuk menggunakannya atau menghapuskannya.
Contoh: membuat mata uang sebagai alat pembayaran.
3. ‘Urf (Adat Kebiasaan)
Urf adalah sesuatu yang dikenal dan berlaku dimasyarakat baik itu berupa perkataan maupun perbuatan ataupun meninggalkan.
Contoh: kebiasaan masyarakat saling sapa, jagong, dan sebagainya.
4. Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu sesuai dengan keadaan hukum sebelumnya sampai adanya dalil yang menunjukkan perubahan status hukumnya atau menjadikan hukum yang telah ada sebelumnya tidak berubah sampai adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh: segala bentuk muamalat dibolehkan jika tidak ada nash yang melarangnya.
5. Syar’u man Qablana (Syari’at umat sebelum kita)
Syariat umat-umat Nabi terdahulu yang dikisahkan dalam Al- Qur’an jika ada nash untuk mengikutinya, maka kita diperintahkan untuk mengikutinya, misalnya syari’at qurban. Sedangkan syari’at mereka yang terdapat nash untuk tidak mengikutinya, maka kita tidak boleh mengikutinya, misalnya syari’at Nabi Adam menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya telah dihapus oleh hukum larangan menikahi saudara kandung. Syariat mereka yang tidak ada keterangan dalil perintah atau larangan mengikutinya masih diperselisihkan oleh para ulama.
6. Madzhab Shahabi
Madzhab shahabi adalah pandapat para sahabat dalam suatu masalah hukum sementara pendapat tersebut bukan berasal dari Rasulullah.
7. Syaddu dzari’ah
Yang dimaksud dengan dzari’ah adalah sesuatu yang secara zahirnya adalahbolehnamunbisa menjadi sebab melakukan perbuatanterlarang. Sedangkan kata syadz adalah menutup. Jadi syaddudz dzari’ah adalah menutup jalan sesuatu yang bisa menimbulkan perbuatan haram.
Contoh syaddudz dzari’ah: bermain kartu pada dasarnya tidak ada dilarang oleh nash, namun karena bermain kartu bisa membuat seseorang lalai mengingat Allah atau malah digunakan untuk berjudi, maka bermain kartu tidak dibolehkan.
Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah, Al- Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas.
Adapun sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama adalah istihsan, al-mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab shahabi dan syaddu dzari’ah.
E. CARA BERIJTIHAD DALAM MASALAH YANG TIDAK DISEBUTKAN NASH HUKUMNYA
Ada kalanya suatu masalah tidak disebutkan nash hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits. Dalam masalah-masalah demikian, maka para ulama bisa berijtihad secara kolektif atau yang disebut ijmak (kesepakatan ulama) seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah.
Selain ijtihad kolektif bisa juga dilakukan ijtihad individu sebagaimana yang dilakukan para ulama mujtahid. Adapun alat yang digunakan dalam ijtihad kolektif adalah komponen-komponen hasil kesepakatan bersama.
F. LATIHAN SOAL
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!
1. Apa yang anda ketahui tentang ijtihad?
2. Jelaskan tentang batasan ijtihad secara ringkas!
3. Sebutkan dasar-dasar hukum dibolehkannya berijtihad!
4. Jelaskan sumber hukum selain Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan acuan oleh mujtahid!
Kata Asal kata Artinya
Ijtihad Dari isim mashdar al-juhd at-taqah (tenaga, daya upaya, kuasa)
Jihaad dan
mujaahadah Dari bentuk masdar
Jaahada Pengerahan kemampuan
Ijtihad al-ijtihad dan at-tajahud Pengerahan segala kemampuan dan tenaga
Konsep ijtihad yang dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali adalah pencurahan segala daya upaya dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit.
Muhammad Iqbal, menjelaskan sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an:
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Kata jihaad dan mujaahadah memang memiliki makna yang sama karena keduanya satu akar kata, yaitu bentuk mashdar dari kata jaahada. Keduanya memiliki arti pengerahan kemampuan.
Dalam pengertian secara khusus, mujahadah secara fisik disebut
jihad sementara mujahadah dengan akal disebut ijtihad.
Adapun pengertian ijtihad menurut para ulama ada berbagai macam. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Imam Asy-Syaukani:
Mengerahkan kemampuan memperoleh hokum syari’at yang bersifat praktis (amali) dengan cara istinbath.
2. Menurut As-Subki:
Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih untuk
menghasilkan dugaan yang kuat tentang hukum syari’at.
3. Menurut Saifuddin Al-Amidi:
Mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga ia tidak mampu lagi mengusahakan yang lebih dari itu.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani di atas digunakan kata badzlul wus’i untuk menjelaskan bahwa ijtihad adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Artinya jika usaha tersebut tidak dilakukan dengan kesungguhan dan tidak sepenuh hati, maka itu bukan ijtihad. Sedangkan penggunaan kata syar’i mengindikasikan bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Penggunaan term ini untuk membedakan pengertian ijtihad sebagai usaha menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk kategori tiga hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Dalam defini Asy-Syaukani di atas juga disebutkan cara menemukan hukum syara’ dengan metode istinbath yang berarti mengeluarkan sesuatu dari kandungan lafal. Artinya, ijtihad adalah usaha memahami lafal dan mengeluarkan hukum dari lafal tersebut. Kata istinbath maksudnya adalah mengeluarkan hukum fikih dari Al-Qur’an dan As- Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul sehingga term istinbath identik dengan ijtihad.
Menurut Asy-Syaukani Ijtihad adalah usaha besar
yang memerlukan pengerahan kemampuan. Metode yang dipakai adalah Istinbath. Hasil usaha ijtihad adalah ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia.
Ali Hasballah melihat bahwa ada dua cara ulama ushul dalam melakukan istinbath, yakni:
1. Pendekatan melalui kaidah kebahasaan
2. Pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syari’at
(maqashidusy syari’ah).
Sementara itu dalam definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Subki terdapat penambahan kata al-faqih sebelum kata al-badzlu dan kata dhan sebelum kata hukmin syar’iyyin. Penambahan kata fakih berarti bahwa orang yang melakukan ijtihad bukanlah sembarang orang, melainkan harus orang yang pemahaman agamanya luas dan mendalam. Ada derajat dan kualifikasi tertentu bagi orang untuk disebut sebagai fakih.
Sedangkan kata dhan mengandung arti bahwa yang dicapai oleh mujtahid itu hanyalah bersifat dhan (dugaan) semata. Yang mengetahui kebenarannya yang hakiki hanyalah Allah. Jika ada firman Allah atau hadits Nabi yang menjelaskan status hukumnya, maka tidak lagi diperlukan ijtihad. Hal ini berdasarkan kaidah:
Artinya: Tidak ada ijtihad jika sudah terdapat nashnya
Dari ketiga definisi di atas terlihat bahwa kata ijtihad dalam hukum Islam adalah pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan satus hukum amali (praktis) suatu persoalan pada tingkat dhanni (dugaan).
Kata Amali memiliki pengertian bahwa ijtihad hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat operasional sementara pada aspek yang bersifat teoritis tidak termasuk dalam kategori ini. Sedangkan kata dhanni maksudnya adalah persoalan yang diijtihadi itu masih memungkinkan untuk dilakukan interpretasi, bukan sesuatu yang bersifat qath’i (pasti) Sehingga hasil yang diperoleh seorang mujtahid dalam ijtihadnya bersifat relatif, tidak mutlak kebenarannya.
Sebagai konsekwensinya, hasil ijtihad dari satu mujtahid itu bisa berbeda-beda. Bahkan Imam Syafi’i memiliki dua pendapat yang terkenal yang disebut sebagai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jaded (pendapat baru). Qaul qadim adalah pendapat (madzhab) yang beliau bangun ketika masih di Iraq sedangkan qaul Jadid adalah madzhab yang beliau bangun ketika beliau berada di Mesir.
Adanya qaul qadim dan qaul jaded ini bukan karena beliau tidak konsisten dalam keilmuannya, namun lebih menunjukkan elastisitas fikih dan menggambarkan perjalanan intelektual beliau sekaligus rasa rendah hati beliau. Elastisitas fikih karena dengan dua qaul tersebut terbukti bahwa produk fikih itu tidak bersifat statis namun bersifat dinamis.
Perjalanan hidup beliau tidak pernah berhenti untuk mencari ilmu. Kerendahan hati beliau ditunjukkan dengan tidak merasa gengsi untuk mengubah pendapatnya jika didapatkan ada dalil lain yang lebih kuat. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ijtihad merupakan konsep yang sangat penting dalam ajaran agama Islam. Ijtihad sebagai sarana berdialektika dengan realitas kehidupan dalam menjawab persoalan- persoalan kehidupan yang timbul. Sebagai ajaran Islam yang berfungsi membawa rahmat bagi semesta dan selalu dapat beradaptasi dengan
dimensi ruang dan waktu (Shalihatun likulli makan wa zaman).
Ijtihad dilakukan hanya pada yang bersifat operasional.
Yang di ijtihadi bukan sesuatu yang pasti (qath’i) sehingga kebenarannya tidak mutlak dan ada kemungkinan
untuk berubah.
B. DASAR HUKUM IJTIHAD
1. Dasar Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an, hadits, dan ijmak. Adapun
dasar hukum ijtihad yang berasal dari Al-Qur’an adalah firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An-Nisa: 59)
Dalam ayat di atas, ada tiga komponen yang harus ditaati, yaitu Allah, Rasulullah, dan Ulil Amir (pemegang urusan). Taat kepada Allah berarti taat adalah dengan melaksanakan isi dari Al-Qur’an. Taat kepada Rasulullah adalah dengan melaksanakan sunnah-sunnah beliau. Sedangkat taan kepada ulil amri adalah mengikuti hasil dari ijtihad para ulama yang memang memiliki otoritas untuk berijtihad.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
2. Hadits
Dasar hukum ijtihad yang kedua adalah hadits, yaitu percakapan Rasulullah pada saat beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Petikan dari percakapan beliau adalah sebagai berikut:
Artinya: Bagaimana kamu memutuskan jika ada suatu masalah? Muadz menjawab, «Aku akan memutuskannya berdasarkan kitab Allah. Jika aku tidak mendapatkannya maka aku akan memutuskannya berdasarkan sunah Rasulullah dan jika aku tidak mendapatkannya maka aku akan berijtihad dengan pengetahuanku dan aku tidak akan gegabah dalam berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda, «Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah.
Para Mujtahid adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan. Dan kepadanyalah seharusnya
kita bertanya dalam masalah- masalah agama yang belum kita ketahui.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ijtihad itu diakui secara sah oleh baginda Rasulullah saw. Namun harus diingat bahwa ijtihad itu haruslah dilakukan oleh seseorang yang mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu masalah-masalah yang diijtihadi adalah masalah yang tidak terdapat dalil qath’inya. Sedangkan masalah yang sudah ada dalil qath’inya tidak tidak boleh diijtihadi lagi.
Selain itu terdapat hadits dari Nabi:
Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad lalu dia benar, maka ia mendapatkan dua pahala dan jika dia salah, maka ia mendapatkan satu pahala.
3. Ijmak
Kita mengakui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum yang lengkap. Akan tetapi, hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an bersifat global, belum terperinci. Selain itu, ada banyak masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan masalah baru yang pada masa Rasulullah belum ada terjadi. Oleh karena itu, umat Islam sepakat menerima ijtihad sebagai salah satu sumber hukum.
C. BATASAN DAN RUANG LINGKUP IJTIHAD
Batasan dan ruang lingkup ijtihad adalah dalam masalah-masalah fiqih yang belum ada nashnya secara qath’i (pasti). Jadi, jika sesuatu itu sudah bernash qath’i tidak boleh ada ijtihad. Misalnya, mendirikan shalat adalah wajib berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Karena itu, tidak boleh seseorang berijtihad untuk merubah hukum tersebut.
D. SUMBER HUKUM ISLAM
Sumber hukum Islam dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum yang disepakati oleh para ulama dan yang tidak disepakati oleh para ulama. Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah, Al- Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas. Sebagaimana firman Allah.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa: 59)
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah dengan lafal bahasa Arab dan isinya adalah haq, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa beliau adalah benar utusan Allah, juga menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti hidayah beliau, dan membacanya termasuk mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepadanya.
2. Sunnah
Menurut istilah sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau.
3. Ijma (Konsensus)
Ijmak menurut istilah ushul fiqih adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Islam dalam satu masa sesudah wafatnya Rasulullah atas suatu hukum syara’ dalam satu kejadian.
4. Qiyas (Analogi)
Qiyas adalah menyamakan sesuatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang kejadian ada nash hukumnya untuk menyamakan hukumnya berdasarkan illat hukumnya.
Adapun sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama adalah istihsan, al-mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab shahabi dan syaddu dzari’ah. Artinya adalah sebagai berikut:
1. Istihsan (menganggap baik)
Menurut istilah arti istihsan adalah beralihnya seorang mujtahid dari qiyas jalli (qiyas yang terang) kepada qiyas khafi (qiyas yang masih samar).
Contoh: Madzhab Hanafi membolehkan orang yang haid membaca Al-Qur’an padahal menurut qiyas jalli tidak boleh karena orang yang haid itu berhadats besar sebagaimana orang yang junub yang tidak boleh membaca Al-Qur’an. Imam Syafii menolak istihsan dijadikan sebagai sumber hukum.
2. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Al-Mashlahatul Mursalah adalah kemashlahatan yang belum ditetapkan oleh Syari’ (maksudnya Allah dan Rasulullah) sebagai suatu hukum untuk dilaksanakan dan tidak ada dalil syar’i untuk menggunakannya atau menghapuskannya.
Contoh: membuat mata uang sebagai alat pembayaran.
3. ‘Urf (Adat Kebiasaan)
Urf adalah sesuatu yang dikenal dan berlaku dimasyarakat baik itu berupa perkataan maupun perbuatan ataupun meninggalkan.
Contoh: kebiasaan masyarakat saling sapa, jagong, dan sebagainya.
4. Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu sesuai dengan keadaan hukum sebelumnya sampai adanya dalil yang menunjukkan perubahan status hukumnya atau menjadikan hukum yang telah ada sebelumnya tidak berubah sampai adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh: segala bentuk muamalat dibolehkan jika tidak ada nash yang melarangnya.
5. Syar’u man Qablana (Syari’at umat sebelum kita)
Syariat umat-umat Nabi terdahulu yang dikisahkan dalam Al- Qur’an jika ada nash untuk mengikutinya, maka kita diperintahkan untuk mengikutinya, misalnya syari’at qurban. Sedangkan syari’at mereka yang terdapat nash untuk tidak mengikutinya, maka kita tidak boleh mengikutinya, misalnya syari’at Nabi Adam menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya telah dihapus oleh hukum larangan menikahi saudara kandung. Syariat mereka yang tidak ada keterangan dalil perintah atau larangan mengikutinya masih diperselisihkan oleh para ulama.
6. Madzhab Shahabi
Madzhab shahabi adalah pandapat para sahabat dalam suatu masalah hukum sementara pendapat tersebut bukan berasal dari Rasulullah.
7. Syaddu dzari’ah
Yang dimaksud dengan dzari’ah adalah sesuatu yang secara zahirnya adalahbolehnamunbisa menjadi sebab melakukan perbuatanterlarang. Sedangkan kata syadz adalah menutup. Jadi syaddudz dzari’ah adalah menutup jalan sesuatu yang bisa menimbulkan perbuatan haram.
Contoh syaddudz dzari’ah: bermain kartu pada dasarnya tidak ada dilarang oleh nash, namun karena bermain kartu bisa membuat seseorang lalai mengingat Allah atau malah digunakan untuk berjudi, maka bermain kartu tidak dibolehkan.
Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah, Al- Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas.
Adapun sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama adalah istihsan, al-mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab shahabi dan syaddu dzari’ah.
E. CARA BERIJTIHAD DALAM MASALAH YANG TIDAK DISEBUTKAN NASH HUKUMNYA
Ada kalanya suatu masalah tidak disebutkan nash hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits. Dalam masalah-masalah demikian, maka para ulama bisa berijtihad secara kolektif atau yang disebut ijmak (kesepakatan ulama) seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah.
Selain ijtihad kolektif bisa juga dilakukan ijtihad individu sebagaimana yang dilakukan para ulama mujtahid. Adapun alat yang digunakan dalam ijtihad kolektif adalah komponen-komponen hasil kesepakatan bersama.
F. LATIHAN SOAL
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!
1. Apa yang anda ketahui tentang ijtihad?
2. Jelaskan tentang batasan ijtihad secara ringkas!
3. Sebutkan dasar-dasar hukum dibolehkannya berijtihad!
4. Jelaskan sumber hukum selain Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan acuan oleh mujtahid!