A. STRATEGI
DAKWAH ISLAMIYAH
Islam adalah
agama yang membawa
rahmat kepada alam semesta,
bukan hanya kepada umat Islam
semata. Hal ini ditegaskan oleh firman
Allah dalam Al-Qur’an:
dan Tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Jadi, Islam bukan
hanya untuk orang Arab saja sebagaimana agama yang dibawa oleh para Rasul
terdahulu yang dikhususkan untuk umat tertentu. Namun Islam diperuntukkan
seluruh umat manusia. Setiap umat Islam diwajibkan menyerukan kepada agama
agama Allah ini. Jadi perintah berdakwah itu tidak hanya ditujukan kepada para
kiai, ustadz, dan para alim-ulama. Akan tetapi, perintah berdakwah ditujukan
kepada semua umat Islam apapun profesinya, baik itu ustadz, pedagang, petani,
dan lain sebagainya.
Dalam mengemban dakwah Islamiyah, para dai atau para muballigh tidak menempuh jalan
kekerasan. Namun mereka lebih memilih
jalan damai. Jadi tidak benar jika beranggapan bahwa Agama Islam
disebarluaskan dengan jalan kekerasan sehingga digambarkan bahwa di tangan kanan Nabi memegang
pedang sedang tangan kirinya memegang Al-Qur’an. Metode dakwah yang
dilaksanakan dengan cara kekerasan hanya
akan membawa dampak
negatif baik dari dai itu sendiri maupun dari segi dakwah
Islamiyah itu.
Karena berdakwah Islamiyah
itu adalah tugas setiap umat Islam, maka kegiatan Islamisasi itupun dilaksanakan oleh semua pihak
dengan berbagai kegiatan masing-masing. Para pedagang melaksanakan aktifitas dakwah dengan kegiatan
perdagangannya, para seniman dan budayawan melaksanakan aktifitas dakwah dengan
seni dan
budayanya,
dan para penguasa melaksanakan aktifitas dakwah dengan
kekuasaannya.
B. MELALUI KEGIATAN PEREKONOMIAN
Saluran Islamisasi yang pertama di Indonesia adalah
perdagangan. Hal ini karena Islam di Indonesia, sebagaimana telah
dikemukakan di depan, dibawa oleh para pedagang. Hal itu sesuai dengan
kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad VII sampai abad XVI Masehi
melalui jalur perairan selat Malaka.
Dakwah Islamisasi
melalui jalan perdagangan ini sangat menguntungkan karena golongan raja
dan bangsawan banyak
yang ikut serta dalam kegiatan perdagangan. Dengan demikian
para pedagang muslim dapat berinteraksi dengan para penguasa di
Indonesia. Kesempatan berinteraksi dengan penguasa ini dijadikan sarana untuk
memperkenalkan ajaran agama
Islam. Mereka berdagang sambil berdakwah dan
sebaliknya, berdakwah sambil berdagang. Hal ini sangat mungkin dilakukan
karena dalam Islam tidak ada pemisahan
antara pedagang dengan agamanya dan kesajiban sebagai seorang muslim untuk
menyampaikan ajaran agamanya kepada pihak-pihak lain. Perintah berdakwah ini
tersurat di dalam Al-Qur’an:
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Sementara
itu dalam hadits Nabi disebutkan bahwa beliau bersabda:
“Sampaikanlah
dariku meskipun hanya satu ayat!”
Para pedagang yang berasal
dari Gujarat, Persia,
dan Arab, Bengala dan lain-lain karena faktor musim
yang menentukan pelayaran, maka mereka harus tinggal di bandar-bandar yang
mereka datangi. Mereka diberi tempat
oleh penguasa lokal
sehingga membentuk komunitasnya yang sering disebut dengan
perkampungan Pakojan, yaitu kampung yang khusus untuk pedagang muslim.
Lama-kelamaan bukan hanya ada satu kampung Pakojan namun ada banyak kampung Pakojan,
Di
antara pedagang tersebut ada yang kaya
dan pandai bahkan
ada yang dipercaya sebagai syahbandar pelabuhan dalam suatu kerajaan.
Dari sudut ekonomi mereka mempunyai status sosial yang lumayan tinggi. Dengan
kedudukannya sebagai syahbandar tentu mereka dapat menempati kedudukan golongan
elite birokrat dalam suatu kerajaan. Posisi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk berdakwah di pusat-pusat pemerintahan.
C. MELALUI PERKAWINAN
Beberapa faktor
yang mendorong terjadinya proses perkawinan antara pendatang muslim dan wanita
setempat, antara lain karena Islam tidak membedakan status masyarakat. Dan
pandangan rakyat pribumi dan lebih-lebih bagi orang yang menganut agama Hindu
yang mengenal pembedaan kasta, hal ini lebih mendorong mereka untuk memeluk
agama Islam.
Bangsa pribumi
yang masuk Islam bukan saja rakyat jelata.
Para bangsawan yang merupakan
raja-raja kecil yang ada di pesisir memisahkan diri dari kekuasaan pusat untuk
memeluk agama Islam. Di antara kerajaan kecil yang memisahkan diri dari
kekuasaan pusat untuk masuk Islam adalah Demak. Dengan masuk Islam para raja
tersebut memiliki keuntungan melakukan kegiatan ekspor dan impor berbagai
kebutuhan masyarakat muslim.
Faktor lain yang
menyebabkan mudahnya perkawinan antara pedagang muslim dan penduduk pribumi
adalah faktor biologis. Para pedagang muslim menikahi penduduk pribumi karena
kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Dari pernikahan itu kemudian menarik
para penduduk pribumi untuk memeluk islam.
Beberapa contoh
perkawinan ini antara lain seperti putri Kerajaan Pasai menikah dengan Raja
Malaka sehingga Malaka menjadi Kerajaan Islam. Selain itu Putri Campa menikah
dengan raja Majapahit, Maulana Ishak menikahi Putri Sekardadu, anak Raja Blambangan, yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Raden Rahmat atau Sunan
Ampel menikah dengan Nyi Gede Manila,
putri Temenggung Wilatikta. Syekh Ngabdurrahman (pendatang Arab)
menikah dengan putri Adipati Tuban, Raden
Ayu Tejo.
D. MELALUI JALUR POLITIK
Di antara para
muballigh Islam ada yang mengambil peran untuk berdakwah di lingkungan istana.
Sasaran utamanya adalah para raja, keluarga raja, para pembesar kerajaan dan
keluarga istana lainnya. Target yang dituju adalah “apabila sang raja telah
masuk Islam, maka rakyatnya akan dengan setia mengikutnya.”
Dakwah Islamiyah di lingkungan kerajaan seperti yang dilaksanakan oleh Raden Rahmatullah atau
Sunan Ampel. Beliau adalah cucu Raja Campa. Dengan bahasa yang sopan beliau
mengajak Prabu Brawijaya Kerajaan Majapahit untuk masuk agama Islam. Meskipun
Prabu Brawijaya menolak, namun ia memberi kebebasan dan keleluasaan kepada
Sunan Ampel untuk tetap berdakwah. Berkat ketekunan, kegigihan, dan keuletan
beliau dalam berdakwah, akhirnya banyak keluarga istana kerajaan yang secara
diam-diam memeluk agama Islam. Salah satu murid Sunan Ampel atau Raden Rahmatullah
adalah Raden Patah yang pada kemudian hari dijadikan raja di Kerajaan Demak Bintoro.
Setelah Sunan
Ampel wafat, para wali bertakziyah ke Ampel,
Surabaya. Dalam kesempatan itu, mereka bermusyawarah dipimpin oleh Sunan Giri.
Dalam permusyawaratan tersebut disepakati pengangkatan Raden Patah sebagai
Sultan di Demak. Maka sejak saat itu berdirilah kerajaan Islam pertama
di Jawa. Meskipun
demikian strategi dan pola dakwah tetap bertumpu pada “da’wah bil
hikmah wal mau’izhatil hasanah”
(Dakwah dengan bijaksana
dan nasehat yang baik).
E. MELALUI PENDEKATAN KULTURAL
Para ulama membawa agama
Islam tidak dengan memperlihatkan Islam sebagai agama
yang sulit. Para ulama
menggunakan pendekatan
kultural atau pendekatan budaya. Para wali
yang menyampaikan ajaran Islam menggunakan budaya-budaya setempat sebagai
sarana dakwah. Dengan demikian masyarakat bisa menerima Islam.
Salah satu budaya yang digunakan oleh Islam adalah tembang.
sunan Bonang menggunakan bonang (alat musik) dan menciptakan tembang darma yang liriknya berisi
petuah-petuah agama. Sunan
Kudus menciptakan gending Maskumambang dan Mijil, Sunan Drajat dengan
Pangkur-nya dan Sunan Muria dengan Sinom dan Kinanti-nya. Sementara itu Sunan
Kalijaga menggunakan media
wayang sebagai sarana dakwahnya. Cerita wayang tersebut
dirubah dan dimasuki
nilai- nilai agama islam. Sebagai contoh, senjata yang paling ampuh dalam
wayang versi Sunan Kalijaga adalah
Jamus Kalimasada yang dimiliki oleh Yudistira atau Puntadewa. Senjata tersebut tidak
ada dalam cerita Mahabarata. Sebab kata
‘kalimasada’ artinya kalimat syahadat. Itulah
senjata yang paling ampuh di dunia ini karena bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Orang-orang yang menonton wayang
tidak
ditarik biaya, namun hanya diminta mengucapkan
kalimat syahadat.
Budaya lain yang
dijadikan sarana dakwah adalah seni ukir dan arsitektur. Ragam hias yang berkembang di masyarakat dikembangkan dengan menampilkan
motif-motif hias yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bangunan-bangunan masjid disesuaikan dengan corak ragam bangunan yang ada di
masyarakat sekitar, tidak dirancang
seperti masjid-masjid di Arab. Bahkan jika kita perhatikan bentuk bangunan
Menara kudus itu mirip dengan bentuk bangunan candi.
Adat kebiasaan
yang berlaku di masyarakat pun tidak serta merta dihilangkan begitu
saja. Hanya saja,
hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam
diganti dengan unsur-unsur Islami. Misalnya, adat kenduri dalam selamatan tidak lagi menggunakan mantra-mantra dan
hidangannya pun tidak lagi diberikan
kepada roh-roh halus. Mantra-
mantra tersebut diubah dengan doa-doa
Islami (yang sebagian besar dikutip dari
Al-Qur’an dan hadits) dan hidangannya tidak lagi diberikan kepada roh leluhur
tetapi dibagikan kepada sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga sekitar. Dengan demikian Islam bisa
diterima masyarakat setempat tanpa menimbulkan
tindakan-tindakan kekerasan. Bahkan Islam telah membawa beberapa
perubahan di bidang sosial, seni, dan budaya, memperhalus serta mengembangkan
kebudayaan Indonesia.
F. LATIHAN
Jawablah
pertanyaan di bawah ini!
1. Bagaimanakah strategi penyebaran Islam ke Indonesia?
2.
Bagaimanakah
keadaan perekonomian masyarakat ketika Islam datang?
3.
Kebudayaan
lokal apa saja yang digunakan sebagai mediasi penyebaran agama Islam?
4.
Bagaimanakah pendekatan politik yang dilakukan demi penyebaran
Islam di Indonesia?