A. NU DI MASA KELAHIRAN DAN MASA PENJAJAHAN
Nahdlatul Ulama
didirikan pada tanggal
16 Rajab 1344
H/31 Januari 1926 M di Surabaya.
Akan tetapi baru memperoleh ketetapan sebagai organisasi yang resmi dan berbadan hukum dari Gubernur
Jendral Hindia Belanda bernomor
IX/1930. Sejak itu pengurus besar Nahdlatul
Ulama berusaha dengan sungguh-sungguh memasyarakatkan dan menyebarluaskan
keberadaan Nahdlatul Ulama. Untuk keperluan tersebut dibentuk Lajnah Nashihin
sebuah komisi yang bertugas mensosialisasikan dan membentuk cabang-cabang
Nahdlatul Ulama.
Dengan kerja
keras, dalam waktu yang tidak begitu lama hampir di seluruh Pulau Jawa sudah
terbentuk cabang NU. Bahkan ketika Belanda menyerah kalah kepada Jepang NU
sudah memiliki cabang 120 di Jawa dan Kalimantan. Pada tahun
1935 sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah NU membuat kegiatan
ekonomi Mabadi Khairu Ummah. Gerakan ini diarahkan pada semangat tolong
menolong dalam bidang ekonomi dan meningkatkan pendidikan
moral yang bertumpu pada tiga prinsip, ash-shidqu
(kejujuran), al-amanah (dapat
dipercaya), dan at-ta’awun (tolong menolong).
Dalam Anggaran
Dasarnya, NU sebagai organisasi tidak menyebutkan kemerdekaan sebagai salah
satu tujuannya, sama
seperti misalnya Sarekat Islam
yang berdiri pada tahun 1912.
Baru dikemudian hari, anti
kolonialisme disebut di dalam buku-buku pegangan sekolah kaum tradisional dan dalam historiografi NU.
Sebagai
organisasi, NU mengambil sikap tegas terhadap kolonial. NU menolak
mentah-mentah campur tangan kolonial Belanda dalam hal agama. NU menolak ketika
pemerintah mengembalikan hukum warisan dari wewenang Pengadilan Agama dan
mengembalikan kepada hukum adat. NU juga tidak setuju dengan rencana undang-
undang perkawinan yang dibuat oleh pemerintah.
Ketidakpuasan NU
kepada kolonial menyebabkan NU mendekat kepada pembaharu. Pada tahun 1935 KH
Hasyim Asy’ari mengajak seluruh umat untuk bersatu dan menganjurkan perilaku
moderat. Beliau menganjurkan agar ada toleransi antara kaum pembaharu dan
kaum tradisionalis. Kaum pembaharupun
tampaknya ingin berbaikan juga. Pada tahun
1937 organisasi Islam brsatu di bawah konfederasi MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia). NU baru bergabung setelah
merasa yakin bahwa kalangan pembaharu tidak mendominasi dalam penggabungan ini.
Pada tahun 1938 NU menerima
Hindia Belanda sebagai Darul Islam, artinya
negeri yang dapat diterima oleh umat Islam.
Alasannya penduduk Indonesia bisa menjalankan syari’at Islam. Selain itu dahulu raja-rajanya juga beragama Islam.
Namun, dalam muktamar yang sama usulan beberapa
aktifis untuk masuk
Volksard ditolak. NU memutuskan untuk
tetap berada di luar bidang politik.
Pada tahun 1939 parta-partai
politik membentuk federasi yang diberi nama GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Para aktifis muda seperti Mahfuzh
Shidiq dan Wahid Hasyim terbawa
juga ke panggung politik
sebagai wakil NU di MIAI yang mendukung seruan GAPI agar “Indoensia berparlemen”. Selain itu, MIAI melarang pemuda
Indonesia ikut serta dalam pertahanan rakyat yang diorganisir Belanda
atau mendonorkan darahnya bagi tentara kolonial.
B. NU PADA MASA JEPANG
Jepang menancapkan
tonggak-tonggak penjajahannya di Indonesia setelah berhasil mengalahkan
Belanda. Pada awalnya mereka menyebarkan jani-janji palsu. Diantara
janji-janjinya adalah “Nipon cahaya Asia, Nipon pelindung Asia, Nipon cahaya Asia”.
Dengan janji-janjinya tersebut bangsa rakyat Indonesia berharap bahwa Jepang
akan menjadi sang penyelamat bagi negeri ini. Akan tetapi, kenyataannya
tidaklah demikian. Penjajahan Jepang membuat rakyat Indonesia semakin tersiksa.
Pada tahun 1943 dengan
Undang-undang No. 3/1943 tentang pemberlakukan keadaan perang di seluruh
wilayah Indonesia Jepang membubarkan semua organisasi Pergerakan Nasional dan
melarang seluruh aktifitasnya. Meskipun secara formal jaringan keorganisasian
dibekukan namun hubungan silaturrahmi antara ulama tetap bisa dilakukan melalui
berbagai pranata dan institusi sosial
seperti pondok pesantren.
Katika Jepang
mewajibkan bangsa Indonesia menghormati kaisar Jepang dengan membungkukkan
badan ke arah timur dalam waktu- waktu tertentu, NU dengan tegas menolak karena
hal itu merupakan perbuatan syirik. Hal itu menyebabkan KH Hasyim Asy’ari dan
KH Mahfuzh Shidiq dijebloskan ke dalam penjara.
Untuk
mengantisipasi kesewenang-wenangan Jepang ini, NU melakukan pembenahan. Urusan
NU internal diserahkan kepada KH Nahrawi Thahir sedangkan
urusan eksternalnya diserahkan kepada KH Abdul Wahid
Hasyim, dan KH Abdul Wahab
Hasbullah diserahi jabatan Ketua Besar.
Disamping itu, disepakati beberapa
program untuk memenuhi
tiga sasaran utama, yaitu:
1.
Menyelamatakan
akidah Islam dari Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
2.
Menanggulangi
krisis ekonomi sebagai akibat Perang Asia Timur Raya
3.
Bekerja
sama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari
segala bentuk penjajahan.
Jepang pun akhirnya
menyadari kesalahannya. Ia berbelolok haluan. Jepang lebih condong
untuk bekerja sama dengan para pemimpin Islam Baik para
pemimpin tradisionalis ataupun pemimpin nasionalis. Sebab Jepang menganggap
bahwa para kiai yang memimpin pondok pesantren yang merupakan pendidikan masyarakat pedesaaan sehingga
dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imabalan-
nya, pemimpin-pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang
ini dimanfaatkan oleh para kiai NU,
bukan untuk mengambil keuntungan dari Jepang, namun bertujuan untuk
memasyarakatkan tujuan bangsa untuk meraih kemerdekaan.
Pada bulan Oktober
dibentuklah federasi umat Islam yang diberi nama Majlis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) dan jabatan ketua diserahkan kepada KH Hasyim Asy’ari namun karena kesibukan
beliau, tugas itu diserahkan kepada KH Wahid Hasyim.
Pada tahun 1944
dibentuk Shumbu Kantor Urusan Agama
untuk tingkat pusat dan Shumuka untuk
tingkat daerah. Shumbu dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari yang pelaksanaannya
diserahkan kepada KH Wahid Hasyim dan Kahar Muzakir. Jepang memberi pelatihan
kepada para kiai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olahraga, senam,
dan bahasa Jepang. Pada tahun yang sama KH Abdul Wahid Hasyim diijinkan membuat
laskar Hizbullah dan Sabilillah.
Untuk memperkuat
kekuatan militernya Jepang juga membentuk kekuatan sukarela yakni PETA. PETA
diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para kiai. Tujuan bangsa Indonesia masuk PETA bukan untuk membantu Jepang dalam
perang namun untuk belajar militer guna dan mengangankan mendapat politik yang
lebih besar.
Baik PETA,
Hizbullah, maupun Sabilillah yang diharapkan dapat membantu Jepang dalam Perang
Asia Timur Raya ternyata malah berbuat sebaliknya. Latihan perang yang mereka
terima dari Jepang mereka gunakan untuk melawan Jepang.
Di era penjajahan jepang, jepang lebih condong bekerja sama dengan umat islam dengan membentuk shubumu (kantor urusan agama) yang dipimpin oleh KH hasyim asy’ari.
Pada tanggal 7 September
1944 Perdana Menteri Jepang Kuaki Kasio menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesa.
Janji itu diberikan karena di beberapa peperangan Jepang kalah melawan sekutu.
Janji itu direspon positif oleh Pimpinan Konggres Umat Islam sedunia, Syekh
Muhammad Al-Husaini dari Palestina.dengan mengirimkan surat kepada pemerintah
Jepang melalui Duta Besar. Surat itu
juga ditembuskan kepada KH Hasyim Asy’ari (Raisy Am Masyumi). Dengan cepat KH Hasyim Asy’ari
menyelenggarakan rapat khusus
pada tanggal
12 Oktober 1944 yang menghasilkan
resolusi ditujukan kepada pemerintah Jepang. Resolusi tersebut berisi:
1.
Mempersiapkan rakyat
Indonesia agar mampu
dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama Islam.
2.
Mengaktifkan
kekuatan umat Isalm Indonesia untuk memastikan terlaksananya kemenangan finial
dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha
menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agama Islam.
3.
Bertempur
dengan sekuat tenaga bersama Jepang raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh, menyebarkan seluruh
resolusi ini kepada seluruh
tentara Jepang dan segenap bangsa Indonesia.
Meskipun pada
zaman Jepang NU mendapatkan posisi strategis, namun tetap tidak mengubah sikap
kritisnya terhadap pemerintah. NU tetap berjuang demi mencapai izzul Islam wal Muslimin. Dan Izzul
Islam wal Muslimin itu tidak dapat tercapai kecuali dengan kemerdekaan.
Sebelum meraih kemerdekaan umat Islam tidak akan merasa bebas dan leluasa
untuk melaksanakan ajaran
agama. Berbagai fasilitas
dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang digunakan untuk menanamkan kesadaran berpolitik kepada rakyat.
C. NU PADA MASA PERSIAPAN MENUJU KEMERDEKAAN
Jauh sebelum
persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya yang kelimabelas diadakan
rapat tertutup yang dihadiri
sebelas orang ulama yang dipimpin oleh KH Mahfuzh Shidik, untuk membicarakan
calon yang paling pantas untuk menjadi presiden pertama RI. Kesebelas tokoh
tersebut menentukan dua nama, yaitu Sukarno dan Hata. Ternyata Sukarno menang atas Hatta dengan perbandingan 10:1.
Pada tanggal 19 April 1945
dibentuklah Badap Penyelidik Usaha- usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Sukarno dan Hatta sebagai
wakilnya KH Wahid Hasyim juga menjadi anggota
BPUPKI saat itu.
Selain menyusun UUD bakal
Republik, BPUPKI juga membiacarakan tentang bentuk Negara. Apakah
Indonesia akan berbentuk Kesatuan yang memisahkan antara state (Negara) dan agama ataukah akan menjadi Negara Islam. Di
BPUPKI inilah Sukarno meletakkan dasar-dasar
Pancasila.
Sebagian pihak ada
yang bersikukuh agar Indonesia menjadi Negara Islam. Dengan demikian syari’at Islam bisa dilaksanakan di sini. Tetapi sebagian yang lain tidak setuju
karena di Indonesia ini ada bermacam-macam agama. Sukarno
lebih condong kepada opsi bahwa Indonesia menjadi Negara Kesatuan
yang memisahkan antara agama
dan Negara. Jika umat Islam
menginginkan agar hukum Islam masuk ke dalam
hukum Negara boleh saja asalkan melalui prosedur yang tepat. Jadi pemikiran
Sukarno lebih bersifat substansialistik, artinya substansinyalah yang dikedepankan bukan sekedar namanya.
Sukarno setuju dilaksanakannya agama Islam tetapi tidak setuju dengan
diformalkannya ajaran agama Islam.
Pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan agar Negara Indonesia didasarkan pada Pancasila
atau lima dasar, yakni;
1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme,
3) Perusyawaratan, 4) Kesejahteraan, 5) Ketuhanan. Perdebatan muncul
kembali ketika golongan
nasionalis-sekuler- kristen menolak tujuh
kalimat dalam Piagam
Jakarta ‘dengan
kewajiban melaksanakan syari’at agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Perdebatan
itu menurun setelah
tokoh nasionalis-muslim, di antaranya
KH Abul Wahid Hasyim, Kasman
Singodimejo, dan Bagus Hadikusumo
melakukan pertemuan dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk sepakat
mencabut ketujuh kata tersebut
dari Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan Undang-undang
Dasar 45 adalah hasil rumusan dari team IX, di antaranya adalah KH Abdul Wahid Hasyim, putra dari
KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Sikap ketiga
pemimpin nasionalis- muslim
tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH Masykur (NU),
dan Kahar Muzakir
(PII) dengan Sukarno
pada akhir Mei 1945.
D. PERANAN NU PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA
Pada tanggal 17 Agustus 1945
Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Meskipun demikian, bukan
berarti Indonesia sudah aman dari
ancaman penjajahan. Sebab,
setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, Sekutu
datang ke Indonesia untuk melucuti
senjata Jepang. Kedatangan Sekutu tersebut diboncengi oleh tentara Belanda (NICA).
NICA adalah kependekan dari Netherlands
Indies Civil Administration. Kedatangan Belanda tersebut bisa
diindikasikan bahwa Belanda
ingin kembali menjajah Indonesia.
Para Kiai dan para
pengikutnya yang sangat besar aktif dalam peperangan mempertahankan
kemerdekaan. Mereka berada dalam barisan Hisbullah dan Sabilillah. Komandan
Hisbullah adalah Zainul Arifin, tokoh NU dari Sumatera
sedangkan komandan Sabilillah adalah KH Masykur, tokoh
NU yang kelak akan menjadi Menteri Agama.
Karena pemerintah
telihat menahan diri ketika bendera Belanda dikibarkan di Indonesia, maka
kondisi ini membakar api kemarahan para pemimpin Indonesia, tidak terkecuali dari NU. Oleh karena itu, NU
mengeluarkan resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini meminta pemerintah untuk
mendeklarasikan perang suci.
Isi resolusi itu adalah memutuskan:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah
Republik Indonesia supaya menentukan satu sikap dan tindakan yang nyata serta
sepadan terhadap usaha-usaha yang membahayakan Kemerdekaan, dan Agama, dan Negara
Indonesia terutama terhadap
Belanda dan kaki tangannya.
2. Supaya memerintahkan melanutkan perjuangan
bersifat sabilillah untuk tegaknya Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Resolusi ini
berdampak besar bagi umat Islam, khususnya santri NU. Pada tanggal 10 November banyak santri NU yang terlibat dalam
perang tersebut. Bung Tomo yang menggerakkan masa melalui pidato radio, mungkin tidak pernah menjadi
santri, tetapi diketahui meminta nasehat kepada KH Hasyim Asy’ari. Tanggal 10 November pun
akhirnya menjadi Hari Pahlawan yang masih diperingati sampai sekarang.
Dengan resolusi
Jihad ini NU membuktikan jati dirinya
yang cinta tanah air. NU terus mengkritik pemerintah yang
bersedia menandatangani “Perjanian Linggarjati” dan “Renville”. Perubahan sikap yang kadang moderat dan kadang radikal ini dipicu oleh
kaidah fikih yang menjadi dasar berfikir.
Jadi meskipun pada masa Belanda
dan asa Jepang NU taat kepada
pemerintah, maksudnya pemerintah Belanda dan Jepang pada masa itu, namun
setelah proklamasi kemerdekaan NU sudah menganggap Belanda sebagai kafir yang
harus diusir.
Pada bulan Maret
1946 NU juga mengeluarkan resolusi yang memutuskan:
1.
Berperang
menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang brsenjata dan
tidak) bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan
musuh.
2.
Bagi orang
yang berada di luar jarak
lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah (yang cukup kalau dikerjakan
sebagian saja).
3.
Apabila
kekuatan dalam no 1 belum dapat mengalahkan musuh, maka orang-orang yang berada
di luar jarak lingkaran 94 km wajib juga membantu No 1 sehingga musuh kalah.
4.
Kaki
tangan musuh adalah pemecah yang harus dibinasakan menurut hukum Islam sabda hadits.
E. NU DAN PERANANNYA DALAM BIDANG POLITIK DAN PEME- RINTAHAN
Sebagai organisasi
sosial kemasyarakatan, baik secara langsung maupun tidak langsung juga terlibat
dalam pemerintahan. Pada
bulan Oktober 1943 MIAI membubarkan
diri dan sebagai gantinya dibentuklah Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia)
yang pada bulan 1943 mendapatkan status hukum dari pemerintah Jepang. Pada awalnya
NU mendukung penuh berdirinya Masyumi ini dan
ini dibuktikan dengan himbauan NU kepada warganya untuk masuk menjadi
anggota Masyumi.
Hubungan harmonis
NU dan Masyumi tidak berjalan lama. Hubungan ini menjadi retak sejak kelompok
modernis yang dipipin oleh M. Natsir berhasil memenangkan kepemimpinan dan
mengubah peraturan-peraturan untuk membatasi peran majlis syuro yang dipimpin
oleh KH Wahab Hasbullah dan para ulama NU yang lain. NU dilecehkan oleh kaum
modernis sehingga menyebabkan NU walk
out. Kecenderungan yang berkembang bahwa NU anti tradisional. Sehingga pada
tahun 1950 komisi organisasi mengusulkan agar NU keluar dari Masyumi. Pertikaian ini semakin memuncak
ketika Masyumi menolak
usulan NU untuk menjadikan orang NU duduk di menjabat menteri Agama di dalam
kabinet Wiloppo. Sebab terlepasnya jabatan ini berarti terlepas pula posisi
strategis NU dalam pemerintahan. pada
tahun 1952 terjadi perdebatan sengit tentang status NU di Masyumi. KH Abdul
Wahab mengusulkan agar NU keluar
dari Masyumi dan usul
ini diterima jika memang sudah tidak ada jalan negoisasi. Dan pada tanggal 1 Agustus 1952 NU resmi keluar dari Masyumi dan mendirikan
partai sendiri.
Tahun 1952-1955
adalah masa-masa NU memperkenalkan diri kepada masyarakat luas tentang jati
dirinya. Dengan cepat NU mendapat suara banyak. Sebab selain NU berbasis masa
banyak, karena diperkirakan 70% suara Masyumi berasal dari NU, juga karena saat
itu Masyumi dengan Sukarno ada ketidakharmonisan. Hal itu menyebabkan NU bisa
lebih dekat dan lebih diterima oleh Sukarno karena dianggap sebagai partai
moderat.
Ketidakharmonisan
NU-Masyumi terulang lagi ketika Kabinet Sastro Amijoyo terbentuk. Hal itu
karena NU memiliki wakil yang duduk sebagai menteri Agama. Hal ini dikecam
habis oleh Masyumi
sebab NU dianggap berjalan sendiri
karena sebelumnya sudah akan berkoalisi dengan Masyumi.
Hanya saja negosiasi
antara Masyumi-NU mengenai kabinet
baru telah gagal. Meskpun demikian,
NU bersikeras terlibat dengan
didasarkan pada kaidah
amar ma’ruf nahi munkar dan
mashlahah. Alasannya adalah, pertama, mencegah bahaya terhadap bangsa dan
sistem politiknya serta untuk menebus kebuntuan berkepanjangan tentang kabinet
pemerintahan, dan kedua, untuk melindungi kepentingan NU dan para pemilih muslimnya.
Pada tahun 1955, NU muncul sebagai
partai terbesar ketiga
dengan peroleh suara 18.4 % atau perolehan 45 kursi meningkat dari 8
kursi. Pada tahun 1957 Indoensia sistem demokrasi terpimpin dari demokrasi parlementer. Ada tiga hal yang dicermati
dalam transisi dari demokrasi
parlementer menuju demokrasi terpimpin ini. Pertama, beralihnya kekuasaan dari
parlemen dan partai yang dipilih secara demokratis ke tangan eksekutif, terutama presiden. Kedua,
marginalisasi Masyumi akibat
keterlibatannya dalam pemberontakan daerah yang gagal dan menentang kukuh terhadap reformasi politik
Sukarno. Ketiga, meluasnya peran dan pengaruh PKI dan kelompok sayap kiri lainnya.
Dalam mensikapi
perubahan politik tersebut
NU terpecah menjadi dua golongan. Golongan pertama
secara keras menolak semua kebijaksaan itu sedangkan golongan keduanya menerima.
Alasan golongan yang menentang karena demokrasi yang dijalankan tidak sesuai
dengan Islam serta dianggap telah bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi
dan di sisi lain menerima PKI. Sementara golongan yang menerima beralasan bahwa
melakukan oposisi adalah pekerjaan sia-sia saja, bahkan akan mengundang bahaya
besar karena kedudukan Sukarno sangat kuat. Dengan masuk ke dalam pemerintahan diharapkan bisa
memiliki pengaruh atas Sukarno dan dapat menandingi aktifitas PKI.
Ada dua hal
membuat NU terdesak, apakah harus bersifat radikal ataukah moderat terkait
dengan keikutsertaannya dengan lembaga yang
dibentuk pada masa transisi ini. Pertama, pada tahun 1957
adanya Kabinet Ekstra Parlementer sedangkan yang kedua, pada tahun 1960
Sukarno membentuk Kabinet Gotong
Royong. KH Wahab yang saat itu menjadi Rais ‘Am memilih untuk masuk ke dalam
kabinet bentukan pemerintah
dengan istilah “masuk dulu keluar gampang” dengan satu komitmen tidak akan
bekerja sama dengan PKI. Demikianlah, NU masuk
ke dalam kabinet bukan untuk bekerja
sama dengan PKI namun
beusaha untuk menjadi rivalnya, apalagi setelah PKI mengeluarkan jargon anti
agama. Itulah sebabnya ketika terjadi pembubaran dan pembunuhan PKI secara
besar-besaran, para pemimpin NU bersama dengan jama’ahnya berada di garda depan.
F. NU PADA MASA PEMERINTAHAN SUHARTO
Ketika rezim Sukarno jatuh
dan digantikan oleh Rezim Suharto
dan saat itu NU masih memiliki posisi yang bagus. Terbukti pada tahun 1971 NU masih bisa
mendapatkan suara 18.7%.
Pada tahun 1973 Suharto menerbitkan
kebijaksanaan fusi partai untuk menata kehidupan politik. Empat partai melebur
menjadi satu ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai nasionalis dan partai non Islam masuk ke dalam PDI. Kebijaksanaan ini langsung
diterima oleh Idam Khalid (Ketua Umum PBNU saat itu). Hal ini menimbulkan
ketidakpuasan di antara warga NU sendiri. Namun semuanya sepakat bahwa mereka
harus melakukan sesuatu yang terbaik.
Selama sepuluh
tahun NU tidak bisa berbuat banyak di PPP sebab
NU sebagai penyumbang suara terbesar justru malah dipinggirkan. Pada awalnya peleburan
ini tidak menjadi
masalah serius dalam partai
karena jabatan-jabatan politik strategis masih di tangan NU. Dalam perjalanan
politiknya, Golkar melakukan tekanan-tekanan kepada rakyat agar memilih partai
gambar pohon beringin tersebut. Hal ini memicu KH Bisri untuk mengeluarkan
fatwa wajib memilih PPP.
Dalam
perjalanannya NU semakin termarjinalkan di PPP.
Terutama setelah Jaelani Naro
menobatkan dirinya menjadi Ketua Umum. Dia membuat draft sepihak tentang
calon DPR dari PPP dan menempatkan
para tokoh NU yang vocal di nomor akhir pada akhirnya tidak bisa menjadi anggota
legislatif. Meskipun ada protes keras
dari anggota
namun pemerintah menerima usulan
Naro sebagai satu-satunya daftar yang bisa diterima.
Pada awal tahun
1980-an Suharto menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi (menjadi
asas tunggal) dan menolak ideologi- ideologi lain seperti agama, komunis, dan
lainnya. Semua orang yang tidak setuju dianggap melakukan tindakan subversif
sehingga terjadi banyak pelanggaran seperti penembakan ratusan demonstran di
Tanjung Priok.
Pada tahun 1980 KH Bisri Samsuri
wafat dan digantikan oleh KH Ali Maksum dari Krapyak Yogyakarta. Pada tahun 1983 diadakan Munas di
Situbondo dan menghasilkan keputusan penting dalam sejarah NU, yaitu NU keluar
dari PPP, yang artinya NU sudah
terlepas dari politik praktis dan kembali kepada khithahnya, yaitu organisasi
sosial keagamaan. Nahdlatul Ulama
sudah bukan menjadi
wadah bagi politik praktis. Dan seluruh warga NU
dipersilakan memilih parpol secara bebas.
Pada tanggal 8-12 Desember
tahun 1984 diadakan Muktamar NU di
Situbondo. Ada empat keputusan penting dalam Muktamar tersebut, yaitu:
1.
Penerimaan Pancasila
sebagai asas tunggal
dan landasan dasar NU.
2.
Pemulihan
keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi Syuriyah dan Tanfidziyah dalam status hukum.
3.
Penarikan
diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan
memegang kepengurusan di dalam partai politik.
4.
Pemilihan
pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada
bidang-bidang non-politik.
G. PERJUANGAN NU DALAM BIDANG PEMIKIRAN KEAGAMAAN
Sejak lahir NU
menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang menganut, mengemban, dan
mengembangkan agama Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah.
Prinsip ini tidak pernah luntur meskipun kadang ada perubahan Anggaran
Dasar dalam setiap Muktamar. Pada
Muktamar XXX yang diselenggaraan pada tanggal 21-26 November 1999 di
Lirboyo, Kediri dinyatakan bahwa: Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah atau berasas Islam menurut
faham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan
menganut salah satu dari madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Islam, bagi NU,
bukan diturunkan untuk menghapus segala yang sudah ada dan mentradisi dalam satu masyarakat. Islam datang hanya menghapuskan kebathilan,
kemungkaran, kemusyrikan, kebiadaban, dan segala prilaku yang menyimpang dari syari’at Allah. Sedangkan tradisi atau
budaya tidak pernah dihapuskan oleh Islam selagi tradisi atau budaya itu tidak
melanggar ajaran agama. Islam memang lahir dari Jazirah Arab namun Islam
berarti Arab dan Arab bukan berarti Islam. Nilai-nilai kultural yang ada dalam
masyarakat tetap bisa dipertahankan selagi tidak melanggar norma-norma agama.
Sebagai satu contoh, dalam ajaran agama Islam diwajibkan untuk berpakaian
untuk menutup aurat. Adapun bentuk
pakaiannya apakah memakai jubah dan serban, ataukah memakai kain sarung dan
baju koko, atau memakai sorjan, semuanya itu sah-sah saja asalkan menutup
aurat. Jadi yang dipentingkan bukan semata-mata bentuknya namun lebih kepada
nilai yang dikandungnya.
Sikap toleransi
dan akomodatif NU ini akan berbubah menjadi sangat radikal ketika ternyata ada
persoalah yang dihadapi tidak selaras dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Misalnya, ketika Jepang menginstruksikan seluruh bangsa Indonesia menghormat
pada kaisar tiap pagi dan sore atau menghormat kepada dewa matahari, maka para
Kiai NU menjadi garda depan untuk menentangnya. Begitu pula ketika Belanda
hendak turut campur dalam masalah hukum agama seperti hukum waris dan hukum
perkawinan, NU menolak dengan keras.
Dalam hal politik
dan pemerintahan NU juga bersikap moderat. Pada masa
pemerintahan Hindia Belanda
NU menyatakan bahwa
Hindia Belanda adalah Darul Islam yang
artinya negeri yang dapat diterima oleh umat Islam. Sebab umat Islam bebas
menjalankan syari’at Islam pada masa
itu. Begitu pula pada zaman pemerintahan Sukarno, KH Masyur selaku Menteri
Agama memprakarsai Muktamar Alim Ulama Seindonesia di Cipanas, Jawa Barat yang
menghasilkan keputusan untuk memberi gelar Presiden Sukarno dengan gelar Waliyul Amri Dlaruri Bisysyauati. Dengan
gelar tersebut Presiden Sukarno adalah pemerintah yang sah dan harus ditaati.
Juga pada masa Suharto, pada saat situasi politik memanas, melalui
Muktamar di Sirtubondo NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam organisasi.
Semua keputusan NU
di atas bukan sekedar untuk kepentingan sesaat, apalagi hanya untuk menjilat
kepada pemerintah. Namun, untuk satu tujuan yang lebih luhur, yaitu demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi NU Pancasila sebagai dasar Negara adalah kesepakatan seluruh Bangsa
dan tidak bertentangan dengan Ahlussunnah walJama’ah.
Beberapa
prestasi yang dihasilkan oleh NU adalah sebagai berikut:
1.
Penyelenggaraan
ibadah haji yang melibatkan partisispasi masyarakat melalui Yayasan Haji Indonesia
2. Pendirian Masjid Istiqlal
3. Pendirian Institut Agama Islam
Negeri
4. Penerjemahan Kitab Suci Al-Qur’an ke dalam Bahasa Indonesia
5. Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an.
H. PERJUANGAN NU DI BIDANG EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
Kelahiran NU yang
diawali oleh Nahdlatut Tujar adalah lambang gerakan ekonomi, Taswirul Afkar
adalah lambing gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathan adalah gerakan dalam bidang politik dalam bentuk pendidikan. Dengan
demikian, bangunan NU didukung
oleh tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan sesuai paham Islam
Ahlussunnah wal Jama’ah. Tiga pilar
itu adalah 1) wawasan ekonomi kerakyatan, 2) wawasan keilmuan, 3) dan wawasan
kebangsaan. Ketiga pilar ini yang menentukan arah dan
bentuk perjuangan NU dari masa ke
masa untuk mewujudkan misi utama, yakni, menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Gerakan
perekonomian yang dibuat oleh NU bertumpu pada semangat tolong menolong (mu’awanah) dengan prinsip kejujuran (shidqu), dan dapat dipercaya (amanah). Dari gerakan inilah pada tahun
1937 berhasil didirikan badan koperasi yang disebut syirkah mu’awanah di beberapa cabang NU. NU menitikberatkan kepada
pemberdayaan potensi perekonomian rakyat, terutama pada sektor pertanian,
perikanan, kerajinan, dan industri kecil. Adapun organisasi- organisasi
perekonomian yang didirikan oleh NU adalah Pertanu (Persatuan Tani NU) di bidang pertanian dan Sernemi (Serikat
Nelayan Muslim Indonesia) yang membantu para nelayan Muslim. Organisasi
tersebut bisa menghambat organisasi yang dibentuk oleh PKI seperti BTI (Barisan Tani).
Hingga saat ini
pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang telah dibentuk adalah Lembaga Perekonomian
NU (LPNU) yang bertugas melaksanakan kebijaksanaan NU di bidang pengembangan
ekonomi dan Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU) yang bertugas
melaksanakan kebijaksanaan NU di bidang pertanian dalam arti luas, termasuk
eksplorasi kelautan. Di samping didirikan koperasi seperti KOPTANU (Koperasi Petani NU), koperasi
An-Nisa’ yang dikelola oleh Muslimat dan Fatayat
NU, dan Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren) yang dikelola oleh
pondok-pondok pesantren yang bergabung dalam
Rabithatul Ma’hadi Islamiyah (RMI). Bahkan di beberapa wilayah, telah dibentuk
Bank Perkreditan (BPR) Nusuma yang bergerak dalam pemberian dana pinjaman untuk
modal usaha dan pengembangan perekonomian rakyat.
Selain bergerak di
bidang perekonomian, NU juga bergerak di bidang sosial. Tujuannya adalah untuk menolong dan membantu orang-orang yang
tidak mampu seperti fakir miskin, korban bencana alam, anak yatim, anak
terlantar dan sebagainya. Untuk keperluan itulah kemudian didirikan panti
asuhan, balai pengobatan, rumah sakit, dan
lain-lain yang didirikan hampir di seluruh cabang NU.
Berbagai lembaga
yang telah dibentuk di seluruh tingkat kepengurusan NU untuk mengurus masalah
sosial adalah sebagai berikut:
1.
Lembaga
Sosial Mabarrat NU (LS Mabarrat NU) yang bertugas melaksanakan kebijaksanaan NU
dalam bidang sosial dan kesehatan.
2.
Lembaga
Kemashlahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) yang bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang
kemashla- hatan keluarga, kependudukan, dan lingkungan hidup.
3.
Lembaga
Pengembangan Tenaga Kerja (LPTK)
yang bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan ketenagakerjaan.
Dalam bidang budaya, NU berusaha melestarikan nilai-nilai budaya
bangsa
sesuai dengan kaidah ushul fiqih:
Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradusu baru
yang lebih baik.
Dengan kaidah di
atas NU mencoba mempertahankan dan melestarikan warisan budaya nenek moyang
yang baik dan tetap akomodatif menerima hasil –hasil kebudayaan baru atau modern yang
lebih baik.
Salah satu warisan
leluhur yang dikembangkan oleh NU adalah seni bela diri pencak silat. Lembaga
yang mendapat tugas untuk melestarikan seni bela diri ini adalah Lembaga
Pencak Silat Pagar Nusa
yang dibentuk di seluruh tingkat
kepengurusan NU sejak
dari Pengurus Besar, Wilayah, Cabang, hingga ranting.
Selain itu Pagar Nusa juga dikembangkan di instansi-instansi milik NU seperti
madrasah, sekolah maupun
Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah yayasan NU.
NU juga
mengembangkan tradisi shalawatan seperti hadhrah, pembacaan shalawat Barzanji,
Simthud Durar, pembacaan Manaqib dan lain sebagainya. Bahkan dalam
perkebangannya, pembacaan shalawat ini diiringi oleh alat kesenian tradisional
dan modern.
Seni dan kebudayaan
yang berkaitan dengan kitab suci Al-Qur’an juga dikembangkan oleh NU. Oleh
karena itu, NU membuat sarana- saran penyaluran hobi dan bakat yang bernilai
seni Islami seperti kaligrafi dan pembacaan (tilawah) AlQur’an yang dibacakan
dengan lagu yang indah dan berfariasi. Sebagai wujud kepedulian terhadap
kelestaria Al-Quran NU membentuk satu lembaga yang diberi nama Jam’iyatul Qira’ wal Hufazh.
Untuk melestarikan
karya-karya seni yang bernafaskan Islami ini NU membentuk LESBUMI (Lembaga
Seni Budaya Muslimin
Indonesia). Adapun seni-seni yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam, seperti ledhek dan tayub NU tidak mengakomodasinya.
I.
PERJUANGAN NU DI BIDANG PENDIDIKAN
Telah dikemukakan sebelumnya,
tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama adalah memegang
teguh salah satu dari empat
madzhab, yaitu madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Untuk mencapai tujuan tujuan tersebut,
maka diperlukan usaha-usaha yang diantaranya;
1.
Menjalin
hubungan yang baik dengan para ulama yang bermadzhab, baik dalam satu
madzhab maupun lintas
madzhab.
2.
Memeriksa kitab-kitab yang hendak digunakan untuk mengajar, apakah memang berasal dari kitab
Ahlussunnah atau berasal dari kitab Ahlilbid’ah.
3.
Menyiarkan
agama Islam sesuai madzhab yang dipegang dengan cara yang baik
4.
Berusaha
memperbanyak madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi Islam serta pondok pesantren.
Sebagai organisasi
yang mengemban misi Ahlussunnah wal Jama’ah, perjuangan NU dalam bidang
pendidikan lebih ditekankan pada transfer
of value (mentranser nilai) bukan sekedar transfer of
knowledge (mentransfer pengetahuan. Artinya, siswa didik bukan
hanya dididik agar menjadi
orang yang intelek
saja tetapi juga harus berbudi luhur.
Ilmu yang diberikan tidak sekedar difahami dan dihafalkan tetapi harus
diaplikasikan dalam wujud tindakan nyata. Sebab, ilmu yang tidak diamalkan
bagaikan pohon rindang yang tak berbuah.
Perubahan-perubahan
yang ada dalam masyarakat senantiasa disikapi terbuka oleh NU, tentu saja
dengan catatan tidak melanggar norma-norma agama. NU tidak anti modernitas dan
tidak anti iptek. NU juga tidak anti tradisi. Semua perkembangan zaman akan
disikapi dengan terbuka selama tidak melanggar ketentuan agama.
Konsep pendidikan
NU telah teraplikasikan sejak dahulu. Pada awalnya pendidikan NU didominasi
oleh pesantren. Materi pokoknya berkisar seputar akidah, akhlak, fiqih,
tasawuf, nahwu sharaf, dan sejenisnya. Aplikasi keilmuan di pesantren pun
langsung diawasi. Kebersamaan antara kiai dengan santri selama duapuluh empat
jam membuat hubungan antara keduanya sangat erat. Kiai sangat sayang kepada
santrinya dan santri sangat hormat kepada kiainya.
Pelaku tindak
pelanggaran baik itu pelanggaran norma agama dan susila maupun pelanggaran
terhadap peraturan pesantren akan ditindak tegas. Hukum selalu ditegakkan.
Tujuannya bukan sekedar menghukum santri yang bersalah namun lebih jauh dari
itu untuk membina dan membentuk karakter santri agar berakhlakul karimah.
Selain mendirikan
pesantren, untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, NU juga mendirikan
madrasah-madrasah. Kurikulum di madrasah sama dengan kurikulum di sekolah umum.
Hanya pendidikan agamanya saja yang ditambah jam pelajarannya. Kini hampir
setiap pondok pesantren yang besar memiliki madrasah. Selain madrasah,
NU juga mendirikan SD, SMP, SMA, SMK, dan bahkan
Perguruan Tinggi dengan berbagai fakultas dan program studi.
Apapun Lembaga
Pendidikan yang dimiliki NU, pasti memiliki ciri khas yang sama, yaitu
menanamkan nilai-nilai Keislaman ala Ahlussunnah wal Jama’ah sedangkan lembaga lain belum tentu. Begitulah usaha NU untuk membela akidah
Ahlussunnah wal Jama;’ah.
Pada tanggal 11 Juni sampai 16 Juni diadakan
Muktamar di Menes, Banten didirikan Lembaga Al-Ma’arif. Lembaga Al-Ma’arif adalah
lembaga pendidikan yang dimiliki oleh NU. Tujuan
didirikannya Al- Ma’arif adalah untuk
melaksanakan kebijakan NU di bidang
pendidikan. LP Ma’arif memiliki fungsi ganda. Di satu sisi ia
menyelenggarakan pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan yang lainnya dan di
sisi lain ia memiliki watak sebagai lembaga yang mengembangkan pendidikan
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sementara untuk
mengorganisasikan kebijakan NU di bidang pengembangan pesantren pada Muktamar
NU XXII pada bulan Desember 1954 dibentuk Rabithah
Ma’ahidil Islamiyah (RMI) yang artinya “Ikatan Pondok-pondok pesantren” Tujuan
didirikannya adalah agar kemampuan
pondok pesantren dalam menegakkan syari’at Islam Ahlussunnah wal jama’ah dan menganut satu dari empat
madzhab dan demi meningkatnya kemampuan pondok pesantren dalam melaksanakan
fungsinya sebagai pusat pengembangan pendidikan Islam, keilmuan, dakwah, dan kemasyarakatan.
J.
NU DI MASA REFORMASI
Pada tanggal 21 Mei 1998
Suharto menyerahkan kembali jabatan presiden yang diembannya kepada MPR.
Penyerahan ini disebabkan adanya tuntutan rakyat yang tidak bisa dibendung
sejak krisisi ekonomi melanda negeri ini. Sesuai dengan UUD 45, jika Presiden
mengundurkan diri maka akan digantikan oleh wakil presiden. BJ Habibi yang sebelumnya menjadi
wakil presiden pun akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Dengan demikian berakhirlah Orde Baru dibawah
kepemimpinan Rezim Suharto dan berganti menjadi Era Reformasi.
Era Reformasi
benar-benar membawa perubahan di negeri ini. Semua kekangan dan pasungan yang
dirasakan oleh rakyat seolah menjadi terlepas seketika. Rakyat menuntut adanya
perubahan atau perbaikan di segala sektor yang meliputi politik, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan. Demokrasi harus dilaksanakan dengan
seutuhnya. Pemerintahan harus benar-benar dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Perubahan peta
politik di Indonesia benarbenar signifikan. Parta partai yang pada masa
Suharto difusikan menjadi tiga, pecah hingga terdapat 48 partai yang ikut
pemilu. Sebagai pihak yang selama Orba termarjinalkan, NU bangkit untuk
mengambil bagian dari hak-hak politiknya. Akhirnya warga NU pun mendirikan
partai. Ada beberapa partai yang sempat berdiri. Ada Partai Suni, ada Partai
Kebangkitan Umat (PKU), ada Partai Nahdlatul Umat (PNU) dan ada Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari berbagai
partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh
NU di atas, PKB adalah partai yang terbesar dan
terbanyak pemilihnya. Ini disebabkan karena PKB bukan saja partai yang
dididirikan oleh warga NU namun juga karena PKB didirikan melalui rapat tim
lima dan tim sembilan yang dibentuk oleh PBNU. Akhirnya pada tanggal 23 Juli
1998 atau 29 Rabiul Awal 1419 PKB dideklarasikan oleh lima orang tokoh NU, yaitu KH Moh Ilyas,
Rukhiyat, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Munasir,
KH Mushtofa Bosri (Gus Mus), dan KH Abdul Muhith Muzadi.
Meskipun PKB
adalah partai yang dididrikan oleh warga NU dan sebagai wadah penyalur aspirasi
warga NU, namun PKB bersifat terbuka. Artinya, siapapun boleh ikut PKB. Adapun
hubungan PKB dengan NU, ada tiga pola hubungan, yaitu:
1.
Hubungan
histories (kesejarahan), artinya setiap pendukung dan warga PKB harus menyadari
sepenuhnya bahwa partai ini dirintis, didirikan, dan direstui oleh NU.
2.
Hubungan
kultural (budaya), artinya pola pikir, dasar
berpijak bagi sikap dan perilaku pendukung ini harus senantiasa didasarkan pada
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di kalangan NU.
3.
Hubungan
aspiratif yang berarti cita-cita, keinginan, program perjuangan dan semua
langkah kebijakan partai ini harus seirama dengan aspirasi, cita-cita, dan
keinginan NU.
Dengan kerja keras
dan dukungan dari warga NU PKB bisa mendapatkan posisi termasuk empat besar,
setelah PDI, Golkar, dan PPP. Yang lebih mengejutkan adalah PKB yang hanya
memperoleh 51 kursi dari 500 kursi yang ada ternyata mampu mengantarkan salah
satu pendirinya menjadi presiden RI dengan jalan pemilihan secara demokratis
dan terbuka karena prosesnya disiarkan melalui televisi yang dipancarkan ke
seluruh penjuru negeri.
Dalam pembentukan kabinet Gus Dur melibatkan partai-partai lain. Penyusunan kabinetnya pun melibatkan Amin Rais (Ketua
MPR yang juga ketua PAN), Megawati
(Wakil Presiden yang juga ketua PDI P), dan Akbar Tanjung (Ketua DPR yang juga ketua Golkar), dan Wiranto (Panglima TNI).
Kabinet yang dihasilkannya pun berasal dari
bermacam partai agar setiap elemen berpartisipasi dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bangsa.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid ingin memberantas KKN. Akan tetapi,
ternyata usaha ini tidaklah mudah. Skandal Bank Bali yang melibatkan beberapa
menteri diusut. Kasus KKN keluarga
Suharto dan sekutunya juga
akan diusut. Begitu pula dengan berbagai kasus lain seperti pelanggaran HAM dan sebagainya. Hal ini menyebabkan lawan- lawan politiknya, terutama mereka yang tersangka sebagai
pelaku, merasa tidak senang. Apalagi bongkar pasang kabinet yang semakin
membuat orang atau partai yang merasa dirugikan bertambah benci. Akhirnya
mereka mencari berbagai alasan untuk menumbangkan kekuasaan Abdurrahman Wahid.
Anggota dewan mempertanyakan likudasi terhadap dua departeman yang dilakukan
pemerintah. Lalu mereka juga menanyakan tentang Bulong Gate dan Beunai Gate.
Politik Indonesia benar-benar dalam keadaan kritis karena tidak ada lagi kata
sepakat antara legislatif dan eksekutif.
Menghadapi krisis
sosial dan politik yang demikian PBNU mengeluarkan tausiyah hasil rapat pleno
yang dilaksanakan pada tanggal 13-15 April 2001 di Cilegon. di Cilegon yang
berisi:
1.
Hentikan
efouria kebebasan pendapat di kalangan elite
politik, fokuskan perhatian pada penataan kehidupan berbangsa- bernegara agar lebih bermanfaat.
2.
Kalangan yudikatif, legislatif, dan eksekutif segera
menghentikan pertikaian dan harus rela berkorban demi kemashlahatan
bangsa.
3.
PBNU tidak mentolerir tindak
kekerasan karena selain
di larang agama juga akan
menghasilkan kenestapaan bagi bangsa.
4.
Dalam perbedaan pendapat setajam apapun,
harus dicari solusi dengan semangat kebersamaan.
Menghimbau media masa membantu rakyat dengan mengurangi pemberitaan pertikaian antar elit.
5.
Perbaiki kinerja
pemerintahan lebih fokus
perbaikan koordinasi, namun
upaya itu akan sia-sia jika tidak ada saling bahu membahu antar lembaga.
6. Mendukung pemberantasan dengan pembuktian terbalik.
Tausiyah tersebut diberikan demi menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.
K. LATIHAN
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan berikut!
1.
Apa
saja yang telah dilakukan NU setelah organisasi tersebut terbentuk?
2.
Sebutkan
beberapa pembinaan yang dilakukan NU pada masa Belanda!
3. Gerakan apa yang
dilakukan oleh NU dan apa program prioritasnya?
4.
Ide apa yang telah
disumbangkan oleh para
ulama dalam penentuan dasar Negara?
5.
Bagaimana pola pemikiran NU dal;am menentukan bentuk Negara
Kesatuan?
6.
Bagaimana
konsepsi NU tentang pergantian isi piagam Jakarta? Apa tujuh kata yang
dihapuskan dalam piagam Jakarta tersebut?
7.
Apa
yang telah disumbangkan oleh NU dalam proses berdirinya NKRI?
8. Sebutkanlah isi resolusi jihad!
9. Jelaskan peranan NU dalam bidang politik dan pemerintahan!
10. Jelaskan bagaimana bentuk-bentuk perjuangan NU
dalam bidang pemikiran keagamaan, ekonomi, sosial, dan budaya!
11. Jelaskan peran dan sumbangan NU dalam bidang
memperjuangkan pendidikan di Indonesia
!
12. Apa peran NU pada masa reformasi?
13. Apa tujuan dibentuknya partai politik NU?
Sebutkanlah isi tausiah PBNU yang dikeluarkan di Cilegon!