NU dibentuk sebagai wadah jamaah

A. LATAR BELAKANG DIDIRIKANNYA NU31
Sesungguhnya pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab Saudi di tahun 1920-an yang berpaham Wahabi yang telah berlebih dalam menerapkan program pemurnian ajaran Islam. Kala itu pemerintah Arab Saudi menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa pahlawan Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang kegiatan mauludan, bacaan berzanji, diba’an dan sebagainya. Sama dengan alasan di atas, seluruh kegiatan tersebut dilarang karena mengarah kepada kultus individu.
Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah saat itu juga selalu menghalangi jalan bagi madzhab-madzhab selain madzhab Wahabi, terutama madzhab empat. Sedangkan alasan selanjutnya adalah keinginan untuk menempatkan diri sebagai penerus khalifah tunggal dunia Islam. Karenanya mereka antara lain mengundang  negara  atau jama’ah Islam dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk menghadiri muktamar khilafah di Arab Saudi, walaupun akhirnya gagal dilaksanakan.
Para ulama Indonesia (terutama para pengasuh pondok pesantren, ulama Ahlussunnah wal Jama’ah) menolak keras tindakan penguasa baru Arab Saudi tersebut. Ulama pesantren bermaksud ikut dalam delegasi ulama Islam Indonesia yang akan hadir pada muktamar khilafah guna mencari kesempatan untuk menyampaikan keberatan mereka yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia kepada penguasa baru Arab Saudi. Namun maksud tersebut terhalang karena ditolak oleh beberapa kelompok Islam yang lain dengan alasan ulama

pesantren tidak memiliki organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain sebagainya.
Penolakan yang dilatarbelakangi dengan belum adanya organisasi ulama ini, telah mengobarkan semangat para ulama pesantren untuk menunjukkan kemandirian dan kekuatannya. Sebuah tekad mengirim sendiri delegasi ulama pesantren dengan nama Komite Hijaz akhirnya dilakukan guna menghadap penguasa baru Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama Indonesia.
Ternyata Komite Hijaz tersebut berhasil mengumpulkan dana dan daya untuk mengirim sendiri delegasi ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi umat Islam Indonesia. Ketika  delegasi  Komite  Hijaz akan berangkat, disepakati Komite Hijaz dijadikan organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatoel Oelama (NO), yang berarti kebangkitan para ulama. Hal itu untuk menunjukkan bahwa para ulama yang selama ini dianggap kolot, tradisional, terbelakang dan sebagainya, telah bangkit tidak hanya berkumpul, berhimpun, tetapi bangkit, bangun, berdiri, dan melangkah.
NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jam’iyyah ini dibentuk utuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti NU hanya beranggotakan ulama, tetapi memiliki maksud bahwa ulama mempunyai kedudukan istimewa di dalam NU, karena beliau adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah .
Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris ini mutlak penting adanya. Tentu kualitas keulamaan di dalam NU harus lebih terseleksi pada yang lain. Ada kriteria dan persyaratan yang ketat untuk menjadi ulama NU, di antaranya memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku dan akhlak, sehingga patut menjadi panutan umat. Oleh karena itu NU harus menjadi panutan pihak lain. Kualitas NU sangat tergantung kepada kualitas ulamanya.

Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyyah NU, maka semesti- nya segala tindakan mereka disalurkan melalui organisasi ini. Akan tetapi hal ini cukup disayangkan, bahkan dalam kenyataannya yang terjadi justru beberapa gejala berikut:
a. Ulama pesantren masih memiliki dan berpegang kepada kemandirian masing-masing, terutama dalam mengelola basis sosialnya (para santri dan keluarga serta para murid dan santri). Campur tangan atau koordinasi yang dapat dilakukan oleh NU masih sangat kecil.
b. Uniknya basis sosial para ulama tersebut sangat fanatik kepada NU, sanggup berjuang mati-matian mengamalkan ajaran NU seperti tahlil, talqin, dan sebagainya.
c. Hampir seratus persen alumni pesantren menjadi warga NU, meskipun tidak ada pesantren yang menggunakan nama NU dan tidak diberikan pelajaran tentang ke-NU-an. Sepertinya mereka jadi NU secara alamiah. Karena itu maka jangan heran kalau ke-NU-annya juga selalu alamiah.
Melihat kondisi ini, maka NU mempunyai dua wajah:
Pertama, wajah jam’iyyah (NU jam’iyyah), yaitu sebagai organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern
seperti memiliki pengurus, pengesahan pengurus, pemilihan pengurus, anggota, iuran, rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya.
Kedua, wajah jama’ah (NU jama’ah), yaitu kelompok ideologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah mushalla, dan sebagainya. Anehnya, mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.
Kedua macam kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini. Masing-masing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan langkah-langkah taktis seperti:
1. Tertib administrasi dan organisasi, mulai dari pendaftaran anggota, mutasi, proses pembentukan pengurus, dan sebagainya.
2. Pembinaan ideologi dan wawasan yang mumpuni.
3. Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.
Sedangkan sebagai jama’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung massal bagi gagasan, sikap, langkah amaliyah organisasi dan sebagainya, meskipun keberadaan mereka tidak terdaftar sebagai warga jam’iyyah NU.



B. FUNGSI PONDOK PESANTREN BAGI NAHDLATUL ULAMA32
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di tanah air. Lazimnya dalam pesantren, seorang ulama dikelilingi beberapa santri yang mempelajari agama Islam sekaligus menjadi penerus penyebaran Islam. Dengan bahasa lain, santri dididik menjadi kader penerus perjuangan Islam serta dilatih untuk menjadi pelayan masyarakat. Oleh karena itu, di samping pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam dan lembaga perjuangan Islam, juga sebagai lembaga pelayanan masyarakat.

Ketika modernisasi Islam hadir di tanah air yang ingin memajukan pendidikan Islam dengan mengadakan lembaga pendidikan Islam di luar pesantren, sekaligus meninggalkan pesantren (karena dianggap tidak mampu mengejar kemajuan zaman), maka ulama pengasuh pesantren menolak keras hal tersebut. Mereka bertekad, betapapun melarat, lambat dan beratnya pesantren harus tetap dipertahankan. Berbagai kelemahannya harus diperbaiki, tidak dengan meninggal- kannya. Hal itu bukannya tanpa alasan, karena pesantren sudah berhasil mendidik para kader Islam yang menyatu dengan masyarakat. Demikian pula pesantren sudah menjadi kiblat serta panutan umat. Meninggalkan pesantren berarti meninggalkan umat dengan segala keterbelakangannya. Apa artinya maju sendiri, sedang umat tetap tertinggal? Bukankah itu suatu dosa?
Jauh sebelum modernisme Islam datang, para ulama pengasuh pesantren berdiri sendiri-sendiri, belum ada ikatan formal struktural organisatoris. Hubungan antar ulama dilangsungkan dengan silaturrahmi tradisional seperti pertemuan-pertemuan haul, imtihan, walimah, dan sebagainya. Bahkan seringkali juga dipererat dengan besanan.

Keinginan untuk mendirikan organisasi formal struktural bukan tidak ada, tetapi pertumbuhannya masih lambat. Hal itu dimulai dengan kelompok-kelompok pengajian keliling dengan berbagai nama dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Lompatan penting

yang dilakukan para ulama dalam berorganisasi waktu itu adalah dengan terwujudnya kelompok diksusi Tashwirul Afkar di Surabaya yang dipelopori oleh KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Walaupun akhirnya dua pendiri kelompok diskusi tersebut berpencar, Kiai Mansur masuk Muhammadiyah, sedang Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Ulama.



C. KEDUDUKAN DAN FUNGSI ULAMA MENURUT NU
Dalam rangka melaksanakan ikhtiyar-ikhtiyarnya, NU membentuk organisasi yang mempunyai struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk melaksanakan koordinasi bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya NU adalah jam’iyyah diniyyah yang membawa faham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya, NU menempatkan tenaga yang sesuai dengan bidangnya untuk menangani.

Berikut adalah di antara peran para ulama33:
1. Bidang Agama
Ulama sebagai pewaris para Nabi dan sebagai pemimpin umat mempunyai peran yang sangat penting yaitu memperjuangkan dan mengembangkan syaraiat Islam. Ulama adalah seorang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dalam masalah agama dan masalah sosial kemasyarakatan yang dibuktikan dengan kepribadian yang sangat agamis. Oleh sebab itulah, ulama menjadi tauladan dalam kehidupan bermasyarakat oleh siapapun.
Ulama dianggap juga sebagai penjaga ilmu Allah. Jika Allah berkehendak mencabut ilmunya dari muka bumi, maka Dia akan mencabut ulama. Oleh sebab itulah, seringkali ulama dijadikan barometer dalam tata kehidupan bermasyarakat. Ia adalah kunci
pembuka pemahaman keagamaan dalam masyarakat. Jika ulama telah keluar dari kepribadiannya sebagai ulama, maka itu berarti ilmu Allah telah tercerabut dari muka bumi sehingga banyak kezaliman di mana-mana.
2. Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Ulama walaupun pada awalnya adalah pemimpin keagamaan, namun dalam prakteknya adalah pemimpin masyarakat dalam menghadapi setiap bahaya yang mengancam. Ulama adalah pemimpin perlawanan dalam melawan penjajah yang menindas rakyat. Ulama adalah guru bagi para warga negara dalam berjuang dan mengisi kemerdekaan. Ulama adalah tulang punggung negara dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itulah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ulama mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Bidang Pembangunan Ekonomi
Di bidang ekonomi, ulama tidak ketinggalan. Ulama dengan fikih muamalahnya mampu mempelopori umat dalam mempraktekkan nilai-nilai Islam dalam perdagangan. Ulama memberikan contoh usaha dan perdagangan melalui wirausaha dan koperasi yang merupakan soko guru perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya KOPONTREN (Koperasi Pondok Pesantren) yang tersebar di seluruh Indonesia.
4. Bidang Hukum dan Pemerintahan
Ulama banyak memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perumusan perundangan-undangan yang diberlakukan di NKRI. Walaupun masih banyak undang-undang di Indonesia yang merupakan warisan Belanda.
5. Bidang Pendidikan
Ulama adalah penjaga ilmu. Oleh sebab itu dalam bidang pendidikan peran ulama sangatlah sentral. Setiap pesantren pasti terdapat ulama yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Karena peran ulama yang besar inilah dalam struktur PBNU para ulama atau kyai diposisikan mengisi posisi Syuriyah.


RINGKASAN
NU dibentuk sebagai wadah jamaah yang tidak setuju dengan kebijakan kelompok Islam Wahabi yang berkuasa di  Arab  Saudi  kala itu. NU sebagai jam’iyyah (organisasi) yang berbasis para kyai dan santri di pesantren-pesantren (yang juga merupakan lembaga pendidikan tertua di nusantara). NU berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajah dan terus berbenah dalam pembangunan NKRI serta mengembangkan keilmuan keislaman.



LATIHAN SOAL
Soal Uraian:
1. Jelaskan hubungan NU dengan ulama-ulama pondok pesantren!
2. Jelaskan latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama!
3. Jelaskan fungsi dan peran ulama menurut Nahdlatul Ulama!