A. PENGERTIAN TAKLID DAN HUKUMNYA
Taklid
|
Artinya:
|
Menurut Bahasa
|
berasal dari kata qallada yang artinya mengikat atau mengikut
|
Menurut Istilah
|
Mengamalkan ucapan orang lain tanpa didasari
oleh suatu dalil.
|
Taklid adalah
mengamalkan ucapan orang lain tanpa mengetahui landasan dan basis argumentasi
yang digunakan.
Bertaklid tidak
selalu identik dengan
mengikut secara sembarangan atau dalam bahasa Arab biasa
disebut dengan taqlidul a’ma (tanpa
sama sekali mempertimbangkan apakah pendapat yang diikuti itu benar ataukah
sesat). Dalam kehidupan beragama, taklid memang tidak bisa dihindari. Seorang
anak kecil yang sedang belajar agama seperti tata cara berwudlu, shalat, puasa,
dan ibadah-ibadah mahdlah yang lain tentu dia mengikuti begitu saja apa yang
dikatakan oleh gurunya tanpa membantah atau menanyakan argument-argumen yang
digunakan oleh gurunya. Begitu pula orang yang sudah tua renta baru belajar
agama atau orang yang kecerdasannya kurang. Tentu
orang yang demikian tidak bisa dibebani hal-hal yang berat. Jika mereka
harus dipaksa untuk mengetahui semuanya secara detail hingga kepada
dalil-dalilnya maka mereka akan merasa keberatan dan justru enggan beribadah.
|
bagaimana pun juga dia belum memenuhi syarat untuk
menjadi mujtahid.
B. HUKUM TAKLID MENURUT AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
Asy-Syaukani
mengomentari masalah ijtihad dan taklid. Ia berpendapat bahwa ijtihad wajib
bagi orang yang memiliki kwalifikasi mujtahid dan melarang seseorang menjadi muqallid (bertaklid). Pendapatnya
didasarkan kepada firman Allah dalam Al-Qur’an:
|
benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. (QS An- Nisa: 59)
Menurut
Asy-Syaukani taklid dilarang dalam agama Islam karena Allah memerintahkan umat Islam mengembalikan perasalahan kepada
Allah dan Rasul-Nya jika mereka berselisih pendapat. Akan tetapi, mereka jika
tidak bisa mendapatkan jawaban dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, maka mereka
diperintahkan untuk berijtihad sesuai dengan pandapatnya sebagaimana yang
dilakukan oleh Mu’adz bin Jabbal.
Pandapat Syaukani
di atas dapat diterima oleh pengikut empat madzhab, akan tetapi masalah yang
muncul adalah, bagaimana jika seseorang tidak memiliki kualifikasi dalam
berijtihad? Dalam hal ini, menurut pengikut madzhab,
dia harus bertaklid kepada salah satu dari
empat madzhab. Sebab jika orang yang awam dalam hukum agama melakukan ijtihad,
maka yang terjadi adalah kerusakan dalam bidang agama karena setiap orang akan
memiliki pendapat yang berbeda- beda. Jika dengan empat mujtahid saja
pendapatnya bisa bervariasi bagaimana jika setiap orang bebas melakukan
ijtihad? Tentu banyak urusan akan
terbengkalai karena setiap orang mempersiapkan diri untuk menjadi mujtahid.
Mengomentari
permasalahan ini, Asy-Syaukani berpendapat bahwa orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk berijtihad maka ia diperintahkan bertanya kepada mujtahid
tentang pendapat mereka disertai
argumen-argumennya. Cara inilah yang dipraktekkan oleh para sahabat dan
tabi’in. Dengan cara ini mereka tidak lagi disebut sebagai orang yang bertaklid, akan tetapi naik satu tingkat
lebih tinggi, yaitu orang yang
berittiba’ (mengikuti pendapat orang
lain tetapi mengetahui dalilnya). Dengan demikian ia tidak haram.
|
argumen atau dalil yang digunakan. Perintah bertanya
kepada ulama ini juga terdapat di dalam Al-Qur’an:
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl: 43)
Jika seseorang tidak memiliki
kualifikasi dalam berijtihad, dia harus bertaklid kepada salah satu dari empat
madzhab.
Tujuannya agar tidak terjadi kerusakan karena memaksakan untuk berijtihad padahal tidak mempunyai kemampuan
untuk
berijtihad.
Jadi,
ada taklid yang diharamkan dan ada taklid yang dibolehkan.
|
1.
Taklid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang terdahulu sedangkan pendapat mereka bertentangan dengan Al-Quran dan hadits.
Taklid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang terdahulu sedangkan pendapat mereka bertentangan dengan Al-Quran dan hadits.
2.
Taklid
kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya.
3.
Taklid
tentang akidah/keimanan bagi yang mampu berfikir. Adapun bagi orang yang tidak mampu berfikir (dungu) maka hukumnya boleh
dengan catatan tidak tercampur dengan
keraguan. Dengan demikian orang
wajib berfikir dalam
masalah keimanan, kecuali
bagi mereka yang tidak mampu sama sekali (dungu), itupun harus dengan perasaan mantap.
4.
Taklid
kepada perkataan atau pendapat orang
sedangkan orang yang
bertaklid mengetahui bahwa pendapat orang itu
salah.
Adapun hukum
taklid yang dibolehkan adalah taklidnya orang
awam tentang hukum Islam, namun orang awam tersebut masih diwajibkan untuk
selalu menuntut ilmu dan meningkatkan kwalitas diri
terhadap pengetahuan hukum-hukum Islam.
Ingat.. Ada taklid yang di perbolehkan dan ada
taklid yang tidak diperbolehkan. Walaupun ada taklid yang di perbolehkan,
menuntut ilmu adalah kewajiban bagi orang islam. Itu sebagai upaya untuk
meminimalisir taklid.
Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah ~ Kelas 11 MA/SMA/SMK 81
C. DASAR DIPERBOLEHKANNYA TAKLID
1. firman Allah:
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS An-Nahl: 43)
Ayat di atas menunjukkan perintah kepada orang-orang yang tidak mengetahui
untuk taklid kepada para mujtahid.
2.
Tidak
semua sahabat menjadi mufti atau tempat bertanya para sahabat yang lain. Banyak
juga sahabat yang masih awam. Mereka
juga bertanya dan mengikut para sahabat yang menjadi mujtahid. Dan jumlah
orang awam itu jauh lebih banyak daripada
orang yang pandai.
D. ITTIBA’, TARJIH DAN TALFIK
1.
Ittiba’
Menurut
bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab:
Kata
|
Artinya
|
)اتَ َب َع( ittaba’a
|
Berarti mengikuti
|
)اقتفاء( iqtifa’
|
Menelusuri jejak
|
Qudwah (قدوة)
|
Bersuri teladan
|
Uswah (وة��أ )
|
Berpanutan
|
|
Menurut ulama
ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang
dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan
kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang
dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Artinya:
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkan- lah. dan
bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat keras hukumnya. (Al hasr:7)
Ittiba’ adalah
mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalil atau argumennya. Misalnya
seseorang mengikuti pendapat
Imam Syafii tentang wajibnya membaca Al-Fatihah dalam shalat, maka ia
harus mengetahui juga dalil-dalil yang mewajibkan membaca Al- Fatihah dalam
shalat. Begitu pula dalam masalah-masalah fikih yang lain.
|
Tarjih adalah menguatkan salah satu dari dari dua dalil atas lainnya,
sehingga diketahui lebih
kuat kemudian diamalkan, dan dalil yang
lemah disisihkan. Jadi yang dimaksud dengan Tarjih adalah memenangkan salah
satu di antara dua dalil yang bertentangan, karena ternyata yang satu lebih kuat dari pada yang lainnya
Misalnya, ada
hadits dari Abu Hurarah bahwa orang yang pada waktu shubuh masih dalam
keadaan junub (belum
mandi besar) maka tidak sah puasanya. Akan
tetapi, di sisi
lain ada hadits
dari Aisyah bahwa pada bulan puasa Nabi dalam
keadaan junub (belum mandi besar) dan Nabi tetap melanjutkan puasanya. Kedua
dalil itu bertentangan, keduanya kuat, tidak
ada keterangan nasikh
dan mansukh. Maka
hadits Aisyah lebih dikuatkan karena Aisyah adalah istri Nabi yang jauh lebih mengetahui seluk beluk kehidupan rumah tangga beliau
daripada Abu Hurairah, termasuk
dalam hal junub dan mandinya.
Menguatkan salah satu hadits
inilah yang disebut sebagai tarjih.
3. Talfik
Talfik menurut bahasa
|
Berarti melipat, manyamakan” atau “merapatkan
dua tepi yang berbeda”
|
Taklif menurut istilah
|
Mengambil atau mengikuti
hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai
macam madzhab.
|
Talfik adalah menggunakan
dua madzhab dalam satu amal perbuatan. Misalnya, seseorang mengikuti madzhab Imam
Syafi’i dalam hal mengusap
sebagian kepala, namun ia menggunakan madzhab Imam Maliki seperti tidak wajib membaca
basmalah dalam shalat.
Dan menggunakan madzhab Hanafi dalam hal tidak batalnya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan.
|
batal menurut Imam Syafii karena ia bersentuhan
dengan perempuan
dewasa yang bukan muhrimnya.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan
dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata- mata untuk
melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat itu dan meng- ambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
E.
PANDANGAN
ULAMA USHUL DAN ULAMA FIKIH MENGENAI
TALFIK Menurut
para ulama ushul dan ulama fikih hukum talfik itu tidak
boleh apabila dilakukan dalam satu
perbuatan dan mencari
yang ringan-
ringan
saja. Misalnya, dalam hal bersentuhan kulit antara laki-laki dan
|
ika semua itu
dilaksanakan, maka ibadah orang tersebut tidak sah. Tidak sah menurut
Imam Maliki karena
ia tidak mengusap
seluruh kepala. Tidak sah menurut Imam Syafii karena dan Hanafi karena
pakaiannya atau tubuhnya terkena najis anjing. Tidak sah menurut Imam Syafi’i
karena telah bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram.
Jika talfik itu dilakukan dengan mencari
yang lebih hati-hati, maka dibolehkan. Misalnya, dalam
hal mengusap kepala
mengikuti pendapat Imam
Malik yang mewajibkan mengusap seluruh kepala. Dalam hal najisnya anjing
mengikuti Imam Hanafi, Syafii, dan Hanbali yang berpendapat bahwa anjing adalah
najis berat. Dalam hal bersentuhan kulit mengikuti pendapat Imam Syafii yang
menganggap bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dewasa yang
bukan muhrim adalah batal.
86
Menurut
para ulama ushul dan ulama fikih hukum talfik itu tidak boleh apabila dilakukan
dalam satu perbuatan dan mencari yang ringan-ringan saja. Dan talfik di
perbolehkan apabila dilakukan dengan mencari kehati-hatian.
86
|
F.
87
LATIHAN SOAL
87
|
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!
1. Jelaskan pengertian taklid secara bahasa dan istilah!
2. Jelaskan hukum taklid menurut ahlussunnah waljama’ah!
3. Jelaskan pengertian talfik menurut bahasa dan istilah!
4. Jelaskan bagaimanakah talfik yang di perbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan!
5.
Tuliskan dalil al-Qur’an yang
menjadi dasar diperbolehkannya taklid!