amaliyah

A. MELAKSANAKAN NIAT
Niat merupakan inti dari setiap amal. Niat tempatnya pada hati, dan hati seringkali labil. Untuk membantu gerakan hati untuk mewujudkan niat, maka diucapkanlah dengan lisan. Imam Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj mengatakan:
”Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati (kalimat usholli) sebelum takbir, agar lisan bisa membantu hati sehingga bisa terhindar dari was-was dan agar bisa keluar dari pendapat ulama yang mewajibkannya.”

1. Pengertian Niat
Niat atau َّية ِن ال menurut bahasa Arab adalah القصد yang artinya
menyengaja, maksud atau tujuan. Menurut ketetapan syar’i, niat berarti menyengaja atau bermaksud melakukan hukum Allah dalam rangka mencari ridlo-Nya.55
Niat tidak hanya penting dalam amal ibadah, tetapi juga penting dalam aktivitas sehari-hari. Selain menjadi dasar mengerjakan sesuatu, niat juga menjadi penentu apakah suatu amal bertujuan baik atau buruk. Niat juga berfungsi membedakan antara kegiatan ibadah atau kegiatan muamalah.

Terkait dengan ibadah, niat ada yang hukumnya wajib, ada pula yang hukumnya sunnah. Niat ibadah yang bersifat wajib antara lain niat dalam shalat, puasa, haji, berwudlu, dan mandi janabah. Adapun niat ibadah yang bersifat sunnah antara lain niat dalam adzan, membaca Alqur’an, berdzikir, mencari ilmu, dan bekerja.

2. Dasar Hukum Niat
Dasar penetapan hukum melakukan niat adalah hadis Nabi yang berbunyi:

Artinya: “Segala perbuatan tergantung pada niatnya. Dan bagi setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya”. (HR. al-Bukhari, nomor 1).
Para ulama menerangkan, bahwa hadis ini merupakan satu-satunya dalil yang dipakai sebagai dasar pensyari’atan niat untuk seluruh ibadah maupun mu’amalah.
3. Pelaksanaan Niat
Niat adalah perbuatan hati. Oleh karena itu, letak niat ada di dalam hati.56 Apabila hati tidak berniat, maka dihukumi tidak ada niat. Jika ini yang terjadi, maka ibadah yang dilakukan tidak sah. Adapun mengucapkan niat dengan lisan dimaksudkan untuk menguatkan atau membantu niat yang dilakukan oleh hati. Mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah.
Nabi menjelaskan di dalam hadis:

Artinya: ”Dari Anas r.a. berkata, ”Saya mendengar Rasulullah
4. Mengucapkan labbaik (aku sengaja) mengerjakan umrah dan haji.” (HR. Muslim no. 2168).
Yang perlu diingat, bahwa niat harus ْلب َق ال ف atau di dalam hati.
Tidak boleh hanya di lisan. Kalau hanya ada di lisan, maka niatnya tidak sah.
Pelaksanaannya ada dua cara:
1. Bersamaan dengan rukun yang pertama jika rukun pertamanya berupa perbuatan, seperti dalam ibadah haji, zakat, wudlu, tayamum, mandi janabah, belajar dan bekerja.
2. Beriringan persis dengan rukun yang pertama,57 jika rukun pertamanya berupa ucapan, seperti shalat, berkhotbah, berdzikir, membaca al-Qur’an dan adzan.


Berikut ini adalah lafadh-lafadh niat yang disunnahkan untuk
diucapkan: 58

1. Niat wudlu:

“Aku niat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil, wajib karena Allah Ta’ala."

2. Niat shalat:

“Aku niat shalat Dzuhur/ Ashar/ Maghrib/ Isya/ Shubuh empat/ tiga/ dua rakaat dengan menghadap kiblat menjadi makmum/ imam, karena Allah Ta’ala”.

3. Niat mandi Jumat:

“Aku niat mandi Jum’at, sunnah karena Allah Ta’ala”.

4. Niat shalat Jum’at:

5. Niat shalat Tarawih

6. Niat shalat witir

7. Niat i’tikaf

Dan lain sebagainya


B. MELAKSANAKAN QUNUT

Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat subuh adalah sunnah ab’ad. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’, yang berbunyi: ”Dalam madzhab kami, disunnahkan membaca qunut dalam shalat subuh, baik ada bala’ maupun tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama salaf dan setelahnya, di antaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, ’Umar, Utsman, Ali, Ibn Abbas dan al-Barra’ bin Azib .59

Membaca qunut pada shalat subuh
Dalil yang dijadikan acuan adalah sabda Nabi :

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas r.a. beliau berkata, “Rasulullah senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh hingga
beliau wafat.” (HR. Ahmad no. 12196).
Hadis ini menurut Muhammad Alan al-Shidiqi dalam kitabnya Al- Futuhat al-Rabbaniyah, mengatakan bahwa hadis ini shahih.60
Adapun lafadhnya adalah:

Artinya: “Ya, Allah, semoga Engkau memberikan petunjuk kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Ampunilah diriku seperti orang-orang yang telah Engkau beri ampunan. Lindungilah diriku sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah aku berkah terhadap apa yang telah Engkau berikan. Jagalah diriku dari keburukan takdir-Mu. Engkau adalah yang Maha Memutuskan Perkara dan tidak ada yang memutuskan perkara kepada-Mu. Dan tidak akan hina orang yang Engkau kasihi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Segala puji bagi-Mu atas apa yang telah Engkau tetapkan. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu. Rahmat dan salam semoga Engkau tetapkan kepada Nabi Muhammad   yang ummi, keluarga,  dan para sahabatnya.”
Masih banyak do’a-do’a qunut yang lain, termasuk do’a qunut yang selalu dibaca oleh sahabat Umar. Namun kiranya belum dapat disajikan di sini.


C. SHALAT TARAWIH DAN WITIR
Banyak dalil yang menjadi dasar pensyari’atan shalat tarawih, di antaranya adalah:
1. Hadis Nabi yang berbunyi:

Artinya: “Barangsiapa menekuni (shalat sunnah) pada bulan Ramadlan, seraya beriman dan berharap pahala pada Allah,

maka diampunkanlah dosa-dosanya di masa lalu”. (HR. al- Bukhari, no. 2009).

2. Hadis riwayat ‘Aisyah, Ummul-Mukminin :

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam menger- jakan shalat di masjid, kemudian para sahabat mengikutinya, lantas Nabi shalat lagi pada malam berikutnya, maka bertambah banyaklah yang mengikuti shalat Nabi tersebut, kemudian para sahabat berkumpul dengan jumlah yang lebih banyak lagi pada malam ke tiga atau malam ke empat, namun Nabi tidak keluar untuk mengerjakan shalat bersama mereka. Seusai shalat subuh Nabi bersabda: ‘Sungguh saya tahu apa yang kalian lakukan semalam, dan saya tidak keluar untuk shalat bersama kalian kecuali saya khawatir jangan-jangan shalat malam tadi difardlukan atas kalian. Dan ini terjadi pada bulan Ramadlan”. (HR. Al-Bukhari, no. 1129).

3. Hadis riwayat Abdul-Qariy r.a. :

Artinya: ‘Abdurrahmân bin ‘Abdul Qâri` menerangkan: “Aku keluar bersama ‘Umar bin Khattâb pada suatu malam  di  bulan Ramadhan. Tiba-tiba kami melihat orang-orang terbagi dalam beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Ada seseorang yang shalat sendiri dan yang lain shalat berjamaah bersama kelompoknya sendiri. Maka ‘Umar berkata, ‘Sesungguhnya, jika aku menyatukan mereka dalam satu qari` (imam), maka itu adalah lebih utama.’ Kemudian ‘Umar sangat ingin menyatukan mereka dengan qari` (imam), yaitu Ubay bin Ka’ab. Pada malam yang lain, aku pergi bersama ‘Umar, dan orang-orang shalat bersama dengan seorang qari` (imam) mereka. ‘Umar berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini dan orang-orang yang tidur (terlebih dahulu dan baru shalat Tarawih akhir malam) adalah lebih utama daripada orang-orang yang mengerjakannya (di

awal malam).’ Umar menginginkan akhir malam, tetapi orang- orang melaksanakan pada awal malam.” (HR al-Bukhârî, no. 2010).
Tiga hadis di atas menjadi dasar penyari’atan shalat tarawih. Dengan demikian alasan yang dikemukakan sahabat Umar dalam menetapkan keputusan shalat tarawih ini. Tarawih semula dikerjakan dengan banyak kelompok dengan imam masing-masing, menjadi satu jama’ah besar dan satu imam, yakni Ubai bin Ka’ab. Tarawih semula dikerjakan setelah larut malam, menjadi di awal malam, yakni seusai shalat ’Isya’. Semula dikerjakan oleh orang-orang tua saja, kini menjadi dilaksanakan bersama-sama dengan ibu-ibu, kawula muda dan anak- anak.
Jumlah Raka’atnya
Hadis-hadis di atas tidak menetapkan jumlah raka’atnya. Oleh karena itu orang kemudian beristinbat untuk menetapkan berapa jumlah raka’atnya. Ibnu Hajar al-’Asqalaniy menerangkan, bahwa para ulama’ ada yang menetapkan 11, 13, 21, 23, 39, 41 dan 47 raka’at, sekalian dengan shalat witirnya.61
Berkaitan dengan ini, Imam Syafi’i menerangkan: ”saya melihat orang-orang Madinah mengerjakan 39 raka’at dan orang-orang Makkah mengerjakan 23 raka’at. Dan ini tidak ada masalah apapun (boleh-boleh saja).62
An-Nawawi menjelaskan, para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, dan jumlahnya adalah 20 raka’at dengan dua raka’at salam, dua raka’at salam.63 Tata cara ini yang kemudian menjadi pilihan kita semua.

Pilihan kita tentang shalat tarawih dan witir yang 23 raka’at ini ternyata sama dengan tarawih dan witir yang dilaksanakan di Masjidil Haram. Shalat tarawih dan witir dilaksanakan di Masjidil Haram sejumlah 23 raka’at, dengan membaca lebih satu juz setiap malamnya. Dengan demikian pada malam 28 sudah khatam 30 juz. Waktu yang digunakan untuk shalat tarawih dan witirnya kurang lebih 90-120 menit.
Jumlah raka’atnya memang sama, tetapi pelaksanaannya jauh bebeda. Pelaksanaan shalat tarawih di Masjidil Haram paling tidak hingga 90 menit, tetapi kita di Indonesia rata-rata hanya 45 menit, kecuali di pondok pesantren yang menerapkan bacaan satu juz atau lebih permalamnya.
Nama Tarawih
Di  masa  Rasulallah  hingga  khalifah  Abu  Bakar َّAs-Siddiq,  shalat
malam diْ bulan Ramadlan dikenal dengan nama ْيل الل ُم �َي ق (qiyamul-
lail) atau ن�رَمض ُم �َي ق(Qiyamu Ramadlan). Saat itu, nama ”shalat tarawih”
belum dikenal sama sekali. Barulah setelah Khalifah Umar r.a. mencari
kemaslahatan  dan  memerintahkan  agar   ن�رَمض ُم �َي ق dilaksanakan
di bawah satu imam dan disepakati 20 raka’at, dengan dua raka’at
salam - dua raka’at salam, maka di kala itu shalat dilaksanakan dengan
mengambil  ِوية تر (istirahat)  setelah  dua  kali  salam  atau  setْ elah
4 raka’at. Apa bila jumlahnya 20 raka’at, maka terjadi 5 kali ِوية تر.
Karena terjadi 5 kali tarwihah yang berarti jama’/ banyak, maka dalam

Bahasa Arab disebut ْح nama shalat Tarawih.64

 Istilah inilah yang kemudian dipakai untuk

Nama ini adalah nama yang baru di dalam syari’at, yang berarti

termasuk   perkara   bid’ah.   Oleh

karena itu sahabat Umar telah

mengatakan, bahwa  ِه هذ ِبدعة ال ْعم نِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini).
Ini adalah bid’ah, tetapi bid’ah hasanah. Lantas siapakah yang tidak mengikuti shalat tarawih dengan nama ”Tarawih”. Al-hamdu lillah semua melaksanakan dengan baik.
Do’a dan Dzikir yang Mengiringinya
Supaya gayeng dan suasananya menjadi regeng, maka setiap selesai 4 rakaat, hendaklah istirahat sejenak dengan niat mengikuti para sahabat dan tabi’in. Pada saat istirahat ini, kita membaca dzikir dan do’a yang dipimpin oleh muadzin dan diikuti oleh seluruh jama’ah. Do’anya adalah:

Khusus setelah witir, do’anya diawali:

Kemudian ditambah dengan: istigfar 7 kali, shalawat 3 kali, dan tahlil 11 kali. Kemudian ditutup do’a yang dipimpin oleh seorang imam, dan diakhiri dengan niat berpuasa untuk hari esok. Sedangkan lafadh (bunyi) niatnya adalah:


D. TALQIN
Talqin (ُي ْ َّتلق ال) berasal dari bahasa Arab yang berarti membisikkan
atau memahamkan. Bisa juga diartikan mengajar atau mengingatkan. Adapun menurut syar’i atau pengertian menurut agama, talqin adalah; mengajarkan atau mengingatkan kepada orang yang baru saja dikubur tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan oleh
malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur.

Landasan Hukum

1. Firman Allah:

Artinya: “Dan berilah peringatan sesungguhnya  peringatan  itu bermanfa’at bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz- Dzariyat/51:55).

2. Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan al-Baihaqiy:

Artinya: “Nabi   jika  selesai  memakamkan  janazah, maka dirinya duduk di atas kubur tersebut, lantas bersabda: “Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian –yang baru dikuburkan--, dan mintakanlah ketetapan jiwa, karena sekarang ini dirinya sedang ditanyai”.”66

3. Hadis yang lain menyatakan:

Artinya: “Diriwayatkan dari Nabi  bahwasannya tatkala putranya Ibrahim telah dikubur, Rasulullah berdiri di atas kuburnya; kemudianbeliaubersabda: Wahaianakku, hati berduka cita dan air mata mengalir. Dan kami tidak mengatakan sesuatu yang membuat Allah jadi murka. Sesungguhnya kami dari Allah
dan akan kembali kepada Allah. Wahai anakku katakanlah! Allah
Tuhanku dan Islam agamaku, dan Rasulullah ayahku, maka menangislah para sahabat dan menangis pula pula sayyidina Umar Ibnul Khattab dengan tangisan yang nyaring, maka menoleh Rasulullah dan melihat Umar menangis bersama para sahabat lainnya, Rasulullah bersabda; ya Umar mengapa engkau menangis? Umar menjawab: Ini putramu belum baligh dan belum ditulis dosanya, masih menghajatkan kepada orang yang mentalqin seperti engkau, yang mentalqin tauhid pada saat seperti ini, maka bagaimana keadaan Umar yang telah baligh

dan telah ditulis dosanya tidak mempunyai orang yang akan menalqin seperti engkau, dan apa gambaran yang akan terjadi di dalam keadaan yang seperti itu, maka menangislah Nabi dan para sahabat bersamanya; kemudian Jibril turun dan bertanya kepada Nabi sebab menangisnya mereka, kemudian Nabi menyebutkan apa yang dikatakan Umar dan apa yang datang kepada mereka dari perkataan Nabi kemudian Jibril naik dan turun kembali serta berkata: Allah menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Allah menetapkan orang-orang yang beriman dengan perkataan yang tetap di dunia dan di akherat, yang dimaksud di waktu mati dan di waktu pertanyaan
di kubur.”67
Berdasar QS. Adz-Dzariyat ayat 55 dan 2 (dua) hadis di atas ini, jelaslah bahwa “menalqin mayyit” adalah perlakuan yang disunnahkan oleh syari’at Islam.
Terkait dengan ini Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa hukum menalqin mayit di atas kuburnya adalah sunnah.
Karena dasar hukumnya jelas dan para ulama menerangkan tentang kesunahannya, maka talqin jelas merupakan amalan yang berpahala dan sampai kepada si mayit. Di samping itu juga bermanfaat bagi para ta’ziyin yang hadir agar dapat mengambil pelajaran, untuk mengingat akhirat, ataupun mengingatkan bahwa dirinya juga akan mengalami hal yang serupa.
Sedangkan prakteknya adalah; orang yang menalqin duduk di atas kubur ke arah kepala mayit dengan mengucapkan:


E. ZIARAH KUBUR
Pada masa awal Islam, Rasulullah  memang melarang umat Islam
untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga aqidah umat Islam. Rasulullah khawatir dengan ziarah kubur itu,  umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Seteleh akidah umat

Islam kuat dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur.
Karena ziarah kubur dapat membantu umat Islam untuk mengingat kematiaan dan kehidupan akhirat.

Dalil-Dalil Ziarah Kubur
Sungguh banyak sekali nash-nash atau dalil-dalil yang menjadi dasar ziarah kubur. Berikut ini akan disampaikan beberapa saja, yaitu:
1. Firman Allah Ta’ala yang berbunyi:

Artinya: “Dan orang-orang yang datang setelah mereka berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara- saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS al-Hasyr [59]: 10)

2. Hadis riwayat ‘Aisyah:

Artinya: “Dari ‘Aisyah r.a, dia berkata: tiap kali giliran dari Rasulillah jatuh pada diriku, maka beliau keluar pada waktu akhir malam menuju ke kubur Baqi’, lantas mengucapkan: as- salamu ‘alaikum wahai mukminin penghuni kubur ini, telah datang kepada kalian pahala-pahala yang dijanjikan, besuknya lagi akan diberikan semua, in syaa’allah kami akan menyusul kalian, ya Allah ampunkanlah penghuni kubur Baqi’ al-Gharqod.”
3. Hadis riwayat Abu Hurairah:

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah keluar menuju kubur, kemudian mendo’akan: keselamatan untuk kalian semua wahai mukminin penghuni kubur ini, in syaa’allah kami akan menyusul kalian”.70
4. Hadis riwayat Buraidah yang terjemahannya:
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)
Ziarah kubur menjadi tradisi yang positif

Dari ayat dan hadis di atas ini sangatlah jelas, bahwa ziarah kubur adalah syari’at Islam dan sunnah Nabi. Oleh karena itu mesti kita pegang teguh dan kita amalkan dengan sebaik-baiknya. Sementara kalau ada orang yang membid’ahkan atau mengharamkannya, itu hanya karena orang tersebut tidak banyak mengetahui syari’at agama Islam. Sungguhpun demikian kita wajib mewaspadai adanya praktik- praktik kemusyrikan di tengah-tengah masyarakat yang melaksanakan ziarah kubur.

Tata Cara Ziarah Kubur
Adapun tata cara dan etika melakukan ziarah kubur adalah sebagai berikut.
1. Mengucapkan salam, sebagaimana dalam hadis:

Artinya: “Semoga keselamatan bagimu wahai penghuni kubur baik orang mukmin laki-laki atupun perempuan. Sesungguhnya kami akan menyusul kalian.”
2. Duduk menghadap si mayit (menghadap ke timur)
3. Menghadiahkan fatihah kepada Rasulullah, para sahabat, para tabi’in, shalihin, dan mukminin-mukminat, seperti dalam contoh berikut ini:

Baru khusus pada yang diziarahi:

Kemudian membaca kalimah-kalimah tahlil pada umumnya. Dan ini adalah contoh tahlil yang singkat:
a. Membaca surat al-ikhlas 3 (tiga) kali
a. Membaca surat al-Falaq
a. Membaca surat an-Nas
a. Membaca surat al-Fatihah

a. Membaca awal surat al-Baqarah

a. Membaca ayat kursi

b. Membaca Istigfar 10 kali

c. Membaca shalawat 7 kali :

d. Membaca tahlil (singkat) 33 kali:

e. Membaca kalimah tasbih 7 kali:

f. Membaca do’a dengan mengucapkan:

Sampaikah pahalanya kepada si mayit?
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil, dan shadaqoh itu pahalanya sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, pahala bacaan Al-Qur’an, tahlil, dan shadaqoh tidak sampai kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya”. (QS an-Najm /53: 39)
Juga hadis Nabi Muhammad :

Artinya: “Apabila anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia (orang tuanya).”
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami
kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain,

sehingga kesimpulan yang mereka ambil, “do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh, dan tahlil” tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadis Rasulullah   , beberapa di antaranya adalah:

Artinya: “Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara- saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS al-Hasyr /59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

Artinya: “Dan mintalah ampun untuk dosamu (wahai Muhammad) dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Berikutnya ada seorang yang bertanya kepada Nabi:

Artinya:   “Bertanya   seorang   laki-laki   kepada   Nabi   ;   Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saya bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a dan kebaikan-kebaikan dari orang yang masih hidup.
Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan kebaikan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bukan berarti menghilangkan kebaikan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
Artinya: “Dari sahabat Ibnu Abbas, bahwa firman Allah 
. “tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan”; kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup. Jika memang do’a untuk orang yang sudah meninggal dunia dilarang, kenapa kita diperintahkan untuk shalat jenazah? Bukankah shalat janazah adalah mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak ada keharusan bahwa yang menyalati adalah anaknya, akan tetapi semua orang bisa menyalatinya? Oleh sebab itulah, do’a, amalan, shadaqah, untuk orang yang sudah meninggal dunia adalah sesuai dengan ajaran Islam. Selamat mengamalkannya dan berbahagialah
menjadi  " لِح�ص ودل “ , anak yang shalih.