A.
KARAKTER DAN UNSUR-UNSUR DALAM PESANTREN
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran nilai- nilai keislaman yang di
dalamnya terjadi interaksi antara kyai dan para santri. Kyai dan santri adalah unsur penting yang ada di dalam
pesantren. Selain itu dalam sebuah
pesantren terdapat sumber-sumber belajar berupa
kitab. Kegiatan pembelajaran pesantren dengan mengaji kitab atau membahas karya-karya ulama pada masa lalu. Kitab mereka
lebih dikenal dengan nama kitab kuning,
sebab pada masa lalu kitab atau buku-buku dicetak
dengan kertas yang berwarna kuning.
Saat ini penyebutan istilah
kitab kuning masih digunakan walaupun sebagian kitab tersebut telah dicetak
ulang dengan kertas yang berwarna
putih. Pesantren juga mempunyai
pondok atau asrama
untuk tempat tinggal para santri.
Jauh sebelum
kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan yang diterapkan di
Indonesia. Hampir seluruh pelosok daerah, khususnya pusat-pusat kerajaan Islam telah memiliki lembaga pendidikan keislaman yang hampir
serupa walaupun dengan
nama
yang bermacam-macam. Lembaga pendidikan keislaman itu seperti Maunasah
di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.
Meskipun demikian, secara historis, sejarah awal tentang keberadaan
lembaga pendidikan keislaman tersebut masih perlu
dikaji lebih lanjut.
Para sejarawan berpendapat bahwa
pesantren merupakan adaptasi dari model perguruan yang
diselenggarakan oleh orang-orang
Hindu dan Budha. Model ini dikenal dengan nama Mandala. Pendapat
tersebut disampaikan para sejarawan dengan
beberapa alasan.
Pertama, berdasarkan pendapat, sebelum Islam datang, di
Indonesia telah berkembang agama Hindu dan Budha. Kedua agama ini menggunakan
sistem pengajaran biara dan asrama. Sistem ini digunakan untuk mendidik para pandita dan bhiksu dalam melakukan
pengajaran terhadap para pengikutnya. Para sejarawan
menyimpulkan bahwa sistem seperti ini selanjutnya di adopsi oleh Wali Songo untuk menyiarkan agama Islam
kepada masyarakat. Model pendidikan seperti ini kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren.
Pondok Pesantren
yang pertama kali didirikan di Jawa adalah pada masa Wali Songo. Para sejarawan
menduga bahwa pesantren pertama Indonesia didirikan di desa Gapura Gresik Jawa Timur. Pesantren pertama tersebut didirikan
oleh Maulana Malik Ibrahim. Beliau menyebarkan agama melalui berdagang, membuka
warung, memberikan sembako murah, dan pengobatan gratis. Maulana
Malik Ibrahim juga menyiarkan agama bersama-sama dengan sistem pertanian, pengairan, dan membangun pondok
belajar di Leran,
Gresik pada tahun 1419. Maulana Malik Ibrahim mendapatkan gelar Syeh
Maghribi.
Apakah para Wali
Songo mengadopsi Islam dari Arab? Ternyata jawabnya adalah tidak. Bukankah
doa-doa para wali berbahasa Arab? Ya, memang betul. Bacaan sholat dan doa
berasal dari bahasa Arab. Lalu, bagaimana dengan istilah-istilah langgar,
surau, atau rangkang? Apakah kesemuanya merupakan istilah dari Bahasa Arab?
Jawabnya tidak. Istilah pesantren seperti halnya mengaji tidak berasal dari
bahasa Arab, melainkan dari India, seperti langgar di Jawa, dan Surau
di Miangkabau.
Kedua, berdasarkan model pendidikan. Model pendidikan
pesantren mirip dengan sistem yang digunakan Hindu dan Budha di India. Model
pendidikan tersebut adalah kegiatan pembelajaran berisi ilmu-ilmu agama, kyai tidak mendapatkan gaji,
penghormatan yang tinggi terhadap kyai serta letak pesantren yag berada di luar
kota. Dengan demikian, sistem pendidikan keislaman yang diterapkan Wali Sanga tidak sama dengan sistem
pendidikan yang ada di Arab.
Berdasarkan keterangan para
sejarawan, pendidikan Islam dengan sistem pesantren
di Indonesia tidak berasal
langsung dari Arab, melainkan mengadopsi sistem pengajaran mandala. Karena banyak ditemukan istilah dari
bahasa non Arab, seperti langgar, surau, dan rangkang. Selain itu, sistem pendidikan
mirip dengan sistem biara.
Ciri system tersebut adalah pembelajaran
Pada mula berdirinya,
kondisi pesantren sangat sederhana. Kegiatan pengajian diselenggarakan di dalam
masjid oleh seorang kyai dengan beberapa orang santri. Kyai biasanya sudah pernah berguru kepada kyai yang lebih pandai dan lebih ’alim daripada dirinya sendiri. Kyai biasanya tidak hanya dikenal
sebagai seorang yang tinggi
tingkat penguasaannnya terhadap ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga mempunyai
kekuatan spiritual yang tinggi sehingga mempunyai kharisma yang tinggi di masyarakat.
Dalam sejarah
perkembangannya, pesantren mempunyai fungsi
pokok yaitu mencetak ulama atau ahli agama. Fungsi pokok ini tetap
terpelihara dan dipertahankan sampai sekarang. Seiring dengan per- kembangan zaman, kegiatan di pesantren
mengalami perkembangan. Selain kegiatan
pendidikan dan pengajaran agama, beberapa pesantren telah melakukan pembaharuan
dengan mengembangkan komponen-
komponen pendidikan sehingga
pesantren telah berkembang dengan mengikuti sistem pendidikan yang ada di sekolah-sekolah
umum, seperti penambahan penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris), pendidikan
ketrampilan, sains, teknologi, dan sebagainya.
Kegiatan pesantren yang
dahulu hanya diselenggarakan di dalam masjid, sekarang sudah lebih maju dengan
adanya pengajaran bahasa asing, pendidikan ketrampilan, sains, teknologi, dan
sebagainya. Namun tujuannya tetaplah sama yaitu mencetak ulama atau ahli agama.
Secara historis
pesantren memiliki tiga ciri sebagai
karakteristik utama, yaitu:
1.
Pesantren
didirikan sebagai bagian dari masyarakat dan atas dukungan masyarakat sendiri.
2.
Pesantren dalam
penyelenggaraan pendidikannya menerapkan kesetaraan santrinya. Pesantren
tidak membedakan status dan tingkat
kekayaan orang tua anak didiknya.
3.
Pesantren mengembangkan misi- nya “menghilangkan kebodohan” khususnya tafaqquh fi al-din dan menyiarkan nilai-nilai keislaman.
Contoh kegiatan pembelajaran di Pondok Pesantren modern
Secara
umum pesantren dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam,
yaitu pesantren salaf atau pesantren
tradisional dan pesantren ‘ashri atau
pesantren modern.
Pesantren salaf adalah
pesantren yang mempunyai sistem pengajaran
berdasarkan pola pengajaran klasik atau lama. Pesantren salaf hanya mengajarkan
kitab kuning dengan metode pengajaran tradisional. Sebaliknya, pesantren ‘ashri adalah pesantren yang di samping
melestarikan unsur-unsur pesantren salaf, juga
mengombinasikan dengan unsur pendidikan modern. Pendidikan modern ditandai
dengan sistem klasikal, sekolah, serta materi-materi non-keagamaan atau ‘umum’
dalam muatan kurikulumnya. Meskipun demikian, pesantren salaf dan pesantren ‘ashri memiliku unsur yang sama.
Beberapa unsur yang terdapat pada pondok pesantren yaitu kyai dan ustadz, santri, pondok, masjid,
madrasah atau sekolah, dan kitab- kitab kuning.
1.
Kyai dan Ustadz
Kyai dan ustadz (asisten
kyai) merupakan komponen penting yang
amat menentukan keberhasilan
pendidikan di pesantren.
Temuan di lapangan
menunjukkan bahwa mayoritas kyai adalah pendiri dan pemilik pesantren yang
kemudian diteruskan oleh keturunannya. Dengan demikian, pertumbuhan dan
perkembangan pesantren sangat tergantung pada peran para kyai dan ustadz. Hal
inilah yang meniscayakan seorang kyai dan ustadz haruslah seorang yang luas
pemahamannya terhadap materi-materi keagamaan. Selain itu, kyai dan ustadz
harus memiliki kekuatan spiritual yang tinggi sehingga bisa mengasihi
dan mengayomi semua masyarakat. Oleh sebab itulah, banyak kyai yang menjadi teladan
baik dari tingkat keilmuannya ataupun pada sisi sosialnya.
Pada sistem pesantren, ada juga yang hanya dikelola
oleh seorang kyai saja dengan
dibantu oleh para ustadz. Pesantren juga terkadang dikelola oleh
beberapa kyai yang
masih mempunyai hubungan
kerabat dekat dengan kyai sepuh. Fungsi ustadz
adalah sebagai pembantu
kyai yang mengajar dari tingkat dasar sampai dengan
tingkat menengah
di bawah bimbingan dan arahan dari
kyai. Sedangkan pada tingkat tinggi, maka pengajaran biasanya ditangani langsung
oleh kyai. Proses pergantian kepemimpinan pesantren
biasanya bersifat kekeluargaan, artinya kepemimpinan kyai
akan diturunkan kepada
anak keturunannya.
2.
Santri
Secara umum,
santri di pesantren dapat dikelompokkan menjadi santri mukim dan santri kalong.
Santri mukim adalah para santri yang datang dari tempat yang jauh sehingga
ia tinggal dan menetap di pondok pesantren. Sedangkan santri kalong adalah para
santri yang berasal dari wilayah sekitar pesantren sehingga mereka tidak
memerlukan tempat tinggal di pesantren. Mereka bolak-balik ke pesantren dari
rumahnya masing-masing.
Umumnya pesantren
tidak melakukan seleksi khusus kepada para calon santrinya, terutama seleksi
untuk diterima atau ditolak. Siapa saja calon santri yang datang diantar
orangtua/ walinya akan diterima
dengan suka rela oleh kyai
untuk bisa belajar
di pesantrennya. Pesantren modern biasanya membuat
ketentuan-ketentuan yang biasa berlaku di sekolah-sekolah, sehingga pada
pesantren ini dikenal adanya tahun ajaran baru. Dengan demikian pada pesantren
modern juga diselenggarakan seleksi penerimaan santri baru. Pesantren modern
juga sering ada keseragaman waktu
yang ditempuh santri
dalam setiap jenjangnya. Beberapa
pesantren mengadakan ujian penempatan kelas kepada santrinya, apakah santri
tersebut diterima di kelas awwaliyah (dasar),
wustha (menengah), ataukah aliyah (atas).
Para santri yang belajar di
pesantren salaf, proses penyeleksiannya
dilakukan secara alami, yaitu para santri bebas memilih kitab yang hendak
dikajinya menurut kemampuan yang dimiliki. Kemampuan para santri antara satu
dengan yang lainnya jelas terlihat pada sistem ini. Bagi santri yang pandai, ia
akan menyelesaikan pengkajian kitab dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan
dengan santri lainnya. Akan tetapi, banyak santri di pesantren tradisional yang
mengaji dari satu pesantren ke pesantren lainnya tidak sampai
mengkhatamkan satu kitab. Mereka
hanya mencari barokah dari
para kyai yang mengajar
di pesantren-pesantren tersebut. Oleh
sebab itulah, para santri di pesantren-pesantren tradisional lebih banyak
menekankan diri pada “belajar hidup”
daripada “belajar keilmuan kognitif”. Dari sinilah,
terlihat perbedaan yang mencolok
di masyarakat antara alumni pesantren dan alumni sekolah-sekolah umum.
3.
Pondok
Pesantren adalah
sebuah lembaga yang menyediakan asrama atau
pondok. Pondok digunakan sebagai tempat tinggal dan belajar para santri di
bawah bimbingan kyai. Asrama para santri berada dalam kompleks tempat kyai dan
keluarganya tinggal. Didalam pondok terdapat masjid sebagai tempat beribadah
dan tempat mengaji bagi para santri. Pesantren yang telah maju biasanya
memiliki kompleks tersendiri yang dikelilingi oleh pagar pembatas yang
berfungsi mengawasi masuk keluarnya para santri. Akan tetapi ada beberapa
pesantren salaf yang meniadakan pagar pembatas sehingga para santri bisa
belajar hidup berinteraksi yang sebenarnya di dalam masyarakat. Mereka juga
harus keluar ke masyarakat untuk
membeli kebutuhan sehari-hari mereka sehingga terjadi hubungan mutual antara
pesantren dan masyarakat.
Pesantren salaf
berbeda dengan pesantren-pesantren modern ataupun salaf semi modern yang
menyediakan segala kebutuhan santri di dalam pesantren sehingga mereka dilarang
keluar dari dalam pesantren, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Akibatnya
mereka terputus hubungan dengan masyarakat yang ada di luar pesantren. Pondok
dalam sebuah pesantren menjadi ciri khusus yang membedakannya dengan sistem
pendidikan lainnya.
4.
Masjid
Unsur penting yang
ada dalam sebuah pesantren adalah masjid yang
sering dipakai untuk
beribadah sekaligus belajar
para santri. Para santri
biasanya diwajibkan untuk shalat berjamaah pada shalat lima waktu dan terkadang
pada shalat malam. Di masjid inilah, para santri dan kyai mengadakan latihan
spiritual dengan cara dzikir, mujahadah, riyadhah, dan lain sebagainya.
Biasanya masjid
dibangun di tengah-tengah lokasi pesantren dan di
dekat rumah kyai sehingga memudahkan setiap santri dan kyai untuk menuju ke masjid. Para santri secara bergiliran menjalankan adzan, iqamah, menjadi
khatib, menjadi mubaligh, dan lain sebaginya. Oleh sebab itulah, masjid di
pesantren adalah media latihan berdakwah yang kelak harus dipraktekkan oleh
para santri ketika kembali ke masyarakat.
5.
Madrasah atau Sekolah
Beberapa
pesantren yang telah mengalami perubahan kurikulum, maka kegiatan belajar
dilakukan dengan sistem sekolah.
Inilah sebabnya banyak pesantren yang mempunyai gedung sekolah, baik itu hanya digunakan untuk
madrasah diniyah ataupun madrasah yang memadukan
Gedung sekolah
di salah satu pesantren NU
di
Yogyakarta
sistem pesantren dengan sistem sekolah modern.
Madrasah ini
terletak di lokasi pesantren. Biasanya madrasah dilengkapi dengan perpustakaan,
laboratorium, lapangan olahraga, dan lain sebagainya lazimnya sekolah pada
umumnya.
Dengan demikian,
pesantren yang menyelenggarakan sistem sekolah akan terdapat dua macam kegiatan pembelajaran, yaitu
pembelajaran ala pesantren dan pembelajaran ala sekolah.
6.
Kitab-kitab Kuning
Pesantren
didirikan dengan tujuan mencetak para ulama yang handal dalam ilmu-ilmu
keislaman melalui kegiatan pembelajaran didalamnya. Oleh sebab itulah, banyak
santri yang menjalani kegiatan
belajar dalam waktu
yang lama. Hal
ini tidak hanya
untuk mendapatkan ilmu-ilmu
keislaman, akan tetapi juga untuk mendapatkan barakah dari kyai. Santri belajar dengan mengkaji kitab.
Kitab-kitab dijelaskan oleh kyai dan selanjutnya para santri menyimaknya. Ada pula santri
yang mempelajari
kitab dengan berdiskusi
dengan santri yang lain.
Kitab-kitab yang dikaji di pesantren-pesantren ada banyak macamnya. Pada pesantren modern, kitab-kitab dipelajari sesuai dengan tingkat atau jenjang belajar santri. Pada pesantren salaf atau tradisional, kitab-kitab di- pelajari sesuai dengan tingkat
Kitab-kitab yang dikaji di pesantren
pemahaman dan minat para santri.
Meskipun kitab yang dipelajari sangat banyak, tetapi dapat dikelompokkan secara sederhana sebagai berikut:
a.
Tajwid f. Akhlaq/ tasawuf
b.
Tafsir g.
Ushul Fiqih
c.
Ilmu Tafsir h.
Fiqih
d.
Hadis i. Nahwu dan sharaf
e.
Aqidah j. Mantiq (logika)
f.
Akhlaq/tasawuf dan balaghah (sastra)
g.
Ushul Fiqih k. Tarikh
(sejarah islam)
B.
MATERI PEMBELAJARAN DI PESANTREN
Materi pembelajaran yang diselenggarakan di pesantren sangat
beragam. Beragamnya materi pembelajaran tersebut memiliki kesamaan tujuan yaitu
untuk mempelajari dan menjiwai
ilmu- ilmu keislaman. Inilah kesamaan
pesantren-pesantren yang ada di Indonesia, yaitu mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman yang meliputi
kitab Tajwid, Ilmu Tafsir, Tafsir, Hadis,
Aqidah, Akhlaq/tasawuf, Ushul Fikih,
Fikih, Nahwu dan Sharaf,
Mantiq dan Balaghah,
serta Tarikh Islam. Kitab-kitab tersebut dikenal dengan
al-kutub al-qadimah dan ada juga yang menyebutnya al-kutub al-shafra’ atau kitab kuning.
Kitab ini biasanya
tanpa harakat atau lebih dikenal
dengan tulisan Arab gundul. Jumlah al-kutub al-qadimah sangat banyak.
Rata-rata yang digunakan di pesantren adalah
menganut madzhab Syafi’i.
Menurut Martin van Bruinessen, seorang peneliti berkebangsaan Belanda, jumlah kitab
kuning yang beredar
di pesantren-pesantren Jawa dan
Madura pada abad ke-20 mencapai
900 judul, padahal
L.W.C. van den Berg dalam penelitian sebelumnya pada akhir abad ke-19 hanya
menemukan
54 judul saja.
Tidak semua kitab kuning
yang beredar di kalangan pesantren diajarkan kepada para santri. Bahkan
kebanyakan merupakan bahan bacaan para kyai dan ustadz untuk memperkaya
khazanah keilmuan yang mereka miliki. Kitab-kitab ini diajarkan secara
bertingkat
sesuai dengan kurikulum yang
diberlakukan di pesantren. Ada yang disediakan untuk tingkat pemula (awwaliyah), menengah (wustha) dan ada yang tingkat tinggi (aliyah). Adapun kurikulum pembelajaran
yang diajarkan di pesantren adalah sebagai berikut:
1.
Akidah
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Aqidah al-’Awam
§ Tijan Dirari
§ Matn al-Bajuri
§ Sanusiyah
§ Al-Jauharat
§ Matn Kharidah Bahiyyah
§ Bady al-Amal
§ Qathr al-Ghaits
§ Qami’ al-Thughyan
|
§ Syeikh Ahmad Marzuqi
§ Ibrahim al-Bajuri
§ Ibrahim al-Bajuri
§ Muhammad bin Yusuf al- Sanusi
§ Ibrahim al-Laqani
§ Muhammad Shiddiq
§ Abu Husain Sirajuddin
§ Muhammad Nawawi
§ Muhammad Nawawi
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Kifayat al-Awam
§ Al-Dasuqi
§ Al-Jawahir al-Kalamiyyah
§ Umm al-Barahin
|
§ Muhammad al-Fadhali
§ Muhammad al-Dasuqi
§ Thahir al-Shalih
§ Sayyid Muhammad Sanusi
|
3.
|
Tinggi
|
§ Husun al-Hamidiyyah
§ Al-Fajr al-Sahadiq
|
§ Sayyid Husain al-Afandi
§ Afandi Shidqi al-Zuhari
|
2.
Tafsir
Tafsir
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Tafsir Yasin
|
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Tafsir Jalalain
§ Shafwat al-Tafasir
§ Tafsir Munir
§ Tafsir al-Baidlawi
|
§ Jalaludddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi
§ Ali al-Shabuni
§ Muh. Nawawi al-Jawi
§ Imam Baidlawi
|
3.
|
Tinggi
|
§ Tafsir Shawi
§ Tafsir
Ayat al-Ahkam
§ Tafsir al-Maraghi
§ Tafsir
Ibn Katsir
|
§ Al-Shawi
§ Ali al-Shabuni
§ Musthafa al-Maraghi
§ Ibn Katsir
|
3.
Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
_
|
_
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
§ Qawa’id al-I’rab
§ Al-Itmam al-Dirayah
|
§ Jalaluddin al-Suyuthi
§ Yusur Abdul Qadir al- Barnawi
|
3.
|
Tinggi
|
§ Ilmu Tafsir
§ Al-Tafsir
wa al-Mufassirun
§ Asrar al-Tartil al-Qur’an
|
§ Muh. An-Nawawi
§ Al-Dzahabi
§ Jalaluddin al-Suyuthi
|
4.
Tajwid
Tajwid
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Nazm Hidayah al-Shibyan
§ Syifa’ al-Jinan
§ Tuhfah al-Athfal
|
§ Sa’id bin Sa’d Nabhan
§ Sa’id bin Sa’d bin Nabhan
§ Sulaiman bin Husain bin
Muhammad al-Jamzuri
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Al-Kharidah Al-Bahiyyah
§ Hilyah al-Tilawah wa al- Zinat
§ Al-Aada wa al-Qira’at
§ Hidayah al-Mustafid
§ Mursyid al-Wildan
§ Syifa’ al-Rahman
§ Nadzam al-Jazariyyah
|
§ Muhammad Shiddiq
§ Syeikh Munajat bin Hannan
|
3.
|
Tinggi
|
§ Qira’at al-Sab’ah
|
§ Ibnu Mujahid
|
5.
Bahasa Arab
Bahasa Arab
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Awamil
§ Jurumiyyah
§ Fath
Nabb al-Bariyyah
§ Syarh al-Jurumiyyah
§ Kaylani
§ Al-Bina’ wa al-Asas
§ Qawa’id al-I’lal
§ Asymani
§ Tashrif
§ Al-Mutammimah
§ Qawa’id al-Natstsar
|
§ Abdul Qahir al-Jurjani
§ Ibrahim al-Baijuri
§ Ahmad Zain Dahlan
§ Abu Husain Ali bin Hisyam
§ Abdullah al-Danqizi
§ Mundzir Nadzir
§ Abdullah bin Syaikh Asymani
§ Muhammad bin Ma’shum bin Ali
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Al-Qawa’id al-Sharfiyyah
§ Nadzm al-Maqshud
§ ‘Imrithi
§ Alfiyah Ibn Malik
|
§ Syeikh ‘Imrithi
§ Muhammad bin Abdullah bin
Malik
|
3.
|
Tinggi
|
§ Al-Jauhar al-Maknun
§ Sullam al-Muwarraq
§ Uqud al-Juman
|
§ Abdurrahman bin Muhammad al-Anshari
§ Jalaluddin al-Suyuthi
|
6.
Akhlaq/Tasawuf
Akhlaq/Tasawuf
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Akhlaq li al-Banin &
Akhlaq li al-Banat
§ Taysir al-Khallaq
§ Al-Tahliyah
wa al-Targhib
§ Nadzam Ali al-Bari
|
§ Umar Ahmad ba Raja
§ Hafidz Hasan al-Mas’udi
§ Sayyid Muhammad
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Ta’lim al-Muta’alim
§ Bidayah al-Hidayah
§ Risalat al-Muawanah
§ Nasha’ih al-Ibad
§ Al-Nasha’ih al-Diniyah
§ Al-Riyadl al-Badi’ah
§ Idzatu al-Nasyi’in
|
§ Ibrahim bin Isma’il
§ Imam Al-Ghazali
§ Abdullah bin ‘Alawi
§ Ibnu Hajar al-Asqalani
§ Muhammad Nawawi al- Jawi
§ Muhammad Hasbullah
§ Musthafa al-Ghulayani
§ Syeikh Munajat bin Hannan
|
3.
|
Tinggi
|
§ Kifayah al-Atqiya’
§ Mau’idzat al-Mu’minin
§ Al-Hikam
§ Ihya’ Ulum al-Din
|
§ Sayyid Abu Bakar
§ Muhammad Jamaluddin Al-
Qasimi
§ Ibnu ‘Atha’illah Al-Iskandari
§ Imam Abu
Hamid al-Ghazali
|
7.
Fikih
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Sullam Munajat
|
§ Muhammad Nawawi
|
|
|
§ Safinat al-Bajat
|
§ Muhammad Nawawi
|
|
|
§ Sullam al-Taufiq
|
§ Muhammad Nawawi
|
|
|
§ Fath al-Qarib
|
§ Muh. Qasim al-Ghazi
|
|
|
§ Safinah al-Shalah
|
§ Muhammad Nawawi
|
|
|
§ Minhaj al-Qawim
|
§ Ibn al-Qayim al-Jauzi
|
|
|
§ Bahjat al-Wasil
|
§ Muh. Nawawi al-Syafi’i
|
|
|
§ Umdat al-Salik
|
§ Syihabuddin Abu Abbas
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Taushiyah
‘ala Ibni Qasim
§ Fath al-Mu’in
§ I’anah al-Thalibin
§ Kifayah al-Ahyar
§ Fath al-Wahhab
§ Al-Iqna’
|
§ Muh. Nawawi al-Jawi
§ Zainuddin bin Abdul Aziz
§ Sayyid Abu Bakar
§ Imam Taqiyuddin Abu Bakar
§ Abu Yahya Zakariyyah al- Anshari
|
3.
|
Tinggi
|
§ Al-Muhalli
§ Bidayah al-Mujtahid
§ Al-Mizan al-Kubra
§ Al-Fiqh ‘ala Mazahibb al- Arba’ah
§ Al-Umm
§ Al-Muhadzab
§ Fi Fiqh al-Imam al-Sayafi’i
|
§ Jalaluddin al-Mahalli
§ Ibnu Rusyd
§ Abu al-Mawahib
§ Abd. Wahab al-Jaziri
|
|
|
§ Imam Sayafi’i
§ Abu Ishaq Ibrahim
|
8.
Ushul Fikih
Ushul Fikih
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
-
|
-
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Waraqat al-Dimyathi ala Syarh al-Waraqat
§ Ghayah al-Ushul
§ Faraid al-Bahiyyah
|
§ Ahmad bin Muhammad al- Dimyathi
§ Abu Zakariya al-Anshari
§ Abu Bakar al-Yamani
|
3.
|
Tinggi
|
§ Tashil al-Thuruqat
§ Jam’ al-Jawami’
§ Latha’if al-Isyarat
|
§ Imam Tajuddin Abdul
Wahab al-Shubhi
|
9.
Hadis
Hadis
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
awal
|
§ Arba’in Nawawi
|
§ Yahya
bin Syarafuddin al- Nawawi
§ Abu Sa’id al-Khadimi
§ Ahmad bin Zaini Dahlan
§ Muh. Ali al-Syafi’i
|
|
|
§ Tsalats Rasa’il
|
|
|
|
§ Arba’ rasa’il
|
|
|
|
§ Abi Jamrah
|
|
|
|
§ Tanqih al-Qaul
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Riyadl al-Shalihin
§ Bulugh al-Maram
§ Mukhtar al-Ahadits
§ Jawahir al-Bukhari
|
§ Jalaludddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi
§ Ibn Hajar al-Asqalani
§ Sayyid Ahmad al-Hasyimi
|
3.
|
Tinggi
|
§ Subul al-Salam
|
§ Al-Kahlan
|
|
|
§ Jami’ al-Saghir
|
§ Jalaluddin al-Suyuthi
|
|
|
§ Shahih al-Bukhari
|
§ Imam Al-Bukhari
|
|
|
§ Shahih Muslim
|
§ Imam Muslim
|
|
|
§ Sunan Abu Dawud
|
§ Imam Abu Dawud
|
|
|
§ Sunan al-Tirmidzi
|
§ Imam al-Turmidzi
|
|
|
§ Sunan al-Nasa’i
|
§ Imam al-Nasai’i
|
|
|
§ Sunan Ibn Majah
|
§ Imam Ibn Majah
|
|
|
§ Al-Muwatha’
|
§ Imam Malik
|
10.
Ilmu Hadis
Banyak kitab yang digunakan, akan
tetapi hanya terbatas pada tingkat tinggi. Kitab-kitab tersebut di antaranya;
a)
Minhaj al-Mughits karya al-Mas’udi
b)
‘Ilm Musthalah al-Hadits karya Abdul
Qadir Hasan
c)
Taysir Mushthalah al-Hadits karya Mahmud Thahhan
d)
Dan lain-lain
11.
Tarikh (Sejarah Islam)
No.
|
Tingkat
|
Nama Kitab
|
Penyusun
|
1.
|
Awal
|
§ Khulashah Nur al-Yaqin
§ Qishah al-Mi’raj
§ Madarij al-Su’ud
§ Nur al-Dzalam
§ Dur Tarikh
al-Islam
|
§ Yahya
bin Syarafuddin al- Nawawi
§ Abu Sa’id al-Khadimi
§ Ahmad bin Zaini Dahlan
§ Muh. Ali al-Syafi’i
|
2.
|
Mene-
ngah
|
§ Sirah ibn Ishaq
§ Nur al-Yaqin
|
|
3.
|
Tinggi
|
-
|
-
|
Kurikulum tersebut
merupakan kurikulum yang bersifat umum. Akan tetapi biasanya beberapa pesantren
mempunyai acuan penga- jaran dan kurikulum tersendiri yang berbeda dengan
pesantren lainnya. Hal ini karena pesantren adalah lembaga yang independen,
baik secara keuangan maupun kurikulum.
C. PENDEKATAN PEMBELAJARAN
DI PESANTREN
Berbagai
pendekatan dilakukan agar pelajaran yang disampaikan kyai atau ustadz dapat
diterima dengan baik oleh santri. Ada enam pendekatan dalam kegiatan
pembelajaran di pesantren.
1.
Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini
menekankan pada pemberian motivasi dari kyai kepada santri yang bersifat
persuasif. Persuasif artinya dorongan yang dapat menggerakkan daya kognitif
(kecerdasan berfikir santri), afektif (sikap dan akhlak santri), dan
psikomotorik (fisik santri). Seorang kyai dalam mengajar para santri tidak hanya
menekankan pada transfer ilmu yang bersifat kognitif secara lisan, tetapi juga dengan ’bahasa
batin’. Bahasa
batin maksudnya adalah kyai mengajarkan dengan sepenuh
hati dan penuh kasih sayang. Dengan demikian keterlibatan santri tidak hanya pada tataran
akal atau pikiran tetapi hati dan batinnya juga terlibat.
2.
Pendekatan Sosio Kultural
Pendekatan ini
menghendaki usaha pengambangan sikap-
sikap pribadi dan sosial sesuai dengan kehidupan yang terjadi di
masyarakat. Hal ini menuntut adanya inovasi dan pembaharuan sesuai dengan
tuntutan keadaan. Untuk melakukan pendekatan ini, pesantren melakukan kegiatan bahts masa’il.
3.
Pendekatan Keimanan
Pendekatan ini
berusaha menjelaskan bahwa semua ilmu yang diajarkan akan membawa konsekwensi
keyakinan/ keimanan kepada Allah I. Melalui pendekatan ini, santri diharapkan
semakin bertambah imannya.
4.
Pendekatan Sejarah
Pendekatan ini
biasanya dengan cara menceritakan peristiwa- peristiwa masa lalu. Beberapa
peristiwa tersebut seperti
kisah para nabi, sahabat,
para ulama, dan lain sebagainya. Penyampaian kisah
masa lalu dijadikan sebagai media pembelajaran dengan harapan agar sikap dan mental
para santri dapat
semakin terbentuk dengan baik.
5.
Pendekatan Filosofis
Pendekatan ini
dilakukan dengan cara penalaran materi yang sedang diajarkan. Pelajaran yang di
nalar bersama-sama tersebut diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang sama.
Dengan diterapkannya pendekatan filosofis, maka pelajaran menjadi
”temu nalar”. Dengan demikian kebenaran yang diterima tidak hanya
berdasarkan keimanan, tetapi juga kebenaran dari pemikiran.
6.
Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini
memberikan penekanan kepada
fungsi atau manfaat dari pelajaran yang diberikan dalam kehidupan para santri. Dengan memahami fungsi atas pelajaran
yang diberikan, diharapkan dapat membekas pada ingatan para santri.
Enam pendekatan
tersebut bersifat umum yang berlaku di pesantren. Akan tetapi, barangkali masih
ada beberapa pendekatan lain yang bersifat khusus yang berbeda antara satu
pesantren dengan pesantren lainnya.
D. METODE PEMBELAJARAN
Metode yang
digunakan dalam pembelajaran di pesantren ada 10 macam.
1.
Metode Sorogan
Metode ini
menitikberatkan pada kemampuan individu santri di bawah asuhan seorang ustadz atau kyai.
Pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Santri
berkumpul di tempat pengajian seseuai dengan waktu yang ditentukan oleh kyai
atau ustadz. Para santri masing-
masing membawa kitab yang akan dikaji.
b.
Seorang
santri yang mendapatkan giliran, selanjutnya menghadap langsung kepada gurunya.
Santri tersebut membuka bagian yang akan dikaji
dan meletakkan di atas meja yang tersedia di depan kyai atau ustadz.
c.
Kyai atau ustadz
membacakan kitab pada bagian tertentu. Selanjutnya beliau menyampaikan artinya
dengan menggunakan bahasa Jawa, Melayu, Madura, ataupun bahasa lainnya.
d.
Para
santri menyimak, mencocokkan, dan menuliskan apa yang
didengar di kitabnya. Selain itu ada pula santri yang memberi harakat dan arti
pada setiap kata yang belum dimengerti arti dan terjemahnya.
e.
Santri
selanjutnya menirukan persis sebagaimana yang telah dibaca oleh kyai.
f.
Kyai mendengarkan apa yang dibaca oleh santrinya dengan seksama.
Kyai mendengarkan apa yang dibaca oleh santrinya dengan seksama.
Santri mengantri sorogan kitab
kuning
2.
Metode Bandongan
Metode ini juga
disebut dengan metode wetonan. Metode
ini diterapkan dengan cara mambagi para santri menjadi beberapa kelompok.
Selanjutnya kelompok santri tersebut mendengarkan atau menyimak bacaan
kyai/ustadz. Kyai/ustadz membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas teks yang
dibacanya dengan tanpa harakat (teks gundul).
Sementara santri melakukan pendhabitan (pemberian) harakat, pencatatan simbol kedudukan
kata, arti-arti secara literal, dan keterangan lain yang dianggap penting.
Posisi duduk para santri dalam metode ini biasanya adalah melingkari kyai atau
ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran).
3.
Metode Musyawarah (bahts al-Masa’il)
Metode ini mirip
dengan metode diskusi atau seminar. Peserta
bahts masa’il adalah para santri baik
jenjang dasar, menengah, ataupun jenjang atas. Beberapa jumlah santri membentuk
halaqah yang dipimpin langsung oleh
seorang kyai. Selanjutnya kyai dan para santri membahas persoalan yang telah
ditentukan sebelumnya.
Dalam
pelaksanaannya, santri dengan bebas mengajukan pertanyaan atau pun menyampaikan
pendapat. Dengan demikian, metode ini lebih menitikberatkan pada kemampuan
inidividu santri. Kemampuan tersebut adalah
dalam hal menganalisis dan memecahkan
persoalan yang mengacu pada kitab-kitab
kuning. Musyawarah juga dilakukan untuk memecahkan persoalan
yang rumit. Metode musyawarah ini biasa diterapkan pada santri tingkat menengah
dan tingkat atas. Hal ini dikarenakan santri tingkat menengah dan tingkat atas
sudah dapat berfikir secara kritis.
4.
Metode Pengajian Pasaran
Metode ini dilakukan dalam pembelajaran materi
kitab-kitab kuning yang
dilaksanakan secara maraton
dalam kurun waktu
tertentu. Pada umumnya metode
ini diterapkan pada bulan Ramadhan selama limabelas hari, duapuluh hari, ataupun satu bulan penuh tergantung
kitab yang dikaji. Metode ini mirip dengan metode bandongan, akan tetapi penekanan pada metode
ini adalah penyelesaian satu materi tertentu,
bukan pada pemahaman sebagaimana metode bandongan. Pengajian pasaran ini dahulu
banyak dilakukan di pesantren-
pesantren tua di Jawa dan dilakukan oleh santri-santri senior di bidangnya. Para pemula bisa juga mengikuti pengajian ini, tetapi
pada umumnya peserta terdiri dari mereka yang telah belajar
atau membaca kitab tersebut
sebelumnya. Pengajian ini lebih banyak
untuk
mengambil berkah atau ijazah dari kyai yang
dianggap senior.
Pengajian pasaran
ini dapat juga dimaknai sebagai proses pembentukan jaringan pengajaran
kitab-kitab tertentu di antara pesantren-pesantren yang ada. Para santri yang mengikuti pengajian
pasaran di tempat tertentu akan
menjadi bagian dari
jaringan pesantren ini.
5.
Metode Hafalan (muhafadhah)
Metode ini adalah
dengan cara menghafal teks tertentu di bawah pengawasan seorang kyai. Para
santri diberi tugas untuk menghafal bacaan yang sudah ditentukan dalam waktu
tertentu pula. Hafalan yang dimiliki santri selanjutnya diujikan dengan di-lafal-kan di depan kyai. Hal tersebut
sering disebut dengan ’setoran hafalan’. Para santri
setoran hafalan secara periodik atau
insidental tergantung petunjuk kyai tersebut. Metode ini biasanya digunakan
ketika menghafal al- qur’an, hadits, ataupun nadzam-nadzam kitab tertentu
seperti Imrithi, Alfiyah, dan
lain-lain.
6.
Metode Demonstrasi / Praktek Ibadah
Metode ini
dilakukan dengan cara memperagakan suatu keterampilan pelaksanaan ibadah
tertentu. Peragaan yang dilakukan bisa secara perorangan atau kelompok di bawah
bimbingan ustadz atau kyai. Metode
ini biasa dipakai
ketika kegiatan praktek
shalat, haji, mengurus
jenazah, dan lain sebagainya.
7.
Metode Rihlah Ilmiyah
Metode pembelajan
ini dilakukan dengan kegiatan kunjungan (perjalanan) menuju suatu tempat
tertentu untuk mencari ilmu. Kegiatan kunjungan ini bersifat keilmuan yang
dilakukan untuk menyelidiki dan meneliti suatu hal yang berkaitan dengan
tempat. Ustadz membimbing santri selama melakukan rihlah. Pada zaman sekarang,
metode ini dikenal dengan study tour.
8.
Metode Muhawarah atau Muhadatsah
Metode ini
merupakan praktek bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab. Para santri diwajibkan untuk
bercakap-cakap dengan memakai bahasa Arab
kepada sesama santri,
ustadz, ataupun kyai. Kegiatan muhawarah dapat berjalan
dengan lancar jika santri mempunyai perbendaharaan kata yang baik. Oleh karena
itu, para santri diwajibkan menghafal kosakata (mufradat) sebagai modal
bercakap-cakap. Pada event
tertentu santri dipasangkan dua-dua untuk bercakap-cakap mengenai tema
tertentu dengan dipantau oleh
santri yang lebih senior.
Beberapa pesantren
ada yang tidak hanya mewajibkan bahasa Arab, tetapi juga bahasa Inggris. Kedua
bahasa ini harus dipraktekkan dalam keseharian santri. Biasanya dalam seminggu
dibagi menjadi tiga waktu. Tiga hari adalah menggunakan bahasa Inggris, tiga hari
berikutnya untuk bahasa
Arab, dan sehari
untuk hari bebas
berbahasa. Pembagian waktu bisa juga dilakukan dengan sepekan bahasa
Arab, dan pekan berikutnya untuk bahasa Inggris. Kegiatan ini biasanya
ditangani oleh pengurus pesantren bagian bahasa (qism lughah) dengan diawasi oleh para ustadz. Kegiatan ini
ditambah juga dengan kegiatan mukhadlarah
(latihan pidato) untuk menambah ketrampilan berbahasa seacara lisan para
santri. Kegiatan ini dilakukan sepekan sekali dengan cara membagi para santri
menjadi beberapa kelompok. Santri
yang mendapat giliran harus berpidato dengan memakai bahasa Arab atau pun
Inggris tergantung giliran yang diperolehnya. Kegiatan ini seringkali
ditindaklanjuti dengan kegiatan pertemuan antarkelompok santri (muhadlarah akbar) guna mempertunjukkan
kemampuan antar kelompok.
9.
Metode Mudzakarah
Mudzakarah merupakan
pertemuan ilmiyah yang membahas masalah diniyah seperti ibadah, aqidah, dan
masalah-masalah lain. Metode ini hampir sama dengan bahts masa’il. Yang membedakan adalah peserta kegiatannya. Peserta mudzakarah terdiri dari para kyai atau
santri tingkat atas. Mudzakarah dibedakan
menjadi dua macam:
a.
mudzakarah yang
diadakan oleh kyai bersama para ulama. Metode
ini menggunakan kitab
yang tersedia untuk
memecah- kan masalah agama yang
penting atau sekedar untuk memperdalam masalah
agama.
b.
mudzakarah diadakan
antarsantri. Metode ini membahas suatu masalah agama dengan tujuan
melatih para santri agar terampil
dalam memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan
kitab-kitab yang tersedia. Mudzakarah
ini biasanya dipimpin oleh santri senior yang ditunjuk oleh kyai.
10.
Metode Riyadlah
Metode ini
menekankan pada olah batin. Tujuan metode ini adalah untuk mencapai kesucian
hati para santri dengan bermacam cara berdasarkan petunjuk kyai. Metode ini
tidak ditujukan untuk penguasaan ilmu tertentu, tetapi sebagai sarana
pembentukan sikap dan mental santri
agar semakin dekat
dengan Allah. Metode
ini dipakai di
pesantren-pesantren yang kyai-nya memiliki kecenderungan tinggi terhadap tasawuf.
E. TRADISI PESANTREN
Pesantren memiliki
bermacam-macam tradisi. Tradisi tersebut dapat membentuk kemandirian
seorang santri ataupun santriwati dalam kepribadiannya. Secara garis besar
tradisi pesantren adalah:
1.
Hidup dalam
suasana kebersamaan
kebersamaan yang
dialami oleh santri di pondok menghasilkan banyak hikmah, antara lain:
a. Jiwa sosialis
Santri ataupun
santriwati berlatih sebisa mungkin untuk berusaha mengutamakan kepentingan umum
dari pada kepentingan pribadi.
b.
Kasih sayang
Santri ataupun
santriwati bisa merasakan perasaan orang lain. Kasih sayang juga akan
menjadikan para santri
menyayangi satu sama lain.
Perasaan ini yang menjadikan persatuan diantara para santri menjadi kuat.
c. Persatuan
Persatuan dapat
diibaratkan pula dengan
sapu. Jika hanya satu
helai lidi digunakan untuk membersikan kotoran tidak akan bisa untuk
menyelesaikannya. Beda dengan satu ikat sapu lidi, maka dengan mudah sekali
membersikan kotoran yang ada.
Oleh karena itu, santri yang biasa
melakukan sesuatu dengan berjamaah maka dapat menyelesaikan pekerjaan bersama.
d.
Membekas
Dampak positif dan
negatif yang ditimbulkan dari hasil bersama akan lebih membekas dihati atau
lebih terasa dari pada hanya dilakukan seorang diri. Hal ini yang menjadikan
santri mempunyai kenangan yang kuat sekali pun sudah lepas dari pondok.
e.
Sikap dewasa
Suasana pondok
menjadikan santri ataupun santriwati akan berlatih selalu menjaga perasaan
orang lain dan berlatih berani bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang mereka perbuat.
f.
Solidaritas
Suasana
kebersamaan di pondok pesantren melahirkan rasa solidaritas yang tinggi antar
santri. Dengan demikian, apabila ada santri yang mengalami kesedihan, maka
santri yang lain ikut merasakannya.
2.
Pengajian dasar
Pengajian dasar
dilaksanakan di rumah-rumah, di langgar dan di masjid. Kegiatan ini diberikan
secara sorogan, yaitu seorang santri atau santriwati mendatangi seorang guru
yang akan membacakan beberapa baris
Al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa arab dan menerjemahkannya. Pengajian dasar
menjadikan seorang santri memiliki kedekatan dan ikatan emosional dengan kyainya.
3.
Sistem ijazah
pesantren memiliki
tradisi pemberian ijazah tetapi bentuknya
tidak seperti yang dikenal
dalam sistem modern.
Ijazah model pesantren berbentuk pecantuman nama dalam suatu alur. Alur ini merupakan rantai perpindahan pengetahuan
yang dikeluarkan oleh guru terhadap santri atau santriwatinya yang telah menyelesaikan pelajaran tentang
suatu kitab tertentu. Dengan demikian santri
atau santriwati tersebut dianggap menguasai dan mempunyai ’lisensi’ atau berhak
untuk mengajarkanya kepada
orang lain. Tradisi ijazah
ini hanya dikeluarakan untuk santri atau santriwati
tingkat tinggi yang mengenal kitab-kitab besar.
LATIHAN SOAL
Setelah mempelajari bab Pesantren dan
Penyiaran Agama Islam di Indonesia, jawablah dengan singkat dan jelas soal
latihan berikut ini dengan kalimat kalian sendiri!
1.
Bagaimana
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pesantren pada masa awal berdirinya?
2.
Apa tujuan
utama didirikannya pondok pesantren?
3.
Bagaimana
model/tipe pondok pesantren yang ada di Indonesia? Berikan pula contoh
nama pesantren tersebut
yang kalian ketahui! Jawaban bisa kalian susun dengan membaca
kembali buku materi, diskusi bersama teman, pengamatan di lapangan, atau mencari
tambahan jawaban di Internet.
RINGKASAN
Pondok pesantren adalah bentuk model pembelajaran guna mempelajari ilmu agama Islam
dengan cara mondok/
asrama. Pesantren di
Indonesia didirikan oleh walisongo. Pada mula berdirinya, kegiatan pesantren hanya diselenggarakan di dalam masjid.
Namun sekarang pondok
pesantren sudah lebih
maju dengan adanya
pengajaran bahasa asing, pendidikan ketrampilan, sains dan teknologi, dan sebagainya,
tetapi tujuannya tetaplah
sama yaitu mencetak
ulama atau ahli agama.
Santri di pesantren dapat dikelompokkan menjadi santri mukim dan
santri kalong. Santri mukim adalah para
santri yang datang dari tempat yang jauh sehingga ia tinggal dan menetap di pondok
pesantren. Sedangkan santri
kalong adalah para
santri yang berasal
dari wilayah sekitar pesantren sehingga mereka tidak memerlukan tempat tinggal di pesantren. Beberapa elemen yang terdapat dalam sebuah pondok pesantren antara lain: kyai dan
ustadz, santri, pondok, masjid,
madrasah atau sekolah, dan pengajian kitab-kitab kuning. Tradisi
yang ada di pondok pesantren antara
lain hidup dalam kebersamaan, pengajian dasar dan sistem ijazah dalam
penguasaan ilmu.
Bentuk pengajaran
di lingkungan pondok pesantren bervariasi seperti metode sorogan, metode
bandongan, metode musyawarah (bahts al-Masa’il), metode pengajian pasaran,
metode hafalan (muhafadhah), metode demonstrasi/ praktek ibadah, metode rihlah
ilmiyah, metode muhawarah atau muhadatsah, metode mudzakarah dan metode
riyadlah. Beragamnya bentuk pengajaran ini disesuaikan dengan pelajaran yang ada di pondok. Jenis
pondok pesantren ada dua
yaitu pondok pesantren salaf/ tradisional dan pondok pesantren
kalaf/ modern. Ilmu yang diajarkan pada pondok pesantren salaf terbatas
pada pembahasan kitab
kuning, tetapi pada
pondok pesantren modern santri juga diajarkan ilmu
sebagaimana di sekolah formal. Namun demikian, santri tidak hanya bertujuan
mencari ilmu di pondok, tetapi juga untuk mendapatkan barokah dari kyai.