Perjuangan NU Pasca ”Kembali Ke Khittah” 1926


A. VISI PERJUANGAN NU
Visi adalah pandangan atau wawasan yang hendak dicapai oleh suatu organisasi. Berdasarkan Keputusan Muktamar Donohudan, Boyolali tahun 2004, visi NU adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salah satu empat mazhab untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis  dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.36 Visi tersebut menjadi pedoman dalam perjalanan Nahdlatul Ulama dalam menjalankan kegiatan organisasi di Indonesia.

Visi NU adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salah satu empat mazhab untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
(Muktamar Donohudan, Boyolali tahun 2004)



B. SEJARAH KEMBALINYA NU KE KHITTAH 1926
Khittah NU atau Khittah Nahdliyyah sudah ada sebelum organisasi ini berdiri. Khittah tersebut berupa kepribadian khas yang dimiliki oleh umat Islam di Indonesia. Namun
sampai pada tahun 1984, khittah itu belum pernah dirumuskan secara lengkap dan sistematis serta terkumpul di dalam “satu dokumen utuh”. Sebagian kecil dari khittah tercermin dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU serta berbagai keputusan muktamar maupun  dokumen-dokumen  yang

lain. Sebagian lainnya tersimpan pada ilmu, amal, akhlak para tokoh yang sering terwujud dalam nasehat pengajian beliau. Oleh karena itu khittah NU baru didefinisikan secara rinci pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada 8-12 Desember 1984.
Gagasan merumus-kan khittah pertama kali muncul pada tahun 1975-an ketika organisasi ini berusia setengah abad. Pada saat itu  NU kembali menjadi jam’iyyah diniyah (organisasi kemasayarakatan). Disebut demikian karena sebelumnya NU melaksanakan kegiatan politik praktis yang tergabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Hal inilah yang menyebabkan umat merasa NU telah jauh keluar   dari garisnya dan jauh dari umat. Setelah kembali menjadi jam’iyyah diniyah, umat merasakan bahwa NU kembali lagi kepada khittahnya. Hal tersebut karena umat merasakan selama ini ada kesimpangsiuran dalam tubuh NU. Banyak yang berharap, terutama kalangan muda dan para sepuh, bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam bergerak.
Umat banyak yang menyatakan bahwa NU mempunyai khittah yang hebat, tetapi bagaimana runtutannya dan bagaimana rumusan kehebatan tersebut belum dapat diketahui dan dipelajari dengan mudah. Oleh karena itulah mulai terdengar kalimat kepada semangat 1926, kembali kepada khittah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang.
Pada tahun 1979, menjelang diselenggarakannya Muktamar di Semarang, Kyai Ahmad Shiddiq yang merupakan seorang pemikir NU, merintis rumusan khittah dengan menulis sebuah buku berjudul Khittah Nahdliyyah. Cetakan kedua
dari buku tersebut terbit pada tahun

1980 dan merupakan buku rintisan rumusan khittah.

Suasana Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur 1984

Pada tanggal 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri dari para tokoh muda NU. Mereka membicarakan kemelut yang melanda NU dan bagaimana mengatasinya. Mereka tidak mempunyai kapasitas apa-apa pada masa itu, namun kesungguhan mereka dalam menginventarisasikan gagasan ternyata mendatangkan hasil. Mula-mula mereka membentuk tim tujuh untuk pemulihan khittah yang bertugas merumuskan, mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya berjudul “Menatap NU Masa Depan” yang kemudian ditawarkan kepada segenap kelompok di dalam NU.
Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Hasil pertama adalah pada tahun 1983 Rais Aam K.H. Ali Maksum beserta para ulama sepuh lainnya mengadakan Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama di Situbondo tepatnya di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah yang diasuh oleh K.H. As’ad Syamsul ’Arifin. Panitia penyelenggara munas adalah K.H. Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan yang sebagain adalah juga tokoh-tokoh tim tujuh atau juga dikenal dengan majlis 24. Ternyata Munas Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki arti sejarah yang sangat penting bagi NU, bahkan dalam berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Ada dua keputusan yang penting; pertama, Penjernihan kembali pandangan dan sikap NU terhadap Pancasila yang dituangkan dalam deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan rancangan mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, Pemantapan tekad kembali kepada Khittah NU yang dituangkan dalam pokok-
pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926.
Keberhasilan Munas Alim Ulama 1983 ini berlanjut dengan pertemuan internal di Sidoarjo (rumah alm. K.H.Hasyim Latif) selama beberapa hari. Hal ini dilakukan guna mempersiapkan muktamar NU yang ke-27 pada tahun selanjutnya. Ketika itu,

NU tidak lagi dipandang sebagai kelompok eklusif yang sulit diajak bekerjasama, akan tetapi menjadi pihak yang selalu dicari untuk diajak bekerjasama. Muktamar ke-27 diadakan di tempat yang sama pada tahun 1984 yang dihadiri oleh Presiden Soeharto. Muktamar ini mendapatkan simpati yang luar biasa dari berbagai pihak, baik dalam atau pun luar negeri.
Muktamar ke-27 di Sidoarjo berhasil mewujudkan kembalinya NU pada Khittah 1926. Hal ini merupakan puncak semangat dan tekad kembali kepada khittah 1926 dan bermodalkan rintisan risalah Khittah Nahdliyyah karya K.H. Ahmad Shiddiq. Rintisan risalah tersebut dikembangkan dengan menatap Nahdlatul Ulama masa depan hasil rumusan tim tujuh serta dipadukan dengan makalah “pemulihan ulama Nahdlatul Ulama 1983” dan pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khittah Nahdlatul Ulama 1926 yang merupakan kesimpulan munas.

Sejarah kembalinya NU ke khittah 1926 dimulai dengan gagasan rumusan  khittah pada tahun 1975, dilanjutkan tersusunnya rintisan Khittah Nahdliyyah   oleh   Kyai Ahmad
Shiddiq pada tahun 1979. Estafet berlanjut pada Munas Alim Ulama di Situbondo pada tahun 1983 yang dipimpin Rais Aam



Dengan demikian, muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo menetapkan rumusan terakhir ”Khittah Nahdlatul Ulama”. Di samping itu, muktamar juga menerima dan mengesahkan semua keputusan Munas Alim Ulama pada tahun 1983, termasuk deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam. Inilah perjalanan panjang khittah NU, yang para pendahulu telah berusaha memberikan alternatif bagi perjalanan Nahdlatul Ulama pada masanya. Sekarang generasi muda Nahdlatul Ulama meneruskan prestasi para ulama terdahulu dengan tetap menjaga kemurnian Nahdlatul Ulama sebagai sebuah jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah (organisasi keagamaan yang kegitannya tidak terbatas pada bidang agama tapi juga pada bidang kemasyarakatan) seperti harapan para pendiri dan para pendahulu.


C. KEPUTUSAN MUKTAMAR NU XXVII DI SITUBONDO37
Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo menghasilkan keputusan berupa rumusan khittah NU sebagai berikut:


Artinya:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap

pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua-  nya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, Dan hendaklah kamu memutuskan perkara  di  antara  mereka  menurut  apa  yang  diturunkan   Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al- Ma’idah [5]: 48 – 49).

2. Mukaddimah
Nahdlatul Ulama didirikannya atas kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyah adalah wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M. dengan tujuan untuk memelihara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat, masing-masing Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan

kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
Nahdlatul Ulama dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah , cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera.
Nahdlatul Ulama mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian disebut Khittah Nahdlatul Ulama.
3. Pengertian
a. Khitthah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
b. Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut  kondisi  kemasyarakatan  di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
c. Khitthah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
4. Dasar-dasar Faham Keagamaan NU
a. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
b. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Assunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-madzhabi):
1) Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti ahlussunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al- Asy’ari dan Imam Manshur Al-Maturidzi.
2) Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan
(Al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an

Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3) Di bidang tasawuf, mengikuti Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
c. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai- nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.
5. Sikap Kemasyarakatan NU
Dasar-dasar pendirian keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada:
a. Sikap Tawasuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah- tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharuf (esktrim).
b. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap peradaban pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat  furu’  atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah , khidmah kepada sesama  manusia  serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan beragama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
6. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan
Dasar-dasar keagamaan (angka 3) dan kemasyarakatan (angka 4) membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang:
a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c. Menjunjung tinggi sifat keikhasan dan berkhidmah serta berjuang
d. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi.
e. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah
h. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong memacu dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan ber- bangsa dan bernegara.

7. Beberapa Ikhtiyar
Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang utama kegiatan sebagai ikhtiyar mewujudkan cita-cita dan tujuan beridirinya, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Ikhtiyar-ikhtiyar tersebut adalah:
a. Peningkatan silaturrahmi / komunikasi / relasi-relasi antar ulama (dalam statoetoel Oelama 1926 disebutkan: mengadakan Perhoeboengan di antara oelama-oelama jang bermadzhab)
b. Peningkatan kegiatan di bidang keiluan / pengkajian / pendidikan. (Dalam statoeten Nahdlatoel Uelama 1926 disebut- kan Memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek menga- djar, soepadja diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab assoennah wal Djama’ah ataoe kitab-kitab ahli bid’ah; memper- banjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam)
c. Peningkatan penyiaran Islam, membangun sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: menjiarkan agama Islam dengan djalan apa sadja jang halal; memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondok-pondok, begitoe djoega dengan hal ikhwalnya anak- anak jatim dan orang fakir miskin)
d. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Mendirikan badan-badan oentoek memajoe- kan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara’ agama Islam)
Kegiatan-kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus membangun hubungan dan komunikasi antar para ulama sebagai pemimpin masyarakat; serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjerat oleh keterbela- kangan, kebodohan dan kemiskinan. Sejak semula Nahdlatul Ulama

melihat masalah ini sebagai bidang garapan yang harus dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan nyata.
Pilihan akan ikhtiyar yang dilakuan mendasari kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa dengan tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat, terutama dengan men- dorong swadaya masyarakat sendiri.
Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah Islamiyah, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat terbelakang, bodoh dan miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia.
Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan sikap partisipatif kepada setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat kepada kehidupan yang maslahat. Sehingga setiap kegiatan Nahdlatul Ulama untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal ibadah yang didasarkan pada faham keagamaan yang dianutnya.
8. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama
Dalam rangka kemaslahaatan ikhtiyarnya, Nahdlatul Ulama mem- bentuk organisai yang mempunyai struktur tertentu dengan fungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan yang telah ditentukan, baik itu bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah Diniyah yang membawa faham keagamaan, maka Ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi. Sedang untuk melaksanakan kegiatannya,
Nahdlatul Ulama menempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya guna menanganinya.

9. NU dan Kehidupan Bernegara
Sebagai organiasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan Nasional Bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta ikut aktif dalam penyusunan UUD 1945.
Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah . Oleh karenanya, setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan/ agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul Ulama berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi bersama.

10. Khatimah
Khitthah Nahdlatul Ulama merupakan landasan dan patokan dasar perwujudannya dengan izin Allah , terutama tergantung kepada semangat pemimpin warga Nahdlatul Ulama. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-cita jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengenalkan khitthah Nahdlatul Ulama ini.
Ihdinashiraathal mustaqim
Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maulaa wani’man nashir

Nahdlatul Ulama mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian disebut Khittah Nahdlatul Ulama.



D. PERJUANGAN NU DALAM MENEGAKKAN ISLAM DI INDONESIA.
Indonesia adalah negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Dengan demikian, perjuangan penegakan nilai-nilai Islam perlu di- tegakkan demi harmonisnya kehidupan keberagamaan (hablum minalloh) dan kehidupan kemasyarakatan (hablum minannas).

Perjuangan tersebut tertuang dalam misi NU. Misi merupakan hal- hal yang diupayakan guna mewujudkan visi. Adapun misi NU adalah sebagai berikut:
1) Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal jamaah dan me- nurut salah satu madzhab empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar.
2) Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan; mengusaha- kan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengatahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3) Di bidang sosial; mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia.
4) Di bidang ekonomi; mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menik- mati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
5) Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat guna terwujudnya khaira ummah. 38



E. KAIDAH USHULIYYAH DAN KAIDAH FIQHIYAH
Kaidah ushuliyyah merupakan gabungan dari kata qaidah dan ushuliyyah. Kaidah berasal dari kata qaidah, yang artinya patokan, pedoman, dan titik tolak, dan ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Sedangkan bentuk jamak dari qaidah adalah qawa’id. Adapun ushuliyyah berasal dari kata al-ashl, yang artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Dengan demikian, kaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan pokok yang digunakan oleh ulama Nahdlatul Ulama untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga di dapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut. Kaidah ushuliyyah disebut juga
sebagai kaidah istinbathiyah atau ada juga yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah.39
Kaidah fiqhiyah berasal dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah yang jamaknya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci. Kaidah ini merupakan cabang dari kaidah ushuliyyah yang dijadikan pedoman dasar dalam ilmu fikih yang menjadi prinsip dan selalu dipegang oleh kaum nahdliyyin.
Kaidah ushuliyyah ada 5 pokok yaitu:

1. (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)

“suatu amal yang disyaratkan penjelasannya maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”

2.  (Keyakinan  tidak  dapat  hilang  karena adanya keraguan)
Kaidah fiqhiyyahnya antara lain:

“Keluar dari khilaf adalah (menjaga agar perbedaan tidak terlalu tajam) disenangi.”



“rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”

4. ُيـزال ُر الض (Kemudharatan harus dihilangkan)
Kaidah fiqhiyyahnya antara lain:

“Mencegah bahaya didahulukan daripada menarik datangnya kebaikan.”

5.   ُمحكـمة ُة د�الـعـ (Adat dapat menjadi hukum)
Kaidah fiqhiyyahnya antara lain:

“tidak diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.”



K. HUBUNGAN KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH FIQHIYYAH Kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah memiliki perbedaan diantara keduanya. Meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa dipisahkan
karena ilmu kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan bagian dari ilmu
fiqhiyah.
Hubungan antara keduanya adalah hubungan antara umum dan khusus. Dengan demikian, kaidah fiqhiyyah mempunyai pembahasan yang lebih luas tetapi tidak terlepas dari nilai-nilai ushuliyyah. Kaidah fiqhiyyah mencakup ranah yang lebih khusus terhadap peristiwa yang terjadi di kalangan umat.



LATIHAN
Setelah mempelajari bab Perjuangan NU Pasca ”Kembali Ke Khittah” 1926, jawablah dengan singkat dan jelas soal latihan berikut ini dengan kalimat kalian sendiri!
1. Bagaimana sejarah kembalinya NU ke khittah 1926?
2. Bagaimana perjuangan NU di Indonesia dalam bidang agama?
3. Bagaimana hubungan kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah dalam NU?


TES FORMATIF
Pilihlah jawaban yang paling benar dari pertanyaan berikut dengan memberi tanda silang (x) pada pilihan a, b, c atau d!

1. Visi NU adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut ...
a. empat mazhab
b. dua dari empat mazhab
c. semua mazhab
d. salah satu empat mazhab

2. Terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia adalah misi NU di bidang ....
a. ekonomi
b. pendidikan
c. sosial
d. agama

3. Rintisan Khittah Nahdliyyah 1979 adalah buah pikir dari ....
a. Rais Aam K.H. Ali Maksum
b. Kyai Ahmad Shiddiq
c. Presiden Soeharto
d. K.H. As’ad Syamsul ’Arifin

4. Jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah artinya ....
a. Organisasi keagamaan yang kegitannya tidak terbatas pada bidang agama tapi juga pada bidang kemasyarakatan
b. Organisasi keagamaan yang kegitannya terbatas pada bidang agama saja
c. Organisasi kemasyarakatan yang bebas dari kegiatan politik
d. Organisasi kemasyarakatan yang juga berkecimpung dalam kegiatan politik praktis

5. Apa sikap NU terhadap hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah?
a. Tawasuth
b. Tasamuh
c. Tawazun
d. Ma’ruf Nahi Munkar

6. Ikhtiyar yang dilakukan NU bertujuan untuk....
a. menjadi organisasi agama yang terdepan di Indonesia
b. meraih kekuasaan yang sebanyak-banyaknya di lingkungan pemerintahan
c. melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masya- rakat, terutama dengan mendorong swadaya masyarakat
d. menjembatani antara umat dan pemerintah

7. Berikut yang bukan merupakan dasar faham keagamaan NU adalah….
a. al-ittihad
b. al-Qur’an
c. as-Sunnah
d. al-Qiyas.

8. Kaidah yang merupakan sejumlah peraturan pokok yang digunakan oleh ulama Nahdlatul Ulama disebut....
a. kaidah fiqhiyah
b. kaidah nahdliyyah
c. kaidah ushul-fiqh
d. kaidah ushuliyyah

9. “mencegah bahaya didahulukan daripada menarik datangnya kebaikan” merupakan cabang dari ....
a. segala sesuatu bergantung pada tujuannya
b. kesukaran mendatangkan kemudahan
c. kemudharatan harus dihilangkan
d. adat dapat menjadi hukum

10. Kaidah yang mempunyai sifat yang lebih khusus dan terperinci disebut ….
a. ushuliyyah
b. fiqhiyyah
c. nahdliyyah
d. ijtimaiyyah