A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA
Islam masuk ke
Indonesia disebarkan oleh para pedagang, bukan oleh para tentara. Sudah menjadi
sifat para pedagang bahwa mereka terbiasa melakukan tawar menawar harga. Tawar
menawar yang dilakukan oleh para muballigh pada zaman dahulu bukan hanya
mengenai harga komoditi dagangan semata. Namun tawar-menawar juga dilakukan
dalam kehidupan beragama yang mereka dakwahkan kepada penduduk setempat.
Sebagai contoh
tawar menawar yang
dilakukan oleh para
muballigh adalah untuk tidak menghilangkan tradisi yang ada. Maksudnya,
para muballigh sadar bahwa kebudayaan seperti sesaji, selamatan, dan sebagainya adalah
bagian dari masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Menolak tradisi ini berarti
menutup celah mereka
untuk tertarik kepada ajaran agama Islam. Sebab yang
namanya tradisi itu tidak mudah untuk dihapus. Oleh karena itu, para muballigh
memiliki jalan tengah. Upacara-upacara ritual seperti selamatan itu masih tetap
dilakukan. Akan tetapi, ruhnya diganti dari ruh animisme, dinamisme, Hindu dan Buda menjadi ruh Islam. Nasi yang biasa
digunakan untuk sesaji diberikan kepada masyarakat sebagai perwujudan dari shadaqah yang
kemudian dikenal dengan
istilah sedekah. Mantra-mantra yang dahulu
digunakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal diganti oleh para ulama dengan doa-doa yang
berasal dari Al-Qur’an dan Hadits. Ziarah kubur untuk
meminta berkah kepada
roh penghuni kubur pada
masa pra Islam diganti dengan ziarah kubur untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal. Demikianlah gambaran ringkas kehidupan sosial beragama di masyarakat
pada zaman dahulu.
Demikianlah pola
kehidupan yang melatarbelakangi berdirinya jam’iyah Nahdhatul Ulama. Juga peran
Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Para mubaligh sadar, kebudayaan seperti selamatan, sesaji adalah bagian dari tradisi masyarakat Indonesia yang susah untuk dirubah. Untuk
itu kemudia para mubaligh memasukkan nilai-nilai islami dalam
tradisi-tradisi tersebut.
B. TOKOH-TOKOH
PENDIRI NU
Pilar pendiri
NU adalah KH Hasyim Asy’ari
dan KH Wahab
Hasbullah. KH Hasyim Asy’ari
adalah sumber legitimasi dalam pendirian organisasi ini dan sekaligus Rais Akbar
pertama. Sedangkan KH Wahab adalah inspirator,
motor penggerak, dan fasilitator pendirian organisasi ini. Dua tokoh
tersebut menjadi semakin kuat mana kala para kiai lain yang ternama ikut
bergabung untuk bertemu di rumah Kiai Wahab di Kertopaten, Surabaya pada
tanggal 31 Januari 1926 dan bersepakat mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
para kiai yang
menjadi pendiri Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:
No
|
Nama
|
Asal
|
1
|
K.H.
Muhammad Hasyim Asy`ari
|
Jombang
|
2
|
K.H. Abdul
Wahab Hashbullah
|
Surabaya
|
3
|
K.H. Bisri
Syamsuri
|
Jombang
|
4
|
K.H. Raden
Haji Asnawi
|
Kudus
|
5
|
K.H. Ma`sum
|
Lasem
|
6
|
K.H. Ridwan
|
Semarang
|
7
|
K.H. Nawawi
|
Pasuruan
|
8
|
K.H.
Nahrowi
|
Malang
|
9
|
K.H. Ridwan
|
Surabaya
|
10
|
K.H. Alwi
Abdul Aziz
|
Malang
|
11
|
K. Abdullah
Ubaid
|
Surabaya
|
12
|
K.H. Abdul
Halim
|
Cirebon
|
13
|
K.H. Doro
Munthaha
|
Madura
|
14
|
K.H. Dahlan
`Abdulqahar
|
Kertosono
|
15
|
K.H.
Abdullah Faqih
|
Gresik
|
1.
KH Hasyim Asy’ari.
Beliau lahir di
desa Gedeng, kira-kira 2 km kira-kira sebelah utara kota Jombang Jawa Timur pada
tanggal 24 Dzulhijjah 1287 H atau 14 Pebruari
1871 M Ayahnya bernama KH Asy’ari dari Demak yang
masih keturunan dari trah Majapahit sementara ibunya, Halimah bin K
Utsman berasal dari desa setempat.
Sislilah keturunan
beliau berasal dari Raja Brawijaya VI yang juga dikenal dengan nama Lembu
Peteng. Salah seorang dari keturunan Lembu Peteng yang dikenal dengan Jaka
Tingkir atau Mas Karebet adalah salah satu kakeknya. Jaka Tingkir menjadi raja
Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya dan menurunkan putra Pangeran Benowo.
Pangeran Benowo memiliki
anak bernama Muhammad
alias Pangeran Sambo.
Pangeran Sambo menurunkan Kiai Sikhah di Nggedang, Jombang. Kiai Sikhah adalah cicit
Pangeran Sambo. Putri Kiai Sikhah yang bernama Layinah dinikahkan dengan
santrinya sendiri yang bernama Utsman, asal Jepara. Pasangan antara Utsman dan
Layinah memiliki putri bernama Halimah
alias Winih. Halimah
dinikahkan dengan Asy’ari, salah seorang santri Kiai Utsman.
Ketika masih kecil
(umur 6-12 tahun beliau belajar di beberapa pesantren, yaitu Pondok Wonoboyo,
Probolinggo, kemudian ke Pondok
Langitan, Trenggalis, dan Bangkalan
Madura. Pada usia 15 tahun beliau
menjadi santri di Siwalan Sidoarjo yang diasuh oleh Kiai Ya’kub. Hasyim dikenal sebagai santri yang
tekun, cerdas, dan shaleh. Ketekunan dan bakatnya membuat kiai Ya’kub kagum dan berminat untuk menjodohkannya dengan putri beliau.
Perjodohan ini terlaksana ketika Hasyim berusia 21
tahun. Kemudian Hasyim dan istrinya diajak pergi untuk menunaikkan ibadah haji ke tanah
suci.
Sesudah menunaikan haji, Hasyim diperintahkan untuk menetap di Makkah guna memperdalam ilmu pengetahuan. Beliau
memperdalam fiqih madzhab Syafi’i
dan kumpulan hadits
BukhariMuslim. Tidak lama setelah melahirkan putra pertamanya,
istrinya dan sekaligus putranya yang bernama Abdullah wafat.
Pada tahun 1900 Hasyim
pulang ke Indonesia dan kembali
lagi ke
tanah suci. dan menetap selama 7 tahun untuk mendalami ajaran agama
Islam. Waktu yang demikian lama
beliau manfaatkan sebaik- baiknya untuk menimba ilmu. Beliau berguru
kepada Syeikh Mahfuzh
At-Tarmasi (berasal dari Termas, Jawa Timur yang mengajar di Makkah),
kemudian kepada Syekh Khatib Al-Mingkabaui. Ulama lain yang berguru kepada
Syaikh Khathib adalah KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, dan KH Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah).
Pada tahun 1906 Hasyim
mendirikan pondok pesantren Tebuireng dengan
jumlah santri 28 orang. Berkat ketekunannya maka pondok pesantren berkembang pesat, apalagi dengan
bantuan dari Muhammad Ilyas, anak angkat KH Hasyim.
Kh hasyim asy’ari adalah pendiri dari organisasi
Nahdlatul Ulama.
Beliau diberi gelar hadratusy syaikh.
Pada masa penjajahan Belanda
KH Hasyim pernah
menolak bintang jasa yang
terbuat dari emas yang akan dianugrahkan kepadanya pada tahun 1937. Beliau juga memfatwakan haram melaksanakan
ibadah haji dengan kapal-kapal milik Belanda pada masa revolusi. Pada masa pendudukan Jepang beliau
dijebloskan di penjara selama berbulan- bulan lalu diasingkan ke Mojokerto.
Pada tahun 1926
bersama KH Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri dan beberapa Kiai lainnya beliau
mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai wadah aspirasi kalangan Islam
tradisionalis yang terpinggirkan oleh kalangan Islam modernis dalam Konggres
Al- Islam di Bandung.
Pada tahun 1945 beliau
mengeluarkan Resolusi Jihad untuk melawan Sekutu (NICA) yang ingin mendarat di
Surabaya yang kemudian dikenal dengan pertempuran 10 November dan diperingati sebagai hari pahlawan. Beliau
pula yang merumuskan doktrin ajaran Ahlussunnah
wal Jama’ah Annahdliyyah.
Di antara
putra-putra beliau adalah Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama) dan Yusuf Hasyim. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) cucu beliau dari KH Abdul Wahid Hasyim pernah
menjadi presiden Republik Indinesia.
Pada tahun 1947
beliau meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Tebuireng.
Jasa-jasanya:
1.
Sebagai Bapak
Pendiri NU
2.
Tokoh pemersatu Umat Islam
3.
Pembaharu
sistem Pondok dan Madrasah.
4.
Ketua tim
tanda gambar NU.
2. KH Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971)
Lahir di Tambak
Beras, Jombang Jawa Timur pada bulan Maret 1888. ayahnya bernama Hasbullah dan
ibunya bernama Fatimah binti
K. Sichah, paman K Haji Hasyim
Asy’ari. Keluarga Hasbullah adalah pengasuh pondok pesantren Tambak Beras dan
masih memiliki hubungan dengan KH Hasyim Asy’ari.
Sejak kecil
dididik ayahnya membaca Al-Qur’an, Fikih, Tauhid, Tasawuf, dan Bahasa Arab.
Pada usia 13 tahun mondok di Langitan, Tuban selama 4 tahun kemudian ke
pesantren Cempaka selama setengah tahun, di Tawangsari selama 3 tahun, dan
belajar kepada Kiai Khalil Bangkalan Madura selama satu tahun, di Tebuireng
selama empat tahun dan di Makkah selama 5 tahun kepada KH Mahfuz At- Tarmasi
dan Syekh Al-Yamani. Di Makkah beliau mendapatkan nilai istimewa dari para
gurunya.
Sepeninggal istri
pertamanya setelah wafat saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921 Kiai Wahab
menikah lagi dengan Alawiyah putri Kiai Alwi. Istri keduapun meninggal setelah
dikaruniai anak. Sesudah itu Kiai Wahab pernah menikah tiga kali namun tidak
berlangsung lama dan tidak dikaruniai putra. Kemudian menikah lagi dengan
Asnah, putri Kiai Said dari Surabaya dan dikaruniai empat orang anak. Salah
satu dari putranya adalah KH Wahib Wahab yang pernah menjadi Menteri Agama.
Setelah Asnah meninggal, KH Wahab menikah dengan
Fatimah tetapi tidak
dikaruniai seorang putra.
Namun Fatimah membawa seorang anak yang bernama KH Syaikhu. Setelah itu beliau
menikah kembali dengan
Masnah dan memperoleh seorang putra.
Kemudian beliau
menikah lagi dengan Ashlikhah, putri Kiai Abdul Majid Bangil dan memperoleh empat orang putra.
Terakhir, Kiai Wahab
memperistri Sa’diyah (kakak Aslikhah setelah Aslikhah meninggal
dan mempunyai lima orang
putra sampai akhir
hayatnya pada tahun
1971. Beliau berhasil
membentuk berbagai organisai masa. Pada tahun
1914 beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul
Afkar. Pada tahun 1916 beliau mendirikan madrasah
Nahdlatul Wathan. Keduanya didirkan bersama Kiai Mas Manshur. Di kalangan pemuda beliau
mendirikan Syubanul Wathan.
Ia juga berhubungan dengan tokoh- tokoh
nasional lain seperti Soetomo dalam Islamic
Studies Club yang
didirikan bersama kaum terpelajar.
Peranan yang
terbesar adalah saat menjelang pendirian NU pada tanggal 31 Januari 1926 ia
mengajak para ulama dan komite Hijaz untuk bermusyawarah bersama. Perteuan ini
akhirnya menorehkan sejarah berdirinya Jam’iyyah Nadlatul Ulama yang
mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Nama Nahdlatul
Ulama sendiri adalah usulan dari Kiai Alwi Abdul Aziz dari Surabaya. Sementara
pencipta lambangnya adalah Kiai Ridlwan dari Surabaya. Selanjutnya KH Wahab
sebagai Katib ‘Am di NU dan KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Jasa-jasa KH Abdul Wahhab:
1.
Pendiri NU
2.
Pahlawan Kemerdekaan
3.
Anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro
4.
Pendiri Taswirul
Afkar
5.
Pendiri
Nahdlatul Waton
6.
Ketua team
Komite Hijaz
7.
Pencetus badan
Syuriyah dan Tanfidziyah
Masih banyak
jasa beliau yang lain baik yang berhubungan dengan organisasi politik negara, maupun agama, terutama
keseriusan beliau dalam mengembangkan agama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Abdul Wahab Hasbullah meninggal dunia jam 10.00 hari Rabu tanggal 12
Dzulqa’idah 1391 atau tanggal 29 Desember 1971
M.
3.
KH Abdul Wahid Hasyim
Kiai Haji
Abdul Wahid Hasyim
adalah putra dari
pasangan KH Hasyim Asy’ariNafiqoh lahir
pada hari Jum’at Legi
tanggal 5 Rabi’ul
Awwal1333 H atai 1 Juni 1914. Sejak kecil sudah dididik agama oleh
ayahnya sendiri, yaitu diajari ilmu-ilmu agama setiap selesai shalat Maghrib
dan shalat zhuhur. Pada saat usia sekolah, beliau masuk
madrasah salafiyah. Tebuireng. Setelah
berumur 13 tahun belajar di Pondok Siwalan Sidoharjo dan Pondok Lirboyo Kediri.
Sedangkan kemahiran membaca dan menulis latin, bahkan penguasaan pengetahuan umum lainnya diperoleh dengan cara
belajar sendiri.
Pada tahun 1932 beliau naik
haji, kemudian meneruskan mem- pelajari ilmu agama di kota Makkah. Sepulang
dari tanah air beliau mendirikan madrasah sekaligus menjadi guru di tempat baru tersebut.
Pada tahun 1938 beliau
mulai aktif di organisasi NU sebagai pengurus ranting di desanya. Tidak lama
kemudian diangkat menjadi pengurus Cabang di Jombang dan kemudian sebagai
pengurus besar NU di Surabaya. Dalam setiap
kegiatan beliau selalu
mendapat dukungan dari
istrinya yang bernama Sholehah
binti Bisri Sansuri.
Dari perkawinannya inilah
lahir Abdurrahman Ad-Dakhil atau yang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), ketua PBNU periode 1984-1989 dan 1989-1994.
Jasa-jasa beliau adalah:
1.
Pendiri
lembaga pendidikan Ma’arif (1938)
2.
Anggota BPUPKI
3.
Anggota PPKI
4.
Ikut
menandatangani Piagam Jakarta
5.
Menteri Negara
tahun 1945
6.
Menteri Agama
Masa Bakti 1949-1953
7.
Memprakarsai
berdirinya IAIN
Pesan yang sering
beliau sampaikan adalah “Giatkan pendidikan bagi tunas muda NU karena tanpa
pendidikan, NU akan kehilangan generasi penerus.”
Beliau wafat pada hari Ahad tanggal 4 Sya’ban 1370 H atau 15 April 1953.
4.
KH Bisri Sansuri
Beliau lahir di
Tayu Wetan kabupaten Pati pada tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H atau pada tanggal
18 September 1886. pada usia 9 tahun beliau sudah pandai dan fasih membaca
Al-Qur’an.
Beliau pernah
belajar agama di Pondok Kajen, Margoyoso, terutama belajar kitab kuning sampai
berumur 19 tahun. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang untuk mendalami Al-Qur’an. Al-Hadits, Balaghah, dan Nahwu
selama kurang lebih empat tahun. Menjelang usia 23 tahun beliau pergi ke Makkah
untuk belajar agama Islam pada sumber pertamanya selama empat tahun.
Jasa-jasanya adalah:
1.
Pengurus Pusat
Masyumi tahun 1943.
2.
Rois ‘Am PB NU tahun 1971
3.
Rois PPP tahun 1973.
4.
Kepala Markaz
pertahanan Hisbullah-Sabilillah (MPHS)
5.
Pengasuh
Pondok Pesantren Denanyar.
6.
Anggota
DPR-MPR RI
C.
PERJUANGAN NU
Selaku organisasi
sosial keagamaan NU sejak dahulu sampai sekarang dan sampai kapanpun akan
senantiasa berjuang demi kepentingan umat. Dalam
perjuangannya NU masuk
ke dalam berbagai segi,
di antaranya adalah melalui politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan
peningkatan sumber daya manusia. Adapun penjelasan lebih lanjutnya adalah
sebagai berikut:
1.
Politik Kebangsaan
Sejak kedatangan
penjajah, (Portugis dan Belanda) bangsa Indonesia selalu menyambutnya dengan
perlawanan dan peperangan. Peperangan tersebut di
pelopori oleh para ulama dengan barisan santrinya. Para ulama menanamkan rasa cinta tanah air dengan ungkapan Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah
air itu adalah bagian dari iman).
Untuk memperkuat
kebencian kepada para penjajah, maka para ulama saat itu melarang keras umat
untuk meniru pola hidup para penjajah. Bukan hanya dari aspek keyakinan dan
agama saja, bahkan sampai pada taraf berpakaian sekalipun. Hingga para ulama
pada saat itu memfatwakan bahwa memakai dasi, memakai jas, dan celana panjang
itu haram. Mereka mengutip sebuah hadits dari
Rasulullah:
Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk
golongan kaum itu.
Berdasarkan prinsip tersebut para ulama memilih mendirikian pesantren sebagai basis perjuangan melawan kolonial di tempat-tempat yang jauh dari pengaruh kolonial
Belanda. Dan pondok pesantren
bisa menjadi tempat menanamkan jiwa
patriotisme dan nasionalisme disamping menyalakan semangat berjihad di dada
para santri.
Pada awal abad XX adalah
awal adanya satu kesadaran bahwa penjajah tidak mungkin dikalahkan dengan tekat
yang membara. Oleh karena itu perlu adanya manajemen dalam perjuangan sehingga kemudian muncul berbagai
organisasi-organisasi dalam berbagai bidang baik bidang pendidikan, kebudayaan,
ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Di kalangan
pesantren, hasrat untuk
mendirikan organisasi tumbuh sejak KH Wahab Hasbullah pulang
dari menuntut ilmu di Makkah. Pada tahun
1914 beliau membentuk sebuah majlis disukusi yang diberi nama Tashwirul
Afkar. Forum ini menjadi
sarana mendiskusikan berbagai aspek kehidupan baik yang bersifat keagamaan
maupun masalah-masalah politik perjuangan melawan penjajah,
Untuk memberdayakan umat, maka Tashwirul
Afkar mendirikan kelompok kerja yang diberinama Nahdhatul Wathan (Kebangkitan tanah air) dengan program
utama di bidang pendidikan dan pelatihan
kader-kader muda untuk kegiatan dakwah. Dari kelompok ini lahirlah Jam’iyah Nasihin dan
madrasah Khithabul Wathan (Mimbar Tanah Air) di Pacarkeling Surabaya. Menyusul
kemudian madrasah Ahlul Wathan (Keluarga tanah air) di
Wonokromo, Far’ul Wathan (Cabang Tanah Air)
di Gresik dan Malang, dan Hidayatul
Wathan (Pemandu Tanah Air) di
Jombang dan Jagalan Surabaya.
Dilihat dari segi
nama-nama yang lahir dalam forum diskusi Tashwirul
Afkar yang semuanya
memakai predikat wathan yang
berarti tanah air, maka
jelaslah bahwa semangat nasionalisme merupakan api yang mewarnai pemikiran para
ulama pesantren dalam mengikuti perkembangan dan pergerakan Nasional Indonesia.
Karena aktifitas aktifitas yang dilakukan Tashwirul Afkar merupakan embrio bagi
berdirinya Nahdlatul Ulama, maka dapat difahami bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama
juga didorong oleh semangat membela tanah air.
Membela tanah air berarti membela tuntutan rakyat untuk merdeka dan
melawan segala bentuk penjajahan.
2.
Pemberdayaan Ekonomi
Kepedulian para
ulama NU tidak saja dalam masalah-masalah agama saja. Akan tetapi, juga masalah-masalah lain, termasuk di dalamnya
masalah ekonomi. Pada tahun 1918
Nahdlatul Ulama mendirikan perkumpulan ‘Inan
Murabathah Nahdlatut Tujar. Motifasi-
motifasi untuk mendirikan perkumpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Banyak pengikut
Ahlussunnah wal Jama’ah bahkan
sebagian ulama pada waktu itu
memaksakan dirinya untuk bertawakal total tapa berikhtiar untuk peningkatan
kualitas hidupnya (orang-orang kaya).
2.
Banyak
ulama dan aghniya’ (orang kaya) Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak
memperdulikan tetangganya yang lemah agamanya terutama di kalangan yang lemah
pendidikan ekonominya.
3.
Sebagian besar
santri dan kiai
hanya mencukupkan pergumulannya terhadap aktifitas tafaquh fiddin dalam batas tertentu dan
tidak menghiraukan ilmu-ilmu lain sehingga ada kesenjagan antara ulamauddin dengan cendekiawan Ahlussunnah
wal Jama’ah.
Tujuan pembentukan
perkumpulan tersebut adalah untuk menggugah semangat keikhlasan, persaudaraan,
kebersamaan, dan kepedulian seluruh pengikut Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam memabangun kehidupan yang
bermanfaat dan bermashlahah, terutama dalam bidang perekonomian. Dalam waktu
relatif singkat, syirkah tersebut memiliki banyak anggota dengan iuran
wajib setiap anggotanya 25
golden. Prioritas pembangunan pada saat itu diutamakan pada sektor pertanian.
Demikianlah
kepedulian ulama dan pesantren sehingga kehadiran ulama dan pesantren bukan
saja bermanfaat dalam bidang agama saja, namun juga bisa memberi kemanfaatan
yang umum bagi umat Islam.
3. Peningkatan Suber Daya
Manusia (SDM)
Pondok pesantren
sebagai basis NU dalam menggembleng para santri untuk memperdalam ilmu agama
(tafaqquh fid din) tidak hanya
berorientasi agar santri menjadi orang yang shaleh namun juga berusaha untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Langkah pertama
yang dilakukan oleh pondok pesantren adalah dengan mendirikan madrasah. Dengan
demikian, di Pesantren tidak hanya dipelajari ilmuilmu agama seperti aqidah,
akhlak, fiqih, sirah, dan sejenisnya. Namun di sana juga dipelajari ilmu-ilmu umum seperti matematika, biologi, fisika,
geografi, dan sebagainya.
Lebih jauh dari
itu, pada saat ini pondok pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, namun juga
mendirikan sekolah-sekolah baik
umum maupun kejuruan, bahkan mendirikan perguruan tinggi. Pendidikan yang
dikembangkan di pesantren juga bukan hanya pendidikan formal namun juga
pendidikan non formal. Ada banyak kursus dan pelatihan yang diselenggarakan
oleh pesantren. Ada kursus bahasa asing seperti Bahasa Inggiris, Perancis,
Jerman, dan sebagainya. Ada pula kursus-kursus ketrampilan seperti ketrampilan
menjahit, membordir, servis
elektronik, dan sebagainya. Ada pula pelatihan-pelatihan seperti pelatihan
pidato dengan bahasa Asing, jurnalistik, dan masih banyak lagi.
Dengan bekal yang
diberikan oleh pesantren kepada para santri, diharapkan saat mereka meninggalkan pondok pesantren mereka
tidak lagi bingung untuk mencari pekerjaan, namun justri bisa menciptakan lapangan pekerjaan sehingga bisa tidak tergantung kepada orang lain bahkan bisa memberi manfaat kepada
orang lain.
Dalam perjuangannya NU masuk ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya manusia.
D. JAWABLAH
PERTANYAAN-PERTANYAAN DI BAWAH INI!
1.
Bagaimanakah
pola kehidupan beragama dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sebelum
didirikannya NU?
2.
Kapan
NU berdiri? Jelaskan latar belakang didirikannya NU dan jelaskan urgensi didirikannya!
3.
Sebutkan
beberapa tokoh pendiri NU dan biografi singkatnya!
4.
Bagaimana
peran akitf NU dalam bidang politik?
5.
Apa yang
telah dilakukan oleh
NU berkaitan dengan
pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan
manusia?
|
|