Lahirnya NU


A.      LATAR BELAKANG BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA

Islam masuk ke Indonesia disebarkan oleh para pedagang, bukan oleh para tentara. Sudah menjadi sifat para pedagang bahwa mereka terbiasa melakukan tawar menawar harga. Tawar menawar yang dilakukan oleh para muballigh pada zaman dahulu bukan hanya mengenai harga komoditi dagangan semata. Namun tawar-menawar juga dilakukan dalam kehidupan beragama yang mereka dakwahkan kepada penduduk setempat.
Sebagai contoh tawar menawar yang dilakukan oleh para muballigh adalah untuk tidak menghilangkan tradisi yang ada. Maksudnya, para muballigh sadar bahwa kebudayaan seperti sesaji, selamatan, dan sebagainya adalah bagian dari masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Menolak tradisi ini berarti menutup celah mereka untuk tertarik kepada ajaran agama Islam. Sebab yang namanya tradisi itu tidak mudah untuk dihapus. Oleh karena itu, para muballigh memiliki jalan tengah. Upacara-upacara ritual seperti selamatan itu masih tetap dilakukan. Akan tetapi, ruhnya diganti dari ruh animisme, dinamisme, Hindu  dan Buda menjadi ruh Islam. Nasi yang biasa digunakan untuk sesaji diberikan kepada masyarakat sebagai perwujudan dari shadaqah yang kemudian dikenal dengan istilah sedekah. Mantra-mantra yang dahulu digunakan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal diganti oleh para ulama dengan doa-doa yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadits. Ziarah kubur untuk meminta berkah kepada roh penghuni kubur pada masa pra Islam diganti dengan ziarah kubur untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Demikianlah gambaran ringkas kehidupan sosial beragama di masyarakat pada zaman dahulu.
Demikianlah pola kehidupan yang melatarbelakangi berdirinya jam’iyah Nahdhatul Ulama. Juga peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.






Para mubaligh sadar, kebudayaan seperti selamatan, sesaji adalah bagian dari tradisi masyarakat Indonesia yang susah untuk dirubah. Untuk
itu kemudia para mubaligh memasukkan nilai-nilai islami dalam tradisi-tradisi tersebut.


B.      TOKOH-TOKOH PENDIRI NU

Pilar pendiri NU adalah KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. KH Hasyim Asy’ari adalah sumber legitimasi dalam pendirian organisasi ini dan sekaligus Rais Akbar pertama. Sedangkan KH Wahab adalah inspirator, motor penggerak, dan fasilitator pendirian organisasi ini. Dua tokoh tersebut menjadi semakin kuat mana kala para kiai lain yang ternama ikut bergabung untuk bertemu di rumah Kiai Wahab di Kertopaten, Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan bersepakat mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
para kiai yang menjadi pendiri Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:



No
Nama
Asal
1
K.H. Muhammad Hasyim Asy`ari
Jombang
2
K.H. Abdul Wahab Hashbullah
Surabaya
3
K.H. Bisri Syamsuri
Jombang
4
K.H. Raden Haji Asnawi
Kudus
5
K.H. Ma`sum
Lasem
6
K.H. Ridwan
Semarang
7
K.H. Nawawi
Pasuruan
8
K.H. Nahrowi
Malang
9
K.H. Ridwan
Surabaya
10
K.H. Alwi Abdul Aziz
Malang
11
K. Abdullah Ubaid
Surabaya
12
K.H. Abdul Halim
Cirebon
13
K.H. Doro Munthaha
Madura
14
K.H. Dahlan `Abdulqahar
Kertosono
15
K.H. Abdullah Faqih
Gresik



1.       KH Hasyim Asy’ari.

Beliau lahir di desa Gedeng, kira-kira 2 km kira-kira sebelah utara kota Jombang Jawa Timur pada tanggal 24 Dzulhijjah 1287 H atau  14 Pebruari 1871 M Ayahnya bernama KH Asy’ari dari Demak yang


masih keturunan dari trah Majapahit sementara ibunya, Halimah bin K Utsman berasal dari desa setempat.
Sislilah keturunan beliau berasal dari Raja Brawijaya VI yang juga dikenal dengan nama Lembu Peteng. Salah seorang dari keturunan Lembu Peteng yang dikenal dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet adalah salah satu kakeknya. Jaka Tingkir menjadi raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya dan menurunkan putra Pangeran Benowo. Pangeran Benowo memiliki anak bernama Muhammad alias Pangeran Sambo.
Pangeran Sambo menurunkan Kiai Sikhah di Nggedang, Jombang. Kiai Sikhah adalah cicit Pangeran Sambo. Putri Kiai Sikhah yang bernama Layinah dinikahkan dengan santrinya sendiri yang bernama Utsman, asal Jepara. Pasangan antara Utsman dan Layinah memiliki putri bernama Halimah alias Winih. Halimah dinikahkan dengan Asy’ari, salah seorang santri Kiai Utsman.
Ketika masih kecil (umur 6-12 tahun beliau belajar di beberapa pesantren, yaitu Pondok Wonoboyo, Probolinggo, kemudian ke Pondok Langitan, Trenggalis, dan Bangkalan Madura. Pada usia 15 tahun beliau menjadi santri di Siwalan Sidoarjo yang diasuh oleh Kiai Ya’kub. Hasyim dikenal sebagai santri yang tekun, cerdas, dan shaleh. Ketekunan dan bakatnya membuat kiai Ya’kub kagum dan berminat untuk menjodohkannya dengan putri beliau. Perjodohan ini terlaksana ketika Hasyim berusia 21 tahun. Kemudian Hasyim dan istrinya diajak pergi untuk menunaikkan ibadah haji ke tanah suci.
Sesudah menunaikan haji, Hasyim diperintahkan untuk menetap di Makkah guna memperdalam ilmu pengetahuan. Beliau memperdalam fiqih madzhab Syafi’i dan kumpulan hadits Bukhari­Muslim. Tidak lama setelah melahirkan putra pertamanya, istrinya dan sekaligus putranya yang bernama Abdullah wafat.
Pada tahun 1900 Hasyim pulang ke Indonesia dan kembali lagi  ke tanah suci. dan menetap selama 7 tahun untuk mendalami ajaran agama Islam. Waktu yang demikian lama beliau manfaatkan sebaik- baiknya untuk menimba ilmu. Beliau berguru kepada Syeikh Mahfuzh


At-Tarmasi (berasal dari Termas, Jawa Timur yang mengajar di Makkah), kemudian kepada Syekh Khatib Al-Mingkabaui. Ulama lain yang berguru kepada Syaikh Khathib adalah KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Pada tahun 1906 Hasyim mendirikan pondok pesantren Tebuireng dengan jumlah santri 28 orang. Berkat ketekunannya maka pondok pesantren berkembang pesat, apalagi dengan bantuan dari Muhammad Ilyas, anak angkat KH Hasyim.
Kh hasyim asy’ari adalah pendiri dari organisasi Nahdlatul Ulama.
Beliau diberi gelar hadratusy syaikh.
Pada masa penjajahan Belanda KH Hasyim pernah menolak bintang jasa yang terbuat dari emas yang akan dianugrahkan kepadanya pada tahun 1937. Beliau juga memfatwakan haram melaksanakan ibadah haji dengan kapal-kapal milik Belanda pada masa revolusi. Pada masa pendudukan Jepang beliau dijebloskan di penjara selama berbulan- bulan lalu diasingkan ke Mojokerto.
Pada tahun 1926 bersama KH Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri dan beberapa Kiai lainnya beliau mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai wadah aspirasi kalangan Islam tradisionalis yang terpinggirkan oleh kalangan Islam modernis dalam Konggres Al- Islam di Bandung.
Pada tahun 1945 beliau mengeluarkan Resolusi Jihad untuk melawan Sekutu (NICA) yang ingin mendarat di Surabaya yang kemudian dikenal dengan pertempuran 10 November dan diperingati sebagai hari pahlawan. Beliau pula yang merumuskan doktrin ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Annahdliyyah.
Di antara putra-putra beliau adalah Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama) dan Yusuf Hasyim. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) cucu beliau dari KH Abdul Wahid Hasyim pernah menjadi presiden Republik Indinesia.
Pada tahun 1947 beliau meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Tebuireng.


Jasa-jasanya:
1.        Sebagai Bapak Pendiri NU
2.        Tokoh pemersatu Umat Islam
3.        Pembaharu sistem Pondok dan Madrasah.
4.        Ketua tim tanda gambar NU.

2.       KH Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971)

Lahir di Tambak Beras, Jombang Jawa Timur pada bulan Maret 1888. ayahnya bernama Hasbullah dan ibunya bernama Fatimah binti
K. Sichah, paman K Haji Hasyim Asy’ari. Keluarga Hasbullah adalah pengasuh pondok pesantren Tambak Beras dan masih memiliki hubungan dengan KH Hasyim Asy’ari.
Sejak kecil dididik ayahnya membaca Al-Qur’an, Fikih, Tauhid, Tasawuf, dan Bahasa Arab. Pada usia 13 tahun mondok di Langitan, Tuban selama 4 tahun kemudian ke pesantren Cempaka selama setengah tahun, di Tawangsari selama 3 tahun, dan belajar kepada Kiai Khalil Bangkalan Madura selama satu tahun, di Tebuireng selama empat tahun dan di Makkah selama 5 tahun kepada KH Mahfuz At- Tarmasi dan Syekh Al-Yamani. Di Makkah beliau mendapatkan nilai istimewa dari para gurunya.
Sepeninggal istri pertamanya setelah wafat saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921 Kiai Wahab menikah lagi dengan Alawiyah putri Kiai Alwi. Istri keduapun meninggal setelah dikaruniai anak. Sesudah itu Kiai Wahab pernah menikah tiga kali namun tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai putra. Kemudian menikah lagi dengan Asnah, putri Kiai Said dari Surabaya dan dikaruniai empat orang anak. Salah satu dari putranya adalah KH Wahib Wahab yang pernah menjadi Menteri Agama. Setelah Asnah meninggal, KH Wahab menikah dengan Fatimah tetapi tidak dikaruniai seorang putra. Namun Fatimah membawa seorang anak yang bernama KH Syaikhu. Setelah itu beliau menikah kembali dengan Masnah dan memperoleh seorang putra.
Kemudian beliau menikah lagi dengan Ashlikhah, putri Kiai Abdul Majid Bangil dan memperoleh empat orang putra. Terakhir, Kiai Wahab


memperistri Sa’diyah (kakak Aslikhah setelah Aslikhah meninggal dan mempunyai lima orang putra sampai akhir hayatnya pada tahun 1971. Beliau berhasil membentuk berbagai organisai masa. Pada tahun 1914 beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar. Pada tahun 1916 beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan. Keduanya didirkan bersama Kiai Mas Manshur. Di kalangan pemuda beliau mendirikan Syubanul Wathan. Ia juga berhubungan dengan tokoh- tokoh nasional lain seperti Soetomo dalam Islamic Studies Club yang
didirikan bersama kaum terpelajar.
Peranan yang terbesar adalah saat menjelang pendirian NU pada tanggal 31 Januari 1926 ia mengajak para ulama dan komite Hijaz untuk bermusyawarah bersama. Perteuan ini akhirnya menorehkan sejarah berdirinya Jam’iyyah Nadlatul Ulama yang mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Nama Nahdlatul Ulama sendiri adalah usulan dari Kiai Alwi Abdul Aziz dari Surabaya. Sementara pencipta lambangnya adalah Kiai Ridlwan dari Surabaya. Selanjutnya KH Wahab sebagai Katib ‘Am di NU dan KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Jasa-jasa KH Abdul Wahhab:
1.        Pendiri NU
2.        Pahlawan Kemerdekaan
3.        Anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro
4.        Pendiri Taswirul Afkar
5.        Pendiri Nahdlatul Waton
6.        Ketua team Komite Hijaz
7.        Pencetus badan Syuriyah dan Tanfidziyah

Masih banyak jasa beliau yang lain baik yang berhubungan dengan organisasi politik negara, maupun agama, terutama keseriusan beliau dalam mengembangkan agama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Abdul Wahab Hasbullah meninggal dunia jam 10.00 hari Rabu tanggal 12 Dzulqa’idah 1391 atau tanggal 29 Desember 1971 M.



3.       KH Abdul Wahid Hasyim

Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH Hasyim Asy’ari­Nafiqoh lahir pada hari Jum’at Legi tanggal 5 Rabi’ul Awwal1333 H atai 1 Juni 1914. Sejak kecil sudah dididik agama oleh ayahnya sendiri, yaitu diajari ilmu-ilmu agama setiap selesai shalat Maghrib dan shalat zhuhur. Pada saat usia sekolah, beliau masuk madrasah salafiyah. Tebuireng. Setelah berumur 13 tahun belajar di Pondok Siwalan Sidoharjo dan Pondok Lirboyo Kediri. Sedangkan kemahiran membaca dan menulis latin, bahkan penguasaan pengetahuan umum lainnya diperoleh dengan cara belajar sendiri.
Pada tahun 1932 beliau naik haji, kemudian meneruskan mem- pelajari ilmu agama di kota Makkah. Sepulang dari tanah air beliau mendirikan madrasah sekaligus menjadi guru di tempat baru tersebut. Pada tahun 1938 beliau mulai aktif di organisasi NU sebagai pengurus ranting di desanya. Tidak lama kemudian diangkat menjadi pengurus Cabang di Jombang dan kemudian sebagai pengurus besar NU di Surabaya. Dalam setiap kegiatan beliau selalu mendapat dukungan dari


istrinya yang bernama Sholehah binti Bisri Sansuri. Dari perkawinannya inilah lahir Abdurrahman Ad-Dakhil atau yang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua PBNU periode 1984-1989 dan 1989-1994.
Jasa-jasa beliau adalah:
1.        Pendiri lembaga pendidikan Ma’arif (1938)
2.        Anggota BPUPKI
3.        Anggota PPKI
4.        Ikut menandatangani Piagam Jakarta
5.        Menteri Negara tahun 1945
6.        Menteri Agama Masa Bakti 1949-1953
7.        Memprakarsai berdirinya IAIN

Pesan yang sering beliau sampaikan adalah “Giatkan pendidikan bagi tunas muda NU karena tanpa pendidikan, NU akan kehilangan generasi penerus.” Beliau wafat pada hari Ahad tanggal 4 Sya’ban 1370 H atau 15 April 1953.

4.       KH Bisri Sansuri

Beliau lahir di Tayu Wetan kabupaten Pati pada tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H atau pada tanggal 18 September 1886. pada usia 9 tahun beliau sudah pandai dan fasih membaca Al-Qur’an.
Beliau pernah belajar agama di Pondok Kajen, Margoyoso, terutama belajar kitab kuning sampai berumur 19 tahun. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang untuk mendalami Al-Qur’an. Al-Hadits, Balaghah, dan Nahwu selama kurang lebih empat tahun. Menjelang usia 23 tahun beliau pergi ke Makkah untuk belajar agama Islam pada sumber pertamanya selama empat tahun.
Jasa-jasanya adalah:
1.        Pengurus Pusat Masyumi tahun 1943.
2.        Rois ‘Am PB NU tahun 1971
3.        Rois PPP tahun 1973.
4.        Kepala Markaz pertahanan Hisbullah-Sabilillah (MPHS)


5.        Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar.
6.        Anggota DPR-MPR RI

C.      PERJUANGAN NU

Selaku organisasi sosial keagamaan NU sejak dahulu sampai sekarang dan sampai kapanpun akan senantiasa berjuang demi kepentingan umat. Dalam perjuangannya NU masuk ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya manusia. Adapun penjelasan lebih lanjutnya adalah sebagai berikut:

1.       Politik Kebangsaan

Sejak kedatangan penjajah, (Portugis dan Belanda) bangsa Indonesia selalu menyambutnya dengan perlawanan dan peperangan. Peperangan tersebut di pelopori oleh para ulama dengan barisan santrinya. Para ulama menanamkan rasa cinta tanah air dengan ungkapan Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air itu adalah bagian dari iman).
Untuk memperkuat kebencian kepada para penjajah, maka para ulama saat itu melarang keras umat untuk meniru pola hidup para penjajah. Bukan hanya dari aspek keyakinan dan agama saja, bahkan sampai pada taraf berpakaian sekalipun. Hingga para ulama pada saat itu memfatwakan bahwa memakai dasi, memakai jas, dan celana panjang itu haram. Mereka mengutip sebuah hadits dari Rasulullah:
Barangsiapa  menyerupai   suatu  kaum  maka   ia   termasuk golongan kaum itu.

Berdasarkan prinsip tersebut para ulama memilih mendirikian pesantren sebagai basis perjuangan melawan kolonial di tempat-tempat yang jauh dari pengaruh kolonial Belanda. Dan pondok pesantren


bisa menjadi tempat menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalisme disamping menyalakan semangat berjihad di dada para santri.
Pada awal abad XX adalah awal adanya satu kesadaran bahwa penjajah tidak mungkin dikalahkan dengan tekat yang membara. Oleh karena itu perlu adanya manajemen dalam perjuangan sehingga kemudian muncul berbagai organisasi-organisasi dalam berbagai bidang baik bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Di kalangan pesantren, hasrat untuk mendirikan organisasi tumbuh sejak KH Wahab Hasbullah pulang dari menuntut ilmu di Makkah. Pada tahun 1914 beliau membentuk sebuah majlis disukusi yang diberi nama Tashwirul Afkar. Forum ini menjadi sarana mendiskusikan berbagai aspek kehidupan baik yang bersifat keagamaan maupun masalah-masalah politik perjuangan melawan penjajah,
Untuk memberdayakan umat, maka Tashwirul Afkar mendirikan kelompok kerja yang diberinama Nahdhatul Wathan (Kebangkitan tanah air) dengan program utama di bidang pendidikan dan pelatihan kader-kader muda untuk kegiatan dakwah. Dari kelompok ini lahirlah Jam’iyah Nasihin dan madrasah Khithabul Wathan (Mimbar Tanah Air) di Pacarkeling Surabaya. Menyusul kemudian madrasah Ahlul Wathan (Keluarga tanah air) di Wonokromo, Far’ul Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Malang, dan Hidayatul Wathan (Pemandu Tanah Air) di Jombang dan Jagalan Surabaya.
Dilihat dari segi nama-nama yang lahir dalam forum diskusi Tashwirul Afkar yang semuanya memakai predikat wathan yang berarti tanah air, maka jelaslah bahwa semangat nasionalisme merupakan api yang mewarnai pemikiran para ulama pesantren dalam mengikuti perkembangan dan pergerakan Nasional Indonesia. Karena aktifitas­ aktifitas yang dilakukan Tashwirul Afkar merupakan embrio bagi berdirinya Nahdlatul Ulama, maka dapat difahami bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama juga didorong oleh semangat membela tanah air. Membela tanah air berarti membela tuntutan rakyat untuk merdeka dan melawan segala bentuk penjajahan.


2.       Pemberdayaan Ekonomi

Kepedulian para ulama NU tidak saja dalam masalah-masalah agama saja. Akan tetapi, juga masalah-masalah lain, termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Pada tahun 1918 Nahdlatul Ulama mendirikan perkumpulan ‘Inan Murabathah Nahdlatut Tujar. Motifasi- motifasi untuk mendirikan perkumpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1.                 Banyak pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah bahkan sebagian ulama pada waktu itu memaksakan dirinya untuk bertawakal total tapa berikhtiar untuk peningkatan kualitas hidupnya (orang-orang kaya).
2.                 Banyak ulama dan aghniya’ (orang kaya) Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak memperdulikan tetangganya yang lemah agamanya terutama di kalangan yang lemah pendidikan ekonominya.
3.                 Sebagian besar santri dan kiai hanya mencukupkan pergumulannya terhadap aktifitas tafaquh fiddin dalam batas tertentu dan tidak menghiraukan ilmu-ilmu lain sehingga ada kesenjagan antara ulamauddin dengan cendekiawan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Tujuan pembentukan perkumpulan tersebut adalah untuk menggugah semangat keikhlasan, persaudaraan, kebersamaan, dan kepedulian seluruh pengikut Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam memabangun kehidupan yang bermanfaat dan bermashlahah, terutama dalam bidang perekonomian. Dalam waktu relatif singkat, syirkah tersebut memiliki banyak anggota dengan  iuran  wajib  setiap anggotanya 25 golden. Prioritas pembangunan pada saat itu diutamakan pada sektor pertanian.
Demikianlah kepedulian ulama dan pesantren sehingga kehadiran ulama dan pesantren bukan saja bermanfaat dalam bidang agama saja, namun juga bisa memberi kemanfaatan yang umum bagi umat Islam.


3. Peningkatan Suber Daya Manusia (SDM)

Pondok pesantren sebagai basis NU dalam menggembleng para santri untuk memperdalam ilmu agama (tafaqquh fid din) tidak hanya berorientasi agar santri menjadi orang yang shaleh namun juga berusaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Langkah pertama yang dilakukan oleh pondok pesantren adalah dengan mendirikan madrasah. Dengan demikian, di Pesantren tidak hanya dipelajari ilmu­ilmu agama seperti aqidah, akhlak, fiqih, sirah, dan sejenisnya. Namun di sana juga dipelajari ilmu-ilmu umum seperti matematika, biologi, fisika, geografi, dan sebagainya.
Lebih jauh dari itu, pada saat ini pondok pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, namun  juga  mendirikan  sekolah-sekolah baik umum maupun kejuruan, bahkan mendirikan perguruan tinggi. Pendidikan yang dikembangkan di pesantren juga bukan hanya pendidikan formal namun juga pendidikan non formal. Ada banyak kursus dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pesantren. Ada kursus bahasa asing seperti Bahasa Inggiris, Perancis, Jerman, dan sebagainya. Ada pula kursus-kursus ketrampilan seperti ketrampilan menjahit, membordir, servis elektronik, dan sebagainya. Ada pula pelatihan-pelatihan seperti pelatihan pidato dengan bahasa Asing, jurnalistik, dan masih banyak lagi.
Dengan bekal yang diberikan oleh pesantren kepada para santri, diharapkan saat mereka meninggalkan pondok pesantren mereka tidak lagi bingung untuk mencari pekerjaan, namun justri bisa menciptakan lapangan pekerjaan sehingga bisa tidak tergantung kepada orang lain bahkan bisa memberi manfaat kepada orang lain.






Dalam perjuangannya NU masuk ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya manusia.


D.     JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN DI BAWAH INI!

1.                 Bagaimanakah pola kehidupan beragama dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sebelum didirikannya NU?
2.                 Kapan NU berdiri? Jelaskan latar belakang didirikannya NU dan jelaskan urgensi didirikannya!
3.                  Sebutkan beberapa tokoh pendiri NU dan biografi singkatnya!
4.                  Bagaimana peran akitf NU dalam bidang politik?
5.                 Apa yang telah dilakukan oleh NU berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan manusia?