PERILAKU Nahdlotul Ulama

A. PERILAKU KEAGAMAAN
Agama Islam bersumber dari wahyu Allah, Alqur’an, yang disampaikan  kepada Rasulullah Muhammad untuk diteruskan kepada umat manusia, demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebelum Rasulullah wafat, Islam telah dinyatakan oleh Allah .
Sebagai agama yang sempurna sebagaimana firman-Nya;

Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah [4]: 3).

Islam yang sudah sempurna sebagaimana dimaksudkan di atas, sesunggunnya sama juga dengan yang dinyatakan oleh rumusan Nabi ketika menerangkan Ahlussunnah wal Jamaah.

Artinya: “Apa yang ada padaku bersama dengan para saahabatku.”
Islam yang sempurna identik dengan Alqur’an dan hadis sebagai- mana sabda Rasulullah :

Artinya: “Saya tinggalkan (wariskan bagimu dua hal yang kalau kamu selalu berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kalamullah (Alqur’an) dan Sunnah Rasul.”
Kesempurnaan Islam tidak berarti bahwa segala hal diterangkan secara terperinci dan ketat (kaku), tetapi justru kesempurnaan Islam itu tercermin dari dua cara pemberian pedoman, ada yang secara terperinci dan ada yang hanya dijelaskan prinsip-prinsipnya saja dan harus dikembangkan oleh umat Islam sendiri. Dengan demikian, maka Islam akan selalu relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian, Islam yang telah disempurnakan pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya adalah Islam yang benar-benar sempuna, standar dan baku yang harus dipegang sepanjang masa. Islam yang standar, baku, harus dikembangkan secara terkendali, supaya kemurnian dan kelurusannya dapat menjawab permasalahan baru yang selalu muncul sepanjang zaman.

Demikian juga, Islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh semesta alam. Islam tidak hanya sebagai rahmat bagi pengikutnya, akan tetapi bagi seluruh manusia bahkan kepada semua binatang, tetumbuhan, dan seluruh isi alam semesta. Dari sinilah, maka Islam yang dikembangkan oleh Aswaja adalah Islam yang damai, Islam yang toleran, Islam yang ramah kepada apa saja dan siapa saja. Jika ada umat Islam yang mengaku mengikuti paham Aswaja, akan tetapi senang melakukan kebencian, permusuhan, kekerasan, dan apapun yang bertentangan dengan Islam sebagai agama pembawa rahmat, maka dengan sendirinya telah keluar dari paham Aswaja.
Dari sinilah, dalam bidang keagamaan Aswaja mengembangkan sikap sebagai berikut:12
a. Sikap Tawasuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah- tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharuf (ekstrim).
b. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasya- rakatan dan kebudayaan.
c. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah I, khidmah kepada sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan beragama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Inilah sikap-sikap keagamaan yang dianut oleh NU yang dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar-dasar inilah, maka perilaku keagamaan warga NU sangat mementingkan kedamaian, keserasian, dan keharmonisan di dalam masyarakat. Namun, sebelum mendamaikan masyarakat, maka ia harus mampu mendamaikan dirinya terlebih dahulu. Mendamaikan hatinya dari segala kebencian, kedengkian, permusuhan, dan sikap-sikap yang tidak seharusnya dilakukan. Setelah mendamaikan dalam dirinya, warga NU harus berdamai dengan Allah dengan menghamba kepada- Nya, dengan sesama manusia dengan hal-hal yang bermanfaat bagi semuanya, dan dengan lingkungannya. Warga NU selalu damai di hati dan damai di bumi. Dengan berdamai dan mendamaikan seluruh isi bumi, maka seluruh isi langitpun akan berdamai dan mendamaikan seluruh isi bumi.
Oleh sebab itu warga NU di mana saja dan kapan saja harus bisa memberikan rahmat kepada apa saja dan siapa saja. Dengan kata lain, warga NU harus bisa memayu hayuning bawana atau rahmatan lil ‘alamin, sebagai perilaku keagamaannya.


B. PERILAKU AKIDAH
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai penganut Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah sepanjang sejarahnya berusaha melestarikan, membela, dan mengembangkan Islam yang beraliran Ahlussunnah wal Jamaah. Golongan Ahlussunnah wal Jamaah adalah kaum yang menganut i’tiqad dan amaliyah Nabi Muhammad . dan para sahabatnya.
I’tiqad dan amaliah tersebut termaktub dalam Alqur’an dan Hadis secara terpisah-pisah, belum tersusun secara rapi dan teratur, yang kemudian dihimpun dan dirumuskan oleh seorang ulama besar Syeikh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H). Hasil rumusan itu diwujudkan
berupa kitab tauhid yang dijadikan pedoman bagi kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Karena itu kaum Ahlussunnah wal Jamaah disebut juga kaum “Asy’ariyah” yang dikaitkan dengan nama tokohnya tersebut.
Menurut rumusan Imam Al-Asy’ari dalam bidang aqidah meliputi enam perkara yang lebih dikenal dengan rukun iman, yaitu: Iman kepada Allah, Malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari Akhir, dan iman kepada Qadla dan Qadar Allah.
Secara lebih rinci rumusan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah yang perlu diketahui sebagai berikut:13
1. Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna sebagaimana dijelaskan dalam Alqur’an dan Hadis, yaitu sifat wajib yang jumlahnya 20, sifat mustahil jumlahnya 20, dan sifat jaiz ada 1.
Yang dimaksud sifat wajib bagi Allah adalah sifat-sifat yang harus ada pada zat Allah .  Sedangkan  sifat  mustahil  bagi  Allah adalah sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada zat Allah. Sifat  jaiz bagi Allah, artinya Allah itu boleh melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
2. Beriman terhadap hal-hal yang ghaib sebagaimana diterangkan dalam nash Alqur’an dan Hadis. Misalnya, azab kubur, nikmat kubur, mahsyar, mizan, shirath, ba’ats, surga, neraka, arasy, lauh mahfudh, dan lainnya.
Para ahli kubur dapat memperoleh manfaat atas amal shaleh yang dihadiahkan kepadanya, seperti bacaan Alqur’an, zikir, sedekah dan lainnya. Ziarah kubur orang mukmin sunnah hukumnya dan mendapat pahala jika dilakukannya.
3. Berdo’a kepada Allah secara langsung atau dengan wasilah/ bertawassul (perantara) sunah hukumnya dan diberi pahala bila dikerjakan.
4. Nabi Muhammad  memberi syafa’at  kepada orang beriman   kelak di alam akhirat.
5. Orang beriman yang berdosa dan mati sebelum bertaubat, nasibnya di akhirat terserah Allah. Jika berkenan diampuni karena
rahmat-Nya, atau memperoleh syafaat Nabi Muhammad , atau disiksa karena keadilannya namun jika disiksa tidak bersifat kekal.
6. Anak-anak orang yang kafir jika mati dalam usia belum baligh
dimasukkan dalam surga.
7. Rejeki, jodoh, ajal, semuanya telah ditetapkan pada zaman azali. Perbuatan manusia telah ditakdirkan Allah  .  akan  tetapi  manusia wajib berikhtiar untuk memilih amalnya yang baik.
8. Masjid di seluruh dunia derajatnya sama, kecuali tiga masjid derajatnya melebihi dari yang lainnya, yaitu Masjid al-Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Aqsa di Palestina.
9. Berziarah ke makam para nabi, wali Allah, orang-orang shaleh, kedua orang tua dan kerabat, hukumnya disunnahkan.
10. Beriman sepenuhnya bahwa berobat dengan cara membaca doa- doa dan bacaan Alqur’an dapat bermanfaat sebagaimana dilakukan pada masa Nabi.
11. Bertawasul dan istighasah kepada nabi atau para wali Allah hukumnya boleh dan sunah.
12. Beriman sepenuhnya terhadap mukjizat para nabi, keramat para wali, maunah orang-orang shaleh, dan istidraj bagi orang-orang ahli maksiat (durhaka).
13. Allah adalah satu, baik dalam zat-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya.
14. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah yakin bahwa Nabi Muhammad adalah makhluk yang paling mulia, kemudian para rasul dan
orang-orang yang beriman.
15. Beriman sepenuhnya pada berkah Allah yang diletakkan pada tempat dan benda-benda tertentu seperti, makam Ibrahim, Babussalam, Hijir Ismail, Sumur Zam-zam, Raudhah dan air bekas wudu’ Nabi, Jubah Nabi, rambut Nabi, serta ayat-ayat Alqur’an.
16. Surga dan neraka serta penduduknya akan kekal selama lamanya. Allah mengekalkan agar manusia merasakan kenikmatan dari hasil amalnya dan bagi yang berdosa dapat merasakan siksa selamanya.

17. Bid’ah ada dua macam, yaitu bid’ah hasanah (sesuatu yang tidak ada pada masa nabi tetapi dipandang baik) dan bid’ah “dlolalah” (sesuatu yang tidak ada pada masa nabi dan dianggap sesat).
18. Orang mukmin dapat menjadi kafir kembali (riddah) apabila melakukan hal-hal berikut ini:
a. Ragu-ragu terhadap adanya Allah, kerasulan Nabi Muhammad, wahyu Alqur’an, hari Kiamat dan hari akhirat, serta alam ghaib lainnya.
b. Berkeyakinan bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat yang sempurna sepeti ’ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam, dan lainnya.
c. Beritikad bahwa Allah disamakan seperti manusia yaitu bermata, bertelinga, bermulut, bertangan, dan sebagainya.
d. Menghalalkan hal-hal yang oleh syariat Islam diharamkan dengan jelas. Sebaliknya, mengharamkan hal-hal yang disyariat- kan Islam sebagai halal.
e. Mengingkari suatu bentuk amaliah ibadah yang telah diwajibkan oleh syari’ah Islam.
f. Mengingkari Alqur’an, meskipun hanya sebagian kecil dari ayat-ayatnya.
g. Mengingkari keutamaan sahabat nabi yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib ).
h. Mengitikadkan akan ada rasul sesudah Nabi Muhammad . Demikian di antara prinsip-prinsip akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam masalah tauhid yang harus diyakini dengan benar. Yang disebutkan di atas merupakan bagian kecil dari pokok-pokok akidah yang terhimpun dari kitab-kitab tauhid. Namun yang tercantum di atas, kiranya dapat menjadi bekal dasar bagi kita dalam taraf belajar untuk melangkah lebih jauh dalam mempelajari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.


C. PERILAKU DI BIDANG SYARI’AH
Dalam bidang syariah (fiqih, hukum Islam) kaum Ahlussunnah wal Jamaah berpedoman pada empat imam madzhab, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Namun Nahdlatul Ulama

sebagai organisasi yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di
kalangan pengikutnya sebagian besar mengikuti madzhab Syafi’i.
Beberapa hal yang membedakan golongan Ahlussunnah wal Jamaah dengan kelompok umat Islam yang lain, yaitu.14
1. Berpegang teguh pada nash Alqur’an dan Hadis.
2. Memuliakan Ahlul Bait dan para sahabatnya.
3. Berpegang teguh pada amaliah para sahabat Nabi Muhammad terutama para Khulafaur Rasyidun.
4. Mengambil pendapat ulama yang terbanyak (jumhur ulama) jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
5. Berpegang teguh pada ijma’ ulama terhadap hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
6. Mengikuti pendapat Imam Mujtahidin yang mu’tamad jika tidak mampu berijtihad.

Sedangkan hal yang menjadi keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam hukum syariah yang perlu diketahui, di antaranya yaitu.
1. Membaca shalawat berarti menjalankan perintah Allah dan rasul- Nya. Keutamaan membaca shalawat dalam berdoa menyebabkan terkabulnya doa tersebut bila didahului dengan bacaan shalawat.
2. Membaca shalawat di manapun kita berada akan sampai pada Nabi Muhammad dan memperoleh pahala dari bacaannya.
3. Menyentuh dan membawa Alqur’an harus suci dari hadats kecil dan hadats besar.
4. Menyentuh wanita yang bukan mahram hukumnya membatalkan wudlu.
5. Hewan anjing dan babi adalah najis dan haram dimakan.
6. Berdoa dengan bertawasul dapat dibenarkan berdasarkan Alqur’an dan Hadis.
7. Mengawali shalat dengan membaca “Ushalli” disunnahkan.
8. Membaca “Sayyidina” ketika menyebut nama Nabi Muhammad disunnahkan.
9. Membaca “al-Barzanji” dan manakib Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani
  disunnahkan.
10. Membaca tahlil, shalawat, surat Yasin, disunnahkan.
11. membaca doa qunut pada shalat subuh disunnahkan.
12. Membaca Alqur’an di kuburan dibolehkan dan disunnahkan.
13. Membaca surat al-Fatihah, dimulai dengan “Bismillahirrahmanir- rahim” sebagai ayat yang pertama.
14. Shalat Idul Fitri dan Idul Adha lebih utama dikerjakan di masjid, boleh dilakukan di tanah lapang apabila semua masjid sudah tidak menampung jamaah lagi.
15. Menghadiahkan pahala doa atau amal lainnya kepada arwah orang mati yang beriman jelas akan sampai kepada yang dituju.
16. Setiap membaca ayat Alqur’an, kecuali surat at-Taubah disunnahkan membaca “Basmallah” walaupun di tengah-tengah ayat.
17. Mengumandangkan adzan pada hari Jum’at dua kali, disunnahkan.
18. Shalat Fardhu yang tertinggal atau lupa tidak dikerjakan, wajib diqadha.
19. Mengerjakan shalat sunnah qabliyah dan sunnah ba’diyah pada shalat Jum’at disunnahkan berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim.
20. Menetapkan awal Ramadhan harus memakai ru’yat (melihat bulan secara langsung).
21. Mentalqin mayit yang sudah dikubur boleh dan disunnahkan.
22. Berdoa dengan mengangkat kedua tangan disunnahkan
23. Memakan makanan pada waktu ta’ziah boleh selama tidak dekat dengan mayit.
24. Ziarah kubur hukumnya sunnah bila bertujuan untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat serta untuk mendoakan orang Islam.
25. Adanya nikmat kubur dan siksa kubur adalah benar berdasarkan keterangan nash Alqur’an dan Hadis.
Demikian uraian mengenai ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang syariah, meskipun sangat singkat semoga dapat dijadikan dasar untuk mengetahui tentang madzhab dengan segala aspeknya.


D. PERILAKU DI BIDANG TASAWUF
Kaum Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang akhlak atau tasawuf mengikuti dua pemikiran tasawuf yang besar pengaruhnya,  yaitu Abu Qasim al-Junaidi dan Imam al-Ghazali. Dalam kitabnya Kimiya’ al-Sa’adah Imam al-Ghazali berkata: “Bahwa tujuan memperbaiki akhlak itu adalah untuk membersihkan hati dan kotoran hawa nafsu dan amarah, sehingga hati menjadi suci bagaikan cermin yang dapat menerima nur cahaya Tuhan”.
Hidup dengan kerohanian (sufi) dalam Islam dimulai dari peri- kehidupan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya yang utama serta kehidupan para nabi yang  terdahulu.  Nabi  Muhammad pernah bersabda: “Syari’at itu perkataanku, tarekat itu perbuatanku dan hakikat itu adalah kelakuanku”. Dalam ilmu tasawuf dijelaskan bahwa arti tarekat itu adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad dan dikerjakan para sahabatnya, tabi’in dan tabi’it tabi’in, para ulama, hingga sampai kepada kita.

Jadi orang yang bertasawuf adalah orang yang menyucikan dirinya lahir dan batin dalam suatu pendidikan akhlak (budi pekerti) dengan menempuh jalan (tarekat) atas dasar tiga tingkat, yang menurut imam Abu Al-Qasim al-Junaidi dikenal dengan: takhalli, tahalli dan tajalli, yaitu:15
1. Takhalli
Yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela baik lahir maupun batin, seperti hasud, tamak, takabur, bakhil, khianat, dusta, cinta harta, cinta dunia, riya’, pemarah (ghadab), dan lainnya.
2. Tahalli
Yaitu mengisi dan membiasakan diri dengan sifat-sifat terpuji seperti takwa, ikhlas, tawakal, sabar, syukur, khusuk, taubat, amanah, ridla, mahabbah (perasaan cinta Allah semata), dan lainnya.
3. Tajjalli
Yaitu mengamalkan sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah seperti: shalat sunah, dzikir, puasa sunah, khalwat (menyendiri untuk ibadah kepada Allah), dan lainnya.

Pada umumnya kaum sufi mewajibkan dirinya untuk mengamalkan dzikir kepada Allah Akibatnya hati mereka selalu tentram, dan Allah memberi jaminan ketenteraman hati kepada orang-orang yang selalu ingat kepada Allah Kebiasaan hidup para sufi tersebut sebenarnya mengikuti perilaku hidup Nabi Muhammad yang sarat dengan nilai-nilai ibadah dan diikuti pula oleh para sahabat-sahabatnya.

Adapun perilaku  Nabi  Muhammad  sehari-hari yang diikuti   oleh sahabatnya itulah yang menjadi aspek-aspek tasawuf, antara lain:
1. Hidup zuhud (tidak cinta keduniawian secara berlebihan)
2. Hidup qanaah (merasa cukup dengan apa yang ada)
3. Hidup taat (melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya)
4. Hidup istiqamah (konsekuen, kontinyu, dan tetap beribadah)
5. Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah  dan rasul- Nya lebih dari pada mencintai dirinya sendiri)
6. Hidup ikhlas (bersedia menjadi penebus apa saja untuk Allah demi mencari ridla-Nya)
7. Hidup ubudiah (mengabdikan diri hanya kepada Allah )
Jadi, tujuan ajaran tasawuf adalah membangun akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih sayang dan cinta kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab dan nilai dalam berhubungan sesama manusia terutama dalam berhubungan dengan Allah .
Dengan demikian aspek-aspek tasawuf mempunyai peranan penting dalam memperkuat segi-segi akidah dan dalam memperdalam rasa ketuhanan untuk beribadah. Di samping itu juga merupakan daya pendorong yang kuat dalam menjalankan syariat Islam. Dalam hal   ini Imam Malik pernah berkata: ”Barang siapa bersyariah saja tanpa tasawuf niscaya ia akan berlaku fasik (tidak bermoral) dan barang siapa yang bertasawuf saja tanpa bersyariah niscaya ia berlaku zindik (penyeleweng agama). Dan barang siapa melakukan kedua-duanya maka itulah golongan Islam yang hakiki”.
Untuk memperjelas kembali, seorang ulama tasawuf Junaid al- Baghdadi dalam menerangkan tujuan sufi, mengatakan: “Kami tidak mengambil tasawuf ini dari pikiran dan pendapat orang tetapi diambil dari menahan lapar dan meninggalkan kecintaan kepada dunia, meninggalkan kebiasaan kami sehari-hari dan mengikuti segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya”.
Mengenai hal ini Sayyed Hussein Nasr dalam bukunya Islam antara Cita dan Fakta mengatakan bahwa tasawuf Islam telah timbul sejak timbulnya agama Islam sendiri. Tumbuh dari dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad .
Demikian ajaran tasawuf yang dibenarkan menurut ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sebagai yang telah diamalkan oleh salafush shalihin (orang-orang terdahulu yang shaleh), baik para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, para ulama, dan pengikut-pengikutnya.


E. PERILAKU KEMASYARAKATAN DAN KEEKONOMIAN16
Muktamar (dulu disebut congres) Nahdlatul Ulama ke-13, tahun 1935 antara lain memutuskan sebuah kesimpulan. Kesimpulan tersebut bahwa kendala utama yang menghambat kemajuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan agama adalah karena kemiskinan dan kelemahan ekonomi. Maka muktamar mengamanatkan kepada PBNU (dulu namanya HBNO) untuk me- ngadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini bermula dari lemahnya sumber Daya Manusia (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi yang disebut dengan Mabadi’ Khairul Ummah, atau langkah awal membangun umat yang baik.
Di antara lima prinsip Mabadi’ Khairul Ummah adalah:
1. Al-Shidqu
Sebagai salah satu sifat Rasulullah, al-Shidqu berarti jujur, benar, keterbukaan, tidak bohong, dan satunya hati, kata, dan perbutan. Setiap warga nahdhliyyin, mula-mula dituntut jujur kepada diri sendiri, kemudian kepada orang lain. Dalam mu’amalah dan bertransaksi harus mengikuti sifat alshidqu ini sehingga lawan dan kawan kerjanya tidak khawatir tertipu. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saat menjalankan bisnis Sayyidatina Khadijah. Dari sikap inilah, beliau memperoleh kesuksesan yang besar. Padahal itu memang menjadi perilaku Rasulullah sepanjang hayatnya. Warga NU sebagai pengikut Nabi Muhammad harus mengikuti jejaknya. Bila melupakan dan meninggalkannya, pasti akan merugi dan menderita kegagalan. Sikap al-shidqu ini terbukti juga bagian
penting dari kunci sukses kegiatan perekonomian modern.
2. Al-Amanah wa al-wafa’ bi al-‘ahdi
Dapat  dipercaya,  memegang  tanggung  jawab,  dan  memenuhi
  janji. Amanah juga salah satu sifat Rasul. Ini merupakan hal penting
bagi kehidupan seseorang dalam pergaulan memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum diangkat menjadi rasul Nabi Muhammad mendapat gelar al-Amin dari masyarakat karena diakui sebagai orang yang dapat diserahi tanggungjawab. Syarat warga NU agar sukses dalam menjalankan kehidupan haruslah terpercaya dan menepati janji serta disiplin memenuhi agenda.
Bila orang suka khianat dan ingkar janji, pasti tidak akan diper- caya baik oleh kawan kerja ataupun relasi. Pelanggan akan memutus hubungan dan kawan kerja akan menjauh. Al-amanah dan wafa’ bi al-‘ahdi memang merupakan bagian penting dari keberhasilan perekonomian. Itulah sikap profesional modern yang berhasil pada masa kini.
3. Al-Adalah
Berarti sikap adil, proporsional, obyektif, dan mengutamakan kebenaran. Setiap warga nahdliyyin harus memegang kebenaran obejektif dalam pergaulan untuk mengembangkan kehidupan. Orang yang bersikap adil meski kepada diri sendiri akan dipandang orang lain sebagai tempat berlindung dan tidak menjadi ancaman. Warga nahdliyyin yang bisa menjadi pengayom bagi masyarakat sekaligus memudahkan dan membuka jalan kehidupannya. Sikap adil juga merupakan ciri utama penganut sunni-nahdliyyin dalam kehidupan bermasyarakat. Dan jika ini benar-benar mampu menjadi karakter warga nahdliyyin, berarti wujud dari prinsip risalah kenabian rahmatan lil ‘alamin yang berarti bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri atau golongan, akan tetapi penebar cinta kasih kepada semua orang. Ini penting bagi suksesnya seorang dalam mengarungi kehidupan.
4. Ta’awun
Artinya tolong menolong atau saling menolong antarsesama dalam kehidupan. Ini sesuai dengan jati diri manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya kerjasama dengan makhluk lainnya: sesama manusia, dengan binatang, maupun dengan alam sekitar. Setiap warga nahdliyyin harus menyadari

posisinya di tengah masyarakat harus bisa menempatkan diri, bersedia menolong dan butuh pertolongan. Dalam agama islam, tolong menolong merupakan prinsip bermu’amalah. Karena itu dalam jual beli misalnya, kedua belah pihak harus mendapat keuntungan, tidak boleh ada satu pihak yang dirugikan. Sebab dalam prinsip ta’awun; pembeli menginginkan barang sedang penjual memginginkan uang.
Bila setiap bentuk muamalah menyadari prinsip ini, maka muamalah akan terus berkembang dan lestari. Jalan perekonomian pasti akan terus lancar. Bila prinsip ta’awun ini ditinggalkan,  maka akan merugikan diri sendiri dan dalam bermuamalah akan mengalami banyak kendala.
5. Al-Istiqamah
Al-istiqamah adalah sikap mantap, tegak, konsisten, dan tidak goyah oleh godaan yang menyebabkan menyimpang dari aturan hukum dan perundangan. Di dalam Alqur’an dijanjikan kepada orang yang beriman dan beristiqamah, akan memperoleh kecerahan hidup, terhindar dari ketakutan dan kesusahan, dan ujungnya akan mendapatkan kebahagiaan. Untuk mendapatkan sukses hidup warga nahdliyyin juga harus memegang konsep istiqamah, tahan godaan, dan tidak tergiur melakukan penyimpangan yang hanya menjanjikan kenikmatan sesaat. Sikap konsisten akan membuat kehidupan menjadi tenang yang bisa menumbuhkan inspirasi, inisiasi, dan kreasi yang bisa mengatasi segala tantangan dan rintangan. Istiqamah akan menghindarkan dari kesulitan hidup.

Oleh sebab itulah, dalam keputusan muktamar Nahdlatul Ulama ke 27 di Situbondo disebutkan perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yaitu:17
a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
c. Menjunjung tinggi sifat keikhasan dan berkhidmah serta berjuang.
d. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mengasihi.
e. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja, dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah .
h. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan ber- bangsa dan bernegara.


F. PERILAKU DI BIDANG POLITIK18
Politik adalah satu makna dengan berjuta makna, mulai arti yang paling luas sampai pada arti yang paling sempit. Mulai arti yang paling umum sampai dengan arti yang paling khusus. Semuanya berhubungan dengan kenegaraan, kekuasaan, dan pemerintahan. Seorang petani membayar pajak, berarti dia mendukung kelestarian pemerintahan. Maka dia bisa dianggap melakaukan perbuatan politik. Sebaliknya juga seorang yang tidak mau membayar pajak, maka juga melakukan perbuatan politik.
Politik biasanya diartikan sebagai upaya mengikutsertakan diri atau teman masuk dalam kekuasaan, ikut mengambil keputusan dalam pemerintahan/ kenegaraan, menjadi anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, perbuatan-perbuatan yang biasanya dilakukan oleh para politikus meskipun tidak hanya parta politik yang mampu melakukan
politik. Pada dasarnya, semua orang yang hidup dalam suatu negara adalah makhluk politik, termasuk warga nahdliyyin.
Partai NU tahun 1955

Nahdlatul Ulama memang dilahirkan tidak sebagai partai politik, namun merupakan kekuatan politik yang berpotensi besar, karena anggotanya yang puluhan juta jumlahnya. Oleh karena itu, semua partai politik selalu ingin mempengaruhi pimpinan Nahdlatul Ulama untuk mendapatlkan kekuasaan politik. Dalam keadaan seperti ini Nahdlatul Ulama dapat memainkan politiknya untuk mempengaruhi partai-partai politik.
Nahdlatul Ulama bermain politik pada tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari ‘kursi-kursi politik’ tetapi bagaimana para politisi dalam kursi-kursi politik tersebut dapat diarahkan sesuai dengan garis- garis politik Nahdlatul Ulama. Poltik yang dimainkan oleh Nahdlatul Ulama adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan semua anak bangsa, tidak hanya untuk kepentingan suatu kelompok atau golongan.
Sebagai jam’iyyah yang bukan partai politik tetapi merupakan kekuatan politik yang sangat besar, adakalanya Nahdlatul Ulama mengalami kesulitan besar dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam sejarahnya Nahdlatul Ulama mempunyai pengalaman tantang cara-cara menyalurkan aspirasi poltiknya.

a. Pada zaman penjajahan Belanda, Nahdlatul Ulama menyem- bunyaikan perbuatan politiknya kecuali dalam hal-hal besar, seperti:
1) sikap anti penjajahan, mempersiapkan umat/ rakyat untuk kemerdekaan, disembunyaikannya di pesantren-pesantren.
2) menuntut Indonesia berparlemen bersama MIAI (Majlis Islam A’la Indonesaia, gabungan semua organisasi Islam se- Indonesia) dan GAPI (gabungan politik indonesia) supaya pemerintah Hindia Belanda didampingi oleh dewan per- wakilan rakyat Indonesia.
3) dan lain-lain.
b. Pada zaman pemerintahan Jepang yang membebaskan semua organisasi rakyat, para tokoh Nahdlatul Ulama bersama-sama dengan tokoh lain, memperlihatkan sikap kerjasama dengan Jepang, supaya dapat terus berhubungan dengan rakyat dan mempersiapkan merebut kemerdekaan.
c. Pada zaman revolusi fisik, Nahdlatul Ulama bahu membahu dengan semua lapisan masyarakat Indonesia dalam memper- tahankan dan mengsisi kemerdekaan dengan menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai Masyumi.
d. Sesudah revolusi fisik selesai, Nahdlatul Ulama mandiri sebagai parta Nahdlatul Ulama dan ternyata berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik yang tangguh di tingkatan nasional.
e. Pada zaman orde baru yang memaksa partai-partai bergabung menjadi dua partai dan satu Golkar, maka Nahdlatul Ulama memfungsikan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai tahun 1984, hingga Nahdlatul Ulama menyatakan tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan apapun.
f. Ketika datang zaman reformasi, Nahdlatul Ulama memper- silahkan warganya mendirinya partai.
Langkah-langkah di atas adalah cara-cara yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada suatu kondisi dan situasi tertentu untuk

kepentingan perjuangan Nahdlatul Ulama sendiri, bukan suatu yang qat’i, dan bukan suatu yang abadi yang tidak dapat berubah sepanjang masa tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan perjuangan Nahdlatul Ulama sendiri. Yang pokok bagi Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah yang mandiri, tidak menjadi bagian dari oraganisasi manapun baik organisasi politik ataupun organisasi kemasyarakatan.
Orang mengkritik Nahdlatul Ulama ketika Nahdlatul Ulama dekat dengan suatu partai, tetapi orang diam seribu bahasa ketika Nahdlatul Ulama dekat dengan organisasi sosial kemasayarakatan. Dekat atau tidak dekatnya tergantung kepada kepentingan Nahdlatul Ulama sendiri. Inilah intisari pengertian naskah Khittah NU, butir 8 alenia 6 yang berbunyi, “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga.”
Kalimat di atas diteruskan dengan kalimat yang selajutnya;
“Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal ini, warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak- hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab dan berakhlakul karimi, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mampu mengembangkan mekanisme musyawrah dan mufakat dalam memecahkan permaslahan yang dihadapi bersama.”
Lebih dari itu, Nahdlatul Ulama memberikan “Pedoman Berpolitik bagi Warga Nahdlatul Ulama” keputusan muktamar di Krapyak Yogyakarta sebagai berikut:
1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keter- libatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil

dan makmur lahir batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya berketuhanan yang maha esa, berperi- kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan dan kesaatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memper- kokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan dengan akhlak karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-asoirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu dengan yang lainnya, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasya-rakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan

fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.
Salah satu masalah yang paling penting bagi Nahdlatul Ulama    di bidang politik nasional adalah sikap terhadap Pancasila dan dasar negara Republik Indonesia. Nahdlatul Ulama menerima pancasila sebagai satu-satunya azas berbegara. Sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama ini dapat dipahami lebih jelas melalui “Deklarasi tentang hubungan pancasila dengan Islam”, hasil keputusan muktamar ke-27 NU di Situbondo, sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak digunakan untuk menggantikan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah . dan hubungan antarmanusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankajn syari’at agamanya.
5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama ber- kewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak. Nahdlatul Ulama memandang bahwa negara Republik Indonesaia adalah hasil kesepakatan seluruh bangsa Indonesia, di mana kaum muslimin dan kaum nahdliyin terlibat dalam kesepakatan melalui pemimpin yang mewakilinya. Oleh karenanya nagara ini harus diper- tahankan kelestariannya. Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sudah final bagi Nahdlatul Ulama, dalam arti tidak usah mendirikan “negara lain” menggantikan
negara ini.



G. PERILAKU DI BIDANG BUDAYA19
Salah satu ciri yang paling dasar dari perilaku warga NU adalah moderat (tawassut). Sikap ini tidak hanya mampu menjaga warga NU dari keterperosokan kepada perilaku keagamaan yang ekstrim, tetapi mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proposional. Kehidupan tidak bisa dipisahkan dari budaya. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah pebubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka
budaya juga bersifat beragama sebagaimana keragaman manusia.
Menghadapi budaya dan tradisi, ajaran Aswaja yang dikembangkan
oleh NU mengacu pada salah satu kaidah fikih:

Artinya: ”Mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik.”
Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara berimbang dan proposional. Seseorang harus melakukan upaya penyelarasan unsur-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari pokok ajaran Islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, namun di dalamnya menyimpan butir-butir kebaikan, menghadapi hal ini, sikap yang arif yang melahirkan perilaku yang positif perlu dilakukan oleh warga NU sehingga budaya tetap lestari dan ajaran Islam tetap terjaga. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua budaya jelek, banyak hal baik yang bisa diambil, karena Islam selalu menekankan; ambillah hikmah dari mana saja asalnya.

Artinya: “Apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya.“
Contoh hal ini adalah selamatan atau kenduri yang merupakan tradisi orang Jawa yang ada sejak datangnya agama Islam. Jika kelompok lain menganggap hal ini sebagai bid’ah, maka kaum Aswaja menilainya secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam  selamatan  ada unsur-unsur kebaikan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam seperti membangun tali silaturahim, merekatkan solidaritas masyarakat, menjadikan sarana bersedekah, dan mendoakan orang yang meninggal dunia. Menjalin tali silaturahim sangat dianjurkan oleh Islam sebagaimana dalam hadis Qudsi:

Artinya: “(Allah berfirman): Barang siapa yang menyambungmu (dengan  silaturahim),  maka  Aku  akan  menyambungnya, dan barangsiapa yang memutusmu (dengan memutus tali silaturahim), maka Aku akan memutusnya.”
Demikian juga, bersedekah merupakan ajaran Islam pokok. Jadi, selamatan atau kenduri dan sejenisnya merupakan “racikan” beberapa ajaran Islam dengan “bumbu” budaya. Tentu saja hal ini adalah suatu metode atau seni dakwah yang sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Walaupun secara bentuk, hal ini belum pernah dipraktekkan oleh Nabi , akan tetapi secara ajaran dan kandungannya adalah pernah dilakukan oleh Nabi Oleh sebab itulah, perilaku ini mencerminkan bagaimana kehebatan ulama terdahulu dalam membumikan ajaran Islam di tanah Jawa ini.
Yang demikian ini pernah dilakukan oleh Walisongo. Kalau dilihat dari sejarah Islam, maka hal ini sebenarnya mengikuti apa yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad . Bagaimana beliau mengadoptasi ritual pra Islam yang disesuaikan dengan ajaran Islam,

seperti ibadah haji. Haji sebelumnya adalah tradisi pra Islam yang kemudian disesuailkan dengan ajaran Islam. Nabi tidak serta merta membuang tradisi pra Islam, akan tetapi menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Artinya, mana yang tepat menurut Islam diabadikan, dan mana menyimpang, maka dihilangkan. Nabi tidak serta-merta membuang semua tradisi pra Islam seperti haji, akan tetapi beliau merombaknya dengan ajaran Islam.
Langkah inilah yang harus dipedomi oleh warga NU dan menjadi ciri perilaku keseharian mereka sebagaimana kaidah:

Artinya: “Apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak harus tinggalkan semuanya.“
Warga NU jangan serta-merta menolak budaya dengan meng- anggap bahwa semuanya adalah syirik. Memang ada hal yang syirik dan ada yang tidak. Yang syirik dibuang dan diganti dengan yang islami dan yang baik tetap dipertahankan. Kita  umpamakan  satu baju yang sobek, maka cukup dijahit mana yang sobek, tidak lantas dibuang semuanya. Jika meja kita rusak, maka mana yang  rusak yang diperbaiki, bukan lantas dibuang semuanya. Jika kita antipati terhadap budaya, maka budaya-budaya yang ada di masyarakat  akan diambil alih oleh orang lain dan diklaim sebagai budaya mereka. Apakah tidak seharusnya umat Islam yang mengambil alih budaya tersebut dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam? Bukan- kah dengan demikian umat Islam semakin kaya  akan  budaya?  Untuk melihat bagaimana konsistensi Nahdlatul Ulama terhadap kebudayaan bangsa, lihatlah maklumat kebudayaan yang dibacakan oleh Sultan Saladin (artis senior), dalam “Diskusi Publik “Infotaintment: Kezaliman Era Baru?” di Pusat Gedung Film, JI. MT Haryono kav. 47-48 Jakarta Selatan. Maklumat Kebudayaan ini ditandatangani oleh semua peserta diskusi publik yang terdiri dari artis, wartawan, dan seniman, serta para pembicara: Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj (PBNU), Prof. DR. Abdul Hadi WM (budayawan), Hans Miller (Kabid Infotainment PWI Pusat), Effendi Ghazali (pakar komunikasi UI), dan Akhlis Suryapati (Ketua Seksi Film dan Budaya PWI DKI Jaya) di bawah ini:20

MAKLUMAT KEBUDAYAAN
BANGSA Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis di segala bidang kehidupan, mulai dari krisis politik, ekonomi hingga krisis moral. Akibatnya bangsa ini kehilangan karakter dan identitasnya sebagai sebuah bangsa. Melihat kenyataan itu, maka saat ini merupakan mementum sangat penting untuk membangkitkan kembali bangsa ini dengan melakukan character-building (pembentukan karakter). Dan ini merupakan bagian dari usaha melakukan nation-building (pembangunan bangsa), sehingga menjadi bangsa yang maju dan beradab.
Mengingat kenyataan itu, kami dari segenap elemen bangsa Indonesia menolak segala bentuk character assassination (pembunuhan karakter) terhadap segenap lapisan masyarakat, baik terhadap tokoh agama, tokoh masyarakat, para seniman dan artis, maupun pengusaha, sebagaimana yang lazim ditayangkan dalam program-program infotainment yang disiarkan stasiun-stasiun TV. Apalagi program-program tersebut merupakan satu bentuk eksploitasi kapitalisme global terhadap manusia dan bangsa Indonesia. Dan hal itu jelas-jelas bertentangan dengan upaya character building yang sedang dilakukan bangsa ini.
Kami juga mencermati intervensi kapitalisme global itu ke dalam karya- karya seni bangsa kita, dan itu telah merusak segala aspek kehidupan, termasuk dalam produksi film dan sinetron, dengan mengeksploitasi kekayaan agama dan kebudayaan bangsa kita. Akibatnya terjadi pendangkalan terhadap warisan kebudayaan bangsa, serta perampasan terhadap masa depan anak-anak dan generasi muda kita. Dan juga tidak mampu memperdalam spiritualitas dan kecerdasan bangsa ini. Maka, haruslah dihindarkan pembuatan karya-karya drama, film, sinetron, jurnalistik dan karya-karya seni lainnya yang mendistorsi sejarah, legenda dan sastra Indonesia, hanya demi keuntungan bisnis semata.
Oleh karena itu kami mendukung langkah yang dilakukan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dalam Munas dan Konbesnya akhir Juli 2006 lalu,  yang mengharamkan segala bentuk character assassination sebagaimana yang ditayangkan dalam program-program infotainment. Karena hal itu bertentangan dengan agenda bangsa ini untuk melakukan character building, pembentukan watak, akhlak dan moral bangsa.




LATIHAN SOAL
Soal Uraian:
1. Jelaskan ciri perilaku keagamaan Nahdlatul Ulama!
2. Jelaskan ciri perilaku keagamaan di bidang fikih/syari’ah!
3. Jelaskan ciri perilaku NU di bidang budaya!