Sultan siak, sultan syarif kasim II berkorban untuk Indonesia

tirto.id - Uang sebesar 13 juta gulden tentu saja bukan jumlah yang kecil. Jika ditakar dengan ukuran sekarang, nominalnya kira-kira setara 69 juta euro atau lebih dari 1 triliun rupiah. Segepok uang itulah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno.
Tak hanya itu, Sultan Syarif Kasim II juga tidak segan-segan menyerahkan mahkota dan nyaris seluruh kekayaannya. Ini dilakukan sebagai penegas bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura yang dipimpinnya meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Siapakah sebenarnya sultan yang murah hati dan berkomitmen penuh terhadap NKRI itu? Mengapa pamornya seolah-olah kalah dengan para raja Nusantara pro-Republik lainnya macam Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII dari Yogyakarta atau Sultan Hamid II dari Pontianak?
Baca Juga:
Anti-Belanda Sejak dalam Pikiran
Sedari era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Sultan Syarif Kasim II sudah menempatkan dirinya sebagai penentang kaum penjajah. Lahir di Siak Sri Inderapura, Riau, pada 1 Desember 1893, sang sultan memperlihatkan perlawanannya terhadap Belanda melalui cara-cara yang elegan dan cerdas.
Sultan Syarif Kasim II sadar, melawan Belanda lewat fisik atau menentang dengan frontal sama saja bunuh diri. Apalagi, Kesultanan Siak Sri Inderapura masih terikat perjanjian yang diteken pendahulunya di masa lampau.
Jauh sebelumnya, Sultan Said Ismail (1827-1864), kakek buyut Sultan Syarif Kasim II, terpaksa menandatangani Traktat Siak yang isinya sangat menguntungkan Belanda (Sapardi Djoko Damono & Marco Kusumawijaya, Siak Sri Indrapura, 2005: 71).
Traktat Siak merupakan konsekuensi yang dijalani Sultan Said Ismail karena meminta bantuan Belanda untuk mengusir Inggris dari Riau pada pertengahan abad ke-19. Terbelenggu oleh Traktat Siak tidak lantas membuat Sultan Syarif Kasim II, yang bertakhta sejak 3 Maret 1915, sepenuhnya takluk kepada bangsa kolonial.

Sebaliknya, Sultan Syarif Kasim II dengan cerdik memaksimalkan perannya agar rakyat Siak Sri Inderapura tidak tertinggal jauh dalam menyongsong zaman modern di era pergerakan nasional itu.
Sultan Syarif Kasim II memang sosok yang berpikiran modern. Sejak usia belia, tepatnya tahun 1904, ia sudah dikirim ke Batavia (Jakarta) untuk memperdalam ilmu hukum agama dan ilmu pemerintahan. Syarif Kasim II adalah salah satu murid Profesor Snouck Hurgronje, orientalis yang menjadi penasihat pemerintah kolonial (M. Nijhoff, Anthropologica, Volume 153 , 1997: 516).
Karena itu, setelah dinobatkan menjadi sultan pada 1915, ia menggalakkan pembangunan di wilayahnya. Sultan Syarif Kasim II juga berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia rakyat Siak Sri Inderapura melalui pendidikan demi mengejar ketertinggalan dari orang-orang Belanda.
Melawan dengan Cara Elegan
Sultan Syarif Kasim II mendirikan sekolah dasar untuk mengimbangi Hollandsche Inlandsche School (HIS) milik Belanda yang hanya menerima murid dari kalangan tertentu. Sultan ingin agar seluruh anak-anak dari berbagai lapisan masyarakat bisa mengenyam pendidikan yang baik.
Sekolah dasar pertama di Riau itu menjalankan kurikulum yang memadukan unsur agama (Islam) dan nasionalisme, termasuk mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Maka, berdirilah Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah pada 1917 (Suwardi Mohammad Samin, Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau , 2002: 66).
Tak hanya itu, permaisuri Sultan Syarif Kasim II, Sarifah Latifah, juga turut mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pertama di Riau (Wilaela, Sultanah Latifah School di Kerajaan Siak, 2014: 130). Sekolah yang bernama Latifah School tersebut diresmikan pada 1926.
Sayangnya, Sarifah Latifah keburu wafat. Perjuangannya dilanjutkan oleh permaisuri kedua, Tengku Maharatu. Selain mengelola Latifah School, ia juga mendirikan asrama putri, taman kanak-kanak, serta menggagas sekolah perempuan lainnya bernama Madrasyahtul Nisak (Adila Suwarno, dkk.,
Siak Sri Indrapura, 2007: 73).

Sultan Syarif Kasim II sendiri terus menentang Belanda melalui gerakan diam-diam. Salah satunya memberi dukungan kepada “pemberontakan” Si Koyan pada 1931, yang dilancarkan oleh mereka yang tidak sudi dijadikan pekerja paksa (Tenas & Nahar Efendi, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura , 1972: 53).
Bantuan dana juga diberikan secara klandestin oleh Sultan Syarif Kasim II untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan rakyat, juga memberikan fasilitas pelatihan kemiliteran kepada kaum pemuda, hingga menentang kebijakan romusha oleh pemerintahan pendudukan Jepang pada 1942.
Tanpa Pamrih Demi NKRI
Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno. Kawat tertanggal 28 November 1945 itu menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura berdiri teguh di belakang Republik Indonesia (Husni Thamrin, Naskah Historis, Politik dan Tradisi , 2009: 201).
Mardanas Safwan dalam Sultan Syarif Kasim II: Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1893-1968 (2004) menyebutkan, kawat tersebut dikirimkan bersama dengan kesediaan sultan menyumbangkan uang sebesar 13 juta gulden untuk mendukung berdirinya republik.
Sebulan sebelumnya, Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II memprakarsai dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik di Siak Sri Inderapura (Riau). Pembentukan badan-badan perjuangan itu disertai dengan rapat umum yang digelar di lapangan istana dengan mengibarkan bendera Merah Putih.
Dalam rapat besar itu, Sultan Syarif Kasim II bersama segenap rakyat Siak Sri Inderapura dan tokoh-tokoh Riau mengucapkan ikrar setia untuk mempertahankan kemerdekaan RI sampai titik darah penghabisan (GN-PPNK,
Riwayat Hidup Singkat dan Perjuangan Almarhum Sultan Syarif Kasim II , 2006: 3).
Keputusan tersebut ternyata membuat Belanda—yang datang kembali ke Indonesia bersama pasukan Sekutu tak lama setelah kemerdekaan RI—berang dan melayangkan ancaman terhadap sang sultan.
Ancaman itu membuat Sultan Syarif Kasim II terpaksa diungsikan ke Aceh. Sebelum pergi, sultan menyerahkan istana beserta nyaris seluruh kekayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura, termasuk mahkota raja, kepada pemerintah RI (Muhammad Hafiz, Pendidikan di Kerajaan Siak Sri Inderapura: Telaah Historis Pendidikan di Era Sultan Syarif Kasim II , 2012: 96).
Di Serambi Mekah, Sultan Syarif Kasim II bergabung dengan kaum pejuang dan dipercaya sebagai penasihat pemerintah Karesidenan Aceh. Sultan masih menyuarakan dukungannya terhadap RI dari Aceh, termasuk dengan membujuk raja-raja di kawasan Sumatera untuk berpihak kepada republik.

Setelah masa damai, Sultan Syarif Kasim II sempat tinggal Jakarta kendati tidak menempati posisi khusus di pemerintahan. Itu terjadi lantaran ia harus kembali ke Riau untuk mengurusi harta peninggalan leluhurnya yang ternyata masih ada di Singapura. Di Riau, sultan menetap di bekas kediaman almarhumah istrinya, Sultanah Latifah.
Sultan Syarif Kasim II bolak-balik ke Singapura selama beberapa tahun dan sempat tinggal di negeri bekas jajahan Inggris itu. Namun, konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang terjadi pada awal dasawarsa 1960-an membuat Sultan Syarif Kasim II gagal membawa pulang harta warisannya.
Lantaran tidak ingin terseret dalam konflik, Sultan Syarif Kasim II pulang ke Siak. Ia menghabiskan masa tua di kampung halamannya hingga wafat pada 23 April 1968 dalam usia 76 tahun (Nizami Jamil, Negeri Siak Tanah Kelahiranku , 2008: 153).
Pengorbanan Sultan Syarif Kasim II untuk Republik amat besar. Namun, pemerintah RI baru memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1998. Nama Sultan Syarif Kasim II diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Pekanbaru, Riau.