- Bung Karno : Barokah Menghormati Nabi
Diceritakan oleh Abuya Alhabib Abu Bakar bin Hasan Alatos Azzabidi.
Alasan mengapa makam Bung Karno sampai saat ini didatangi banyak orang. Adalah penghormatan beliau
yang tinggi kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika mengunjungi Arab Saudi
ketika berjalan di kota Madinah bersama Raja Saudi saat itu.
Bung Karno bertanya pada Raja Saudi, “Dimana makamnya Rasulullah SAW ya, raja?”
Raja saudi menjawabnya, “Oh, itu makam Rasulullah SAW sudah terlihat dari sini,”
Maka saat itu juga Bung Karno melepaskan atribut-atribut pangkat kenegaraanya.
Raja heran dan bertanya pada Bung Karno, “Kenapa anda melepaskan itu semua?”
“Yang ada di sana itu Rasulullah SAW, pangkatnya jauh lebih tinggi dari kita, aku dan dirimu,”
Lantas Bung Karno berjalan merangkak sampai ke makamnya baginda Nabi Muhammad SAW.
Cerita
ini disampaikan oleh Sayyid Husein Muthahar yang banyak menciptaan lagu
lagu perjuangan seperti Hari Merdeka (17 agustus tahun 45), Hymne
Pramuka, Syukur dan lain-lain, beliau yang saat itu ikut bersama Bung
Karno.
- Bung Karno Dan Habaib
Ketika tiba di Istana Negara, Soekarno menceritakan berbagai masalah berat yang sedang menimpanya dan memohon Habib Alwi agar mendo’akannya. Beliau pun berjanji akan mendo’akannya. Selang beberapa hari dari pertemuan itu, tanpa diduga selesailah semua masalah Presiden di luar kemampuan dirinya. Soekarno sangat yakin bahwa ini berkat do’anya Habib Alwi.
Soekarno kemudian mengutus lagi ajudannya kepada Habib Alwi untuk mengucapkan terima kasih dan memberi hadiah. Soekarno berkata, “Katakanlah apapun yang Habib mau, saya akan memenuhinya.”
Habib Alwi bertanya balik, “Benar apapun permintaan saya akan dipenuhi?”
Presiden meyakinkan, “Benar wahai Habib.”
Habib Alwi meminta, “Tolong Presiden jangan memanggil lagi saya ke istana, jika ada perlu lagi, utus saja ajudan Presiden ke rumah saya agar tidak mengganggu waktu ibadah saya.”
Mendengar itu Sang Presiden merasa takjub dan semakin menaruh hormat kepada Habib Alwi. Begitulah seharusnya akhlak Ulama, selalu menjaga jarak dengan penguasa dan tidak tergiur dengan harta dan hadiah.
Dikutip dari buku “17 Habaib Berpengaruh di Indonesia”, sebuah buku biografi dan kumpulan foto-foto langka para Habaib yang memiliki peranan penting dalam dakwah di Indonesia.
- Bung Tomo Sowan Mbah Hasyim
Resolusi Jihad bermula saat Presiden RI Pertama, Soekarno mengirim utusan kepada KH. Hasyim Asyari, menanyakan bagaimana hukumnya dalam agama Islam membela tanah air dari ancaman penjajah. KH. Hasyim Asyari tak langsung menjawab, melainkan meminta masukan kepada para kyai terlebih dahulu.
Tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias jihad, atau saat ini populer dengan istilah resolusi jihad.
Setelah resolusi jihad dicetuskan, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada 10 November 1945 atau tepatnya dua minggu setelah resolusi jihad dikumandangkan, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan tentara pribumi dan juga warga sipil yang cuma bersenjatakan bambu runcing. Konon, ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara.
Perang yang berlangsung kurang lebih selama tiga minggu ini akhirnya dimenangkan oleh arek-arek Suroboyo. Pasukan Inggris yang tangguh itu pun lumpuh, dan bertekuk lutut.
- Bung Karno Dan Habib Alwi Barabai
Presiden pertama RI Soekarno menjabat erat tangan Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi. Soekarno tak berusaha cepat-cepat melepaskan genggamannya kepada sesepuh masyarakat Barabai itu. Obrolan ringan pun terjadi antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kharisma ini.
“Presiden Soekarno lawas maingkuti (lama memegang, red) tangan Habib Alwi,” ujar Syarifah Syehun, 80 tahun, putri Habib Alwi, mengenang kembali peristiwa penuh makna bagi warga Barabai yang berlangsung di Balai Rakyat, Barabai tahun 1953 itu.
Soekarno ketika itu datang ke Kalimantan Selatan dalam suatu kunjungan kenegaraan. Masyarakat Barabai sepakat menunjuk Habib Alwi, seorang yang pernah menjabat Kapten Arab (Kaptein der Arabieren) di Banjarmasin, untuk mewakili mereka menyambut Bung Karno.
Mengetahui bahwa yang akan datang ke Barabai adalah seorang Kepala Negara, warga masyarakat Kampung Kamasan yang terkenal sebagai perajin logam mulia emas sepakat membuat kenangan-kenangan kepada Bapak Bangsa. Mereka secara khusus membuat persembahan kerajinan (souvenir) berwujud tugu pahlawan dari emas. Souvenir itu miniatur dari bangunan tugu yang menghiasi alun-alun kota Barabai.
“Habib Alwi yang tukang julung (yang menyerahkan, red),” kata Syarifah Syehun. Entah mengapa mereka menunjuk Habib Alwi sebagai wakil mereka. Padahal saat itu hadir lengkap orang-orang besar para petinggi daerah Hulu Sungai. Mungkin warga Barabai menilai hanya Habib Alwi yang pantas berdiri berhadapan dengan Soekarno.
Waktu berjabat tangan dan berhadap-hadapan muka itulah mengalir percakapan antara mereka berdua:
“Siapa nama Pak Haji,” ujar Presiden Soekarno.
“Saya Sayid Alwi,” jawab Habib Alwi.
“Pak Sayid orang Arab?”
“Ya, saya orang Arab, lahir di Hadramaut.”
“Mengapa orang Arab mau membantu perjuangan orang Indonesia?”
“Saya muslim, dia juga juga orang muslim. Jadi wajib membantu. Ihkwanul muslimin (persaudaraan sesama orang Islam).
“Kenapa Ibu (Fatmawati) tidak dibawa,” Habib Alwi yang gantian bertanya.
“Baru bersalin, baru melahirkan,” jawab Soekarno. (Ibu Negara Fatmawati tidak bisa mendampingi kunjungan kenegaraan Bung Karno ke Kalimantan Selatan karena baru melahirkan Guruh Soekarnoputra).
“Nanti Tuan datang ke Jakarta. Saya tunggu,” lanjut Soekarno.
“Ya, nanti saya ke Batavia.” (Seorang wedana di Hulu Sungai membisiki Habib Alwi yang benar adalah Jakarta)
“Bukan, sekarang Jakarta,” kata Soekarno.
“Yakarta,” ujar Habib Alwi mengoreksi ucapannya. (Habib Alwi menyebut J dengan lafal Y).
Hingga Habib Alwi meninggal dunia tahun 1967, ia tak memenuhi undangan pribadi Presiden pertama RI itu.
- Bung Karno, Vivere Pericoloso dan Shalat Jumat
Sesaat setelah Rais Aam PBNU KH Abdul Wahab Chasbullah menyampaikan taushiyah, Presiden Soekarno memberikan amanat pada penutupan Muktamar NU di Solo, 28 Desember 1962. Seperti biasa, ceramah Bung Karno selalu menggebu-gebu dan sangat bersemangat. Waktu itu ia mengajak muktamirin untuk vivere pericoloso!
“Saya selalu anjurkan agar berani hidupnyerempet bahaya. Dalam bahasa asingnyavivere pericoloso,” kata Soekarno. “Jangan kita hidup baik sebagai bangsa maupun sebagai pemuda itu takut kepada bahaya,” katanya lagi.
“Apa yang benar, apa yang salah, ini yang benar itu saya jalankan, tidak peduli dengan rintangan apa, tidak peduli ada bahaya apa di muka saya itu.”
“Sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW, pernahkan Nabi selamat, selamat, selamat, tidak! Jikalau perlu gempur! Jika perlu mari nyerempet kepada bahaya itu. Vivere pericoloso.”
Soekarno terus berpidato dan semakin bersemangat. Waktu itu hari Jum’at dan waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 WIB. Para muktamirin sudah hendak bersiap-siap shalat Jum’at.
Tempo pidato Bung Karno mulai turun. “Tetapi jangan kita vivere pericoloso terhadap Tuhan. Janganlah kita nyerempet bahaya yang ditentukan oleh Tuhan,” katanya.
“Nah sekarang juga Saudara-saudari, jikalau Saudara-saudari… terus pidato, terus pidato… jam sudah menunjukkan jam 12 kurang seperempat, saya tidak berani vivere pericoloso terhadap Tuhan.” Lalu Bung Karno bersiap mengakhiri amanatnya.
sumber : https://fahmialinh.wordpress.com/2015/08/11/kisah-kisah-islami-para-pendiri-bangsa-indonesia/