ua hari menjelang proklamasi kemerdekaan,
tepatnya 15 Agustus 1945, seratusan pemuda mendatangi Bung Karno.
Mereka mendesak Bung Karno untuk segera membacakan proklamasi
kemerdekaan dan memulai sebuah ‘revolusi’ untuk menumbangkan Jepang.
Bung Karno bertahan, seraya membujuk
pemuda-pemuda itu untuk memperhitungkan perimbangan kekuatan. Tetapi
para pemuda terus mendesak. Namun Soekarno tidak mau ditekan dan tidak
mau bertindak gegabah. Ia lalu menjelaskan, “yang paling penting dari
setiap peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon,
saya sudah merencanakan semua pekerjaan ini dilakukan pada tanggal 17.”
“Mengapa justru tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja atau tanggal 16?” tanya Sukarni, salah seorang dari pemuda itu.
Soekarno yang agak percaya mistik
menjelaskan, “17 adalah angka yang keramat. 17 adalah angka suci.
Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan Ramadhan, waktu kita semua
berpuasa. Bukankah begitu?”
Begitulah, pada tanggal 17 Agustus 1945,
saat umat islam sedang menjalankan ibadah puasa, bangsa Indonesia sudah
memproklamasikan kemerdekaan dan sekaligus memulai sebuah revolusi besar
untuk mengubah dunia.
Proklamasi dibacakan dengan sangat
sederhana, dan dibacakan oleh para pemimpin yang juga selalu tampil
sederhana. Tetapi, jangan salah, semangat dari proklamasi itu telah
membakar puluhan juta rakyat Indonesia di seluruh negeri untuk bangkit
melawan kolonialisme.
Njoto, salah seorang pemuda yang terlibat
dalam revolusi dan sekaligus penulis pidato Bung Karno, mempersamakan
25 Oktober 1917 (kalender lama Rusia, sedangkan kalender
internasionalnya berarti 7 November 1917) yang dikenal sebagai revolusi
kaum proletar di Rusia dengan 17 agustus 1945 sebagai revolusi nasional
bangsa Indonesia. “Meskipun berlainan dalam watak dan sifat, tetapi
Agustus bagi Rakyat Indonesia sama dengan Oktober bagi Rakyat Sovyet: kedua-duanya sama dalam jiwa dan semangat,” kata Njoto.
“Apa-apa yang kurang dalam kemegahannya,
kami penuhi dalam pengharapannya,” ucap Bung Karno mengenai persiapan
proklamasi 17 Agustus 1945 yang sangat sederhana itu. Tanpa protocol dan
tanpa kemeriahan. Sekarang, kita pun patut berkata, “Apa yang kurang
dari revolusi agustus itu, maka saatnya-lah sekarang untuk
melengkapinya.”
Sumber: berdikarionline.com , https://fahmialinh.wordpress.com/2015/08/10/revolusi-di-bulan-puasa/