Hubungan baik antar manusia dengan berbagai macam keberagaman ras
adalah hal pokok dalam kehidupan. Allah Swt. menyatakan; “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat
ayat 13).
Dengan mengingat kesatuan
asal-muasal manusia, maka ikatan psikologis telah dijalin demi persatuan
sosial. Serta mengurangi sebisa mungkin kebanggaan-kebanggan individu
yang saling merendahkan satu sama lain. Hal ini berdasarkan pada ayat
suci; “…dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka
sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan
sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar?
Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. al-Furqan ayat 20).
Setidaknya
ada 10 prinsip yang diajarkan syari’ah Islam untuk menata kehidupan
sebagai konsep dalam masyarakat yang plural (beragam):
1. Tidak Ada Pemaksaan dalam Berkeyakinan
Di
dalam al-Quran, Allah Swt. menyebutkan; “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat.” (QS. al-Baqarah ayat 256). Perlu dicatat,
bagaimanapun, bahwa mendakwahkan agama dan mengkampanyekan
kebaikan-kebaikannya tidak akan berhasil dengan paksaan, maka hal
tersebut dilarang. Meskipun begitu, dakwah tetap merupakan kewajiban,
bahkan menjadi tugas yang pokok bagi kaum Muslimin.
Ada
perbedaan yang sangat jelas antara menerapkan kekerasan untuk pemaksaan
agama dengan perlawanan fisik terhadap hambatan dakwah, yang dimulai
dengan argumen-argumen bernas. Ketika memang terjadi hal terakhir
itulah, perlu ada perlawanan fisik. Allah Swt. berfirman; “Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Baqarah ayat 193). Namun tentu saja,
sikap perlawanan ini tidak boleh bertentangan dengan ayat sebelumnya,
bahwa “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
2. Perlindungan atas Nyawa, Harta dan Kehormatan Setiap Warga
Di
dalam al-Quran disebutkan; “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum)
bagi Bani Israil, bahwa: 'Barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya'.” (QS.
al-Maidah ayat 32).
Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw. bersabda;
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (yakni orang yang dijamin
keselamatannya, merujuk kepada orang non-Muslim yang hidup di negeri
Muslim), tidak akan mencium wewangian surga, meskipun aroma surga bisa
tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” Maka atas dasar perlindungan
terhadap kehidupan, kepemilikan dan kehormatan itulah pentingnya
membangun hubungan baik di antara kelompok-kelompok sebagai anggota
suatu masyarakat.
3. Keadilan dalam Setiap Kebijakan Pemerintah terhadap Semua Elemen Masyarakat
Pembawaan
emosional maupun kepentingan pribadi tidak diperbolehkan menjadi dasar
untuk membuat putusan; baik untuk menegaskan yang salah, maupun untuk
membatalkan kebenaran. Allah Swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi
Mahamelihat.” (QS. an-Nisa' ayat 58).
Disebutkan
juga di dalam al-Quran; “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Sejarah kejayaan Islam menyebutkan
kisah menarik, yakni tentang suatu balapan kuda antara putra ‘Amr bin
Ash (gubernur Mesir saat itu) dengan seorang warga Mesir biasa. Karena
kalah, putra ‘Amr ini emosi kemudian memukul orang Mesir itu tanpa
kendali. Kemudian orang Mesir tersebut melaporkan hal ini kepada
Khalifah Umar bin Khattab. Beliaupun memanggil putra ‘Amr dan ayahnya,
lalu mempersilakan si orang Mesir untuk membalas sesuai dengan perlakuan
yang dialaminya. Lalu Khalifah menegur si pelaku; “Sejak kapan engkau
mulai memiliki orang yang terlahir merdeka ke dunia ini?” Lihatlah,
kejadian ini menjadi salah satu cerminan prinsip keadilan dan kesetaraan
di dalam Islam.
4. Cinta-kasih dan Kesetiaan vis-a-vis Keadilan dan Kebaikan
Meskipun
cinta dan kasih mendalam tidak diperkenankan untuk ditunjukkan kepada
mereka yang mengingkari Allah dan RasulNya, namun nilai-nilai kebaikan
dan keadilan harus tetap ditegakkan, sebagaimana diajarkan oleh Islam
dan merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Penjelasan tentang ini nampak
jelas di dalam al-Quran;
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
al-Mumtahanah ayat 8).
Larangan di dalam ayat
ini terkecualikan bagi segelintir orang, yakni mereka yang memobilisasi
kekuatan untuk menyerang, menekan dan menjajah, sebagaimana ditekankan
dalam ayat al-Quran; “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Mumtahanah ayat 9).
Jika
ayat-ayat al-Quran kita lihat secara keseluruhan, maka ayat-ayat
semacam ini: “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat
mereka ialah Jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.” (QS. at-Taubah ayat 73), ialah merujuk kepada
kelompok manusia tertentu yang melakukan penyerangan, menjajah
kemerdekaan dan menebarkan kerusakan. Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa
penjajah memang harus dilawan. Namun perlu dipahami bahwa ada
garis-garis tuntunan dalam hal tentang perlawanan ini. Narasi berikut
ini sekiranya bisa menggambarkan hal tersebut;
Diriwayatkan
oleh Imam al-Baihaqi, dari Abu Imran al-Jauni, bahwa Abu Bakr
ash-Shiddiq Ra. suatu kali mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan ke Syam
(hari ini Suriah dan sekitarnya). Kala itu, Yazid berkata, “Aku tak suka
melihat keadaan ini; aku berkendara sedangkan engkau jalan kaki.”
Kemudian Abu Bakr menyahut, “Engkau telah keluar sebagai orang yang
berperang di jalan Allah, maka aku mengharapkan pahala dari jalan kakiku
ini.” Lalu beliau menasehati Yazid, “Jangan membunuh anak-anak, wanita,
orang tua, jangan pula menyerang orang terluka dan sakit, maupun para
rahib. Pastikan jangan sampai menebang pohon-pohon berbuah, atau merusak
wilayah berpenghuni. Jangan bunuh unta-unta atau hewan ternak melainkan
sekedar untuk makan, jangan pula tenggelamkan pohon-pohon kurma ke laut
atau membakarnya.”
Jika demikian halnya etika
yang diteladankan oleh Rasulullah melalui para sahabat terhadap para
penyerang dan penjajah, maka bagaimana kiranya akhlaq beliau terhadap
mereka yang tidak menyerang?
5. Mematuhi Kesepakatan dan Mencegah Pengkhianatan
Allah
Swt. berfirman; “Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun
(dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang
memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS.
at-Taubah ayat 4).
Di
dalam kiab sirahnya, Ibnu Hisyam menuliskan bahwa; "Ketika Abu Jandal
mendatangi Rasulullah Saw. pada saat perjanjian Hudaibiyah. Saat itu,
Rasulullah Saw. berkata kepadanya; “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan
harapkanlah pahala, sebab Allah akan menyediakan jalan keluar bagimu dan
kaum Muslimin yang bersamamu. Kita telah mengikat kepercayaan dengan
mereka, kita telah berjanji tidak akan mencederai perjanjian ini dan
merekapun demikian atas nama Allah. Maka kita tidak akan mengkhianati
perjanjian ini.”
Stabilitas
dan keseimbangan jangka panjang hanya bisa diharapkan jika seluruh
unsur masyarakat mau berkomitmen terhadap persetujuan bersama. Hal ini
kemudian akan menciptakan situasi yang aman, suasana yang nyaman dalam
keberagaman, dimana pelaksanaan dan pertukaran kepentingan bersama bisa
berlangsung.
6. Mengenali Pihak-pihak yang Bisa Diajak Bekerjasama
Ketika
Rasulullah Saw. meninggalkan Mekkah bersama Abu Bakr Ra., beliau
menyewa seorang musyrik yang bisa dipercaya untuk memandu jalan. Bahkan
pada saat hendak Perang Badar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw.
berpesan kepada para sahabat; “Aku kenal banyak diantara Bani Hasyim dan
lainnya yang dipaksa untuk berperang dalam medan ini. Maka jika kalian
berhadapan dengan orang-orang dari Bani Hasyim, jangan serang mereka,
dan siapapun yang berhadapan dengan Abbas bin Abdul Mutthalib maka
jangan sampai membunuhnya karena ia pun telah dipaksa berperang dan
tidak atas kemauannya.”
Lebih
jauh lagi, saat Rasulullah Saw. kembali dari Tha’if menuju Mekkah,
sambil memperkirakan akan muncul banyak serangan sepeninggal Abu Thalib,
maka beliau bernaung di bawah perlindungan Muth’im bin ‘Adi, sedangkan
Abu Bakr kepada Ibnu Dughunnah.
7. Membuat Pembedaan antara Ilmu-ilmu Materi dengan Ilmu-ilmu Akidah dan Syari’ah
Dalam
ilmu-ilmu materi, semisal bahasa, permesinan, sosiologi matematika,
teknik, industri, profesi, dan sebagainya, bisa dipelajari dari siapapun
yang memang ahli dalam bidang masing-masing, tentu saja tanpa
melalaikan kewajiban syari’ah. Namun dalam ilmu-ilmu akidah dan
syari’ah, harus dipelajari melalui sumber-sumber otentik, dengan belajar
bersama guru yang bersambung rantai keilmuannya (sanad) kepada
Rasulullah Saw. Hal ini diterapkan bagi ilmu-ilmu akidah dan syari’ah,
tidak demikian dengan ilmu-ilmu material karena tentu akan sangat
menghambat.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar menorehkan di dalam Fathul Bari, “Ahmad dan Ibnu Abi
al-Bazzar menyampaikan dari riwayat Jabir, bahwa Umar Ra. suatu kali
datang kepada Nabi Saw. dengan membawa sebuah buku yang ia dapatkan dari
beberapa Ahlul Kitab. Saat ia membacakannya di hadapan Nabi, beliau pun
nampak marah dan berujar, “Telah kubawakan padamu yang suci dan murni.
Maka jangan kau minta kepada mereka sesuatu yang tidak jelas, yang mana
bisa berupa kebenaran namun kau mengingkarinya, atau berupa kesalahan
namun kau mengiyakannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, jika
Musa masih hidup tentu dia tak punya pilihan lain selain mengikutiku.”
Imam
Muslim, di dalam mukadimah Shahih-nya, mengatakan ujaran Imam Muhammad
bin Sirin bahwa; “Sungguh ilmu ini ialah agama. Maka perhatikan darimana
engkau mengambil agamamu.”
8. Membalas Kebaikan dengan Kebaikan Pula
Rasulullah
Saw., sebagai bentuk penghormatan terhadap para tawanan Perang Badr,
mengatakan; “Perlakukan Ibnu ‘Adi dengan baik di antara para tawanan
ini, pasti aku akan bebaskan mereka semua sebab dia.” Hal ini
dikarenakan Ibnu ‘Adi adalah sosok yang sangat menentang pemboikotan
kaum Quraisy terhadap Nabi, serta dialah yang merobek surat kesepakatan
yang memutuskan pengasingan Bani Hasyim di Syi’b Abu Thalib selama
beberapa tahun, serta dia pulalah yang memberikan perlindungan kepada
Nabi ketika kembali dari Tha'if.
Juga
harus dicatat, bahwa penolakan segala bentuk rasisme dan kesukuan akan
sangat memperkuat kebaikan di antara unsur dalam masyarakat. Abu Dawud
meriwayatkan dari Jubair ibn Muth’im, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
“Barangsiapa mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme kesukuan) maka ia
bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang bertempur sebab ashabiyyah,
maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang mati dalam
ashabiyyah, maka dia bukan dari golongan kami.”
9. Menghindari Debat Kusir dan Menyalurkannya Secara Efektif
Salah
satu faktor utama penyebab kekisruhan dalam keberagaman adalah
pertengkaran dalam debat yang berlebihan, hasutan menuju keributan,
serta pergolakan dan kritik-kritik yang tidak penting. Syari’ah jelas
telah melarang kita untuk berbantahan, kecuali dengan cara yang baik dan
terpuji. Allah Swt. menyatakan; “Dan janganlah kamu berdebat dengan
Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik." (QS. al-‘Ankabut
ayat 46).
Juga
disebutkan di dalam al-Quran; “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl ayat 125).
Salah
satu cara yang juga bisa menjaga dari perdebatan adalah dengan
menyadari bahwa kewajiban dalam dakwah ialah menyampaikan dengan lemah
lembut dan luwes, bukan dengan sikap agresif dan dominasi. Kita juga
jangan sampai memaksakan kehendak kepada orang-orang, mengukur tingkat
keimanan orang lain dan menghakimi apa yang mereka lakukan. Sayangnya
perilaku semacam ini kadang kita temukan pada mereka yang mengaku
berdakwah, dan menganggapnya sebagai bentuk ghirah dalam beragama.
10. Membuka dan Menyediakan Ruang bagi Para Pencari Kebenaran
“Dan
jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah ayat 6).
Sebagai
komentar bagi ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya;
“Maksudnya; Allah menitahkan kepada NabiNya; jika orang-orang musyrik
yang halal darahnya (sebab penganiayaan yang telah mereka lakukan) itu
datang kepadamu untuk meminta perlindungan, maka berilah mereka
perlindungan hingga mereka bisa mendengarkan al-Quran. Hal ini
memungkinkan bagi mereka untuk menerima kebenaran Islam, serta mengimani
Allah Swt. Setelah itu, mereka bisa menetap di tempat yang aman sampai
tiba masanya mereka bisa kembali ke kampung halaman. Dan Allah
menyatakan hal ini untuk menunjukkan bahwa ada kesempatan bagi mereka
untuk memahami pesan-pesan Ilahi dan kemuliaan aturan Islam.”
Inilah
sepuluh prinsip hidup dalam keberagaman (pluralitas) yang disampaikan
oleh al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abi Bakr
bin Salim, pengasuh Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman. (Sumber:
Naseem al Sham, diterjemahkan oleh Zia Ul Haq dari catatan Dr. Muhammad
Yasir al-Qadmani atas transkrip ceramah al-Habib Umar bin Muhammad bin
Hafidz, via www.santrijagad.org/muslimedianews.com).