Untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama ketika orang Indonesia berpuasa.
Belanda melancarkan serangan kepada
Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada 20 Juli 1947. Aksi
Polisionil Pertama ini berkode actie product (aksi atau operasi
produk), sedangkan pihak Indonesia menyebutnya agresi militer Belanda
pertama. Belanda melancarkan agresinya pada awal puasa Ramadan 1366
Hijriyah kemungkinan karena Belanda menduga orang Indonesia yang
mayoritas Muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah.
Sebenarnya, sejak akhir Juni 1947 telah
diperkirakan Belanda akan melancarkan serangan dalam waktu dekat.
Sehingga, di hari pertama puasa pada 19 Juli 1947, para ulama Aceh dalam
rapat umum di pekarangan Mesjid Raya Baiturrahman menyerukan “puasa
tidak menghalangi seseorang untuk berjuang. Karena itu sambil berpuasa
berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah.”
“Demikian pesan para ulama yang
memanfaatkan mimbar rapat umum tersebut untuk menyampaikan penerangan
mengenai kewajiban berpuasa di tengah perjuangan kemerdekaan yang sedang
memuncak,” tulis Pramoedya Ananta Toer, dkk., dalamKronik Revolusi Indonesia 1947.
Residen Aceh, lanjut Pram, juga
menyerukan supaya umat Islam di Aceh senantiasa siap-sedia menghadapi
segala kemungkinan yang datang sebagai akibat keserakahan Belanda:
“Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan
perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara
Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena
kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan
saja dan dimana saja.”
Menurut J.A. de Moor, penulis biografi Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, dalam agresi ini Spoor mengomando kekuatan tempur sebanyak 96.000 pasukan, 75.000 di Jawa dan 21.000 di Sumatera.
“Agresi militer Belanda I di daerah
Sumatera Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga. Aksinya itu dimulai
pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatera Seulatan selesai
melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, 1945-1950.
Sementara itu, tulis de Moor, pihak
Republik menurut data NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) memiliki
195.000 prajurit di Jawa dan Sumatera; sekira 168.000 orang dari
“kelompok-kelompok tak teratur” atau kelasykaran; beberapa serdadu
Jepang terlibat dalam setidaknya seratus kasus; beberapa pasukan
India-Inggris yang memihak Republik; dan sekira sepuluhan orang Jerman
namun tak pernah menampakkan diri hanya terdengar suaranya yang keras
dan jelas di semak-semak bersama pejuang Republik.
“Dengan keunggulan peralatan beroda, tank dan meriam pasukan itu (Belanda, red)
menyerang dari darat, laut, dan udara. Spoor ingin memanfaatkan
sepenuhnya keunggulan angkatan bersenjata Belanda dan menyingkirkan TNI
dengan ofensif kejutan yang dahsyat,” tulis de Moor.
Pertempuran jelas tak seimbang. Selama
operasi, Belanda melakukan 1.039 penerbangan (pengintaian, mendukung
artileri dalam mengarahkan penembakan, membombardir berbagai sasaran,
mengedrop perbekalan, dan selebaran) di Jawa dan Sumatera. Sementara
itu, menurut de Moor, aksi udara lebih lanjut dari Republik –yang
memiliki 28 pesawat yang dapat dioperasikan dan beberapa puluh lagi
tidak dapat dioperasikan yang diambilalih dari Jepang– tidak dilakukan
selama Aksi Polisionil Pertama.
“Pada 24 Juli, Spoor memberikan
konferensi pers yang pertama. Dia sesumbar mengenai kemenangan. Dia
nyatakan antara lain bahwa TNI begitu cepat enyah hingga pasukan Belanda
tidak dapat mengikuti tempo larinya,” tulis de Moor.
Belanda berhasil menduduki Jawa Barat,
Jawa Tengah –Yogyakarta, Surakarta dan Kedu di luar tujuan operasi;
sebagian Jawa Timur –Bojonegoro, Madiun dan Kediri dalam kekuasaan
Republik. Belanda juga menguasai Pantai Timur Sumatera, Pantai Barat
Sumatera, dan Palembang. Dengan demikian, daerah-daerah perusahaan
perkebunan, tambang, batubara, dan ladang minyak telah kembali ke tangan
Belanda. Produksi barang perdagangan terpenting Hindia Belanda (minyak,
karet, teh, kopra, dan gula) dapat dimulai lagi. “Hindia Belanda
kembali mendatangkan uang. Situasi finansial (Belanda, red) yang gawat kelihatan berakhir,” tulis de Moor.
Dalam agresi militer ini, Belanda
kehilangan 76 tentara tewas dan 206 luka-luka. Korban pihak Indonesia
tidak diketahui pasti, tapi ditaksir sekira 10.000 orang tewas. Namun,
de Moor mengakui, selagi pertempuran berjalan, dunia luar mulai memusuhi
Belanda. Perkembangan ini akan sangat mempengaruhi dan bahkan
menentukan jalannya perang, dan juga perkembangan diplomatik. Dewan
Keamanan PBB menerima resolusi Australia, bekas sekutu pada masa perang
yang sekarang menentang Belanda, menyerukan penghentian segera
permusuhan dan diakhirinya konflik dengan cara damai.
Sumber : Historia.co.id, https://fahmialinh.wordpress.com/2015/08/10/bulan-puasa-di-bawah-agresi-militer-belanda/