Pegon atau sering disebut Arab Pego atau
Arab Jawi merupakan tulisan berabjad huruf Arab (huruf hijaiyah) yang
berakulturasi budaya dengan bahasa daerah di Indonesia dan cara
membacanya beda dengan bahasa Arab. Sekilas tulisan Pegon akan terlihat
seperti tulisan bahasa Arab pada umumnya. Namun bila dicermati sangat
beda. Dalam Pegon abjad-abajad huruf hijaiiyah dipakai guna melafadzkan
bahasa daerah di Indonesia.
Huruf Pegon tidak hanya ada di Jawa dan
Sunda, di daerah Riau/ kawasan Melayu tulisan Pegon ini disebut dengan
Arab Melayu karena menggunakan Bahasa Melayu atau Indonesia.
Dalam Penulisannya, Pegon yang berupa
huruf vokal diwakili dengan huruf-huruf yang dalam tulisan Arab
berfungsi untuk memanjangkan bacaan huruf, yakni alif (ا), wawu (و) dan
ya (ي). Sedangkan huruf konsonan ditulisan Arab Pegon diwakili oleh
huruf-huruf hijaiyah yang mirip bunyinya, seperti “n” dengan huruf nun,
“m” dengan mim dan lain-lain.
Misalnya kata makan dituliskan dengan
huruf mim, alif, kaf, alif dan nun menjadi ماكان dan kata belajar dengan
hurub ba, lam, alif, jim, alif, dan ro’ بلاجار .
Selain huruf yang sudah ada padanannya,
untuk huruf yang tidak ada dalam abjad hijaiyyah seperti bunyi sengau
“ng” atau dan huruf “c”, dipakai huruf tertentu dengan menambahkan titik
tiga: Ng dengan ghoin (غ)titik tiga dan c dengan jim (ج) titik tiga.
Tulisan Arab Pego, terutama dalam bahasa
Jawa, biasa digunakan untuk ngabsahi atau memberikan makna kata-perkata
dalam kitab kuning. Biasanya makna ini ditulis di sela-sela baris. Lebih
jauh mengenai hal pemaknaan/ ngabasahi kitab dalam kepenulisan Pegon
dikenal pula rumus untuk mengetahui tarkib/ susunan bahasa Arabnya.
Disini ada berbagai macam tanda-tanda yang digunakan, misalnya :
Mubatada’ dengan tanda Mim kecil, Khobar dengan tanda Kho di atas, Fail
dengan tanda Fa, Maf’ul lia ajlih dengan tanda ‘ain, dan lain-lain.
Pegon adalah cagar budaya bangsa Indonesia
Pada masa lalu, Arab Melayu atau Jawi ini
digunakan sebagai bahasa resmi dan bahasa pendidikan. Beberapa karya
sastra seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis
dengan aksara Arab Melayu atau Jawi ini.
Selama lebih dari empat ratus tahun,
surat yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi (Huruf
Arab-Persia/ pegon) menjadi sarana komunikasi antara Raja-raja di
Kepulauan di Indonesia dengan para Raja, Pembesar dan Pedagang dari
Manca Negara. Yang paling mengesankan dari “Surat Emas” ini adalah unsur
keseniannya. Surat-surat tersebut ditulis, dihiasi dan disungging
dengan ketrampilan yang tinggi dan sangat teliti, demi mencerminkan
martabat dan derajat sang pengirim. Sehingga Surat Emas dapat dianggap
sebagai jenis Manuskrip Melayu yang paling halus dan indah.
Salah satu contoh surat yang paling tua
dan terindah ditulis oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh pada tahun
1615, yang ditujukan kepada Raja James I. Surat ini ditulis dengan
bahasa yang indah dimana tiga perempat bagian surat ini menggambarkan
kebesaran, kekayaan dan kemegahan wilayah Sultan Aceh. Pada bagian pokok
surat, Sultan dengan sopan menolak permohonan Inggris untuk berdiam dan
berdagang di Tiku dan Pariaman karena negeri itu negeri dusun, dan
sebaliknya Sultan mengundang Inggris untuk berniaga hanya di Aceh.
Tidak hanya tulisan dan bahasanya yang
indah namun ukuran surat tersebut yang hampir mencapai 1 meter. Pola
hiasan memperlihatkan adanya pengaruh Otoman-Turki (dalam motif Bunga
dan Madat) dan Safavi-Iran (dalam Unwan berbentuk kubah berwarna biru),
namun dengan penafsiran yang khas pribumi. Kalimat-kalimat ditulis
dengan halus dan rapi di atas kertas yang telah ditaburi butir-butir
emas.
Surat tertua lainnya yang menggunakan
aksara pegon adalah surat yang ditujukan kepada Thomas Stamford Raffles
yang menjabat sebagai Letnan Gubernur di Jawa (Thn. 1811 – 1816) dan di
Bengkulu (Thn. 1818-1824).
Demikian juga dengan karya-karya
keagamaan seperti karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di
Banjarmasin atau karya-karya Kiai Shaleh Darat di Semarang, Jawa Tengah.
Surat-surat raja Nusantara, stempel kerajaan, dan mata uang pun ditulis
dalam aksara Arab Melayu/Jawi ini.
Sejak tahun 1920an, Pemerintah kolonial
secara pelan mulai menggantikan penggunaan aksara Arab Melayu atau Pego
ini dan menggantikannya dengan aksara latin. Dalam beberapa decade,
aksara Arab Melayu perlahan menghilang dari komunikasi tertulis secara
resmi, baik di pemerintahan, pendidikan maupun media.
Kini Arab Pego ini hanya dipakai di kalangan terbatas pesantren, baik di Jawa maupun di belahan Nusantara lainnya.
Penggunaan tulisan Arab Pegon
oleh ulama-ulama terdahulu adalah salah satu strategi jitu bagaimana
budaya lokal berdialektika dengan budaya Arab dan telah menyatu (manunggal). Pesan rahmatan lil alamin
menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang
moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang
merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang
memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat bukan
menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan.
Sumber :
– http://www.tokobukupesantren.com
– IndonesiaHeritage.org