Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu
ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari
bahasa Arab “ba’da” yang artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari
bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita.
Selanjutnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti
selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah selesainyanya
pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan Syawwal/Idul Fithri.
Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa
bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang
predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.
Adapun ketupat adalah makanan khas yang
bahannya dari beras dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari
janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian
direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan
dengan hari ke delapan yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA
KUPAT”.
Tiap daerah memiliki tradisi tertentu
berhubungan dengan ketupat. Di Betawi ketupat menjadi makanan khas yang
dihidangkan tiap hari, dengan istilah ketupat lontong. Sedangkan di
sepanjang patai utara Jawa, ketupat atau kupat hanya bisa dinikmati
ketika lebaran idul fitri telah genap delapan hari.
Pada hari kedelapan ini, 8 Syawal,
masyarakat hiruk pikuk membuat ketupat. Mereka saling bantu, kaum lelaki
mempersiapkan daun kelapa yang muda, sedangkan kaum perempuan sibuk
menyiapkan dan memasaknya. Tidak ketinggalan anak-anak sibuk dengan
mainannya sendiri. Semuanya dalam suasana bersuka ria. Inilah suasana
yang disebut kupatan.
Praktik kupatan berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Di sebagian daerah, acara kupatan
diramaikan dengan cara membawa ketupat ke masjid atau ke mushalla
terdekat untuk berdoa bersama, lalu makan ketupat bersama pula.
Di lain tempat praktik kupatan dilakukan
dengan saling hantar ketupat sesama tetangga dan keluarga. Namun ada
juga yang merayakan kupatan dengan cara melarung ketupat di pantai,
acara ini biasanya dilakukan sekaligus dalam rangka sedekah laut, dan
masih banyak lagi bentuk tradisi dalam rangka kupatan.
Asal Usul Tradisi Kupatan
Rasanya amat sangat sulit menemukan
kajian ilmiah tentang sejarah/asal muasal kupat. Namun menurut berbagai
sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa walisongo khususnya Sunan
Kalijaga adalah yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna
filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini.
Di Kudus, Daerah Bulusan menurut cerita
rakyat merupakan tempat di mana sunan Muria mengeluarkan fatwa (”sabdo /
dawuh”) : “jeg kulo wonten mriki sampun wonten”. Kata-kata inilah yang
konon menjadi nama daerah Jekulo (Jeg Kulo) yang sekarang menjadi nama
sebuah kecamatan dan desa di kabupaten Kudus. Konon dulu Bulus-bulus
(kura-kura) itu jelmaan orang-orang yang tidak nurut dawuh sunan Muria,
yang setiap lewat daerah situ, sunan Muria memberikan makanan pada
bulus-bulus itu. Namun sekarang bulusnya sudah tidak ada.
Selain itu, di Colo, kecamatan Dawe Kudus
sejak tahun 2009 adalah tahun ketiga memperingati kupatan dengan
merayakan upacara seribu Kupat yang telah tercatat dalam rekor Muri. Di
mana kupat yang berjumlah seribu tersebut di arak sekeliling desa Colo
menuju makam Sunan Muria, kemudian dibacakan doa oleh ulama dan kemudian
dibagikan kepada masyarakat, biasanya masyarakat yang saling berebut
ketupat karena dipercaya membawa berkah.
Dalam sejarahnya tradisi kupatan
merupakan upaya walisongo merangkul kebudyaan Jawa melalui pendekatan
kultural. Mereka ingin memperkenalkan Islam sebagai agama yang membumi,
agama semua manusia. Islam adalah agama yang meniadakan kelas sosial di
dalamnya.
Islam harus hadir sesuai dengan kebutuhan
rakyatnya, bukan kebutuhan penguasa. Karena itu mereka harus
menunjukkan bahwa dalam Islam juga ada semacam pesta suka cita sebagai
rasa syukur akan keberhasilan berpuasa selama satu bulan penuh.
Filosofi Kupat
Kupat mempunyai makna filosofis yang
mendalam. Kupat merupakan singkatan dari ‘ngaku-lepat’, artinya mengaku
salah, mengakui pernah berbuat salah. Karena saling mengaku salah maka
haruslah saling memaafkan antara satu dan lainnya. Sehingga hati menjadi
putih bersih seputih nasi ketupat.
Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai
manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan kepada sesama. Maka
dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama
mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling
memaafkan. Nah, dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini
kita akan merasakan kedamaian, ketenangan dan ketentraman.
Dalam tradisi ini, kupat juga dapat diartikan sebagai bentuk jamak dari kafi, yaitu kuffat yang berarti cukup, jelasnya, cukup akan pengharapan hidup ini setelah berpuasa satu bulan di bulan Ramadhan.
Kemudian setelah lebaran pada tanggal
satu Syawal dilanjutkan puasa sunah enam hari Syawal. Karena itu kupatan
juga dinamakan ‘bodo kupat’ yaitu lebaran kupat bagi orang yang puasa
sunah enam hari dari tanggal 2-7 syawal. Dengan demikian kupatan juga
mempunyai momentumnya tersendiri dalam Islam.
Sebagai penanda dalam pesta itu, para
wali menggunakan kupat yang terbungkus dari janur. Mulai saat itulah
janur menjadi simbol suasana suka cita seperti pesta perkawinan. Janur
sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ja-a nur artinya cahaya telah datang.
Adapula yang mengartikan bungkus kupat
yang terbuat dari janur merupakan singkatan dari sejatine nur, ini
melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya
selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada
kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda
serta bebas dari dosa.
Isi kupat yang bahannya hanya berupa
segenggam beras, namun karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam
seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai masak, maka jadilah
sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol
persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu
merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin
persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim.
Dengan demikian, kupat yang memanfaatkan
janur sebagai bungkusnya dapat dimaknai datangnya sebuah cahaya
pengharapan menuju rahmat Allah. Semoga masa depan menjadi lebih baik.
Maka kupatan sebagai tradisi adalah usaha merawat semangat dan
pengharapan akan adanya hari esok yang lebih baik karena selalu
diberkahi Yang Maha Kuasa.
Sumber :
– NU Online
– ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.com
– mushollarapi.blogspot.com
- https://fahmialinh.wordpress.com/2015/07/19/kupatan/