Hampir di seluruh wilayah Nusantara,
seruan ketika waktu sholat tiba selalu dibuka dengan suara bedug.
Kemudian barulah azan berkumandang. Bahkan, suara bedug sangat populer
di bulan Ramadhan. Akhirnya, bedug pun jadi identik dengan agama islam.
Pertanyaanya, sejak kapan dan bagaimana bedug hadir di tengah-tengah
masyarakat Indonesia? Apakah seiring dengan perubahan kendaraan religius
dalam sejarah, ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Budha runtuh berganti
dengan masuknya islam?
Abdul Azis alias Imam Samudra, pelaku Bom
Bali I pada 12 Oktober 2002 yang sudah dieksekusi mati, pernah merusak
bedug masjid di desanya, Kampung Lopang Gede, Serang, Banten. Dia
melakukannya karena menganggap bedug adalah peninggalan Hindu.
Imam Samudra tak terlalu salah karena tak
menganggap bedug sebagai peninggalan Islam tapi dia kurang tepat
menyebutkannya sebagai peninggalan Hindu. Beberapa literatur meyakini
bedug tiba di bumi Nusantara seiring kedatangan Cheng Ho. Laksamana
muslim Kaisar Ming itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid,
seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina.
Menurut arkeolog Universitas Negeri
Malang Dwi Cahyono yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim
Sampoerna Hijau, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah,
tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang
terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di
Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei.
Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan. Pada
masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata
ke berbagai tempat di Jawa.
Kata Bedug juga sudah disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan bedug ukuran biasa. Disebutkan
bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari
berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk
kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.
Bedug pada masa itu selain berfungsi
sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, juga sebagai penanda
bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai
tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci keteg.”
(sudah waktu siang). Kata ”keteg” diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat
keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug
populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan
terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat
pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai
adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi
hari, tengah hari, atau tengah malam,” tulis Dwi.
Kendati demikian, pengaruh Cina tidak
lantas dikesampingkan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan
tali dan pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug
Jawa mirip dengan cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur, seperti
Jepang, Cina atau Korea.
Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di
situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh
tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur
Tengah. Kemungkinan itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang
Cina Muslim di ibukota Majapahit. Menariknya, tabang-tabang sebenarnya
merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di
dalamnya ada pengaruh budaya India dan Semit Islam. Namun, diperkenalkan
dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Disebutkan pula , Cheng Ho dan bala
pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang
mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke
tentara yang mengiringinya. Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan
memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya
ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi
bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan
Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug kemudian dikaitkan
dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisongo sekitar abad
ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat
Islam melaksanakan salat lima waktu. Ini karena, seperti ditulis Kees
van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter J.M. Nas dan Martien de
Vletter,Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia,
sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara
untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi
sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan
dikumandangkan.
Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di
beranda atau di lantai atas. Ada juga yang diberi rumah kecil, terpisah
dari masjid. Jika masjid memiliki gerbang besar, bedug sering diletakkan
di atasnya. “Suara bedug, pada waktu belum ada pengeras suara, lebih
nyaring daripada suara manusia, dan menjadi alat komunikasi yang penting
untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan,” tulis Dijk.
Masjid juga sering memiliki alat
komunikasi lain sebagai teman bedug: kentongan, kohkol, kerentung, atau
ketuk-ketuk, yakni semacam tetabuhan yang terbuat dari batang kayu. Alat
ini, bersama bedug, digunakan untuk memperingatkan orang-orang sebelum
azan berkumandang.
Memukul bedug, lanjut Dijk, sepertinya
merupakan tradisi lama. Pada 1659, ketika Wouter Schouten, seorang
dokter kapal Belanda mengunjungi Ternate, dia mencatat penggunaan bedug
untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Dua tahun kemudian, ketika
berada di Banten, dia melihat sebuah bedug dengan tinggi dan lebar
delapan kaki di samping menara masjid. Suaranya terdengar bermil-mil
sampai ke pegunungan.
Selain untuk memberi tahu warga desa atau
kampung bahwa waktu salat sudah tiba, “… pukulan bedug juga menandai
awal dan akhir puasa serta hari raya haji… kebiasaan itu umum berlaku di
seluruh pelosok Nusantara,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2.
Cara Pembuatan Bedug
Pada awalnya, kambing atau sapi dikuliti.
Kulit hewan yang biasa dibuat sebagai bahan baku bedug antara lain
kulit kambing, sapi, kerbau, dan banteng. Kulit sapi putih memiliki
kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kulit sapi coklat.
Sebab, kulit sapi putih lebih tebal dari
pada kulit sapi coklat, sehingga bunyi yang dihasilkannya akan berbeda
disamping, keawetannya yang lebih rendah. Kemudian, kulit tersebut
direndam ke dalam air detergen sekitar 5-10 menit.
Jangan terlalu lama agar tidak rusak.
Lalu, kulit dijemur dengan cara dipanteng (digelar) supaya tidak
mengerut. Setelah kering, diukur diameter kayu yang sudah dicat dan akan
dibuat bedug. Seteleh selesai diukur, kulit tersebut dipasangkan pada
kayu bonggol kayu yang sudah disiapkan. Proses penyatuan kulit hewan
dengan kayu dilakukan dengan paku dan beberapa tali-temali.
Bedug terbesar di dunia berada di dalam
Masjid Darul Muttaqien, Purworejo. Bedug ini merupakan karya besar umat
Islam yang pembuatannya diperintahkan oleh Adipati Tjokronagoro I,
Bupati Purworejo pertama. dibuat pada tahun 1762 Jawa atau 1834 M. Dan
diberi nama Kyai Begelan. Ukuran atau spesifikasi bedug ini adalah :
Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang
564 cm, diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm.
Bagian yang ditabuh dari bedug ini dibuat dari kulit banteng. Bedug
raksasa ini dirancang sebagai “sarana komunikasi” untuk mengundang
jamaah hingga terdengar sejauh-jauhnya lewat tabuhan bedug sebagai tanda
waktu salat menjelang adzan dikumandangkan.
Dalam budaya Jawa yang diyakini berasal
dari Sunan Kalijogo, ada filosofi di dalam irama penabuhan bedug, suara
bedug yang berbunyi ‘Deng – Deng – Deng’ diartikan ‘Mushola – Masjide
isih SEDENG’ (Mushola – Masjidnya masih Cukup/Muat). Maksudnya, kita
disuruh bergegas datang ke mushola/masjid karena mushola/masjidnya masih
kosong dan masih cukup/muat untuk menampung jama’ah untuk sholat
berjama’ah.
Bedug Di Era Modern
Belakangan, tak semua umat Muslim di
Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia akrab dengan
warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi kelompok musim Persatuan
Islam (Persis) dan Muhammadiyah yang menganggap bedug bid’ah. Penggunaan
bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam
tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin
Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan
kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam.
Perdebatan itu, selain soal-soal lainnya, masih mengemuka pada 1950-an
dan 1960-an.
Pada masa orde baru ketika organisasi NU
mulai ditekan sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka
”debedukisasi” dilakukan, sehingga banyak beduk-beduk bersejarah yang
hilang dan sebagian besar digudangkan. Kemudian dikembangkan program
speakerisasi, sehingga hampir tiap masjid yang sudah dihilangkan
beduknya diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubah. Hanya
dilingkungan masjid Nu dan kelompok Islam bermazhab seperti Perti, Al
Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang belum diambil
oleh kelompok Islam modernis tetap memakai beduk. Hal itu menadji
petanda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis
yang tidak bermazhab.
Ada upaya untuk menjembatani perbedaan
yang berkaitan dengan hal semacam itu tapi tidak sepenuhnya berhasil.
Sampai-sampai cendekiawan Nurcholish Madjid, yang pada 1970-an
melontarkan desakralisasi, akhirnya berkesimpulan bahwa umat Muslim
bukan hanya menyucikan bedug tapi sudah sampai menyucikan organisasi
atau partai; partai mereka yang paling benar, paling suci.
Mirisnya, pertentangan itu masih bertahan
hingga bertahun-tahun kemudian. Gara-gara bedug, pada 1987, warga
Kampung Gunung Kembang di Tasikmalaya bersitegang. Seperti ditulis
Sofyan Samandawai dalam Mikung: Bertahan dalam Himpitan, warga
Persis menyerang praktik penggunaan bedug di masjid-masjid NU.
Sebaliknya warga NU menyerang ijtihad yang dilakukan Persis. Konflik itu
berlanjut hingga 1988, yang kemudian diselesaikan dengan pembagian
wilayah Kampung Gunung Kembang secara administratif.
Perdebatan mengenai bedug mulai mereda
sekarang. Peran bedug sudah tergantikan dengan pengeras suara. Tapi ada
sejumlah masjid yang tetap menabuhkan bedug dan kentongan sebagai
pembuka azan. Ia juga dianggap sebagai praktik budaya dan seni, yang
ditabuhkan untuk menyambut bulan Ramadan dan Idul Fitri.
Kesimpulannya, bedug bisa dikatakan
contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon)
di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon
etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India, Cina,
dan Timur Tengah. Ditambah lagi dengan peranan bedug di tengah-tengah
komunitas muslim Nusantara sebagai penanda waktu beribadah, menjadikan
bedug sebagai sebuah ekspresi ke-Islam-an yang khas di kalangan muslim
Nusantara yang layak untuk dilestarikan.
Sumber :
– FP Tempatnya Gila Bola
– www.apakabardunia.com
– historia.id
- https://fahmialinh.wordpress.com/2015/07/01/bedug/