Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut. Selain amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur TNI dan Polri. Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan terutama dalam melakukan tindakan represif terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya.
Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap.MPRS No.XXV tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.
Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa rencana dan gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel. Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari berbagai organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU dan PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya. Selain gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis. Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR. Pemberhentian Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa presiden telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. (Gonggong &Asy’asri ed, 2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi memorandum tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional. DPR sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.
Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah. Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan pembakaran berbagai fasilitas umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001.
Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan illegal..
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis.
Sikap TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
Buku k113 sejarah indonesia kls xii
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya.
Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap.MPRS No.XXV tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.
Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa rencana dan gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel. Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari berbagai organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU dan PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya. Selain gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis. Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR. Pemberhentian Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa presiden telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. (Gonggong &Asy’asri ed, 2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi memorandum tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional. DPR sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.
Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah. Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan pembakaran berbagai fasilitas umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001.
Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan illegal..
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis.
Sikap TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
Buku k113 sejarah indonesia kls xii