Cerpen yang akan kamu ulas berjudul “Nasihat untuk Anakku” karya Motinggo Busye.
Nasihat untuk Anakku
Motinggo Busye
Ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini, anakku, tentu keadaan dunia sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau membaca nasihatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bus sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu dulu pernah menanti bus sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh lima satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bus kedua yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bus itu seperti ikan pepesan layaknya. Bus ketiga datang, yang terlambat setengah jam dari semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk.
Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Karena ratapannya itu, bus-bus, becak-becak, yang ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya, tetapi menimpa kepala orang lain.
Tentu pada masa engkau membaca nasihatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bus-bus rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun ayah kira sudah tak ditarik manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu naik becak atau bus, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang emas dan tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini, anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasihat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah duaratus rupiah.
Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasihat ini Cuma berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahun,”kata teman Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah,” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia karena dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa di satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling merdeka di dunia ini, biar pun kemerdekaan itu cuma angan-angan saja. Tetapi waktu itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu kepuasan duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati; karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia.
“Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu.
Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya seperdua ratus detik saja beda waktunya.
“Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Apa rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sebenarnya orang bisa menghitung waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam.
Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama ia pun tahu berapa lama lagi ia akan bisa
mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera menuduhku telah gila. Tetapi dia tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis. Apa saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang dari tingkat dan pangkat apa pun juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau, biar pun kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku sendiri saja,” kataku.
“Apa lagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku harian itu bisa juga kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah ikut menyumbang perekonomian negaranya, biar pun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta,” kataku.
“Kau tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
“Aku tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan sembilan puluh juta buku harian dan sembilan puluh juta pensil atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biar pun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya:
“Apalagi yang akan kau beli?”
“Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku.
“Aku mau coba untung di sana,” sambungku.
Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung menontoni ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang yang betul ketawa. Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia sebetulnya bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasihat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi: “Aku sudah malu pada-Mu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu meyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku.
Sebenarnya nasihat ini, anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku.
Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dalam keadaan selamat, janganlah engkau malu. Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri, anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga hancur.
Ayahmu yakin, pada waktu kau membaca nasihatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja, anakku. Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita pendek di mana tertulis nama yahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa alasan yang bisa kusebutkan. Seorang pengarang yang baik selalu berusaha mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan, dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, cuma membutuhkan dua macam benda, yaitu sebuah arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu ayahmu dapat membuktikan kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu, apakah isinya?”
“Macam-macam, di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak bisa digadaikan, dan yang kau baca ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November, tepat pada hari ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasihatku-nasihatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.
Sumber: Motinggo Busye dalam Jakob Sumardjo & Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Sumber : buku bahasa Indonesia kelas VIII Kur 2013
Nasihat untuk Anakku
Motinggo Busye
Ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini, anakku, tentu keadaan dunia sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau membaca nasihatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bus sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu dulu pernah menanti bus sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh lima satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bus kedua yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bus itu seperti ikan pepesan layaknya. Bus ketiga datang, yang terlambat setengah jam dari semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk.
Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Karena ratapannya itu, bus-bus, becak-becak, yang ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya, tetapi menimpa kepala orang lain.
Tentu pada masa engkau membaca nasihatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bus-bus rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun ayah kira sudah tak ditarik manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu naik becak atau bus, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang emas dan tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini, anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasihat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah duaratus rupiah.
Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasihat ini Cuma berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahun,”kata teman Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah,” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia karena dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa di satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling merdeka di dunia ini, biar pun kemerdekaan itu cuma angan-angan saja. Tetapi waktu itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu kepuasan duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati; karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia.
“Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu.
Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya seperdua ratus detik saja beda waktunya.
“Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Apa rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sebenarnya orang bisa menghitung waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam.
Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama ia pun tahu berapa lama lagi ia akan bisa
mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera menuduhku telah gila. Tetapi dia tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis. Apa saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang dari tingkat dan pangkat apa pun juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau, biar pun kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku sendiri saja,” kataku.
“Apa lagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku harian itu bisa juga kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah ikut menyumbang perekonomian negaranya, biar pun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta,” kataku.
“Kau tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
“Aku tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan sembilan puluh juta buku harian dan sembilan puluh juta pensil atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biar pun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya:
“Apalagi yang akan kau beli?”
“Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku.
“Aku mau coba untung di sana,” sambungku.
Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung menontoni ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang yang betul ketawa. Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia sebetulnya bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasihat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi: “Aku sudah malu pada-Mu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu meyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku.
Sebenarnya nasihat ini, anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku.
Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dalam keadaan selamat, janganlah engkau malu. Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri, anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga hancur.
Ayahmu yakin, pada waktu kau membaca nasihatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja, anakku. Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita pendek di mana tertulis nama yahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa alasan yang bisa kusebutkan. Seorang pengarang yang baik selalu berusaha mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan, dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, cuma membutuhkan dua macam benda, yaitu sebuah arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu ayahmu dapat membuktikan kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu, apakah isinya?”
“Macam-macam, di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak bisa digadaikan, dan yang kau baca ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November, tepat pada hari ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasihatku-nasihatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.
Sumber: Motinggo Busye dalam Jakob Sumardjo & Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Sumber : buku bahasa Indonesia kelas VIII Kur 2013