Satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menyelesaikan permasalahan Timor-Timur yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur (Tim- Tim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh TAP MPR No.VI/ M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak pemah mendapat pengakuan internasional. Meskipun sebenarnya Indonesia tidak pernah mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-Tim. Banyak pengorbanan yang telah diberikan bangsa Indonesia, baik nyawa maupun harta benda, untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan di Tim-Tim, yang secara historis memang sering bergejolak antara yang pro integrasi dengan yang kontra. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat bahkan melebihi dari apa yang diberikan kepada provinsi-provinsi lain untuk mengejar ketertinggalan. Namun sungguh disesalkan bahwa segala upaya itu tidak pernah mendapat tanggapan yang positif, baik di lingkungan internasional maupun di kalangan masyarakat Timor-Timur sendiri.
Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak 8 resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB telah dikeluarkan. Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali berupaya menyelesaikan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional. Dalam perundingan Tripartit Indonesia menawarkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur. Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi akhir seperti yang ditawarkan Indonesia. Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat ‘Timor-Timur memilih otonomi atau kemerdekaan.
Bagi Indonesia adalah lebih baik menyelesaikan masalah Timor-Timur secara tuntas, karena akan sulit mewujudkan Pemerintahan Otonomi Khusus, sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-masing pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan untuk memenangkan referendum. Karena itu, melalui kajian yang mendalam dan setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah menawarkan alternatif lain. Jika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka adalah wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika pemerintah mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai, baikbaik dan terhormat.
Rakyat Timor-Timur melakukan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil jajak pendapat yang diumumkan PBB pada 4 September 1999, adalah 78.5% menolak dan 21,5% menerima. Setelah jajak pendapat ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan multinasional di Timor–Timur.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai dengan perjanjian New York, ketetapan tersebut mensahkan pemisahan Timor-Timur dan RI secara baik, terhormat dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Buku sejarah indonesia xii k13
Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak 8 resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB telah dikeluarkan. Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali berupaya menyelesaikan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional. Dalam perundingan Tripartit Indonesia menawarkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur. Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi akhir seperti yang ditawarkan Indonesia. Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat ‘Timor-Timur memilih otonomi atau kemerdekaan.
Bagi Indonesia adalah lebih baik menyelesaikan masalah Timor-Timur secara tuntas, karena akan sulit mewujudkan Pemerintahan Otonomi Khusus, sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-masing pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan untuk memenangkan referendum. Karena itu, melalui kajian yang mendalam dan setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah menawarkan alternatif lain. Jika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka adalah wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika pemerintah mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai, baikbaik dan terhormat.
Rakyat Timor-Timur melakukan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil jajak pendapat yang diumumkan PBB pada 4 September 1999, adalah 78.5% menolak dan 21,5% menerima. Setelah jajak pendapat ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan multinasional di Timor–Timur.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai dengan perjanjian New York, ketetapan tersebut mensahkan pemisahan Timor-Timur dan RI secara baik, terhormat dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Buku sejarah indonesia xii k13