Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Surat Curhat Galau
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Bertemu Kyai Sholeh Darat
Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.
Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah ini.
Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an.
Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Siapa Simbah Kyai Sholeh Darat Semarang itu?
Salah ulama’ yang merupakan embahnya para ulama di Jawa adalah Kyai Saleh Darat, seorang waliyullah yg menjadi guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Ponpes Jamsaren, Solo), KH Sya’ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak Yogyakarta), selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini. Dengan demikian dapat dikatakan, Kiai Saleh Darat merupakan guru bagi ulama-ulama besar di Tanah Jawa. Bahkan Nusantara. Memang, Kiai Saleh Darat tak sepopuler tokoh lain. Ironis? Tentu saja. Sebab semasa hidupnya, Kiai Saleh Darat mashur di seantero Tanah Jawa, Nusantara, bahkan Asia Tenggara sebagai penulis kitab-kitab fikih, teologi, tassawuf, serta ilmu falak dengan gaya pegon (berhuruf Arab dengan bahasa Jawa).
Perjalanan Intelektual Beliau KH.Soleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820 dengan nama Muhammad Shalih. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Alsamarani. pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Kyai Saleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada jamannya, ia banyak berjumpa dengan kyai-kyai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya. Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah K.H. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di jaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18. Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah “kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama. Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Ba’lawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali.
Masih di kota loenpia, Semarang-lah, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19, dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani. Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai Murtadla’ pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Setelah menikah, Sholeh Darat merantau ke Mekkah, Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Di pesantren inilah ulama’-ulama’ seperti ; KH Sya’ban, Kiai Moenawir, KH Ahmad Dahlan, KH Idris, KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfudz menuntut ilmu kepada beliau.
Kepribadian beliau Beliau adalah sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak faham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab. İni terlihat dari karangan-karangan beliau dimana pada setiap prolog selalu tertulis, “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam Terjemahan Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji. Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk melahirkan beragam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.
Pemikiran dan ajaran beliau Kyai Saleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu golongan yang selamat. Menurut Saleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Beliau juga mengajak masyarakat untuk gemar menuntut ilmu. Kyai Saleh Darat selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari Alquran adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”. Kiai Saleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan jatuh pada paham atau keyakinan sesat. Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya.
Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau. Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan.
Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya. Karangan-karangan beliau KH Saleh darat banyak menulis kitab-kitab dengan menggunakan bahasa PEGON ( hurup Arab dengan menggunakan Bahasa Jawa). Bahkan Dialah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Beliau pula yg menterjemahkan Alquran yakni Kitab Faid ar-Rahman yang merupakan Tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dengan Hurup Pegon, Terjemahan Alquran dalam aneka versi bahasa, bukan hal asing lagi sekarang. Tapi, tidak di era akhir tahun 1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Alquran, asal jangan diterjemahkan. Beliau menabrak larangan tak tertulis itu dengan mengakalinya, yakni dengan menulisnya menggunakan arab jawa atau Pegon sehingga tidak diketahui oleh belanda. Kitab inilah yang beliau hadiahkan kepada RA Kartini sebagai Kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai bupati Rembang. Kartini sungguh girang menerima hadiah itu.
”Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami” demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan Demak.
Karya karya beliau lainnya adalah Kitab Majmu’ah asy-Syariah, Al Kafiyah li al-’Awwam (Buku Kumpulan Syariat yang Pantas bagi Orang Awam), dan kitab Munjiyat (Buku tentang Penyelamat) yang merupakan saduran dari buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam Al Ghazali, Kitab Al Hikam (Buku tentang Hikmah), Kitab Lata’if at-Taharah (Buku tentang Rahasia Bersuci), Kitab Manasik al-Hajj, Kitab Pasalatan, Tarjamah Sabil Al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid, Mursyid al Wajiz, Minhaj al-Atqiya’, Kitab hadis al-Mi’raj, dan Kitab Asrar as-Salah.Hingga kini Karya-karya beliau masih di baca di pondok-pondok pesantren Di jawa.
Wafatnya Beliau Kyai Saleh Darat wafat di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun. Meski demikian, haul-nya dilaksanakan baru pada 10 Syawal. Itu semata-mata agar masyarakat bisa mengikutinya dengan leluasa, setelah merayakan Lebaran dan Syawalan. Pada hari itu masyarakat dari berbagai penjuru kota menghadiri haul Kiai Saleh Darat di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang. Banyaknya umat yang hadir dalam acara itu, seolah menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat dipungkiri, ulama akbar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu.