Jacki dan Juki, dua orang salik bertemu dan asyik berbincang-bincang. Seseorang yang dari tadi memperhatikan mereka berdua kemudian bertanya: "Di antara kalian berdua, mana yang sebagai mursyid dan siapa yang sebagai murid?"
Jacki menjawab, "Saya lah murid dan yang disebelahku ini mursyid saya".
Juki menukas cepat: "Oh tidak, terbalik itu, saya lah murid dari guru
saya ini", sambil menunjuk ke arah Jacki
Juki meneruskan jawabannya: "Saya tidak pernah menganggap kamu sebagai murid saya. Sebaliknya saya belajar banyak dari obrolan kita soal Allah dan RasulNya".
Jacki menoleh sambil tersenyum:
"Saya tidak perlu dianggap sebagai murid atau tidak, saya tidak butuh pengakuan itu. Saya sudah mengangkat diri saya sendiri sebagai murid dirimu, terserah mau diakui atau tidak".
Juki berkata lagi, "Tapi saya sudah duluan mengangkat dirimu sebagai guru saya, terserah kamu mau menerima saya sebagai murid atau tidak, Yang jelas kamu lah guru saya."
Sebelum Jacki kembali menjawab, orang yang bertanya tadi itu segera beranjak pergi meninggalkan keduanya. "Dua orang aneh," pikirnya.
Kedua salik ini pun kemudian berpisah meneruskan perjalanan masing-masing. Juki mengirimkan surat ditujukan kepada Jacki. Jacki menjawab surat tersebut sambil keheranan menanyakan, "Mengapa dalam suratmu semuanya ditulis dengan huruf kecil. Tidak ada huruf besar sedikitpun, lupakah kamu dengan kaidah penulisan yang baik dan benar?"
Juki menjawab surat itu: "saya sengaja menulis dengan huruf kecil karena bagaimana mungkin saya sanggup mencantumkan huruf besar dalam surat kepada guru saya? huruf besar adalah cermin keangkuhan diri. saya tak pantas melakukannya di depan anda meski hanya dalam bentuk tulisan".
Lama tak ada jawaban dari Jacki. Hingga suatu saat Juki bermimpi menemui Jacki, "Aduhai kemana gerangan dirimu? Saya kangen sekali. Mengapa tak kau jawab surat terakhirku?"
Dalam mimpi itu sosok Jacki Menjawab, "Bagaimana mungkin sanggup ku tuliskan jawaban surat untuk dirimu yang ku anggap sebagai guruku. Semua aksara lenyap. Setiap huruf yang mau kutuliskan --baik huruf kecil maupun besar-- hilang begitu saja. Jikalau aksara adalah perwakilan diri ini, seakan pena dan kertas tahu bahwa di depan sang mursyid tak ada lagi kata-kata yang layak disampaikan."
Sejak saat itu, Jacki dan Juki , berkomunikasi dalam diam. Mereka memasuki keheningan. Tak ada kata-kata, tak ada aksara, tak ada suara. Tak ada lagi perdebatan. Tak ada lagi pertanyaan. Hanya hati mereka yang saling berkomunikasi.
Tuhanku,
dalam diam,
ku simak KalamMu
jauh lebih jelas dari aksara dan suara
dalam hening,
tinta QalamMu kembali berubah
menjadi samudera kedamaian
hitam
putih
melebur dalam cintaMu
EmGee
Tambora, 6 Oktober 2016
Dialih alurkan dari tulisan Kang Nadir
#MalamJumatMakinSholawat
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم
#ODOTHOS
#SahabatShalawat
#Santrionline
#SantriProgressif
#ShalawatUntukJiwa
#ShalawatUntukJakarta
#ShalawatUntukNusantara
https://www.facebook.com/santrionlinenet/posts/1805256676359413
Juki meneruskan jawabannya: "Saya tidak pernah menganggap kamu sebagai murid saya. Sebaliknya saya belajar banyak dari obrolan kita soal Allah dan RasulNya".
Jacki menoleh sambil tersenyum:
"Saya tidak perlu dianggap sebagai murid atau tidak, saya tidak butuh pengakuan itu. Saya sudah mengangkat diri saya sendiri sebagai murid dirimu, terserah mau diakui atau tidak".
Juki berkata lagi, "Tapi saya sudah duluan mengangkat dirimu sebagai guru saya, terserah kamu mau menerima saya sebagai murid atau tidak, Yang jelas kamu lah guru saya."
Sebelum Jacki kembali menjawab, orang yang bertanya tadi itu segera beranjak pergi meninggalkan keduanya. "Dua orang aneh," pikirnya.
Kedua salik ini pun kemudian berpisah meneruskan perjalanan masing-masing. Juki mengirimkan surat ditujukan kepada Jacki. Jacki menjawab surat tersebut sambil keheranan menanyakan, "Mengapa dalam suratmu semuanya ditulis dengan huruf kecil. Tidak ada huruf besar sedikitpun, lupakah kamu dengan kaidah penulisan yang baik dan benar?"
Juki menjawab surat itu: "saya sengaja menulis dengan huruf kecil karena bagaimana mungkin saya sanggup mencantumkan huruf besar dalam surat kepada guru saya? huruf besar adalah cermin keangkuhan diri. saya tak pantas melakukannya di depan anda meski hanya dalam bentuk tulisan".
Lama tak ada jawaban dari Jacki. Hingga suatu saat Juki bermimpi menemui Jacki, "Aduhai kemana gerangan dirimu? Saya kangen sekali. Mengapa tak kau jawab surat terakhirku?"
Dalam mimpi itu sosok Jacki Menjawab, "Bagaimana mungkin sanggup ku tuliskan jawaban surat untuk dirimu yang ku anggap sebagai guruku. Semua aksara lenyap. Setiap huruf yang mau kutuliskan --baik huruf kecil maupun besar-- hilang begitu saja. Jikalau aksara adalah perwakilan diri ini, seakan pena dan kertas tahu bahwa di depan sang mursyid tak ada lagi kata-kata yang layak disampaikan."
Sejak saat itu, Jacki dan Juki , berkomunikasi dalam diam. Mereka memasuki keheningan. Tak ada kata-kata, tak ada aksara, tak ada suara. Tak ada lagi perdebatan. Tak ada lagi pertanyaan. Hanya hati mereka yang saling berkomunikasi.
Tuhanku,
dalam diam,
ku simak KalamMu
jauh lebih jelas dari aksara dan suara
dalam hening,
tinta QalamMu kembali berubah
menjadi samudera kedamaian
hitam
putih
melebur dalam cintaMu
EmGee
Tambora, 6 Oktober 2016
Dialih alurkan dari tulisan Kang Nadir
#MalamJumatMakinSholawat
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم
#ODOTHOS
#SahabatShalawat
#Santrionline
#SantriProgressif
#ShalawatUntukJiwa
#ShalawatUntukJakarta
#ShalawatUntukNusantara
https://www.facebook.com/santrionlinenet/posts/1805256676359413