Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna"
Sanad - Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qira’at, yang berhulu pada Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w.
Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.
Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut. Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam kitab Tadribur Rawi, mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.
Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.
~ Wassalam ~
zawiyah alKisah
http://nurulmakrifat.blogspot.co.id/2013/02/sanad-dan-ijazah.html
Sanad - Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qira’at, yang berhulu pada Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w.
Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan
menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang
lain.
Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid. Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).
Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid. Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).
Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan
pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan
itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui
rantaian periwayatan setiap perawi. Ketelitian ini dapat dilihat dari
kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.
Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam
menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai
bagian masalah kepentingan agama.
Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan: “Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan: “Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya: “Rangkaian
sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad,
pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin
katakan”.
Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad
bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah
muliakan umat ini dengan sanad".
Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang
yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan
kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya
padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.
Ijazah - Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani
(aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut
memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan
curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada
muridnya itu.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu. Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu. Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut.
Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.
Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut. Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam kitab Tadribur Rawi, mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.
Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.
Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib
Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu
membolehkan al-Ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah)
dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar R.a,
kemudian Beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib R.a untuk
mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu
kepada Beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya
dihadapan para sahabat.
Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya
di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan
penuntut ilmu. Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat
selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan
sufi (tarekat). Bukan tanpa sebab, mengapa perlu syarat-syarat yang
cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang
menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan
kepercayaan seorang guru kepada muridnya.
~ Wassalam ~
zawiyah alKisah
http://nurulmakrifat.blogspot.co.id/2013/02/sanad-dan-ijazah.html