Kitab Melayu lama yang
beraksara Arab modelnya sama dengan kitab-kitab lama yang berbahasa Arab
dan sampai sekarang masih menjadi materi pelajaran di pondok pesantren
NU.
Sebelum membicarakan kitab Arab Melayu lama karangan Syaikh Arsyad
alBanjari, Sabilul Muhtadin dan tulisan yang di tepinya adalah kitab
Shiratal Mustaqim, karangan Syaikh Nuruddin arRaniri, saya akan terlebih
dahulu menceritakan sedikit tentang model kitab dan sistem transmisi
keilmuan di pondok pesantren NU.
Teman-teman yang mempertanyakan istilah islam nusantara, mungkin dengan
tulisan singkat ini bisa membuka sedikit sudut pandang dan cakrawala
yang melunakkan. Dan teman-teman yang setuju boleh memberikan pemahaman
lain yang lebih luas.
Keabsahan sanad keilmuan dan otoritas guru dan kitab adalah sesuatu yang
prinsip dalam agama. Sistem sanad inilah yang berfungsi untuk menjaga
otentisitas agama islam. Siapapun tidak dibenarkan bicara agama secara
suka-suka. Berbicara islam harus memiliki otoritas ilmu yang dibuktikan
dengan sanad dan kitab.
Islam nusantara yang di wacanakan oleh NU bukanlah barang baru. Karena
praktek amaliyah dan sistem transmisi keilmuan di nusantara sudah
terbentuk sejak lama. Yaitu, sejak diterima islam sebagai agama oleh
penduduknya.
Karakter islam nusantara juga sangat berbeda dengan islam Arab. Islam
nusantara berkarakter terbuka, toleran dan menghargai perbedaan. Bentuk
nyata islam nusantara adalah menjaga tradisi masyarakat nusantara yang
beraneka warna dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.
Jika ada yang menuduh islam nusantara tidak otentik, tulisan yang
berikut ini akan membuktikan keaslian islam nusantara, yang memilki mata
rantai keilmuan yang bersambung secara sah sampai ke rasulullah.
Sistem transmisi atau sanad keilmuan yang dilestarikan dan dikembangkan
oleh NU, dapat dilihat dari format kitab-kitab lama yang diajarkan di
pondok pesantren NU. Setiap halaman kitab itu memiliki batas-batas
(lihat gambar halaman kitab): umumnya dibagi menjadi bagian tengah dan
tepi, meskipun ada yang membagi lagi dengan batas atas dan batas bawah.
Bagian tepi setiap halaman kitab, dikenal dengan istilah kitab matan,
sedangkan yang di tengah adalah syarah dari kitab matan yang ditulis di
tepi. Begitulah umumnya, meski ada juga format batas dengan garis yang
lebih rumit: garis atas atau bawah pada tengah dan tepi pada setiap
halaman kitab.
Ada beberapa kitab syarah dari kitab matan yang disyarah kembali. Itulah
kitab syarah dari syarah yang disebut khasyiah.
Contoh kitab khasyiah albajuri. Ia adalah syarah dari kitab fathul
qarib. Sedangkan fathul qarib adalah syarah dari kitab matan taqrib.
Ketiga kitab itu terdapat dalam satu kitab. Kitab khasyiah karena lebih
panjang ditulis di tengah. Adapun kitab syarah diletakkan di tepi.
Sedangkan kitab matan ditulis dalam tanda kurung. Ada juga yang
meletakkan kitab syarah di bagian bawah dan matan tetap di tepi.
Tetapi bukan berarti dalam kitab khasyiah, kitab syarah tidak
dituliskan. Dan bukan pula dalam kitab syarah, kitab matan tidak
ditulis. Bahkan, kitab matan dan syarah pasti dituliskan juga secara
utuh di dalam kitab khasyiah.
Kitab matan yang disyarah akan dituliskan di dalam kurung kitab syarah.
Dan kitab syarah yang disyarah diletakkan didalam kurung kitab khasyiah.
Biasanya menggunakan tanda kurung satu dan dua seperti
((شرح (متن) شرح)),
untuk membedakan kitab matan dan kitab syarah.
Teman-teman yang tidak pernah belajar di pondok NU mungkin agak susah
membayangkan, karena belum pernah melihat dan membacanya. Adapun santri
pondok NU sudah melihatnya semenjak pertama belajar di pondok. Karena
semua kitab formatnya sama: matan-syarah-khasyiah. Tetapi kebanyakan
hanya dua: matan-syarah.
Sebagian orang, termasuk saya ketika pertama mengenal kitab kuning di
pondok, menganggap hal seperti itu mubazir, berulang-ulang dan
membosankan. Betapa tidak, setiap awal tahun akan bertemu dengan judul
pelajaran yang sama.
Pelajaran fiqih (hukum islam) di setiap awal tahun pasti dimulai
pembahasan bab thaharah (bersuci). Mulai kelas satu, dua, tiga, dst..,
hanya kitab dan kyainya saja yang berbeda.
Begitulah prasangka para pemula seperti saya dulu. Pelajaran lain,
seperti nahwu (tata bahasa Arab) juga sama, dimulai bab taqsim alkalimat
(pembagian kata dalam bahasa Arab). Baik di kelas satu, dua, dst...
Setelah mengikuti prosesnya, barulah diketahui bahwa, kitab yang di
kelas atas, bukan hanya berbeda pengarangnya, melainkan berbeda juga
tingkat keluasan pengetahuan. Semakin tinggi semakin luas, mendalam dan
rumit.
Begitulah. Di tahun kedua, anggapan itu sudah berubah. Bahkan telah
timbul kesadaran penuh penghormatan dengan model pelajaran ala kitab
kuning yang diterapkan pondok pesantren NU.
Model penulisan kitab yang diajarkan adalah bukti sah adanya sanad yang
bersambung antara guru-murid sampai ke Rasulullah. Maka santri yang
sedang belajar adalah penerus ajaran nabi yang didapat dari Allah
melalui malaikat Jibril.
Karena yang menulis kitab syarah adalah murid dari guru yang menulis
kitab matan. Dan yang menulis kitab khasyiah adalah murid dari guru yang
menulis kitab syarah. Begitulah tradisi penghormatan murid kepada guru,
sambung menyambung, sampai kepada rasulullah.
Para kyai ketika akan memulai mengajar juga akan melakukan tawassul
(menyebut guru yang mengajar kitab tersebut, dari gurunya, guru dari
gurunya, terus sampai ke penulis kitab. Dan terus dilanjutkan menyebut
rantai periwayatan sampai ke rasulullah. Penyebutan nama itu diiringi
dengan do'a dan mengirim bacaan alFatihah.
Pada pertemuan kedua dan berikutnya, tidak lagi disebutkan nama
guru-guru itu satu persatu, melainkan cukup dengan cara dijama' atau
disebut kumpulan guru-guru sampai ke nabi Muhammad saw.
Barulah setelah pertemuan terakhir, setelah tamat membaca kitab,
nama-nama itu disebut kembali, dido'akan dan dikirim pahala alFatihah
dan ayat-ayat tahlil dalam acara khataman.
Begitulah transmisi (sanad) keilmuan yang terus dilestarikan di pondok
pesantren NU hingga kini. Bersambung sangat kuat, murni dan terpercaya.
Begitu juga dengan murid berikutnya. Baru diizinkan mengajar kitab
setelah mendapat ijazah dari guru. Yaitu izin kebolehan secara lisan dan
tulisan, atau salah satunya. Dan ijazah itu dilakukan dengan cara
berjabat tangan. Kyai tidak memberikan ijazah secara asal, melainkan
melalui proses memberi bimbingan dan istikharah.
Kemudian kyai juga memberikan ijazah khusus kepada para murid jika
ketika membaca kitab terbentur makna, atau tidak mampu menangkap
pemahaman dari kitab yang dibaca. Ada ijazah untuk berwasilah. Dan insya
Allah, dengan cara bertawassul, kondisi sulit ketika membaca kitab akan
segera dipahami.
Tradisi transmisi keilmuan seperti yang dilaksanakan di pondok pesantren
NU adalah sistem baku dalam sistem transmisi keilmuan di dunia islam.
Para pakar alQuran dan hadist mengembangkan keilmuan dengan cara
tersebut. Para ulama di seluruh dunia masih juga mewariskan keilmuannya
dengan cara sanad. Setiap kitab dalam semua cabang keilmuan islam
memiliki sanad yang jelas.
Tidak ada yang membedakan antara islam nusantara dengan dunia islam lain
dalam sistem sanad ini.
Model keagamaan islam nusantara menjadi berbeda dengan dunia islam lain,
karena nusantara memiliki pondok pesantren. Sementara di dunia islam
lain tidak ada.
Karena tidak adal lembaga pendidikan seperti pondok pesantren, maka di
dunia islam lain, transmisi bersifat individual. Guru atau ustaz yang
memiliki sanad ilmu atau kitab menyelenggarakan pengajian kitab di
rumahnya atau di jauzahnya. Bersifat terbuka dan siapapun boleh
mendapatkan ijazahnya dengan syarat yang telah ditentukan. Antaranya,
telah menguasai isi kitab pada batas minimal.
Pemilik sanad tidak mempersulit, bahkan sangat berkeinginan untuk
memberi bantuan maksimal kepada yang menginginkan ilmunya. Hanya saja
masyarakat luas yang mengikuti kurang bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan kesempurnaan dalam pelajaran. Banyak yang belajar tidak
sampai khatam.
Sedangkan di nusantara sistem transmisi keilmuan itu berlangsung dalam
dunia pendidikan yang terlembagakan, pondok pesantren. Secara umum, para
santri tidak akan berhenti atau keluar dari pondok sebelum menamatkan
pelajaran. Dengan tanpa disadari transmisi itu berlangsung setiap hari
dan setiap kali mengaji dengan kyai. Puncaknya adalah saat khataman di
akhir tahun.
Sedangkan untuk masyarakat umum, dibuka pengajian khusus di bulan
ramadlan dengan kitab-kitab tertentu oleh para kyai yang sudah memiliki
otoritas atau sanad. Biasanya, di bulan ramadlan, satu orang kyai cukup
membaca satu kitab. Setelah tamat, langsung memberi ijazah kepada
santri-santri yang datang mengikuti pengajiannya. Pengajian pasanan ini,
akan berakhir di tanggal lima belas. Atau paling lambat pada malam
tujuh belas ramadlan, bertepatan dengan malam nuzul quran.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masdarudin/transmisi-keilmuan_558149fb137f6170193e7e51
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masdarudin/transmisi-keilmuan_558149fb137f6170193e7e51
Kitab Melayu lama yang
beraksara Arab modelnya sama dengan kitab-kitab lama yang berbahasa Arab
dan sampai sekarang masih menjadi materi pelajaran di pondok pesantren
NU.
Sebelum membicarakan kitab Arab Melayu lama karangan Syaikh Arsyad
alBanjari, Sabilul Muhtadin dan tulisan yang di tepinya adalah kitab
Shiratal Mustaqim, karangan Syaikh Nuruddin arRaniri, saya akan terlebih
dahulu menceritakan sedikit tentang model kitab dan sistem transmisi
keilmuan di pondok pesantren NU.
Teman-teman yang mempertanyakan istilah islam nusantara, mungkin dengan
tulisan singkat ini bisa membuka sedikit sudut pandang dan cakrawala
yang melunakkan. Dan teman-teman yang setuju boleh memberikan pemahaman
lain yang lebih luas.
Keabsahan sanad keilmuan dan otoritas guru dan kitab adalah sesuatu yang
prinsip dalam agama. Sistem sanad inilah yang berfungsi untuk menjaga
otentisitas agama islam. Siapapun tidak dibenarkan bicara agama secara
suka-suka. Berbicara islam harus memiliki otoritas ilmu yang dibuktikan
dengan sanad dan kitab.
Islam nusantara yang di wacanakan oleh NU bukanlah barang baru. Karena
praktek amaliyah dan sistem transmisi keilmuan di nusantara sudah
terbentuk sejak lama. Yaitu, sejak diterima islam sebagai agama oleh
penduduknya.
Karakter islam nusantara juga sangat berbeda dengan islam Arab. Islam
nusantara berkarakter terbuka, toleran dan menghargai perbedaan. Bentuk
nyata islam nusantara adalah menjaga tradisi masyarakat nusantara yang
beraneka warna dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.
Jika ada yang menuduh islam nusantara tidak otentik, tulisan yang
berikut ini akan membuktikan keaslian islam nusantara, yang memilki mata
rantai keilmuan yang bersambung secara sah sampai ke rasulullah.
Sistem transmisi atau sanad keilmuan yang dilestarikan dan dikembangkan
oleh NU, dapat dilihat dari format kitab-kitab lama yang diajarkan di
pondok pesantren NU. Setiap halaman kitab itu memiliki batas-batas
(lihat gambar halaman kitab): umumnya dibagi menjadi bagian tengah dan
tepi, meskipun ada yang membagi lagi dengan batas atas dan batas bawah.
Bagian tepi setiap halaman kitab, dikenal dengan istilah kitab matan,
sedangkan yang di tengah adalah syarah dari kitab matan yang ditulis di
tepi. Begitulah umumnya, meski ada juga format batas dengan garis yang
lebih rumit: garis atas atau bawah pada tengah dan tepi pada setiap
halaman kitab.
Ada beberapa kitab syarah dari kitab matan yang disyarah kembali. Itulah
kitab syarah dari syarah yang disebut khasyiah.
Contoh kitab khasyiah albajuri. Ia adalah syarah dari kitab fathul
qarib. Sedangkan fathul qarib adalah syarah dari kitab matan taqrib.
Ketiga kitab itu terdapat dalam satu kitab. Kitab khasyiah karena lebih
panjang ditulis di tengah. Adapun kitab syarah diletakkan di tepi.
Sedangkan kitab matan ditulis dalam tanda kurung. Ada juga yang
meletakkan kitab syarah di bagian bawah dan matan tetap di tepi.
Tetapi bukan berarti dalam kitab khasyiah, kitab syarah tidak
dituliskan. Dan bukan pula dalam kitab syarah, kitab matan tidak
ditulis. Bahkan, kitab matan dan syarah pasti dituliskan juga secara
utuh di dalam kitab khasyiah.
Kitab matan yang disyarah akan dituliskan di dalam kurung kitab syarah.
Dan kitab syarah yang disyarah diletakkan didalam kurung kitab khasyiah.
Biasanya menggunakan tanda kurung satu dan dua seperti
((شرح (متن) شرح)),
untuk membedakan kitab matan dan kitab syarah.
Teman-teman yang tidak pernah belajar di pondok NU mungkin agak susah
membayangkan, karena belum pernah melihat dan membacanya. Adapun santri
pondok NU sudah melihatnya semenjak pertama belajar di pondok. Karena
semua kitab formatnya sama: matan-syarah-khasyiah. Tetapi kebanyakan
hanya dua: matan-syarah.
Sebagian orang, termasuk saya ketika pertama mengenal kitab kuning di
pondok, menganggap hal seperti itu mubazir, berulang-ulang dan
membosankan. Betapa tidak, setiap awal tahun akan bertemu dengan judul
pelajaran yang sama.
Pelajaran fiqih (hukum islam) di setiap awal tahun pasti dimulai
pembahasan bab thaharah (bersuci). Mulai kelas satu, dua, tiga, dst..,
hanya kitab dan kyainya saja yang berbeda.
Begitulah prasangka para pemula seperti saya dulu. Pelajaran lain,
seperti nahwu (tata bahasa Arab) juga sama, dimulai bab taqsim alkalimat
(pembagian kata dalam bahasa Arab). Baik di kelas satu, dua, dst...
Setelah mengikuti prosesnya, barulah diketahui bahwa, kitab yang di
kelas atas, bukan hanya berbeda pengarangnya, melainkan berbeda juga
tingkat keluasan pengetahuan. Semakin tinggi semakin luas, mendalam dan
rumit.
Begitulah. Di tahun kedua, anggapan itu sudah berubah. Bahkan telah
timbul kesadaran penuh penghormatan dengan model pelajaran ala kitab
kuning yang diterapkan pondok pesantren NU.
Model penulisan kitab yang diajarkan adalah bukti sah adanya sanad yang
bersambung antara guru-murid sampai ke Rasulullah. Maka santri yang
sedang belajar adalah penerus ajaran nabi yang didapat dari Allah
melalui malaikat Jibril.
Karena yang menulis kitab syarah adalah murid dari guru yang menulis
kitab matan. Dan yang menulis kitab khasyiah adalah murid dari guru yang
menulis kitab syarah. Begitulah tradisi penghormatan murid kepada guru,
sambung menyambung, sampai kepada rasulullah.
Para kyai ketika akan memulai mengajar juga akan melakukan tawassul
(menyebut guru yang mengajar kitab tersebut, dari gurunya, guru dari
gurunya, terus sampai ke penulis kitab. Dan terus dilanjutkan menyebut
rantai periwayatan sampai ke rasulullah. Penyebutan nama itu diiringi
dengan do'a dan mengirim bacaan alFatihah.
Pada pertemuan kedua dan berikutnya, tidak lagi disebutkan nama
guru-guru itu satu persatu, melainkan cukup dengan cara dijama' atau
disebut kumpulan guru-guru sampai ke nabi Muhammad saw.
Barulah setelah pertemuan terakhir, setelah tamat membaca kitab,
nama-nama itu disebut kembali, dido'akan dan dikirim pahala alFatihah
dan ayat-ayat tahlil dalam acara khataman.
Begitulah transmisi (sanad) keilmuan yang terus dilestarikan di pondok
pesantren NU hingga kini. Bersambung sangat kuat, murni dan terpercaya.
Begitu juga dengan murid berikutnya. Baru diizinkan mengajar kitab
setelah mendapat ijazah dari guru. Yaitu izin kebolehan secara lisan dan
tulisan, atau salah satunya. Dan ijazah itu dilakukan dengan cara
berjabat tangan. Kyai tidak memberikan ijazah secara asal, melainkan
melalui proses memberi bimbingan dan istikharah.
Kemudian kyai juga memberikan ijazah khusus kepada para murid jika
ketika membaca kitab terbentur makna, atau tidak mampu menangkap
pemahaman dari kitab yang dibaca. Ada ijazah untuk berwasilah. Dan insya
Allah, dengan cara bertawassul, kondisi sulit ketika membaca kitab akan
segera dipahami.
Tradisi transmisi keilmuan seperti yang dilaksanakan di pondok pesantren
NU adalah sistem baku dalam sistem transmisi keilmuan di dunia islam.
Para pakar alQuran dan hadist mengembangkan keilmuan dengan cara
tersebut. Para ulama di seluruh dunia masih juga mewariskan keilmuannya
dengan cara sanad. Setiap kitab dalam semua cabang keilmuan islam
memiliki sanad yang jelas.
Tidak ada yang membedakan antara islam nusantara dengan dunia islam lain
dalam sistem sanad ini.
Model keagamaan islam nusantara menjadi berbeda dengan dunia islam lain,
karena nusantara memiliki pondok pesantren. Sementara di dunia islam
lain tidak ada.
Karena tidak adal lembaga pendidikan seperti pondok pesantren, maka di
dunia islam lain, transmisi bersifat individual. Guru atau ustaz yang
memiliki sanad ilmu atau kitab menyelenggarakan pengajian kitab di
rumahnya atau di jauzahnya. Bersifat terbuka dan siapapun boleh
mendapatkan ijazahnya dengan syarat yang telah ditentukan. Antaranya,
telah menguasai isi kitab pada batas minimal.
Pemilik sanad tidak mempersulit, bahkan sangat berkeinginan untuk
memberi bantuan maksimal kepada yang menginginkan ilmunya. Hanya saja
masyarakat luas yang mengikuti kurang bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan kesempurnaan dalam pelajaran. Banyak yang belajar tidak
sampai khatam.
Sedangkan di nusantara sistem transmisi keilmuan itu berlangsung dalam
dunia pendidikan yang terlembagakan, pondok pesantren. Secara umum, para
santri tidak akan berhenti atau keluar dari pondok sebelum menamatkan
pelajaran. Dengan tanpa disadari transmisi itu berlangsung setiap hari
dan setiap kali mengaji dengan kyai. Puncaknya adalah saat khataman di
akhir tahun.
Sedangkan untuk masyarakat umum, dibuka pengajian khusus di bulan
ramadlan dengan kitab-kitab tertentu oleh para kyai yang sudah memiliki
otoritas atau sanad. Biasanya, di bulan ramadlan, satu orang kyai cukup
membaca satu kitab. Setelah tamat, langsung memberi ijazah kepada
santri-santri yang datang mengikuti pengajiannya. Pengajian pasanan ini,
akan berakhir di tanggal lima belas. Atau paling lambat pada malam
tujuh belas ramadlan, bertepatan dengan malam nuzul quran.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masdarudin/transmisi-keilmuan_558149fb137f6170193e7e51
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masdarudin/transmisi-keilmuan_558149fb137f6170193e7e51