Dosen Pembimbing: DR. KH. Fudhaili, MA
[61] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani
as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, hal. 28
sumber : http://abdurobbihi.blogspot.co.id/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html
Dipresentasikan pada Mata Kuliyah Ulumul Hadits, Pasca Sarjana IIQ tahun 2012/2013 M.
http://abdurobbihi.blogspot.co.id/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html
TAHAMMUL DAN ADA’ HADITS
BAB 1: Pendahuluan
Umat
Islam sepakat bahwa Hadits menjadi sumber hukum Islam setelah al-Qur’an. Maka
dari itu, umat Islam secara intensif mempelajari Hadits Nabi berikut ilmu-ilmu
pendukungnya. Jika dalam al-Qur’an, Allah ta’ala telah menjamin kemurniannya
secara pribadi, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Hijr: 9;
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya
Berbeda
dengan al-Hadits. Meskipun apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad pasti datang
dari wahyu Allah subhanahu wata’ala, sebagaiamana disebut dalam Surat an-Najm:
3-6;
Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).
Tetapi
dalam perjalanannya, suatu hadits telah melalui jalan yang butuh untuk diteliti
kebenarannya sehingga bisa diambil dalam menetapkan suatu hukum atau tidak.
Syarat
pertama hadits itu dikatakan shahih, sebagaimana disebutkan oleh para Ulama’
Muhadditsin adalah tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadits[1].
Salah satu cara pembuktian tersambungnya sanad adalah dengan mengetahui metode
berpindahnya suatu hadits dari satu rawi ke rawi lain. Dalam Ilmu Musthalah
hadits, ilmu ini lebih dikenal dengan nama “Thuruq at-Tahammul wa Ada
al-hadits”.
Dalam
Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), beliau meriwayatkan sebuah hadits marfu’
bahwa Nabi Muhammad bersabda:
حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَسْمَعُونَ،
وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ، وَيُسْمَعُ مِمَّنْ يَسْمَعُ مِنْكُم"
“Kalian mendengarkan dan didengarkan dari kalian dan didengar dari orang yang mendengar dari
kalian”
(HR.Ahmad)[2].
Syuaib al-Arnauth dalam tahqiqnya menyatakan hadits ini shahih.
Pada
makalah kali ini, penulis akan membahas pengertian tahammul dan ada’,
kelayakan seorang perawi dalam menerima dan menyampaikan kembali suatu hadits,
metode-metode berpindahnya hadits dari rawi satu ke rawi setelahnya, serta
lafadz-lafadz yang digunakan oleh para rawi dalam menyampaikan kembali
haditsnya.
Telah
banyak Ulama’ yang menuliskan tema ini, tetapi penulis menemukan satu kitab
yang cukup komprehensif membahas tema ini. Kitab ini dikarang oleh Al-Qadhi
Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-Yahshafi (w.
544 H), yang berjudul al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu
as-Sama’.
BAB 2: Pembahasan
1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Hadits
Secara
etimologi kata tahammul berasal dari kata ( mashdar): تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang berarti menanggung,
membawa[3],
atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara
terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan
cara-cara tertentu[4].
Sedangkan
pengertian ada’, menurut etimologi adalah diambil dari
kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ yang berarti menyampaikan sesuatu
kepada orang yang dikirim kepadanya[5].
Adapun
pengertiannya secara terminologi adalah sebuah proses meriwayatkan hadits
dari seorang guru kepada muridnya[6], atau
bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid.
Ulama’
Hadits sejak dahulu telah menjelaskan bagaimana hadits itu didapat seorang rawi
dari gurunya, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang
mendengar hadits dan menyampaikannya kembali, serta shighat/lafadz yang
digunakan dalam menyampaikan hadits.
Hal
ini tidak lain untuk memastikan tersambungnya hadits sampai kepada Nabi
Muhammad shallaAllah alihi wa sallam, sehingga akan hilang keraguan dalam diri
dan yakin bahwa suatu hadits benar-benar datang dari Nabi. Hal itu menunjukkan
bahwa begitu telitinya Ulama’ Hadits dalam menyeleksi kebenaran datangnya suatu
hadits.
2. Kelayakan Seorang Perawi
Yang dimaksud dengan kelayakan seorang rawi adalah kepatutan
seseorang untuk mendengar dan menerima hadits serta kelayakannya dalam
menyampaikan kembali hadits itu.
Kelayakan seorang perawi
terbagi kedalam dua bentuk, yaitu kelayakan tahammul dan kelayakan
ada’.
Riwayat Tahammul Anak-Anak yang belum Baligh dan Orang Kafir
Dalam tahammul hadits,
tidak disyaratkan seorang rawi itu harus baligh dan muslim, menurut pendapat
yang shahih[7].
Sebagaimana dijelaskan as-Suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib ar-Rawi[8].
Berbeda dalam ada’,
maka disyaratkan sudah baligh dan muslim.
Maksudnya riwayat seseorang itu diterima meskipun saat mendengar hadits itu,
seorang tersebut masih dalam keadaan kafir maupun masih belum baligh. Belum
baligh disini disyaratkan sudah tamyiz, sebagaimana jika ia sudah bisa
membedakan kambing dan keledai[9].
Meskipun ada pula yang mengatakan
bahwa riwayat hadits seseorang tidaklah diterima jika waktu memperoleh
haditsnya saat belum baligh. Tetapi pendapat ini tidaklah benar. Karena para
Ulama’ telah menerima riwayat shahabat padahal saat menerima hadits, mereka
belum baligh[10].
Sebagaimana riwayat Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin
Basyir, Said bin Yazid dan lainnya.
Al-Kathib al-Baghdadi (w.
463 H) dalam kitabnya al-Kifayah telah menjelaskan secara luas, tentang
diterima riwayat seseorang yang mendengar hadits saat belum baligh.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib
telah meriwayatkan hadits dari Nabi, padahal beliau lahir tahun 2 Hijiriyyah[11].
Maslamah bin Mukhallad meriwayatkan hadits dari Nabi. Saat Nabi wafat, maslamah
baru berusia 14 tahun.
Salah satu contoh hadits
yang diriwayatkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib saat masih kecil adalah sebuah
hadits yang diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dengan sanadnya:
أخبرنا أبو سعيد محمد بن موسى بن الفضل بن
شاذان الصيرفي ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم ثنا الحسن بن مكرم ثنا عثمان بن
عمر انا ثابت بن عمارة عن ربيعة بن شيبان قال قلت للحسن بن على ما تذكر من رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال: حملنى على عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة
فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا الصدقة
Adapun contoh hadits yang
didapatkan rawi saat masih kafir adalah hadits Jabir bin Muth’im[12]:
حديث جبير بن مطعم المتفق عليه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم يقرأ
في المغرب بالطور. وكان جاء في فداء اسرى بدر قبل أن يسلم. وفي رواية للبخاري
وذلك أول ما وقر الإيمان في قلبي.
Sanad
|
Rawi
|
Shighat Ada’
|
1
|
الخطيب البغدادي
|
|
أخبرنا
|
||
2
|
أبو سعيد محمد بن موسى بن الفضل الصيرفي
|
|
ثنا
|
||
3
|
أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم
|
|
ثنا
|
||
4
|
الحسن بن مكرم
|
|
ثنا
|
||
5
|
عثمان بن عمر
|
|
أنا
|
||
6
|
ثابت بن عمارة
|
|
عن
|
||
7
|
ربيعة بن شيبان
|
|
قال
|
||
8
|
الحسن بن على
|
|
Matan hadits
|
حملنى على عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة
فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا الصدقة
|
Tabel 1: Contoh shighat Ada’
hadits
Apakah ada batas umur
tertentu dalam menerima hadits? Sebagian Ulama’ mensyaratkan batas minimal usia
5 tahun. Ada pula yang tidak membatasinya. Batasnya adalah jika sudah tamyiz,
sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawab jika ditanya, dan bagus
pendengarannya[13].
Selain kelayakan tahammul,
sebagaimana disebutkan diatas yaitu kelayakan ada’. Kelayakan
ada’ seseorang agar diterima riwayatnya yaitu sebagaimana syarat hadits
maqbul (shahih/hasan); yaitu muslim yang baligh, ‘adil dan dhabith[14].
Untuk keterangan lebih detail, bisa merujuk kepada tema syarat-syarat rawi.
3. Metode-metode Tahammul dan Shighat Ada’ Hadits
Pada umumnya Ulama
membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi delapan macam, yaitu:
1. as-sama’ min lafdz as-syaikh: pembacaan oleh guru kepada murid
2. al-qira’ah ‘ala as-syaikh: pembacaan oleh murid kepada
guru
3. al-ijazah: mengijinkan seseorang untuk menyampaikan sebuah hadits atau
kitab
4. al-munawalah: menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk
diriwayatkan
5. al-kitabah: menuliskan hadits kepada seseorang
6. al-i’lam: seorang guru mengabarkan kepada muridnya bahwa ia mendengar
suatu hadits
7. al-washiyyah: mewasiatkan suatu kitab kepada orang lain tentang hadits yang
telah diriwayatkannya
8. al-wijadah: menemukan suatu tulisan dari seseorang yang di dalamnya terdapat
hadits
[15].
Dari kedelapan metode itu, dalam periode shahabat
hanya yang pertama saja yang digunakan secara umum[16].
Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar darinya. Tak lama
kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode satu dan dua.
Berikut lebih lanjut penjelasannya:
1. Sama’ lafdzi as-Syaikh
Bentuk: Seorang guru membacakan
hadits, sedangkan murid mendengarkannya. Baik guru itu membaca dari kitab
ataupun dari hafalannya, baik murid hanya mendengarkan atau mencatatnya juga[17].
Tingkatan:
Metode tahammul ini merupakan tingakat pertama dalam urutan tahammul hadits.
Inilah pendapat Jumhur Ulama’[18].
Shighat
Ada’: Sedangkan shighat yang digunakan dalam menyampaikan sebuah hadits
yang didapatkan dengan metode ini adalah:
§ Sebelum adanya pengkhususan shighat dari masing-masing metode
tahammul, lafadz yang digunakan adalah[19]:
حدثني،
أخبرني، أنبأني، سمعت فلانا يقول، قال لي فلان، ذكر لي فلان
§ Setelah
terjadi pengkhususan istilah shighat tahammul, maka biasanya:
1. Sama’: biasanya menggunakan
(سمعت )
dan ( حدثني)
2. al-Qira’ah: biasanya menggunakan (أخبرني)
3. Ijazah:
biasanya menggunakan (أنبأني)
4. Sama’ al-Mudzakarah: Sama’ al-Mudzakarah
berbeda dengan sama’ at-tahdits. Jika sama’ at-tahdits maka antara guru dan
murid sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Sedangkan dalam sama’ al-mudzakarah
tidak ada persiapan sebelumnya. Biasanya menggunakan (قال لي ) atau ( ذكر لي) [20].
Biasanya
untuk meringkas tulisan, para Ulama’ hanya menuliskan (ثنا)
untuk (حدثنا), dan (أنا)
untuk (أخبرنا)[21].
2. al-Qira’ah ‘ala as-Syeikh/’ardhun (العرض)
Bentuk: Seorang murid membaca hadits dan guru
mendengarkannya. Baik seorang murid itu membacanya sendiri atau orang lain yang
membaca dan dia mendengarkan, baik membacanya dari tulisan ataupun dari
hafalan. Begitu juga guru itu mengikuti bacaan murid dari hafalannya atau dia
memegang sebuah kitab atau orang lain yang tsiqah[22].
Hukum Riwayat: Meriwayatkan hadits dengan metode ini adalah
shahih dan bisa diterima.
Tingkatan: Ulama’ berbeda pendapat tentang tingkatan
metode ini dalam tiga pendapat:
1. Sama dengan as-Sama’ (metode pertama). Ini pendapat Malik,
al-Bukhari, Yahya bin Said al-Qahthan, Ibnu Uyainah, az-Zuhri, kebanyakan
Ulama’ Hijaz dan Kufah[23].
2. Di bawah as-Sama’, Ini adalah pendapat Jumhur Khurasan,
as-Syafi’i, Muslim bin Hajjaj, Yahya bin Yahya at-Tamimi. Ini adalah pendapat
yang shahih[24].
3. Lebih tinggi daripada as-Sama’. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, dan salah satu pendapat Malik.
Imam Malik memberikan alasan bahwa, jika saja
seorang guru salah atau lupa dalam menyampaikan suatu hadits, maka murid tidak
bisa membetulkannya. Ada kalanya memang murid tersebut belum mengetahui
haditsnya, atau karena keagungan gurunya, jadi murid enggan untuk mengoreksi.
Berbeda jika murid
membacakan hadits di depan gurunya, maka gurunya akan bisa tahu jika murid lupa
atau salah dalam membaca hadits[25].
Shighat Ada’:
1. Yang lebih hati-hati: (قرأت على فلان) atau (قرئ عليه وأنا أسمع فأقرَّ به)
2. Boleh saja dengan shighat: (حدثنا قراءة عليه)
3. Adapun yang banyak dipakai Muhadditsin adalah: (أخبرنا)
Ulama’ tidak membolehkan mengganti shighat (أخبرنا) dengan (حدثنا)
atau sebaliknya dalam kitab-kitab yang sudah ditulis[26].
Nampaknya, metode ‘ardh ini merupakan
praktik yang paling umum sejak awal abad kedua[27]. Dalam
praktik ini, salinan-salinan diberikan oleh guru sendiri, karena banyak dari
mereka memiliki juru tulis (katib atau warraq) sendiri, atau
merupakan milik murid yang menyalinnya lebih dahulu dari kitab asli.
3. al-Ijazah
Arti kata Ijazah dalam terminologi hadits adalah memberikan izin, baik
dalam tulisan maupun hanya lafadz saja kepada seseorang untuk menyampaikan
hadits atau kitab berdasarkan otoritas Ulama’ yang memberikan izin.
Ijazah ini bisa dengan musyafahah antara guru dan murid, atau
pemberian izin dari guru dalam bentuk tulisan, baik murid ada atau tidak ada di
depan guru[28].
Bentuk: Seorang guru
berkata kepada muridnya, (أَجَزْتُ لك أن تروي عني صحيح البخاري),
saya memberi ijin untukmu meriwayatkan dariku kitab Shahih Bukhari.
Macam-Macam Ijazah dan Hukumnya:
Ada beberapa macam Ijazah, tapi
Ijazah yang diterima riwayatnya dan dipakai oleh Kebanyakan Ulama’ adalah jika
Ijazah itu dari seorang guru kepada murid yang tertentu atas sesuatu yang
tertentu pula. Misalnya: Saya mengijazahkan kepadamu kitab Shahih Bukhari.
Menurut imam Malik dan beberapa
Ulama’, Ijazah seperti ini derajatnya sama dengan as-Sama’[29].
Disebutkan dalam kitab al-Ilma’[30]
oleh al-Qadhi Iyadz (w. 544 H), sebuah riwayat sampai kepada Imam Malik bin
Anas:
أخبرنا أبو طاهر الأصبهاني مكاتبة قال
حدثنى أبو الحسين الطيورى أخبرنا أبو الحسن الفالى أخبرنا ابن خربان أخبرنا ابن
خلاد أخبرنا أبو جعفر أحمد بن إسحاق بن بهلول أخبرنا إسماعيل بن إسحاق سمعت
إسماعيل بن أبى أويس يقول سألت مالكا عن أصح السماع فقال قراءتك على العالم أو قال المحدث ثم
قراءة المحدث عليك ثم أن يدفع إليك كتابه فيقول أرو عنى هذا.
Adapun Ijazah yang lain, misalnya Ijazah kepada orang yang tak tertentu,
atau atas sesuatu yang tidak tertentu pula, misalnya: Seorang guru berkata, Aku
mengijazahkan hafalanku, aku mengijazahkan kepada semua orang yang hidup di
zamanku, maka para Ulama’ tidak mengambil riwayat dari hal tersebut.
Meskipun ada pula yang membolehkan mengambil riwayat dari Ijazah seperti itu,
tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah.
Shighat Ada’:
1. Yang
lebih baik adalah menggunakan lafadz: (أجاز لي فلان)
2. Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثنا
إجازة) dan (أخبرنا إجازة)
3. Para
Muhaddits banyak yang memakai lafadz: (أنبأنا)
4. al-Munawalah
al-Munawalah disini maksudnya adalah menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk
diriwayatkan.
Bentuk: al-Munawalah terbagi menjadi dua:
1. al-Munawalah
disertai dengan Ijazah.
Inilah bentuk Ijazah tertinggi, dimana seorang guru memberikan kitab
kepada muridnya disertai izin untuk meriwayatkannya. Sebagaimana guru berkata
kepada muridnya, Kitab ini saya meriwayatkannya dari guru saya, maka sekarang
riawayatkanlah dari saya. Setelah itu, kitab menjadi milik murid atau guru
hanya meminjamkan saja kitabnya untuk disalin[31].
2. al-Munawalah
tidak disertai dengan ijazah.
Bentuknya adalah seorang guru
memberikan kitab kepada muridnya. Hukum meriwayatkan hadits dengan al-Munawalah
yang tidak disertai ijazah ini adalah tidak diterima, menurut pendapat yang
shahih. Sedangkan al-munawalah yang disertai ijazah adalah diterima, dia berada
dibawah as-Sama’ dan al-Qira’ah ala as-Syeikh.
Shighat ada’:
1. Lebih baik menggunakan lafadz: (ناولني), jika munawalah disertai dengan ijazah, maka
dengan lafadz (ناولني وأجاز لي).
2. Boleh juga dengan lafadz: (حدثنا مناولة),
(أخبرنا
مناولة وإجازة).
5. al-Kitabah
Yang dimaksud
dengan al-kitabah di sini adalah aktivitas seorang guru menuliskan hadits, baik
ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk kemudian diberikan kepada orang
yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain[32].
Macam al-kitabah ini oleh para Ulama’ hadits dibagi menjadi dua,
sebagaimana dalam al-Munawalah:
1. Disertai
dengan pemberian Ijazah. Sebagaimana perkataan seorang guru kepada muridnya:
Saya ijazahkan kepadamu hadits yang telah aku tuliskan kepadamu[33].
2. Tidak disertai pemberian
ijazah. Sebagaimana seorang guru menuliskan hadits kepada seseorang tetapi
tidak disertai ijazah untuk meriwayatkannya.
Mengenai
hukum meriwayatkan hadits metode ini, jika disertai ijazah, maka diterima
sebagaiamana seperti al-munawalah yang disertai ijazah, karena pada prinsipnya
hampir sama antara al-kitabah dan al-munawalah[34].
Sedangkan jika tidak disertai ijazah, maka sebagian Ulama’ tidak memperbolehkan
meriwayatkannya, seperti al-Qadhi Abu al-Mawardi as-Syafi’i (w. 450 H) dalam
kitabnya al-Hawi dan al-Amidi (w. 631 H).
Sedangkan
sebagian Ulama’ ada membolehkan meriwayatkan hadits dari al-kitabah, meskipun
tidak disertai ijazah. Karena ada tanda-tanda yang bisa diketahui dari
al-kitabah bahwa orang yang memberikan tulisannya kepada orang lain, artinya
boleh untuk diriwayatkan. Ini pendapat yang shahih, sebagaimana diungkap oleh
Dr. Mahmud at-Thahhan[35].
Sebelumnya, Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H), dalam kitabnya al-Ilma’
ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, juga menyatakan
kebolehan riwayat dengan metode ini[36].
Karena
sejatinya tulisan kepada seseorang adalah berbicaranya seseorang kepada orang
lain, tetapi dengan media yang berbeda.
Bahkan Al-Qadhi
Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H) menceritakan sebuah perdebatan antara Imam Syafi’i
(w. 204 H) dengan Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), yang disaksikan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H); terkait al-kitabah:
حدثنا أحمد بن محمد الحافظ من كتابه قال
أخبرنا أبو الحسين الصيرفى أخبرنا أبو الحسن الفالى أخبرنا أبو عبد الله بن خربان
أخبرنا القاضى أبو محمد بن خلاد أخبرنا الساجى أخبرنا جماعة من أصحابنا، أن
الشافعى ناظر إسحاق بن راهوية وابن حنبل حاضر في جلود الميتة إذا دبغت. فقال
الشافعى: "دباغها طهورها"، واستدل بحديث ميمونة: "هلا انتفعتم
بإهابها". فقال إسحاق: "حديث ابن عكيم كتب إلينا النبى صلى الله عليه و
سلم لا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا عصب أشبه أن يكون ناسخا لحديث ميمونة لأنه قبل
موته بشهر".
فقال الشافعى: "هذا كتاب وذاك
سماع". فقال إسحاق: "كتب النبى صلى الله عليه و سلم إلى كسرى
وقيصر، وكان حجة عليهم". فسكت الشافعى.
Suatu ketika Imam
Syafi’i (w. 204 H) berdebat dengan Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) tentang
pemanfaatan kulit bangkai. Imam Syafi’I berkata bahwa kulit bangkai bisa
dimanfaatkan jika sudah di-dibagh atau samak. Beliau berdalil dengan
hadits dari Maimunah. Sedangkan Ishaq bin Rahawaih membantahnya dengan sebuah
hadits yang didapat dari Ibnu Akim, bahwa Nabi Muhammad shallAllah alaihi wa
sallam pernah menulis tulisan kepada Ibnu Akim untuk tidak memanfaatkan kulit
bangkai meskipun sudah disamak.
Apakah untuk
memastikan tulisan seorang guru itu dibutuhkan sebuah bukti?
Sebagaimana
kita ketahui zaman dahulu belum ada mesin tik atau komputer, artinya semua
tulisan dikerjakan dengan tangan. Sebagian Ulama’ mewajibakan adanya bukti atas
sebuah tulisan. Adapun sebagian Ulama’ yang lain menyatakan bahwa bukti itu
cukup dari pengetahuan dari orang yang mendapatkan tulisan; bahwa tulisan itu
asli hasil dari gurunya. Karena tulisan tangan itu berbeda dari satu orang
dengan orang lain. Pendapat kedua ini adalah pendapat yang shahih menurut Dr.
Mahmud at-Thahhan[37].
Shighat Ada’:
1. Menggunakan lafadz: (كتب إلي
فلان)
2. Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثني فلان كتابة) atau (أخبرني كتابة).
6. I’lamu as-Syeikh at-Thalib
Cara selanjutnya adalah al-i’lam, yaitu
tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau
hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai
dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya atau kebolehan meriwayatkannya. Atau jika seorang
murid berkata kepada gurunya “Ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya
menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja[38].
Hukum
Riwayat:
1. Boleh: Sebagaimana dikatakan oleh Banyak Ahli Hadits dan Fiqih.
Seperti Ibnu Juraij, Ibnu as-Shabbagh as-Syafi’I, Abu al-Abbas al-Walid bin
Bakr al-Maliky[39].
2. Tidak boleh: Ini pendapat yang dianggap shahih oleh Dr. Mahmud
at-Thahhahan[40],
karena menurut beliau seorang guru mengabarkan kepada muridnya atas sebuah
riwayat tanpa disertai ijazah, itu menandakan adanya suatu cela dalam hadits.
As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya; Tadrib ar-Rawi yang
mensyarah kitab an-Nawawi (w. 676 H) yang berjudul at-Taqrib wa at-Taisir li
Makrifati Sunani al-Basyir an-Nadzir mengungkapakan bahwa an-Nawawi (w. 676
H) menshahihkan pendapat kedua, yaitu tidak menerima riwayat metode ini.
Adapun Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H) telah menjelaskan dengan
panjang terkait perbedaan Ulama’ atas hukum riwayat metode ini dalam kitabnya[41].
Beliau lebih cenderung membolehkan riwayat metode ini, karena jika guru
mengabarkan kepada murid, bahwa suatu hadits itu termasuk hadits yang didengar
oleh dirinya sendiri, maka itu sama halnya guru itu memberikan hadits kepada
muridnya. Meskipun tidak disertai ijazah.
Bahkan jika seorang guru mengatakan kepada muridnya, “ini adalah
riawayat yang saya dengar, kalian jangan meriwayatkannya dari saya” maka
larangan ini tidak jadi pengahalang bagi muridnya untuk meriwayatkan hadits
itu, jika memang hadits itu shahih. Karena jika hadits itu shahih, maka
larangan meriwayatkan oleh guru itu tidak karena haditsnya, tetapi karena hal
lain. As-Suyuthi (w. 911 H) menyandarkan pendapat ini kepada pendapat Ahli
Dzahir[42].
Adapun shigat ada’ yang dipakai dalam metode ini adalah: lafadz (أعلمني
شيخي بكذا).
7. al-Washiyah
Al-washiyyah adalah
penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut;
yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya.
Adapun hukum
riwayat hadits dengan metode ini ada dua pendapat:
1. Boleh: Ini adalah
pendapat Ulama’ terdahulu. Tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagaimana
diungkapan, an-Nawawi (w. 676 H) yang dinukil oleh as-Suyuthi (w. 911 H)[43],
al-Qadhi Iyadh (w. 544 H)[44],
dan oleh Ulama’ saat ini, Dr. Mahmud at-Thahhan[45].
2. Tidak boleh: Ini adalah
pendapat yang shahih oleh para Ulama’ ahli Hadits.
Syeikh Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360
H), dalamkitabnya[46]
al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, mengungkapkan sebuah
riwayat:
حدثني أحمد بن
مردويه الضرير شيخ من أهل رامهرمز حدثنا الحسن بن حابس البناء وهو من أهل رامهرمز
ثنا حماد بن زيد قال: "أوصى أبو قلابة فقال ادفعوا كتبي إلى أيوب إن كان حيا
وإلا فاحرقوها".
Shighat Ada’:
Lafadz yang digunakan dalam
riwayat wasiat ini adalah: (أوصى إلي فلان بكذا) atau boleh juga (حدثني فلان وصية)
8. al-Wijadah
Sedangkan cara
terakhir adalah al-wijadah. Al-wijadah adalah seorang rawi menemukan
hadits yang ditulis oleh seseorang yang tidak seperiode, atau seperiode namun
tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung
hadits tersebut dari penulisnya[47].
Wijadah juga
tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak.
Sedangkan pendapat yang shahih adalah tidak membolehkan riwayat dengan wijadah,
karena ada inqitha’ sanad. Bahkan jika seorang rawi ketahuan hanya
mendapati tulisan hadits seseorang, lalu dengan sengaja meriwayatkannya dengan
shighat yang mengindikasikan bertemu atau mendengar secara langsung, misal “haddatsana”
atau “akhbarana”, maka bisa saja rawi itu dianggap mudallis, dan
haditsnya tidak akan diterima.
Al-Qadhi Iyadh
(w. 544 H) mencontohkan beberapa nama Ulama’ yang mendapatkan tulisan atau
kitab seseorang, tetapi tidak pernah mendengar langsung. Dianataranya:
أخبرنا محمد بن إسماعيل أخبرنا القاضى
محمد بن خلف أخبرنا أبو بكر المطوعى أخبرنا أبو عبيد الله الحاكم أخبرنا محمد بن
صالح القاضى حدثنا المستعينى أخبرنا عبد الله بن على المدينى عن أبيه قال قال عبد
الرحمن بن مهدى،كان عند مخرمة كتبا لأبيه لم يسمعها منه.
Sedangkan shighat
yang dipakai dalam dalam wijadah adalah: lafadz (وجدت بخط فلان) atau (قرأت بخط فلان) lalu disebutkan sanad dan matan.
Inilah kedelapan metode Tahammul
hadits beserta shighat yang digunakan dalam ada’-nya.
Lebih
mudahnya, bisa dilihat dalam tabel berikut:
Tahammul
|
Shighat Ada’
|
Keterangan
|
|
1
|
Sama’
|
حدثني، حدثنا، سمعت، قال لي، ذكر
لي
|
Biasanya Ulama’ meringkas (حدثنا) dengan (ثنا) atau (نا)
|
2
|
‘Ardh
|
أخبرنا، حدثنا قراءة عليه، قرأت على فلان، قرئ عليه وأنا أسمع فأقرَّ
به
|
Biasanya Ulama’ meringkas (أخبرنا) dengan (أنا) kadang (أرنا)
|
3
|
Ijazah
|
أنبأنا، أجاز لي فلان، أخبرنا أو حدثنا إجازة
|
|
4
|
Al-Munawalah
|
ناولني، ناولني وأجاز لي، أخبرنا
مناولة وإجازة، حدثنا مناولة
|
|
5
|
Al-Kitabah
|
كتب إلي فلان، أخبرني كتابة،
حدثني كتابة
|
|
6
|
Al-I’lam
|
أعلمني شيخي بكذا
|
|
7
|
Wasiat
|
أوصى إلي فلان بكذا، حدثني فلان
وصية
|
|
8
|
Wijadah
|
وجدت بخط فلان، قرأت بخط فلان
|
Tabel
2: Tahammul beserta shighat ada’nya
Tentu
penggunaan lafadz ada’ ini bukanlah hal yang disepakati oleh seluruh Ulama’
hadits terdahulu. Karena masing-masing Ulama’ dari beberapa daerah di Arab
memiliki ciri khas masing-masing. Tetapi tabel diatas hanya mencoba mempermudah
saja atas identifikasi metode tahammul.
Kitab
al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) yang berjudul, al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul
ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, sepertinya kitab yang sangat luas berbicara tentang
hal ini. Disana disebutkan perbedaan para Ulama’ terkait lafadz yang digunakan
masing-masing Ulama’ dalam shighat ada’.
Untuk
lebih luasnya, pembaca bisa merujuk langsung kepada kitab tersebut[49].
Mungkin
agar lebih jelasnya, penulis akan paparkan contoh-contoh hadits beserta shighat
ada’nya, yang penulis nukil dari kitab ar-Ramahurmuzi[50].
1.
Dengan lafadz (سمعت)
حدثنا
همام بن محمد ثنا محمد بن عقبة السدوسي ثنا سفيان بن عيينة عن
عمرو بن دينار قال سمعت سعيد بن جبير يقول سمعت ابن عباس يقول سمعت
رسول الله صلى الله عليه و سلم يخطب يقول: أنكم ملاقو الله حفاة عراة مشاة غرلا
2. Dengan lafadz (حدثنا) atau (أن فلانا
حدثه)
حدثنا
عبدان وجعفر بن محمد الخاركي قالا ثنا هدبة بن خالد ثنا حماد بن
الجعد ثنا قتادة أن محمد بن سيرين حدثه أن أبا هريرة حدثه أن
رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في المصراة إذا اشتراها الرجل فحلبها فهو
بالخيار ان شاء أمسك وان شاء ردها ومعها صاعا من تمر
3.
Dengan lafadz (أنبأني
فلان)
حدثني أبي
وابن زهير قالا ثنا يحيى بن حكيم المقوم ثنا أبو داود ثنا
شعبة قال أنبأني حماد بن أبي سليمان وعبد العزيز بن صهيب وعتاب مولى هرمز
وسليمان التيمي انهم سمعوا أنس بن مالك يحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
4. Dengan lafadz (قال لي فلان)
dan (أخبرني فلان)
حدثنا
أحمد بن يحيى الحلواني ثنا عبيد بن
حناد ثنا عبد الرحمن بن أبي الرجال عن اسحاق بن يحيى بن طلحة بن عبيد الله
قال قال لي ثابت الأعرج أخبرني
أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لا تزال هذه الأمة بخير ما إذا
قالت صدقت وإذا حكمت عدلت وإذا استرحمت رحمت
5. Dengan lafadz (وجدت في كتاب فلان)
حدثنا ابن
زهير ثنا محمد بن عثمان بن مخلد قال وجدت في كتاب أبي بخطه عن سلام
أبي المنذر عن مطر عن عطاء عن جابر قال قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم أفطر الحاجم والمحجوم
Itulah beberapa contoh hadits dengan shighat ada’
masing-masing.
4. Lafadz (عن) dalam Sanad
Ada hal yang perlu disampaikan juga
disini terkait penggunaan lafadz (عن) dalam suatu sanad hadits. Sebenarnya hal ini adalah pembahasan
hadits muan’an atau muannan; dimana seorang rawi menggunakan
lafadz (عن)
dalam sanadnya. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Baiquni dalam mandzumammahnya[51]:
مُعَنْعَنٌ كَعَنْ سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ***وَمُبْهَمٌ ما فِيْهِ راوٍ لَمْ
يُسَمْ
Dalama
tahammul dan ada’, lafadz (عن) tidak menjelaskan apakah tahammulnya itu
dengan metode sama’, al-Qira’ah, al-Ijazah atau yang lainnya. Begitu juga dengan
lafadz (أن).
Al-Hafidz al-Iraqi
(w. 806 H) dalam Nadzam Alfiyyahnya, sebagaimana disyarah oleh Zainuddin Abu
Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari (w. 926 H), Fathu
al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi, menjelaskan tentang hadits
mu’an’an dan muannan[52];
-
وَصَحَّحُوا وَصْلَ مُعَنْعَنٍ سَلِمْ ... مِنْ دُلْسَةٍ رَاويْهِ، والِلِّقَا
عُلِمْ
- وَبَعْضُهُمْ
حَكَى بِذَا إجمَاعَا ... و (مُسْلِمٌ) لَمْ يَشْرِطِ اجتِمَاعَا
- لكِنْ
تَعَاصُراً، وَقِيلَ: يُشْتَرَطْ ... طُوْلُ صَحَابَةٍ، وَبَعْضُهُمْ شَرَطْ
- مَعْرِفَةَ
الرَّاوِي بِالاخْذِ عَنْهُ، ... وَقيْلَ: كُلُّ مَا أَتَانَا مِنْهُ
- مُنْقَطِعٌ،
حَتَّى يَبِينَ الوَصْلُ، ... وَحُكْمُ (أَنَّ) حُكمُ (عَنْ) فَالجُلُّ
- سَوَّوْا،
وَللقَطْعِ نَحَا (البَرْدِيْجِيْ) ... حَتَّى يَبِينَ الوَصْلُ في التَّخْرِيجِ
Ulama’ membenarkan
tersambungnya sanad hadits dengan lafadz (عن), jika memang bukan dari rawi yang mudallis,
atau diketahui bertemunya kedua rawi hadits.
Maka mengetahui metode
tahammul dan shighat ada’ ini menjadi sangat penting, agar hadits
yang diriwayatkan itu benar-benar tersambung sanadnya tanpa ada tadlis dari
seorang rawi yang mudallis.
Sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi yang terindikasi mudallis, maka haditsnya
tidak diterima kecuali jika dia mengungkapkan benar-benar mendengar dari rawi
sebelumnya. Salah satu shighat yang menunjukkan keburaman itu adalah lafadz (عن).
Salah satu manfaat
mengetahui “shighat tahammul dan ada’” dalam Ulumu al-Hadits adalah
untuk mengetahui diterima atau tidaknya riwayat seorang mudallis Tadlis
al-Isnad. Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) membagi tadlis menjadi dua bagian; Tadlis
Isnad dan Tadlis Syuyukh[53].
Tadlis Isnad oleh al-Imam as-Suyuthi (w.
911 H) dalam kitabnya Alfiyatu as-Suyuthi fi Ilmi al-Hadits[54] diartikan sebagai berikut:
164-تَدْلِيسُ الاِسْنَادِ بِأَنْ يَرْوِيَ عَنْ *** مُعَاصِرٍ مَا لَمْ يُحَدِّثْهُ بِـ"أَنْ"
165-يَأْتِي بِلَفْظٍ يُوهِمُ اتِّصَالا *** كَـ"عَنْ"
وَ"أَنّ" وكذاك"قالا"
166-وَقِيلَ: أَنْ يَرْوِيَ مَالَمْ يَسْمَعِ ***بِهِ وَلَوْ تَعَاصُرًا لَمْ يَجْمَعِ
Tadlis Isnad adalah jika seorang Rawi
meriwayatkan hadits dari orang yang hidup sezaman dengannya, padahal hadits itu
tidak ia dapatkan darinya, dengan lafadz yang seolah-olah menandakan
ittishal/bersambung, seperti “عَنْ”, dan “أَنَّ” atau dengan lafadz “قال”.
Jika terbukti seorang rawi
melakukan tadlis dalam Isnad, maka para Ulama’ berbeda pendapat tentang status
rawi tersebut. Sebagian Ulama’ Ahli Hadits menolak periwayatan orang tersebut
secara muthlak. Tetapi yang lebih shahih menurut al-Imam an-Nawawi[55]
(w. 676 H) dan diikuti oleh al-Imam as-Suyuthi[56]
(w. 911 H) adalah ditafshil/diperinci.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852
H) telah menuliskan nama-nama para rawi yang dianggap mudallis, dalam
kitabnya yang berjudul Thabaqat al-Mudallisin.
Ibnu Hajar membagi tingkatan
mudallis menjadi 5 tingkatan. Pada tingkatan ketiga, yaitu Orang-orang yang
sering melakukan tadlis, maka para Ulama’ tidak mengambil hadits darinya
kecuali jika orang tersebut menjelaskan bahwa dia mendengar langsung dari rawi
atasnya (Tahammul dan Ada’ dengan shighat sama’/mendengar). Seperti: Abu
az-Zubair al-Makkiy[57].
Lebih lengkap, Ibnu Hajar
membagi tingkatan Mudallisin menjadi 5 tingkatan, sebagai berikut:
5. Thabaqat al-Mudallisin Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
Mudallisin menurut Ibnu Hajar al-Asqalani[58]
(w. 852 H) terbagi menjadi 5 tingkatan:
1.
Orang-orang yang tidak pernah disifati dengan tadlis
kecuali sangat jarang. Seperti Yahya bin Said al-Anshari
2.
Orang-orang yang meskipun pernah melakukan tadlis,
tetapi oleh para Ulama’ masih dimasukkan dalam kitab shahihnya karena
keimamannya. Seperti: as-Tsauri. Atau orang-orang yang tidak mentadlis kecuali
dari orang yang tsiqah, seperti: Ibnu Uyainah.
3.
Orang-orang yang sering melakukan tadlis. Para Ulama’
tidak mengambil hadits darinya kecuali jika orang tersebut menjelaskan bahwa
dia mendengar langsung dari rawi atasnya. Seperti: Abu az-Zubair al-Makkiy
4.
Orang-orang yang oleh para Ulama Ahli Hadits telah
disepakati tidak diterima riwayatnya, karena sering mengambil hadits dari
orang-orang yang dhaif. Seperti:
Baqiyyah bin al-Walid
5.
Orang-orang yang dhaif bukan karena tadlis, tetapi
karena hal lain. Maka haidtsnya ditolak meskipun dia menjelaskan telah
mendengar dari rawi atasnya.
Selain
Ibnu Hajar, telah banyak Ulama’ lain yang menuliskan nama-nama Mudallisin oleh
Ulama’ sebelum beliau, sebagaiaman dijelaskan Ibnu Hajar sendiri[59];
Seperti Syeikh Husain bin Ali al-Karabisi, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, Syamsudin
ad-Dzahabi, al-Hafidz Abu Mahmud Ahmad bin al-Maqdisi, Waliyuddin Abu Zur’ah,
Burhanuddin al-Halabi, al-Hafidz al-Iraqi.
Secara lebih detail, Ibnu Hajar
menghitung nama-nama Mudallisin menjadi 152 orang. Nama-Nama itu adalah:
A. Tigkatan pertama, berjumlah 33 orang.
Contohnya:
1. Ahmad bin Muhammad binYahya bin Hamzah ad-Dimasyqi, telah
banyak meriwayatkan dari Bapaknya dan Kakeknya. Tetapi Abu Hatim ar-Razi pernah
mendengar Ahmad bin Muhammad bin Yahya berkata, “saya tidak pernah mendengar
dari bapak saya sedikitpun”. Abu Awanah al-Ishfirayini berkata: Bapak dari
Ahmad bin Muhammad bin Yahya mengijazahkan kepada anaknya, lalu dari situ Ahmad
meriwayatkan hadits, tetapi tidak mengatakan bahwa hadits yang didapat dari
bapaknya hanya dengan jalan ijazah.
2. Ishaq bin Rasyid al-Jazari, beliau menggunakan shighat
“haddatsana” dalam hal wijadah. Ishaq meriwayatkan dari az-Zuhri. Suatu ketika
Ishaq ditanya, “apakah engkau bertemu az-Zuhri?”, beliau menjawab,”Suatu ketika
saya pergi ke Baitul Maqdis dan menemukan sebuah kitab disana”.
B. Tingkatan kedua, berjumlah 33 orang.
Contohnya:
1. Sufyan bin Said at-Tsauri, al-Faqih al-Hafidz[60].
Imam an-Nasa’i mengatakan bahwa beliau mudallis, al-Bukhari mengatakan, sangat
sedikit tadlisnya.
2. Sufyan bin Uyainah al-Hilali al-Kufi al-Makki, Ahli Fiqih
dari Hijaz. Beliau tadlis, tetapi tadlisnya hanya kepada rawi yang tsiqah.
3. Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i, seorang Ahli Fiqih yang
masyhur dari kalangan Tabi’in dari kawasan Kufah. Al-Hakim menyebutkan bahwa
Ibrahim an-Nakha’i melakukan tadlis, Abu Hatim ar-Razi mengatakan bahwa Ibrahim
an-Nakhai tidak pernah ketemu shahabat kecuali Aisyah RadliyaAllahu anhu dan
juga tidak pernah mendengar hadits darinya.[61]
C. Tingkatan ketiga, berjumlah 50 orang.
Contohnya:
1. Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud. Seorang yang tsiqah,
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Abdurrahman tidak pernah mendengar hadits dari
bapaknya. Ali bin al-Madini mengatakan, Abdurrahman pernah mendengar dua hadits
dari bapaknya yaitu hadits tentang ad-dhab dan ta’khir waktu shalat. Ahmad bin
Hanbal mengatakan bahwa Abdurrahman ketika bapaknya meninggal baru usia 6
tahun.
Ibnu Hajar meringkas bahwa hadits
yang diriwayatkan oleh Abdurraman dari bapaknya dengan lafadz “sama/mendengar
langsung” itu ada 4 hadits. Padahal hadits Abdurrahman dari bapaknya dalam
kitab as-Sunan itu ada 15 hadits, dan dalam kitab al-Musnad ada 17 hadits.
Kebanyakan dari hadits itu dengan shighat “mu’an’an”.
2. Maimun bin Musa al-Mar’i, murid dari Hasan al-Bashri. An-Nasa’i,
ad-Daraquthni mengatakan bahwa Maimun ini seorang mudallis.
D. Tingkatan keempat, berjumlah 12 orang.
Contohnya:
1. Hajjaj bin Arthah, seorang Ahli Fiqih dari Kufah.
An-Nasa’i, Ibnu al-Mubarak, Yahya bin al-Qatthan, Yahya bin Ma’in, dan Ahmad
bin Hanbal mengatakan bahwa Hajjaj seorang mudallis dari rawi-rawi yang dhaif.
Abu Hatim ar-Razi mengatakan bahwa ketika Hajjaj meriwayatkan hadits dengan
shighat “haddatsana” maka haditsnya shalih tetapi tidak kuat.
2. Athiyyah bin Sa’ad al-Aufi al-Kufi, seorang Tabi’in
tetapi lemah hafalannya dan terkenal tadlis yang jelek.
E. Tingkatan kelima, berjumlah 24 orang.
Jadi jumlah secara keseluruhan oleh Ibnu Hajar (w. 852 H) ada 152 orang.
Contohnya:
1. Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya al-Aslami, salah
seorang guru Imam Syafi’i. Jumhur Ulama’ mengatakan bahwa dia termasuk
mudallis, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad dan ad-Daraquthni
2. Jabir bin Yazid al-Ja’fi, Jumhur Ulama’ mengatakan bahwa
dia lemah. Sebagaiama dikatakan Ibnu Hibban.
3. Abdullah bin Mu’awiyah bin Ashim bin Mundzir bin Zubair
bin Awwam. Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia mudallis.
BAB 3: Penutup
Dari pemaparan di atas bisa
disimpulkan bahwa kelayakan seorang perawi itu harus memiliki kelayakan tahamul
dan ada’. Adapun kelayakan tahamul itu harus tamyiz dan bisa memberikan
jawaban atas pembicaraan atau pertanyaan. Sedangkan kelayakan ‘ada adalah
periwayat hadits harus islam, baligh, adil, dan dhabt.
Adapun metode-metode
tahammul dan ada’ hadits ada delapan yaitu as-sama’, al-qiraah, al-ijazah,
al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah dan al-wijadah. As-sama’
merupakan metode paling tinggi kualitasnya dibandingkan metode-metode lainnya.
Dalam pengklasifikasian kualitas metode periwayatan ini ulama berbeda pandangan
antara satu dengan lainnya.
Makalah ini berusaha
memaparkan dan menjelaskan tentang tahammul dan ada’ hadits
hanya secara global dan tidak terlalu mendalam sebagaimana di dalam buku-buku
yang membahas tentang ini.
Oleh karena itu, maka
makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dan perlu akan adanya perbaikan. Allahu
a’lam.
waAllahu
al-Muwaffiq ila aqwami at-thariq.[085641414687]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi
an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiah, t.t), tahqiq Abdul
Wahab Abdullatif
Ahmad
bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat
al-Mudallisin, (Umman: Maktabah al-Manar, 1983 M), Cetakan I, Tahqiq
Dr. Ashim bin Abdullah al-Quryuti.
Ahmad
bin Ali bin Tsabit Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi
ar-Riwayah, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t), Tahqiq Ibrahim
Hamdi al-Madani
Ahmad
bin Hanbal Abu Abdillah as-Syaibani (w. 241 H), Musnad Ahmad bin Hanbal,
(Kairo: Muassasah Qurthubah, t.t)
Al-Qadhi
Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-Yahshafi (w.
544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’,
(Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr
Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Muhaddits
al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, (Baerut: Dar al-Fikr, 1404 H), Tahqiq
Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib
Ibnu as-Shalah al-Hafidz Abu
Umar Utsman bn Abdurrahman bin Musa al-Kurdi as-Syahruzuri (w. 643 H), Muqaddimah
Ibnu as-Shalah, (Lebanon: Maktabah al-Farabi, 1984 H)
Ibrahim Musthafa, Ahmad
az-Zayyat dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’
al-Lughat al-Arabiyyah, t,t)
M.
M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit
Lentera, 2003)
Mahmud
at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Jeddah: Makthabah
al-Haramain, 1985 M)
Muhammad bin Mukram bin
Mandzur al-Mishri, Lisanul Arab, (Baerut: Dar Shadir, t.t)
Muhyiddin
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), At-Taqrib wa
at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir wa an-Nadzir, (Lebanon: Dar
al-Kitab al-Arabi, 1985 M)
Zainuddin
Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari (w. 926 H), Fathu
al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1422 H), Tahqiq Abdullathif Hamim
[1] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, hal. 63
[2] Ahmad bin Hanbal Abu
Abdillah as-Syaibani (w. 241 H), Musnad Ahmad bin Hanbal, (Kairo:
Muassasah Qurthubah, t.t), juz 1, hal. 321
[3] Muhammad bin Mukram bin Mandzur, Lisanul Arab,
(Baerut: Dar Shadir, t.t), juz 11, hal. 174
[4] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits,
(Jeddah: Makthabah al-Haramain, 1985 M),
hal. 157
[5] Ibrahim Musthafa, Ahmad az-Zayyat dkk, al-Mu’jam
al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’ al-Lughat al-Arabiyyah, t,t),
Hal.10
[6] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157
[7] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157
[8] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiah,
t.t), tahqiq Abdul Wahab Abdullatif, juz 2,
hal. 8
[9] Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar al-Khathib
al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, (Madinah: al-Maktabah
al-Ilmiyyah, t.t), Tahqiq Ibrahim Hamdi al-Madani, hal. 65
[10] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
4
[11] Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar al-Khathib
al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, hal. 55
[12] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
4
[13] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 158
[14] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 145
[15] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
8
[16] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 45
[17] Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-yahshabi
(w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’,
(Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr, hal. 68
[18] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
69, Abdurrahman bin Abu Bakar
as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8
[19] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
[20] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
[21] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53
[22] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
12
[23] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
71
[24] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 180
[25] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
74
[26] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
22
[27] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53
[28] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
88
[29] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
79
[30] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
88
[31] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 162
[32] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
55
[33] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 163
[34] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
55
[35] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 163
[36] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
84
[37] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 163
[38] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
109
[39] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
59
[40] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 165
[41] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
115
[42] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
59
[43] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi
fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal.
60
[44] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
115
[45] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 165
[46] Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Muhaddits
al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, (Baerut: Dar al-Fikr, 1404 H),
Tahqiq Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib, hal. 459
[47] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
117
[48] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal.
118
[49] Bisa juga download kitab di:
http://archive.org/details/AlilmaIlaMarifahUsulAlriwayah. diakses pada: 6
Januari 2013
[50] Hasan bin Abdurrahaman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), al-Muhaddits
al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’iy,
hal. 472
[51] Umar Thaha bin Muhammad bin Futuh al-Baiquni
ad-Dimasyqi as-Syafi’i (w. 1080 H), Mandzumat al-Baiquni, bait
ke-13
[52] Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari (w.
926 H), Fathu al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi, (Baerut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H), Tahqiq Abdullathif Hamim, juz 1. Hal. 208
[53] Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w.
676 H), At-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir wa
an-Nadzir, (Lebanon: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985 M), hal.4
[54] Jalaluddin as-Suyuthi, Alfiyatu as-Suyuthi fi
Ilmi al-Hadits, bait ke 164-166
[55] Yahya bin Syarah an-Nawawi (w. 676 H), at-Taqrib
wa at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir an-Nadzir, hal. 4
[56] Abdurrahman bin
Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi
an-Nawawi,
hal. 164
[57] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani
as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, (Umman: Maktabah
al-Manar, 1983 M), Cetakan I, Tahqiq Dr. Ashim bin Abdullah al-Quryuti, hal. 13
[58] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani
as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, hal. 13
[59] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani
as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, hal. 15
[60] Sebagaimana dikatakan
juga oleh al-Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya, Asma’
al-Mudallisin, (Baerut: Dar al-Jail, t.t), Tahqiq Mahmud Muhammad
Mahmud Hasan Nashar, hal. 51
sumber : http://abdurobbihi.blogspot.co.id/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html