Sultan Hamengkubuwono IX dan Sultan Syarif Kasim II
Saat Indonesia merdeka, di Indonesia, masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih memilih untuk meleburkan kerajaan mereka ke dalam negara Republik Indonesia. Hal ini bisa terjadi tak lain karena dalam diri para raja dan rakyat di daerah mereka telah tertanam dengan begitu kuat rasa kebangsaan Indonesia.
Meski demikian tak semua raja mau bergabung dengan negara kesatuan RI. Sultan Hamid II dari Pontianak misalnya, bahkan pada tahun 1950-an lebih memilih berontak hingga turut serta dalam rencana pembunuhan terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski akhirnya mengalami kegagalan.
Dalam bagian ini, kita akan mengambil contoh dua orang raja yang memilih untuk melawan Belanda dan bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta dan Sultan Syarif Kasim II dari kerajaan Siak.
Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988). Pada tahun 1940, ketika Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan menjadi raja Yogjakarta, ia dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Dalam pidatonya saat itu, ia mengatakan:
“Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa.”(Kemensos, 2012)
Sikapnya ini kemudian diperkuat manakala tidak sampai 3 minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan Kerajaan Yogjakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia. Dimulai pada tanggal 19 Agustus, Sultan mengirim telegram ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas terbentuknya Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tanggal 20 Agustus besoknya, melalui telegram kembali, Sultan dengan tegas menyatakan berdiri di belakang Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Dan akhirnya pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amanat bahwa:
1. Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik Indonesia.
2. Segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubuwono IX.
3. Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat langsung dan Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Melalui telegram dan amanat ini, sangat terlihat sikap nasionalisme Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan melalui perbuatannya.
Sejak awal kemerdekaan, Sultan memberikan banyak fasilitas bagi pemerintah RI yang baru terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Markas TKR dan ibukota RI misalnya, pernah berada di Yogjakarta atas saran Sultan. Bantuan logistik dan perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI tatkala perang kemerdekaan berlangsung, juga ia berikan.
Sultan Hamengkubuwono IX juga pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa setelah agresi militer Belanda II berlangsung. Belanda rupanya ingin memisahkan Sultan yang memiliki pengaruh besar itu dengan Republik. Bukan saja bujukan, Belanda bahkan juga sampai mengancam Sultan. Namun Sultan Hamengkubuwono IX malah menghadapi ancaman tersebut dengan berani.
Meskipun berstatus Sultan, Hamengkubuwono IX dikenal pula sebagai pribadi yang demokratis dan merakyat. Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Cerita yang dikisahkan oleh SK Trimurti dan diolah dari buku “Takhta Untuk Rakyat” berikut ini, menggambarkan hal tersebut. Trimurti adalah istri Sayuti Melik, pengetik naskah teks proklamasi :
Pingsan Gara-Gara Sultan
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Saat itu, SK Trimurti hendak pulang menuju ke rumahnya. Penasaran dengan kerumunan orang di jalan, iapun singgah. Ternyata ada perempuan pedagang yang jatuh pingsan di depan pasar. Uniknya, yang membuat warga berkerumun bukanlah karena perempuan yang jatuh pingsan tadi, melainkan penyebab mengapa perempuan tersebut jatuh pingsan.
Cerita berawal ketika perempuan pedagang beras ini memberhentikan sebuah jip untuk ikut menumpang ke pasar Kranggan. Sesampainya di Pasar Kranggan, ia lalu meminta sopir jip untuk menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan bersiap untuk membayar jasa, sang sopir dengan halus menolak pemberian itu. Dengan nada emosi, perempuan pedagang ini mengatakan kepada sopir jip, apakah uang yang diberikannya kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sopir tersebut malah segera berlalu.
Seusai kejadian, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si perempuan pedagang : "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?"
“Sopir ya sopir. Aku ndak perlu tahu namanya. Dasar sopir aneh," jawab perempuan pedagang beras dengan nada emosi.
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." jawab polisi. Seketika, perempuan pedagang beras tersebut jatuh pingsan setelah mengetahui kalau sopir yang dimarahinya karena menolak menerima uang imbalan dan membantunya menaikkan dan menurunkan beras dagangan, adalah rajanya sendiri! (Tahta Untuk Rakyat, Atmakusumah (ed), 1982).
Kisah tersebut menggambarkan betapa Sultan Hamengkubuwono IX bukan saja berpikir dan bertindak bagi utuhnya kesatuan bangsa. Dalam hal kecil, ia bahkan melakukan perbuatan teladan berupa keharusan menyatunya seorang pemimpin dengan rakyatnya.
Sultan Syarif Kasim II (1893-1968). Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun 1915 ketika berusia 21 tahun. Ia memiliki sikap bahwa kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda. Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun kerap bertentangan dengan keinginan Belanda.
Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke Siak, Sultan Syarif Kasim II segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta, menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu perjuangan RI. Ini adalah nilai uang yang sangat besar.Tahun 2014 kini saja angka tersebut setara dengan Rp. 1,47 trilyun. Kesultanan Siak pada masa itu memang dikenal sebagai kesultanan yang kaya.Tindak lanjut berikutnya, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.
Ia juga segera mengadakan rapat umum di istana serta mengibarkan bendera Merah-Putih, dan mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya agar turut memihak republik.
Saat revolusi kemerdekaan pecah, Sultan aktif mensuplai bahan makanan untuk para laskar. Ia juga kembali menyerahkan kembali 30 % harta kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bagi kepentingan perjuangan. Ketika Van Mook, Gubernur Jenderal de facto Hindia Belanda, mengangkatnya sebagai “Sultan Boneka”Belanda, Sultan Syarif Kasim II tentu saja menolak. Ia tetap memilih bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.
Atas jasanya tersebut, Sultan Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.
Buku k13 sejarah indonesia xii
Saat Indonesia merdeka, di Indonesia, masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih memilih untuk meleburkan kerajaan mereka ke dalam negara Republik Indonesia. Hal ini bisa terjadi tak lain karena dalam diri para raja dan rakyat di daerah mereka telah tertanam dengan begitu kuat rasa kebangsaan Indonesia.
Meski demikian tak semua raja mau bergabung dengan negara kesatuan RI. Sultan Hamid II dari Pontianak misalnya, bahkan pada tahun 1950-an lebih memilih berontak hingga turut serta dalam rencana pembunuhan terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski akhirnya mengalami kegagalan.
Dalam bagian ini, kita akan mengambil contoh dua orang raja yang memilih untuk melawan Belanda dan bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta dan Sultan Syarif Kasim II dari kerajaan Siak.
Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988). Pada tahun 1940, ketika Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan menjadi raja Yogjakarta, ia dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Dalam pidatonya saat itu, ia mengatakan:
“Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa.”(Kemensos, 2012)
Sikapnya ini kemudian diperkuat manakala tidak sampai 3 minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan Kerajaan Yogjakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia. Dimulai pada tanggal 19 Agustus, Sultan mengirim telegram ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas terbentuknya Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tanggal 20 Agustus besoknya, melalui telegram kembali, Sultan dengan tegas menyatakan berdiri di belakang Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Dan akhirnya pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amanat bahwa:
1. Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik Indonesia.
2. Segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubuwono IX.
3. Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat langsung dan Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Melalui telegram dan amanat ini, sangat terlihat sikap nasionalisme Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan melalui perbuatannya.
Sejak awal kemerdekaan, Sultan memberikan banyak fasilitas bagi pemerintah RI yang baru terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Markas TKR dan ibukota RI misalnya, pernah berada di Yogjakarta atas saran Sultan. Bantuan logistik dan perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI tatkala perang kemerdekaan berlangsung, juga ia berikan.
Sultan Hamengkubuwono IX juga pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa setelah agresi militer Belanda II berlangsung. Belanda rupanya ingin memisahkan Sultan yang memiliki pengaruh besar itu dengan Republik. Bukan saja bujukan, Belanda bahkan juga sampai mengancam Sultan. Namun Sultan Hamengkubuwono IX malah menghadapi ancaman tersebut dengan berani.
Meskipun berstatus Sultan, Hamengkubuwono IX dikenal pula sebagai pribadi yang demokratis dan merakyat. Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Cerita yang dikisahkan oleh SK Trimurti dan diolah dari buku “Takhta Untuk Rakyat” berikut ini, menggambarkan hal tersebut. Trimurti adalah istri Sayuti Melik, pengetik naskah teks proklamasi :
Pingsan Gara-Gara Sultan
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Saat itu, SK Trimurti hendak pulang menuju ke rumahnya. Penasaran dengan kerumunan orang di jalan, iapun singgah. Ternyata ada perempuan pedagang yang jatuh pingsan di depan pasar. Uniknya, yang membuat warga berkerumun bukanlah karena perempuan yang jatuh pingsan tadi, melainkan penyebab mengapa perempuan tersebut jatuh pingsan.
Cerita berawal ketika perempuan pedagang beras ini memberhentikan sebuah jip untuk ikut menumpang ke pasar Kranggan. Sesampainya di Pasar Kranggan, ia lalu meminta sopir jip untuk menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan bersiap untuk membayar jasa, sang sopir dengan halus menolak pemberian itu. Dengan nada emosi, perempuan pedagang ini mengatakan kepada sopir jip, apakah uang yang diberikannya kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sopir tersebut malah segera berlalu.
Seusai kejadian, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si perempuan pedagang : "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?"
“Sopir ya sopir. Aku ndak perlu tahu namanya. Dasar sopir aneh," jawab perempuan pedagang beras dengan nada emosi.
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." jawab polisi. Seketika, perempuan pedagang beras tersebut jatuh pingsan setelah mengetahui kalau sopir yang dimarahinya karena menolak menerima uang imbalan dan membantunya menaikkan dan menurunkan beras dagangan, adalah rajanya sendiri! (Tahta Untuk Rakyat, Atmakusumah (ed), 1982).
Kisah tersebut menggambarkan betapa Sultan Hamengkubuwono IX bukan saja berpikir dan bertindak bagi utuhnya kesatuan bangsa. Dalam hal kecil, ia bahkan melakukan perbuatan teladan berupa keharusan menyatunya seorang pemimpin dengan rakyatnya.
Sultan Syarif Kasim II (1893-1968). Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun 1915 ketika berusia 21 tahun. Ia memiliki sikap bahwa kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda. Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun kerap bertentangan dengan keinginan Belanda.
Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke Siak, Sultan Syarif Kasim II segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta, menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu perjuangan RI. Ini adalah nilai uang yang sangat besar.Tahun 2014 kini saja angka tersebut setara dengan Rp. 1,47 trilyun. Kesultanan Siak pada masa itu memang dikenal sebagai kesultanan yang kaya.Tindak lanjut berikutnya, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.
Ia juga segera mengadakan rapat umum di istana serta mengibarkan bendera Merah-Putih, dan mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya agar turut memihak republik.
Saat revolusi kemerdekaan pecah, Sultan aktif mensuplai bahan makanan untuk para laskar. Ia juga kembali menyerahkan kembali 30 % harta kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bagi kepentingan perjuangan. Ketika Van Mook, Gubernur Jenderal de facto Hindia Belanda, mengangkatnya sebagai “Sultan Boneka”Belanda, Sultan Syarif Kasim II tentu saja menolak. Ia tetap memilih bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.
Atas jasanya tersebut, Sultan Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.
Buku k13 sejarah indonesia xii