Habib Luthfi adalah sosok pelayan umat sejati. Setiap hari, rumahnya di
kawasan Noyontaan Gang 7, Pekalongan, Jawa Tengah, selalu marak oleh
tamu yang datang dari berbagai daerah di tanah air. Hampir 24 jam, pintu
rumah ayah lima anak itu selalu terbuka untuk ratusan orang yang datang
dengan berbagai keperluan. Mulai dari minta restu, mohon doa dan
ijazah, sampai konsultasi berbagai problematika kehidupan. Biasanya
mereka akan merasa tenang setelah mendapat nasihat.
“Habib, suami saya terkena penyakit liver dan hatinya tinggal 20 persen yang berfungsi. Saya mohon Habib mendoakan suami saya,” kata seorang ibu suatu ketika sambil terisak.
Dengan lembut, Habib Luthfi menghiburnya, “Ibu, tidak ada penyakit yang bisa mematikan seseorang. Semua itu berada di tangan Allah. Karena itu berdoalah. Tak ada yang mustahil bagi Allah, semuanya mungkin.”
“Mereka kan tamu saya, sudah menjadi kewajiban saya untuk menghormati tamu. Karena itu, saya selalu terbuka,” demikian jawab Habib Luthfi ketika ditanya tentang para tamunya.
Selain melalui konsultasi yang waktunya nyaris tanpa batas, Habib Luthfi juga menularkan ilmunya melalui majelis taklim yang digelar seminggu dua kali. Selasa malam, ba’da Isya’, Habib Luthfi membacakan kitab Ihya Ulumiddin. Keesokan paginya, pukul 06.00 – 07.30 Habib Luthfi mengajarkan kitab fiqih Taqrib untuk kaum hawa.
Selain kajian mingguan, setiap ba’da Subuh hari Jumat Kliwon, Habib Luthfi juga membacakan kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’. Di antara tiga majelisnya, pengajian malam Rabu dan Jum’at pagi itulah yang selalu dihadiri ribuan umat hingga menutup jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Meski banyak mengkaji tasawuf, majelis taklim tersebut terbuka untuk siapa saja. Untuk memasuki tarekat, menurut sang Habib, seseorang harus mengerti tauhid dan fiqih terlebih dahulu. Dalam tauhid, misalnya, minimal calon pengikut tarekat harus mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Dalam fiqih, ia harus tahu semua perintah oleh Allah, terutama shalat lengkap dengan syarat kelengkapannya, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Ia juga harus memahami perkara yang halal dan yang haram, yang diperintahkan dan yang dilarang.
Dengan demikian, seseorang tidak boleh memasuki tarekat begitu saja tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syaratnya, terutama bidang syariat. Karena, pada dasarnya tarekat adalah cara bagaimana membuahkan syariat, sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi ath-Thariqatu natijatusy-syariah (tarekat adalah buah dari syariat).
Bersilaturahmi dan mengaji kepada Habib Luthfi, baik secara langsung maupun melalui buku karyanya, memang menyenangkan. Pribadinya mencerminkan keluwesan dan keleluasaan khas ulama tradisional. Kedalaman ilmunya juga dipadu dengan keluasan wawasan keumatannya, sehingga setiap kalimat mengalir dengan lancar dan penuh hikmah. Beberapa orang juga meyakini, Habib Luthfi sebagai sosok yang waskita, atau dalam bahasa jawa weruh sak durunge winarah, alias mengetahui hal yang belum terjadi.
Ditempa Para Wali
Tentu saja semua keistimewaan itu tidak datang dengan tiba-tiba. Beberapa ulama besar yang termasyhur sebagai waliyullah telah ikut menempanya sejak kecil. Sebut saja Habib Ahmad bin Ismail Bin Yahya dan Habib Umar bin Ismail Bin Yahya alias Abah Umar, seorang waliyullah yang tinggal di desa Panguragan, Arjawinangun, Cirebon, yang mengasuh Habib Luthfi kecil ketika ia tinggal di desa itu. Dari tokoh eksentrik itulah untuk pertama kalinya Habib Luthfi mempelajari ilmu kehidupan.
Selain itu Habib Luthfi juga pernah berguru kepada Habib Syekh bin Abu Bakar bin Yahya (Cirebon) dan Mbah K.H. Muhammad Bajuri (Indramayu). Puncaknya, Habib yang piawai memainkan alat musik organ dan sering menggubah lagu itu mendalami tarekat Syadziliyyah kepada Al-Habib Muhammad Abdul Malik bin Ilyas Bin Yahya, alias Mbah Malik. Setelah beberapa tahun berguru kepada waliyullah yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, itulah Habib Luthfi memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Syadziliyyah.
Kedudukan sebagai pimpinan kaum tarekat di tanah air, memang membuat Habib Luthfi didekati semua kalangan. Ia juga sering dikunjungi para guru mursyid dari berbagai negara, seperti Syaikh Hisham Kabbani, mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika Serikat dan Syaikh Muhammad Al-Ya’qoubi, mursyid Tarekat Syadziliyyah dari Damaskus, Syiria. Dalam pertemuan antar mursyid tersebut, di samping saling berkisah tentang aktivitas dakwah masing-masing, biasanya mereka juga salang meminta ijazah atas sanad keilmuan yang dimiliki.
“Habib, suami saya terkena penyakit liver dan hatinya tinggal 20 persen yang berfungsi. Saya mohon Habib mendoakan suami saya,” kata seorang ibu suatu ketika sambil terisak.
Dengan lembut, Habib Luthfi menghiburnya, “Ibu, tidak ada penyakit yang bisa mematikan seseorang. Semua itu berada di tangan Allah. Karena itu berdoalah. Tak ada yang mustahil bagi Allah, semuanya mungkin.”
“Mereka kan tamu saya, sudah menjadi kewajiban saya untuk menghormati tamu. Karena itu, saya selalu terbuka,” demikian jawab Habib Luthfi ketika ditanya tentang para tamunya.
Selain melalui konsultasi yang waktunya nyaris tanpa batas, Habib Luthfi juga menularkan ilmunya melalui majelis taklim yang digelar seminggu dua kali. Selasa malam, ba’da Isya’, Habib Luthfi membacakan kitab Ihya Ulumiddin. Keesokan paginya, pukul 06.00 – 07.30 Habib Luthfi mengajarkan kitab fiqih Taqrib untuk kaum hawa.
Selain kajian mingguan, setiap ba’da Subuh hari Jumat Kliwon, Habib Luthfi juga membacakan kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’. Di antara tiga majelisnya, pengajian malam Rabu dan Jum’at pagi itulah yang selalu dihadiri ribuan umat hingga menutup jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Meski banyak mengkaji tasawuf, majelis taklim tersebut terbuka untuk siapa saja. Untuk memasuki tarekat, menurut sang Habib, seseorang harus mengerti tauhid dan fiqih terlebih dahulu. Dalam tauhid, misalnya, minimal calon pengikut tarekat harus mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Dalam fiqih, ia harus tahu semua perintah oleh Allah, terutama shalat lengkap dengan syarat kelengkapannya, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Ia juga harus memahami perkara yang halal dan yang haram, yang diperintahkan dan yang dilarang.
Dengan demikian, seseorang tidak boleh memasuki tarekat begitu saja tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syaratnya, terutama bidang syariat. Karena, pada dasarnya tarekat adalah cara bagaimana membuahkan syariat, sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi ath-Thariqatu natijatusy-syariah (tarekat adalah buah dari syariat).
Bersilaturahmi dan mengaji kepada Habib Luthfi, baik secara langsung maupun melalui buku karyanya, memang menyenangkan. Pribadinya mencerminkan keluwesan dan keleluasaan khas ulama tradisional. Kedalaman ilmunya juga dipadu dengan keluasan wawasan keumatannya, sehingga setiap kalimat mengalir dengan lancar dan penuh hikmah. Beberapa orang juga meyakini, Habib Luthfi sebagai sosok yang waskita, atau dalam bahasa jawa weruh sak durunge winarah, alias mengetahui hal yang belum terjadi.
Ditempa Para Wali
Tentu saja semua keistimewaan itu tidak datang dengan tiba-tiba. Beberapa ulama besar yang termasyhur sebagai waliyullah telah ikut menempanya sejak kecil. Sebut saja Habib Ahmad bin Ismail Bin Yahya dan Habib Umar bin Ismail Bin Yahya alias Abah Umar, seorang waliyullah yang tinggal di desa Panguragan, Arjawinangun, Cirebon, yang mengasuh Habib Luthfi kecil ketika ia tinggal di desa itu. Dari tokoh eksentrik itulah untuk pertama kalinya Habib Luthfi mempelajari ilmu kehidupan.
Selain itu Habib Luthfi juga pernah berguru kepada Habib Syekh bin Abu Bakar bin Yahya (Cirebon) dan Mbah K.H. Muhammad Bajuri (Indramayu). Puncaknya, Habib yang piawai memainkan alat musik organ dan sering menggubah lagu itu mendalami tarekat Syadziliyyah kepada Al-Habib Muhammad Abdul Malik bin Ilyas Bin Yahya, alias Mbah Malik. Setelah beberapa tahun berguru kepada waliyullah yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, itulah Habib Luthfi memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Syadziliyyah.
Kedudukan sebagai pimpinan kaum tarekat di tanah air, memang membuat Habib Luthfi didekati semua kalangan. Ia juga sering dikunjungi para guru mursyid dari berbagai negara, seperti Syaikh Hisham Kabbani, mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika Serikat dan Syaikh Muhammad Al-Ya’qoubi, mursyid Tarekat Syadziliyyah dari Damaskus, Syiria. Dalam pertemuan antar mursyid tersebut, di samping saling berkisah tentang aktivitas dakwah masing-masing, biasanya mereka juga salang meminta ijazah atas sanad keilmuan yang dimiliki.