KH.NOER ALI
lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang. Bekasi
(saat ini namanya sdh diganti menjadi ujung harapan)
(singkat cerita)
selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa
diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan mengumpulkan para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah dan membentuk dan sekaligus Ia diangkat
teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, beliau bertekad menjadikan tanah kelahiran nya menjadi tanah kampung surga. Noer Ali mendirikan pesantren di Ujung harapan. (dan hingga kini psantren itu yg diberi nama attaqwa dgn perjuangan beliau dan pertolongan allah swt sampai tersebar lebih dari 50 cabang )
Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar
Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali
sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera ditempel di pepohonan disepanjang jalan dan didepan dpn rumah.
Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut
karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga
banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, dgn tekad keras beliau, beliau rela jalan kaki antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain keluar masuk hutan untuk menyelamatkan warga yg ditahan, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang
menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang
harus diamalkan, mungkin dgn wasilah amalan itu lah beliau dan murid muridnya kebal terhadap senapan peluru.
Wallahu alam bishowab