Mengkritik kitab ihya ulumuddin dan imam al ghozali

Tasawuf Underground
MENGENAL IMAM AL-GHAZALI DI BAWAH POHON TREMBESI
Salik merasa risau, sebab Imam Al-Ghazali yang sangat dihormatinya dihujat, dihina dan dianggap sesat oleh sebagian tokoh Islam. Karena tak kuat melakukan pembelaan, akhirnya datang kepada Matin di Sor-Baujan, di bawah Pohon Trembesi.
Salik (S): Saya sudah tidak tahan. Masak Imam Ghazali dianggap sesat. Ihya Ulumuddin dianggap berbahaya. Katanya kitab ini hanya berisi hadis-hadis dhaif.
Matin (M): Hahaha. Biarkan saja!
S : Bagaimana saya bisa tenang. Orang yang saya hormati dan kagumi dihina seperti itu.
M : Biarkan saja, itu bukan urusanmu!
S : Bukan urusan aku?! Bagaimana mungking kamu bilang begitu?!
M : Siapa dirmu, hingga merasa bertanggungjawa
b untuk membela Imam Ghazali?
S : Kalau bukan kita, siapa lagi? Menurutmu, aku tak layak membelanya?
M : Jangan marah begitu dulu. Imam Al-Ghazali itu Hujjatul Islam, diakui oleh semua kalangan, samudera ilmunya begitu luas. Karyanya dipelajari di seluruh dunia, baik oleh ulama Muslim ataupun non Muslim. Ratusan karyanya dikagumi jutaan orang dari abad ke abad, dari generasi ke generasi. Apakah kau merasa hebat untuk ikut-ikutan membela beliau?
S : Bukan begitu. Saya hanya risau. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
M : Pelajari saja karya Imam Al-Ghazali dengan semangat seorang salik, lalu amalkan nasehat-nasehat beliau.
S : Ah... Aku muak dengan ulah mereka. Katanya, ada ratusan hadis dalam kitab Ihya Ulumuddin.
M : Mereka benar. Ada sekitar 300-an hadis dhaif. Itu tak ada soal. Sebab, untuk fadhailul Amal (keutamaan ibadah), kita bisa gunakan hadis dhaif.
S : Oh jadi, kau juga setuju dengan pendapat mereka?!
M : Bukan begitu. Benar ada sekitar 300-an hadis dhaif di kitab itu. Tapi, total hadis yang ada dalam Ihya mencapai 4.848 hadis. Ini tidak termasuk hadis-hadis yang disebut secara berulang-ulang, atau juga atsar dari para sahabat. Dan, berarti masih ada 4.500-an hadis shahih di dalamnya. Jadi, tidak perlu risau! Anda juga harus tahu bahwa jumlah hadis di kitab Ihya lebih banyak daripada jumlah hadis dalam kitab-kitab hadis Sunan. Seperti kitab Sunan Ibnu Majah, yang hanya berjumlah 4341 hadis saja. Sunan Ad-Darimi yang ditulis oleh Imam Darimi juga hanya memuat 3503 hadis.
S : Ohhh.
M : Memang kamu belum baca Ihya?
S : Sudah. Tapi, aku tak pernah menghitungnya. Aku juga dengar, Imam Ghazali tidak layak dianggap sebagai muhadits, sebab beliau tidak mencantumkan sanad-sanad hadits.
M : Santai saja, Bro. Kau harus mempelajari pendapat ulama yang membela Imam Ghazali. Karena, mereka yang lebih tahu. Ilmu kita hanya sedikit. Ihya Ulumuddin memang bukan kitab hadis, ini adalah kitab tasawuf, hikmah dan akhlak yang di dalamnya memuat berbagai disiplin ilmu. Maka, wajar saja kalau tidak mencantumkan sanad. Saya yakin, dengan kesadaran penuh Imam Al-Ghazali melakukannya. Kalau mau mengetahui kepakarannya di bidang hadis, silakan baca kitab Al-Mankhul fi Ta’liqat al-Ushul. Apalagi, dalam Ihya, Imam Al-Ghazali selalu mendasarkan pendapatnya dengan Al-Qur’an dan hadis-hadis shahih. Hadis yang lemah digunakan hanya sebagai pelengkap dan keutamaan amal saja.
S : Bukannya Imam Al-Ghazali pernah mengakui bahwa pengetahuannya dalam ilmu hadis hanya sedikit (muzjah)?
M : Hahaha. Itu namanya kerendahan hati beliau. Bukankah faktanya, karya beliau tentang hadis luar biasa? Seberapa hebat ilmumu sampai berani mencerca Hujjatul Islam?
S : Tapi, kritik pedas Ibnu Jauji kepada Imam Al-Ghazali sangat pedas. Orang-orang Wahabi/Salafi selalu menggunakan dalilnya. Kitab Talbis al-Iblis jadi rujukan utama mereka.
M : Hahaha. Kalau pedas kan berarti tambah sedap. Kamu tinggal sediakan lalap, daun kemangi, timun dan kol. Kita bikin pecel.
S : Hmmmm. Lalu, apa pendapatmu?
M : Ibnu Jauzi itu berlebihan dan tidak konsisten dalam mengkritik Imam Al-Ghazali. Dia sendiri menggunakan puluhan hadis-hadis dhaif dan maudhu’ dalam kitab At-Tabsirah ketika menerangkan fadha’ilul amal.
S : Apakah pencantuman hadis-hadis dhaif biasa dilakukan oleh ulama-ulama hadis?
M : Benar. Imam Ahmad sendiri memuat hadis-hadis sejenis yang diungkap Imam Al-Ghazali, beliau menuliskan dalam kitab Az-Zuhud. Abu Nu’aim juga menulis dalam kitab Hilyatul Awliya, Imam Baihaqi menulis dalam kitab Syu’ab Al-Iman, Itsbat ‘Adzab al-Qadr, dan kitab Dala’il. Jadi, periwayataan dan penyampaian hadis-hadis lemah dalam perkara fadha’ilul amal dan tarhib wa targhib tidak menjadi aib di kalangan ahli hadis.
S : Jadi, kita tidak boleh sembarangan menyebut hadis ini lemah dan tidak boleh digunakkan sepanjang hal itu pernah dituliskan ulama terdahulu.
M : Betul. Imam Ahmad pernah mengatakan: “Jika kami meriwayatkan dari Nabi SAW mengenail halal-haram, sunnah, dan hukum, maka berlaku ketat terhadap sanad. Jika kami meriwayatkan sesuatu yang berkaitan dengan keutamaan amal, tidak berimplikasi hukum, tidak merafa’ (meriwayatkan dengan redaksi jazm seperti haddatsana dan rawa), maka bersikap longgar terhadap sanad.”
S : Iya...saya paham. Jadi, Imam Al-Ghazali bisa dikatakan sebagai ahli hadis?
M : Betul. Bahkan, dia belajar hadis secara talaqqi. Tidak seperti kita belajar hadis.
S : Maksudnya?
M : Beliau belajar hadis secara talaqqi, secara sama’ dan qira’ah (mendengar dan membaca langsung) maksudnya secara langsung dengan guru hadis, yang memiliki silsilah periwayatan yang sambung-menyambung nasabnya hingga ke Rasulullah SAW. Jadi, Imam Al-Ghazali adalah juga perawi hadis. Kedudukannya tidak seperti kita. Sedangkan, Anda belajar hadis dari guru yang ilmunya pakai copy-paste atau dari google.
S : Astaghfirullah.
M : Jadi, bercerminlah terlebih dahulu, jika ingin mengkritik ulama besar seperti Imam Al-Ghazali. Jika ilmumu hanya 5 % dari ilmu hadisnya Al-Hafiz Al-Iraqi, jangan sekali-kali kurang ajar.
S : Siapa Al-Hafiz Al-Iraqi itu?
M : Ahli hadis yang pernah meneliti hadis-hadis dalam Ihya Ulumuddin. Dia seorang Al-Hafiz saja berhati-hati dalam meneliti, sementara kita yang ilmunya hanya sedikit malah sombong. Jadi, Imam Al-Ghazali itu orang yang sangat bertanggung jawab terhadap ilmu, beliau sangat otoritatif menyebut hadis, sebab beliau periwayat hadis juga. Apa yang ditulis dalam Ihya Ulumuddin sudah merupakan hasil penelitian, pemikiran dan proses ruhani yang matang.
S : Subhanallah.
M : Imam Suyuti juga pernah menyebut bahwa para sahabat dan kaum salaf sering melakukan periwayatan dengan maknanya saja, tanpa menyebut sanad. Seperti yang pernah diriwayatkan oleh Ibn Mandah dan Imam Thabrani bahwa Abdullah bin Sulaiman Al-Laitsi bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami pernah mendengar dari engkau suatu hadis yang tidak sanggup kami riwayatkan sebagaimana kami mendengarnya.” Nabi bersabda, “Selama engkau tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, serta menyebut makna yang benar, maka hal itu tidak apa-apa.”
S : Astaghfirullah. Terima kasih.
M : Masih banyak dalil dan argumentasi saya tentang Ihya. Imam Nawawi pernah mengatakan, “Hampir saja, kitab Ihya seperti Al-Qur’an.”
S : Subhanallah. Saya jadi malu.
M : Masih risau?
S : Tidak. Saya bertambah yakin. Terima kasih.
M : Semoga bermanfaat!
Salam
Halim Ambiya
Pendiri dan Admin Tasawuf Underground