Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 275 :
…… وأحل الله البيع وحرم الربا ……
……. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ………..
Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 280 :
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة ….
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia kelapangan …………
Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 :
يا أيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه …
Hai orang-orang yang beriman ! Jika kamu melakukan transaksi hutang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan, tuliskanlah …….
Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 283 :
…. فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن أمانته وليتق الله ربه ….
…… Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya …….
Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 29 :
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم …
Hai orang-orang yang beriman ! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu …….
Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 :
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Hai orang-orang yang beriman ! Penuhilah akad-akad itu ………….
Al Qur’an Surat Shaad ayat 24 :
…… وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين أمنوا وعملوا الصالحات وقليل ماهم ….
….. dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat dhalim kepada sebagian lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini ……
Hadits Nabi dari Abu Sa’id Al Khudhri :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما البيع عن تراض ( رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان)
Bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka “ (HR Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Hadits Nabi saw :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ثلاث فيهن البركة : البيع إلى أجـل
والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع (رواه ابن ماجه عن صهيب)
Bahwa Rasulullah saw bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
§ Hadits Nabi riwayat Jama’ah :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم .... (رواه الجماعة)
Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………
Hadits Nabi saw riwayat Nasa’I, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahamad dari Syuraid bin Suwaid :
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ (رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد)
Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR An Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadits Nabi dari Zaid bin Aslam :
أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العربان فى البيع فأحله (رواه عبد
الرازق)
Rasulullah ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya. (HR ‘Abd ar-Raziq)
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas :
كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة إشترط على صاحبه أن لا يسلك به بحرا ولا ينـزل به واديا ولا يشتري به دابة ذات كبد رطبة فإن فعل ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه واله وسلم فأجازه (رواه الطبراني في الأوسط عن ابن عباس)
Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya. (HR Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hadits Nabi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
إن الله تعالى يقول : أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فإذا خان أحدهما صاحبه خرجت من بينهما (رواه أبو داود وصححه الحاكم)
Allah swt berfirman : “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari syarikat mereka. (HR Abu Dawud yang dishahihkan oleh Al Hakim).
Hadits Nabi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم
القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والأخرة ومن ستر مسلما
ستره عليه في الدنيا والأخرة والله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
Barangsiapa melonggarkan dari seorang muslim kesempitan di dunia, Allah akan melonggarkan kesempitan orang itu pada hari kiamat, barang siapa yang memudahkan atas orang yang kesulitan, Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi ‘aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan aklhirat. Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.
Hadits Nabi dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda :
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقة مرة
Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim lain dua kali, kecuali seperti shadaqah satu kali.
Hadits Nabi dari Anas, Rasulullah bersabda :
رأيت ليلة أسري بي على باب الجنة مكتوبا: الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشرز فقلت يا جبريل ما بال القرض أفضل من الصدقة ؟ قال لأن السائل يسأل وعنده والمستقرض لا يستقرض إلا من حاجة
Aku melihat pada malam aku diperjalankan (Isra’) pada pintu surga tertulis : shadaqah itu pahalanya lipat sepuluh kali dari shadaqahnya, sedangkan qiradh (pinjaman) pahalanya lipat delapan belas kali dari pinjamannya. Aku bertanya : “Hai Jibril, bagaimana pinjaman itu lebih utama daripada shadaqah ?” Jibril menjawab : “Karena orang yang minta, ia minta sesuatu yang ia telah punya, dan orang yang meminjam, ia tidak akan meminjam kecuali karena membutuhkan”.
Wahbah al Zuhaily, al Fiqhu al Islami, cet. IV tahun 1997 juz V/ 3416.
لا شكَّ في جواز التأمين التعاوني في الإسلام لأنه يدخل في عقود التبرعات, ومن قبيل التعاون على البر لأن كل مشترك يدفع إشتراكه بطيبِ نفسٍ لتخفيف اثار المخاطر وترميم الأضرار التي تصيب أحد المشتركين
Tidak diragukan lagi bahwa asuransi ta’awuni (tolong-menolong) dibolehkan dalam syari’at Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru’ dan sebagai bentuk tolong-menolong dalam kebaikan karena setiap peserta membayarkepesertaannya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak resiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah seorang peserta asuransi.
Husain Hamid Hasan , Hukmu al Syari’ah al Islamiyyah fi ‘uquud al Ta’min, Darul I’tisham, 1976.
أن أساس المنع في التأمين هو إشتماله على الغرر الذي نهى الشارع عن الغرر ينطبق على العقود التي يقصد بها المعاوضة
Alasan pelarangan dalam asuransi (konvensional) adalah karena ia mengandung (unsur) gharar yang dilarang oleh syari’at. Larangan syari’at terhadap gharar yang dimaksud di sini adalah pada akad-akad pertukaran (mu’awadhah).
§ Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juz 5/173 [Beirut:Dar al Fikr, tanpa tahun]:
وإن اشترى أحد الشريكين حصة شريكه منه جاز, لنه يشتري ملك غيره
Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.
§ Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu juz 3/1841:
التعامل بالأسهم جائز شرعا لأن أصحاب الأسهم شركاء في الشركة بنسبة ما يملكون من أسهم
Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.
§ Pendapat para ulama yang menyatakan kbolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Muskilatuna al-Hadhirah, [t.t : Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h.58). Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999]). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan:
(الثاني) أسهم في مؤسسات مباحة كالشركات التجارية المباحة أو المؤسسات الصناعية المباحة فهذه : المساهمة فيها والمشاركة فيها وبيع أسهمها, إذا كانت الشركة معروفة أو مشهورة وليس فيها غرر ولا جهالة فاحشة جائزة, لأن السهم جزء من رأس المال يعود على صاحبه بربح ناشىء من كسب التجارة والصناعة, وهذه حلال بلا شك
(Jenis kedua) adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Bermusahamah (saling bersaham) dan bersyarikah (kongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan.
§ Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi (حصة) suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi). Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab IX/265 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu IV/881.
§ Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah:
يجوز بيع السهم, أو رهنه مع مراعاة ما يقتضى به نظام الشركة
Boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan.
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 2004], juz V, h. 3925 :
وأما الإجماع فما روي عن جماعة من الصحابة أنهم دفعوا مال اليتيم مضاربة ولم ينكر عليهم أحد فكان إجماعا ( الفقه الإسلام وأدلته لوهب الزحيلى الجزء الخامس ص : 3925)
“Mengenai Ijma’, diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat menyerahkan harta anak yatim sebagai mudharabah, dan tidak ada seorang pun mengingkarinya. Oleh karena itu, hal tersebut adalah ijma’.
§ Pendapat para ulama, antara lain Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, [al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2004], juz I, h. 141; Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, Nahwa Tathwir al-Mudharabah, [al-Qahirah: Maktabah al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 2000], h. 411.
أنّ النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى الشام مضارباً بمال السيدة خديجة بنت خويلد وكان ذلك قبل النبوة ثم حكاه بعدها مقرّرا له (السيرة النبوية لإبن هشام ص :141 نحو تطوير نظام المضاربة لمحمد عبد المنعم أبي زيد ص : 411 )
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pergi berniaga sebagai mudharib ke Syam dengan harta Sayyidah Khadijah binti Khuwailid sebelum menjadi nabi; setelah menjadi nabi, beliau menceritakan perniagaan tersebut sebagai penegasan (taqrir).”
§ Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, Nahwa Tathwir al-Mudharabah, [al-Qahirah: Maktabah al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 2000], h. 11.
المضاربة عقد مشروع بلا خلاف بين الفقهاء أماّ دليل هذه المشروعيّة فقد ثبت بالإجماع المُسْتَنَدِ إلى السنة التقريرية (نحو تطوير نظام المضاربة ص :11)
“Mudharabah adalah akad yang disyari’atkan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Dalil pensyari’atan tersebut ditetapkan dengan ijma’ yang didasarkan pada sunnah taqririyah.”
Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 348).
القسم الرابع : أن يشترك مالان وبدن صاحب أحدهما , فهذا يجمع شركةً ومضاربةً , وهو صحيح . فلو كان بين رجلين ثلاثة الاف درهم , لأحدهما ألف ولأخر ألفان, فأذن صاحب الألفين لصاجب الألف أن يتصرَّف فيها على أن يكون الربح بينهما نصفين صحَّ. ويكون لصاحب الألف ثلث الربح بحق ماله, والباقي وهو ثلث الربح بينهما, لصاحب الفين ثلاثة أرباعه, وللعامل ربعه, وذلك لأنه جُعل له نصف الربح, فجعلناه ستة أسهُم, منها ثلاثة للعامل, حصّه ماله سهمان وسهم يستحقه بعمله في مال شريكه, وحصة مال شريكه أربعة أسهم, للعامل سهم وهو الربع ... إذا دفع إليه ألفا مضاربة, وقال : أضف إليه ألفا من عندك واتَّجرْبها والربح بيننا, لك ثلثاه ولى ثلثه جاز, وكان شركةً وقراضاً ... ( المغني لإبن قدامة, القاهرة : دار الحديث, 2004 , ج : 6 , ص : 348)
Bagian keempat: bermusyarakah dua modal dengan badan (orang) pemilik salah satu modal tersebut. Bentuk ini meng-gabungkan syirkah dengan mudharabah; dan hukumnya sah. Apabila di antara dua orang ada 3000 (tiga ribu) dirham: salah seorang memiliki 1000 dan yang lain m-emiliki 2000, lalu pemilik modal 2000 mengizinkan kepada pemilik modal 1000 untuk mengelola seluruh modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi dua antara mereka (50:50), maka hukumnya sah. Pemilik modal 1000 mem-peroleh 1/3 (satu pertiga) keuntungan, sisanya yaitu 2/3 (dua pertiga) dibagi dua antara mereka: pemilik modal 2000 memperoleh ¾ (tiga perempat)-nya dan amil (mudharib) memperoleh ¼ (seperempat)-nya; hal ini karena amil memperoleh ½ (setengah) keuntungan. Oleh karena itu, keuntungan (sisa?) tersebut kita jadikan 6 (enam) bagian; 3 (tiga) bagian untuk amil, (yaitu) porsi (keuntungan) modalnya 2 (dua) bagian dan 1 (satu) bagian ia peroleh sebagai bagian karena ia mengelola modal mitranya; sedangkan porsi (keuntungan) modal mitranya adalah 4 (empat) bagian, untuk amil 1 (satu) bagian, yaitu ¼ (seperempat)… Jika seseorang (shahib al-mal) menye-rahkan kepada mudharib seribu sebagai mudharabah, dan ia berkata, “Tambahkan seribu dari anda, dan perniaga-kanlah modal dua ribu tersebut dengan ketentuan dibagi antara kita: untuk anda 2/3 (duapertiga) dan untukku 1/3 (sepertiga),” hal tersebut boleh hukumnya, dan itu adalah syirkah (musyarakah) dan qiradh (mudharabah).
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 107.
وللمضارب أن يُسهِمَ في رأس مال المضارب بإذن ربِّ المال, وتتمُّ قسمةُ الربح بسبب المشاركة في رأس المال من الطرفين بقدر مال كلِّ منهم , قم يأخذ المضارب نصيبَه المتفَّقَ عليه عن العمل, وهذه هي المضاربة المشتركة (المعاملات المالية المعاصرة للدكتور وهبة الزحيلى ص 107)
“Mudharib (pengelola) boleh menyertakan dana ke dalam akumulasi modal dengan seizin rabbul mal (pemilik modal yang awal). Keuntungan dibagi (terlebih duhulu) atas dasar musyarakah (antara mudharib sebagai penyetor modal/dana dengan shahibul mal) sesuai porsi modal masing-masing. Kemudian mudharib mengambil porsinya dari keuntungan atas dasar jasa pengelolaan dana. Hal itu dinamakan mudharabah musytarakah.”
§ Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 468.
ويجوز التوكيل بجعل وغير جعل, فإن الننبي صلى الله عليه وسلم وكّل أُنَيسًا في إقامة الحدّ, وعروة في شراء شاة, وأبا رافع في قبول النكاح بعير جعل, وكان يبعق عُمَّاله لقبض الصدقات ويجعل لهم عمالة
“Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’ untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberi-kan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka.”
§ Pendapat Imam Al-Syaukani, Nail al-Authar, [Kairo: Dar al-Hadits, 2000], j. 4, h. 527 ketika menjelaskan hadis Busr bin Sa’id hadis nomor 3 :
وفيه أيضا دليل على أنَّ من نوى التبرُّع يجوز له أخذ الأجرة بعد ذلك
“Hadis Busr bin Sa’id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan niat tabarru’ (semata-mata mencari pahala, dalam hal ini menjadi wakil) boleh menerima imbalan.”
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 89
وأجمعت الأمة على جواز الوكالة للحاجة إليها, وتصح بأجر وبغير أجر
“Umat sepakat bahwa wakalah boleh dilakukan karena diperlukan. Wakalah sah dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.”
§ Fath al-Qadir, juz 6, h. 2; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh alIslami wa Adillatuh, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], juz 5, h. 4058.
تصح الوكالة بأََجْرٍ وبعير أجر , لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يبعث عماله لقبض الصدقات ويجعل لهم عُمُوْلَةً ... وإذا كانت الوكالة بأجر أي (بِجُعْلٍ) فحكمها حكم الإجارات.
“Wakalah sah dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pernah mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka… Apabila wakalah dilakukan dengan memberikan imbalan maka hukumnya sama dengan hukum ijarah.”
§ Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 470.
أذن (الموكِّل) له (الوكيل) في التوكيل فيجوز له ذلك, لأنه عقد أذن له به, فكان له فعله.
“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain), maka hal itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan kepada wakil; oleh karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada orang lain).”
§ Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 468.
ويجوز التوكيل بجعل وغير جعل, فإن الننبي صلى الله عليه وسلم وكّل أُنَيسًا في إقامة الحدّ, وعروة في شراء شاة, وأبا رافع في قبول النكاح بعير جعل, وكان يبعق عُمَّاله لقبض الصدقات ويجعل لهم عمالة
“Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’ untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberi-kan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka.”
§ Pendapat Imam Al-Syaukani, Nail al-Authar, [Kairo: Dar al-Hadits, 2000], j. 4, h. 527 ketika menjelaskan hadis Busr bin Sa’id hadis nomor 3 :
وفيه أيضا دليل على أنَّ من نوى التبرُّع يجوز له أخذ الأجرة بعد ذلك
“Hadis Busr bin Sa’id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan niat tabarru’ (semata-mata mencari pahala, dalam hal ini menjadi wakil) boleh menerima imbalan.”
§ Pendapat para ulama tentang Al-Bai’ (jual-beli) dan mewakilkan dalam jual-beli. Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (V/4078) berkata :
وأما التوكيل بالبيع والشراء فيجوز بلا خلاف بين الفقهاء, لأنهما مما يملك الموكل مباشرتهما بنفسه, فيملك التفويض إلى غيره
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287.
فالمبلغ الذي يدفعه المشترك يكون تبرُّعًا منه للشركة, يعان منه المحتاج بحسب النظام المتفق عليه, والشركة تُقَدِّمُهُ بصفة تبرُّعٍ أو هبةٍ مَحْضَةٍ من غير مقابل أو عوض
Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan.
§ (Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min, h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din, ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h. 53).
والتخريج الفقهي لتبادل الإلتزام بالتبرع في عقد التأمين التعاوني أساسه قاعدة الإلتزام بالتبرعات عند المالكية
Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik.
§ Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami, h, 83.
إنَّ العلاقة القنونية التي تنشأُ بين المستأمنين نتيجةَ عقدِ التأمين الجماعيِّ تتَّسم بالطابع التبَرُّعيِّ, فكل مستأمن متبرِّعٌ لغيره بما يستحق عليه من التعويضات التي تُدفع للمتضرِّرين من المستأمنين, وفي الوقت نفسه هو متبرَّعٌ له بما يأخذ من تعويض عند تضرُّره
Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah
§ Al-Syairazi, al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 3 94:
يجوز عقد الإجارة على المنافع المباحة ... ولأن الحاجة إلى المنافع كالجاجة إلى الأعيان, فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجارة على المنافع
"Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan... karena keperluan terhadap manfaat .sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual heli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."
§ Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII /7:
فهي (الإجارة) بيع المنافع, والمنافع بمنزلة الأعيان
"Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda."
§ Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII/54:
ويجوز للمستأجر أن يؤجِّر العينَ المستأجرة إذا قبضها
Penyewa boleh menyewakan benda yang disewa jika ia telah menerima benda tersebut.
§ Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, XV/308; al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, II/332; al Dimyathi. l'anah al-Thalihin, 111/108:
... وأن الحاجة إليها (الإجارة) داعية, فليس لكل واحد مركوب ومسكن وخادم فجُوِّزت لذلك كما جوِّزت بيع الأعيان
.... kebutuhan mendorong orang adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja). Oleh karena itu ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda.
§ Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzah, XV, h. 383:
أما غذا أراد المستأجر أن يؤجرها (العين المستأجرة) أخرَ قبل القبض, ففي جواز الإجارة ثلاثة أوجاه :
(أحدها) أنها غير جائزة, كما في المبيع, لا يجوز بيع المبيع قبل القبض, والإجارة كما تقدم كالبيع,
(والثاني) أن الإجارة جائزة, لأن المعقود عليه هو المنفعة, والمنفعة لا تصير مقبوضة بقبض المؤجر للعين, فلم يؤثِّر في المنفعة قبض العين.
(والثالث) يجوز إجارتها من المؤجر, لأنها في قبضته, ولا تجوز في غير المؤجر, لأنها ليست في قبضته
Jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang disewa kepada pihak lain sebelum benda itu diterima, maka kebolehan penyewaan (kedua) tersebut terdapat tiga pendapat :
1. Tidak boleh sebagaimana benda yang dibeli, artinya tidak boleh menjual benda yang dibeli sebelum diterima, sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli (ba’i) sebagaimana keterangan terdahulu.
2. Penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnya boleh (sah), karena obyek ijarah adalah manfaat, sedangkan manfaat tidak dipandang telah diterima hanya dengan pemberi sewa telah menyerahkan benda yang disewakannya. Oleh karena itu penyerahan benda tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat.
3. Boleh hukumnya menyewakan menyewakan benda yang disewa tersebut kepada pemberi sewa (pertama), karena benda itu berada pada tangannya, namun tidak boleh menyewakannya kepada selain pemberi sewa (orang lain), karena benda itu tidak berada pada tangannya.
§ Ibnu Qudamah, Al-Mughni, VIII/56
ويجوز للمستأجر إجارة العين بمثل الأجر وزيادةٍ. نصَّ عليه أحمد. وروي ذلك عن عطاءٍ, والحسن والزهريِّ. وبه قال الشافعيّ وأبو ثور وابن المنذر
Penyewa boleh menyewakan benda yang disewanya dengan sejumlah bayaran (sewa) yang sama atau lebih tinggi. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Imam Ahmad. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh ‘Atha’, al Hasan dan al Zuhri. Demikian juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibn al Mundzir.
§ Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII, 113
والعين المستأجرة أمانة في يد المستأجر, إن تَلِفَتْ بغير تفريط لم يَضْمَنْهَا
Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa, jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti).
§ Al-Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar alFikr, 1983), Juz 3, Cet. Ke-4, h. 208,
ويجوز للمستأجر أن يؤَجِّر العينَ المستأجرة ... ويجوز له أن يؤَجِّر العينَ المستأجرة إذ قبضها بمثل ما أجرها به أو أزْيَدَ أو أقلَّ
Penyewa (musta'jir) boleh menyewakan barang sewaan.... la (penyewa) boleh pula menyewakan kembali dengan harga yang serupa pada saat ia menyewa, atau lebih banyak atau lebih sedikit.
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Cet.4 Juz 5; h. 3842
إذ استأجر شخص داراً أو حانوتاَ أو نحوهما من المنازل فله الإنتفاعُ بها حيث شاء من السكنى بنفسه أو إسكانٍ غيره بالإجارة أم بالإعارة, وله أن يضع فيه متاع غيره
Jika seseorang menyewa rumah, toko atau tempat laiannya, ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik ditempati sendiri atau dengan menempatkan orang lain ke dalamnya melalui akad sewa menyewa atau dengan cara meminjamkan, ia (penyewa) boleh juga menaruh (memasukkan) benda orang lain di dalam tempat tersebut.
§ Dr. Ali Muhyiddin Ali al-Qarandaghi, Buhuts fil Iqtishad al-Islami, hal. 352-353:
ويمكن كذلك إصدارُ صكوكٍ الإجارة العادية (أي غير مُنْتَهِيَةٍ بالتمليك), سواء كانت إجارةَ الأعيان منقولةً أو غيرَ منقولةٍ أم إجارةً على الأعمال
Demikian pula dimungkinkan penerbitan Obligasi ljarah biasa (bukan ljarah Muntahiya Bittamlik) baik ijarah atas barang (a'yan) bergerak maupun tidak bergerak ataupun ijarah atas jasa tenaga kerja.
§ Pendapat lbnu Qudamah dalam Al-Mughni V/173:
وإن اشترى أحد الشريكين حصة شريكه منه جاز, لنه يشتري ملك غيره
Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.
§ Al-Dimyathi, I 'anah al-Thalihin, III/9:
ولا يبيع الوكيل لنفسه ومولِّـيْه وإن أذِّن له في ذلك وقُدِّرَ له الثمنُ, خلافا لابن الرفعة ... (قوله خلافا لابن الرفعة) أي في تجويزه لنفسه ومولِّـيْه ... وكتب السيد عمر البَصْرِيُّ ما نصه : قوله خلافا لابن الرفعة إلخ كلام ابن الرفعة وجيهٌ جدًّا من حيث المعنى, لكن ترجيحهم مَنْعَ توكيله للهبَّة من نفسه يردُّه من حيثُ النقلُ
Dan tidak boleh bagi wakil dan orang yang dibawah pengampuannya (muwalli) untuk membeli (barang tersebut) bagi dirinya sendiri, meskipun perbuatan itu telah diizinkan dan ditetapkan harganya. Berbeda dengan pendapat Ibnu al-Rif'ah, yaitu tentang bolehnya perbuatan tersebut bagi yang bersangkutan dan orang yang dibawah pengampuannya Sayyid Umar al-Bishri menulis: "Ucapan Ibnu al-Rif ah...dst, adalah pendapat yang sangat bagus/bermutu dari segi makna. Meskipun demikian, (jumhur berpendapat) bahwa yang lebih kuat ialah tentang tidak bolehnya.
§ Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh wa Adillatuhu, V/4094
وروي عن الإمام مالك أنه يجوز للوكيل أن يشتري الشيء لنفسه ... وبه يتبيَّنُ أنَّ الحنفية لا يُجيزون مطلقا بيع الوكيل لنفسه, وأما الجمهور فلا يُجيزون هذا البيع إلا إن أَذن له الموكِّل بالبيع
Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wakil tidak boleh membeli sesuatu untuk dirinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa ulama madzhab Hanafi secara mutlak tidak membolehkan wakil melakukan penjualan untuk (kepada) diri sendiri. Sementara itu, Jumhur (mayoritas ulama) tidak mermbolehkan cara penjualan tersebut kecuali pihak yang mewakilkan mengizinkan penjualan kepada diri sendiri.
§ Munzir Qahf, Mu'alajah al-'Ajz fi al-Mizaniyyah al 'Ammah fi al-Nizham h. 14 dan 16.
ويمكن إصدارُ صكوكٍ إجارةٍ لقاءَ أصولٍ ثابتةٍ موجودةٍ فعلا, يتمُّ تمليكها لحاملى الصكوك, واستـئْجارُها منهم, طما يمكن صدورها لقاءَ أصولٍ ثابتةٍ, تقوم الحكومة بشرائها وكالةً عن حملة الصكوك, ثم استئجارِها بعد ذلك منهم.
Penerbitan shukuk (obligasi) ijarah dapat dilakukan terhadap (untuk) aktiva (asset) tetap yang telah ada. Kepemilikan aktiva tersebut beralih ke pemegang shukuk, dan (karena itu), penyewaan dilakukan dari mereka. Demikian juga, shukuk ijarah dapat diterbitkan terhadap (untuk) aktiva tetap di mana pemerintah membeli aktiva tersebut sebagai wakil dari pemegang shukuk, kemudian menyewanya dari mereka.
أما إذا كان عرض صكوك الإجارة للجمهور من أجل حديقةٍ عامةٍ لم يكن موجودةً من قبلُ, فإن الحكومة لا تستطيع أن تستعمل الحصيلة في غير بناء الحديقة, لأنها إنما تتصرَّف بالمال تصرُّفَالوكيل عن مالكه
Jika shukuk ijarah ditawarkan kepada publik untuk kepentingan taman umum yang belum ada (belum dibangun), maka pemerintah tidak dapat menggunakan dana terkumpul untuk selain pembangunan taman. Hal itu karena pemerintah dalam penggunaan dana tersebut hanya berstatus sebagai wakil dari pemiliknya.
§ Kitab I'anah al-Thalibin, jilid 111/77-78 :
(لا بما سيجب كدين قرضٍ) سيقع ... وذلك كأن قال : أقرِضْ هذا مائةً وأنا ضامنها, فلا يصحّ ضمانُه لأنه غير ثابت. وقد تقدم للشارح في فضل القرض ذكر هذه المسألة وأنه يكون ضامنا فيها. وعبارته هناك : ولو قال : أقرِضْ هذا مائةً ... وأنا لها ضامن فأقرضَه المائة أو بعضها كان ضامنا على الأوجه. فيكون ما هنا من عدم صحة الضمان منافيا لما مرَّ عنه من أنَّ الأوجهَ الضمانُ
"(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban, seperti hutang dari akad qardh) yang akan dilakukan.... Misalnya ia berkata: `Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.' Penjaminan tersebut tidak sah, karena hutang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu kewajiban (hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: `Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan hutang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut pendapat yang paling kuat (aitjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."
§ Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:
(ويشترط في المضمون) وهو الدَّيْنُ...(كونه) حقاًّ (ثابتا) حالَ العقد, فلا يصح ضمان مالم يجبْ... (وضحّح القديم ضمان ما سيجب) كثمن ما سيبيعه أو ما سيقرضه, لأن الحاجة قد تدعو إليه
"(Hal yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin hutang yang belum menjadi kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap hutang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan dihutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.”
§ Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
يجوز عقدُ الإجارة على المنافع المباحة ... ولأن الحاجة إلى المنافع كالحجة إلى الأعيان, فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجرة على المنافع
"Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan... karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat."
§ Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222 :
والكفالة بالمال هي التي يلتزم فيها الكفيلُ إلتزاماً مالياً
"Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajiban memberikan jaminan dalam bentuk harta."
§ Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:
من عليه الدَّيْنُ إذا أراد السفر أو أراد غريْمُه منْعَه نظرنا : فإن كان محِلُّ الدَّيْنِ قبل محِلِّ قدومه من السفر مثل أن يكون سفرُه إلى الحج لا يقوم إلا في سفر ودينُه يحِلُّ في الـمُحَرَّم أو ذي الحجة, فله منعه من السفر, لأن عليه ضرراً في تأخير حقه عند محِلِّه , فإن أقام ضمينا أو دفع رهناً يَفِيْ بالدَّيْنِ عند المحِلِّ, فله السفر, لأن الضرر يزول بذلك
"Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo hutang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo hutang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan."
§ Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:
التعويض : هو تَغْطِيَةُ الضرر الواقع بالتَّعَدِّيْ أو الخطأِ : (87)
الأصل العام في الضمان أو التعويض : هو إزالة الضرر عَيْناً, كإصلاح الحائط... أو جَبْرُ المُتْلَفِ وإعادته صحيحا كما كان عند الإمكن كإعادة المسكور ضحيحا, فإن تعذر ذلك وجب التعويض المِثْلِيُّ أو النَّقْدِيُّ (93)
وأما ضياع المصالح والخَسَارَةُ المنتظرةُ غير المؤكّدة (أو المُسْتَقْبَلَةُ) أو الأضرار الأدبية أو المعنوية فلا يعوَّض عنها في أصل الحكم الفقهي, لأن محل التعويض هو المال الموجود المحقق فعلا والمُتَقَوَّمُ شرعا (96)
"Ta'widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan" (h. 87).
"Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:
(i) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding...
(ii) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang" (h. 93).
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaatkannya" (h. 96).
§ Pendapat 'Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma'had al-`Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
ضمان المطل مداره على الضرر الحاصل فعلا من جراء التأخير في السَّداد, وكان الضرر نتيجةً طبيعيةً لعدم السداد (115)
"Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut."
§ Pendapat ulama yang membolehkan ta'widh sebagaimana dikutip oleh 'Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-Ma'had al `Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
الضرر يزال حسب قواعد الشريعة, ولا إزالة إلا بالتعويض, ومعاقبةُ المَدِيْن المماطل لا تفيد الدَّائِنَ المضرورَ.
تأخير أداء الحق يشبه الغصبَ, وينبغي أن يأخذ حكمه, وهو أن الغاصب يضمن منافعَ المغصوبِ مدَّةَ الغصب عند الجمهور, إلى جنْب ضمانه قيمة المغصوب لو هلك (15-16)
"Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari'ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak."
…… وأحل الله البيع وحرم الربا ……
……. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ………..
Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 280 :
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة ….
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia kelapangan …………
Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 :
يا أيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه …
Hai orang-orang yang beriman ! Jika kamu melakukan transaksi hutang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan, tuliskanlah …….
Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 283 :
…. فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن أمانته وليتق الله ربه ….
…… Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya …….
Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 29 :
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم …
Hai orang-orang yang beriman ! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu …….
Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 :
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Hai orang-orang yang beriman ! Penuhilah akad-akad itu ………….
Al Qur’an Surat Shaad ayat 24 :
…… وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين أمنوا وعملوا الصالحات وقليل ماهم ….
….. dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat dhalim kepada sebagian lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini ……
Hadits Nabi dari Abu Sa’id Al Khudhri :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما البيع عن تراض ( رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان)
Bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka “ (HR Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Hadits Nabi saw :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ثلاث فيهن البركة : البيع إلى أجـل
والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع (رواه ابن ماجه عن صهيب)
Bahwa Rasulullah saw bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
§ Hadits Nabi riwayat Jama’ah :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم .... (رواه الجماعة)
Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………
Hadits Nabi saw riwayat Nasa’I, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahamad dari Syuraid bin Suwaid :
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ (رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد)
Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR An Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadits Nabi dari Zaid bin Aslam :
أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العربان فى البيع فأحله (رواه عبد
الرازق)
Rasulullah ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya. (HR ‘Abd ar-Raziq)
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas :
كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة إشترط على صاحبه أن لا يسلك به بحرا ولا ينـزل به واديا ولا يشتري به دابة ذات كبد رطبة فإن فعل ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه واله وسلم فأجازه (رواه الطبراني في الأوسط عن ابن عباس)
Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya. (HR Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hadits Nabi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
إن الله تعالى يقول : أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فإذا خان أحدهما صاحبه خرجت من بينهما (رواه أبو داود وصححه الحاكم)
Allah swt berfirman : “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari syarikat mereka. (HR Abu Dawud yang dishahihkan oleh Al Hakim).
Hadits Nabi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم
القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والأخرة ومن ستر مسلما
ستره عليه في الدنيا والأخرة والله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
Barangsiapa melonggarkan dari seorang muslim kesempitan di dunia, Allah akan melonggarkan kesempitan orang itu pada hari kiamat, barang siapa yang memudahkan atas orang yang kesulitan, Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi ‘aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan aklhirat. Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.
Hadits Nabi dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda :
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقة مرة
Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim lain dua kali, kecuali seperti shadaqah satu kali.
Hadits Nabi dari Anas, Rasulullah bersabda :
رأيت ليلة أسري بي على باب الجنة مكتوبا: الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشرز فقلت يا جبريل ما بال القرض أفضل من الصدقة ؟ قال لأن السائل يسأل وعنده والمستقرض لا يستقرض إلا من حاجة
Aku melihat pada malam aku diperjalankan (Isra’) pada pintu surga tertulis : shadaqah itu pahalanya lipat sepuluh kali dari shadaqahnya, sedangkan qiradh (pinjaman) pahalanya lipat delapan belas kali dari pinjamannya. Aku bertanya : “Hai Jibril, bagaimana pinjaman itu lebih utama daripada shadaqah ?” Jibril menjawab : “Karena orang yang minta, ia minta sesuatu yang ia telah punya, dan orang yang meminjam, ia tidak akan meminjam kecuali karena membutuhkan”.
Wahbah al Zuhaily, al Fiqhu al Islami, cet. IV tahun 1997 juz V/ 3416.
لا شكَّ في جواز التأمين التعاوني في الإسلام لأنه يدخل في عقود التبرعات, ومن قبيل التعاون على البر لأن كل مشترك يدفع إشتراكه بطيبِ نفسٍ لتخفيف اثار المخاطر وترميم الأضرار التي تصيب أحد المشتركين
Tidak diragukan lagi bahwa asuransi ta’awuni (tolong-menolong) dibolehkan dalam syari’at Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru’ dan sebagai bentuk tolong-menolong dalam kebaikan karena setiap peserta membayarkepesertaannya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak resiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah seorang peserta asuransi.
Husain Hamid Hasan , Hukmu al Syari’ah al Islamiyyah fi ‘uquud al Ta’min, Darul I’tisham, 1976.
أن أساس المنع في التأمين هو إشتماله على الغرر الذي نهى الشارع عن الغرر ينطبق على العقود التي يقصد بها المعاوضة
Alasan pelarangan dalam asuransi (konvensional) adalah karena ia mengandung (unsur) gharar yang dilarang oleh syari’at. Larangan syari’at terhadap gharar yang dimaksud di sini adalah pada akad-akad pertukaran (mu’awadhah).
§ Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juz 5/173 [Beirut:Dar al Fikr, tanpa tahun]:
وإن اشترى أحد الشريكين حصة شريكه منه جاز, لنه يشتري ملك غيره
Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.
§ Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu juz 3/1841:
التعامل بالأسهم جائز شرعا لأن أصحاب الأسهم شركاء في الشركة بنسبة ما يملكون من أسهم
Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.
§ Pendapat para ulama yang menyatakan kbolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Muskilatuna al-Hadhirah, [t.t : Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h.58). Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999]). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan:
(الثاني) أسهم في مؤسسات مباحة كالشركات التجارية المباحة أو المؤسسات الصناعية المباحة فهذه : المساهمة فيها والمشاركة فيها وبيع أسهمها, إذا كانت الشركة معروفة أو مشهورة وليس فيها غرر ولا جهالة فاحشة جائزة, لأن السهم جزء من رأس المال يعود على صاحبه بربح ناشىء من كسب التجارة والصناعة, وهذه حلال بلا شك
(Jenis kedua) adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Bermusahamah (saling bersaham) dan bersyarikah (kongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan.
§ Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi (حصة) suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi). Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab IX/265 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu IV/881.
§ Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah:
يجوز بيع السهم, أو رهنه مع مراعاة ما يقتضى به نظام الشركة
Boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan.
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 2004], juz V, h. 3925 :
وأما الإجماع فما روي عن جماعة من الصحابة أنهم دفعوا مال اليتيم مضاربة ولم ينكر عليهم أحد فكان إجماعا ( الفقه الإسلام وأدلته لوهب الزحيلى الجزء الخامس ص : 3925)
“Mengenai Ijma’, diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat menyerahkan harta anak yatim sebagai mudharabah, dan tidak ada seorang pun mengingkarinya. Oleh karena itu, hal tersebut adalah ijma’.
§ Pendapat para ulama, antara lain Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, [al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2004], juz I, h. 141; Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, Nahwa Tathwir al-Mudharabah, [al-Qahirah: Maktabah al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 2000], h. 411.
أنّ النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى الشام مضارباً بمال السيدة خديجة بنت خويلد وكان ذلك قبل النبوة ثم حكاه بعدها مقرّرا له (السيرة النبوية لإبن هشام ص :141 نحو تطوير نظام المضاربة لمحمد عبد المنعم أبي زيد ص : 411 )
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pergi berniaga sebagai mudharib ke Syam dengan harta Sayyidah Khadijah binti Khuwailid sebelum menjadi nabi; setelah menjadi nabi, beliau menceritakan perniagaan tersebut sebagai penegasan (taqrir).”
§ Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, Nahwa Tathwir al-Mudharabah, [al-Qahirah: Maktabah al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 2000], h. 11.
المضاربة عقد مشروع بلا خلاف بين الفقهاء أماّ دليل هذه المشروعيّة فقد ثبت بالإجماع المُسْتَنَدِ إلى السنة التقريرية (نحو تطوير نظام المضاربة ص :11)
“Mudharabah adalah akad yang disyari’atkan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Dalil pensyari’atan tersebut ditetapkan dengan ijma’ yang didasarkan pada sunnah taqririyah.”
Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 348).
القسم الرابع : أن يشترك مالان وبدن صاحب أحدهما , فهذا يجمع شركةً ومضاربةً , وهو صحيح . فلو كان بين رجلين ثلاثة الاف درهم , لأحدهما ألف ولأخر ألفان, فأذن صاحب الألفين لصاجب الألف أن يتصرَّف فيها على أن يكون الربح بينهما نصفين صحَّ. ويكون لصاحب الألف ثلث الربح بحق ماله, والباقي وهو ثلث الربح بينهما, لصاحب الفين ثلاثة أرباعه, وللعامل ربعه, وذلك لأنه جُعل له نصف الربح, فجعلناه ستة أسهُم, منها ثلاثة للعامل, حصّه ماله سهمان وسهم يستحقه بعمله في مال شريكه, وحصة مال شريكه أربعة أسهم, للعامل سهم وهو الربع ... إذا دفع إليه ألفا مضاربة, وقال : أضف إليه ألفا من عندك واتَّجرْبها والربح بيننا, لك ثلثاه ولى ثلثه جاز, وكان شركةً وقراضاً ... ( المغني لإبن قدامة, القاهرة : دار الحديث, 2004 , ج : 6 , ص : 348)
Bagian keempat: bermusyarakah dua modal dengan badan (orang) pemilik salah satu modal tersebut. Bentuk ini meng-gabungkan syirkah dengan mudharabah; dan hukumnya sah. Apabila di antara dua orang ada 3000 (tiga ribu) dirham: salah seorang memiliki 1000 dan yang lain m-emiliki 2000, lalu pemilik modal 2000 mengizinkan kepada pemilik modal 1000 untuk mengelola seluruh modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi dua antara mereka (50:50), maka hukumnya sah. Pemilik modal 1000 mem-peroleh 1/3 (satu pertiga) keuntungan, sisanya yaitu 2/3 (dua pertiga) dibagi dua antara mereka: pemilik modal 2000 memperoleh ¾ (tiga perempat)-nya dan amil (mudharib) memperoleh ¼ (seperempat)-nya; hal ini karena amil memperoleh ½ (setengah) keuntungan. Oleh karena itu, keuntungan (sisa?) tersebut kita jadikan 6 (enam) bagian; 3 (tiga) bagian untuk amil, (yaitu) porsi (keuntungan) modalnya 2 (dua) bagian dan 1 (satu) bagian ia peroleh sebagai bagian karena ia mengelola modal mitranya; sedangkan porsi (keuntungan) modal mitranya adalah 4 (empat) bagian, untuk amil 1 (satu) bagian, yaitu ¼ (seperempat)… Jika seseorang (shahib al-mal) menye-rahkan kepada mudharib seribu sebagai mudharabah, dan ia berkata, “Tambahkan seribu dari anda, dan perniaga-kanlah modal dua ribu tersebut dengan ketentuan dibagi antara kita: untuk anda 2/3 (duapertiga) dan untukku 1/3 (sepertiga),” hal tersebut boleh hukumnya, dan itu adalah syirkah (musyarakah) dan qiradh (mudharabah).
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 107.
وللمضارب أن يُسهِمَ في رأس مال المضارب بإذن ربِّ المال, وتتمُّ قسمةُ الربح بسبب المشاركة في رأس المال من الطرفين بقدر مال كلِّ منهم , قم يأخذ المضارب نصيبَه المتفَّقَ عليه عن العمل, وهذه هي المضاربة المشتركة (المعاملات المالية المعاصرة للدكتور وهبة الزحيلى ص 107)
“Mudharib (pengelola) boleh menyertakan dana ke dalam akumulasi modal dengan seizin rabbul mal (pemilik modal yang awal). Keuntungan dibagi (terlebih duhulu) atas dasar musyarakah (antara mudharib sebagai penyetor modal/dana dengan shahibul mal) sesuai porsi modal masing-masing. Kemudian mudharib mengambil porsinya dari keuntungan atas dasar jasa pengelolaan dana. Hal itu dinamakan mudharabah musytarakah.”
§ Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 468.
ويجوز التوكيل بجعل وغير جعل, فإن الننبي صلى الله عليه وسلم وكّل أُنَيسًا في إقامة الحدّ, وعروة في شراء شاة, وأبا رافع في قبول النكاح بعير جعل, وكان يبعق عُمَّاله لقبض الصدقات ويجعل لهم عمالة
“Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’ untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberi-kan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka.”
§ Pendapat Imam Al-Syaukani, Nail al-Authar, [Kairo: Dar al-Hadits, 2000], j. 4, h. 527 ketika menjelaskan hadis Busr bin Sa’id hadis nomor 3 :
وفيه أيضا دليل على أنَّ من نوى التبرُّع يجوز له أخذ الأجرة بعد ذلك
“Hadis Busr bin Sa’id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan niat tabarru’ (semata-mata mencari pahala, dalam hal ini menjadi wakil) boleh menerima imbalan.”
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 89
وأجمعت الأمة على جواز الوكالة للحاجة إليها, وتصح بأجر وبغير أجر
“Umat sepakat bahwa wakalah boleh dilakukan karena diperlukan. Wakalah sah dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.”
§ Fath al-Qadir, juz 6, h. 2; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh alIslami wa Adillatuh, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], juz 5, h. 4058.
تصح الوكالة بأََجْرٍ وبعير أجر , لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يبعث عماله لقبض الصدقات ويجعل لهم عُمُوْلَةً ... وإذا كانت الوكالة بأجر أي (بِجُعْلٍ) فحكمها حكم الإجارات.
“Wakalah sah dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pernah mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka… Apabila wakalah dilakukan dengan memberikan imbalan maka hukumnya sama dengan hukum ijarah.”
§ Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 470.
أذن (الموكِّل) له (الوكيل) في التوكيل فيجوز له ذلك, لأنه عقد أذن له به, فكان له فعله.
“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain), maka hal itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan kepada wakil; oleh karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada orang lain).”
§ Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 468.
ويجوز التوكيل بجعل وغير جعل, فإن الننبي صلى الله عليه وسلم وكّل أُنَيسًا في إقامة الحدّ, وعروة في شراء شاة, وأبا رافع في قبول النكاح بعير جعل, وكان يبعق عُمَّاله لقبض الصدقات ويجعل لهم عمالة
“Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’ untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberi-kan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka.”
§ Pendapat Imam Al-Syaukani, Nail al-Authar, [Kairo: Dar al-Hadits, 2000], j. 4, h. 527 ketika menjelaskan hadis Busr bin Sa’id hadis nomor 3 :
وفيه أيضا دليل على أنَّ من نوى التبرُّع يجوز له أخذ الأجرة بعد ذلك
“Hadis Busr bin Sa’id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan niat tabarru’ (semata-mata mencari pahala, dalam hal ini menjadi wakil) boleh menerima imbalan.”
§ Pendapat para ulama tentang Al-Bai’ (jual-beli) dan mewakilkan dalam jual-beli. Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (V/4078) berkata :
وأما التوكيل بالبيع والشراء فيجوز بلا خلاف بين الفقهاء, لأنهما مما يملك الموكل مباشرتهما بنفسه, فيملك التفويض إلى غيره
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287.
فالمبلغ الذي يدفعه المشترك يكون تبرُّعًا منه للشركة, يعان منه المحتاج بحسب النظام المتفق عليه, والشركة تُقَدِّمُهُ بصفة تبرُّعٍ أو هبةٍ مَحْضَةٍ من غير مقابل أو عوض
Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan.
§ (Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min, h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din, ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h. 53).
والتخريج الفقهي لتبادل الإلتزام بالتبرع في عقد التأمين التعاوني أساسه قاعدة الإلتزام بالتبرعات عند المالكية
Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik.
§ Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami, h, 83.
إنَّ العلاقة القنونية التي تنشأُ بين المستأمنين نتيجةَ عقدِ التأمين الجماعيِّ تتَّسم بالطابع التبَرُّعيِّ, فكل مستأمن متبرِّعٌ لغيره بما يستحق عليه من التعويضات التي تُدفع للمتضرِّرين من المستأمنين, وفي الوقت نفسه هو متبرَّعٌ له بما يأخذ من تعويض عند تضرُّره
Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah
§ Al-Syairazi, al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 3 94:
يجوز عقد الإجارة على المنافع المباحة ... ولأن الحاجة إلى المنافع كالجاجة إلى الأعيان, فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجارة على المنافع
"Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan... karena keperluan terhadap manfaat .sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual heli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."
§ Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII /7:
فهي (الإجارة) بيع المنافع, والمنافع بمنزلة الأعيان
"Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda."
§ Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII/54:
ويجوز للمستأجر أن يؤجِّر العينَ المستأجرة إذا قبضها
Penyewa boleh menyewakan benda yang disewa jika ia telah menerima benda tersebut.
§ Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, XV/308; al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, II/332; al Dimyathi. l'anah al-Thalihin, 111/108:
... وأن الحاجة إليها (الإجارة) داعية, فليس لكل واحد مركوب ومسكن وخادم فجُوِّزت لذلك كما جوِّزت بيع الأعيان
.... kebutuhan mendorong orang adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja). Oleh karena itu ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda.
§ Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzah, XV, h. 383:
أما غذا أراد المستأجر أن يؤجرها (العين المستأجرة) أخرَ قبل القبض, ففي جواز الإجارة ثلاثة أوجاه :
(أحدها) أنها غير جائزة, كما في المبيع, لا يجوز بيع المبيع قبل القبض, والإجارة كما تقدم كالبيع,
(والثاني) أن الإجارة جائزة, لأن المعقود عليه هو المنفعة, والمنفعة لا تصير مقبوضة بقبض المؤجر للعين, فلم يؤثِّر في المنفعة قبض العين.
(والثالث) يجوز إجارتها من المؤجر, لأنها في قبضته, ولا تجوز في غير المؤجر, لأنها ليست في قبضته
Jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang disewa kepada pihak lain sebelum benda itu diterima, maka kebolehan penyewaan (kedua) tersebut terdapat tiga pendapat :
1. Tidak boleh sebagaimana benda yang dibeli, artinya tidak boleh menjual benda yang dibeli sebelum diterima, sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli (ba’i) sebagaimana keterangan terdahulu.
2. Penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnya boleh (sah), karena obyek ijarah adalah manfaat, sedangkan manfaat tidak dipandang telah diterima hanya dengan pemberi sewa telah menyerahkan benda yang disewakannya. Oleh karena itu penyerahan benda tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat.
3. Boleh hukumnya menyewakan menyewakan benda yang disewa tersebut kepada pemberi sewa (pertama), karena benda itu berada pada tangannya, namun tidak boleh menyewakannya kepada selain pemberi sewa (orang lain), karena benda itu tidak berada pada tangannya.
§ Ibnu Qudamah, Al-Mughni, VIII/56
ويجوز للمستأجر إجارة العين بمثل الأجر وزيادةٍ. نصَّ عليه أحمد. وروي ذلك عن عطاءٍ, والحسن والزهريِّ. وبه قال الشافعيّ وأبو ثور وابن المنذر
Penyewa boleh menyewakan benda yang disewanya dengan sejumlah bayaran (sewa) yang sama atau lebih tinggi. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Imam Ahmad. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh ‘Atha’, al Hasan dan al Zuhri. Demikian juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibn al Mundzir.
§ Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII, 113
والعين المستأجرة أمانة في يد المستأجر, إن تَلِفَتْ بغير تفريط لم يَضْمَنْهَا
Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa, jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti).
§ Al-Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar alFikr, 1983), Juz 3, Cet. Ke-4, h. 208,
ويجوز للمستأجر أن يؤَجِّر العينَ المستأجرة ... ويجوز له أن يؤَجِّر العينَ المستأجرة إذ قبضها بمثل ما أجرها به أو أزْيَدَ أو أقلَّ
Penyewa (musta'jir) boleh menyewakan barang sewaan.... la (penyewa) boleh pula menyewakan kembali dengan harga yang serupa pada saat ia menyewa, atau lebih banyak atau lebih sedikit.
§ Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Cet.4 Juz 5; h. 3842
إذ استأجر شخص داراً أو حانوتاَ أو نحوهما من المنازل فله الإنتفاعُ بها حيث شاء من السكنى بنفسه أو إسكانٍ غيره بالإجارة أم بالإعارة, وله أن يضع فيه متاع غيره
Jika seseorang menyewa rumah, toko atau tempat laiannya, ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik ditempati sendiri atau dengan menempatkan orang lain ke dalamnya melalui akad sewa menyewa atau dengan cara meminjamkan, ia (penyewa) boleh juga menaruh (memasukkan) benda orang lain di dalam tempat tersebut.
§ Dr. Ali Muhyiddin Ali al-Qarandaghi, Buhuts fil Iqtishad al-Islami, hal. 352-353:
ويمكن كذلك إصدارُ صكوكٍ الإجارة العادية (أي غير مُنْتَهِيَةٍ بالتمليك), سواء كانت إجارةَ الأعيان منقولةً أو غيرَ منقولةٍ أم إجارةً على الأعمال
Demikian pula dimungkinkan penerbitan Obligasi ljarah biasa (bukan ljarah Muntahiya Bittamlik) baik ijarah atas barang (a'yan) bergerak maupun tidak bergerak ataupun ijarah atas jasa tenaga kerja.
§ Pendapat lbnu Qudamah dalam Al-Mughni V/173:
وإن اشترى أحد الشريكين حصة شريكه منه جاز, لنه يشتري ملك غيره
Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.
§ Al-Dimyathi, I 'anah al-Thalihin, III/9:
ولا يبيع الوكيل لنفسه ومولِّـيْه وإن أذِّن له في ذلك وقُدِّرَ له الثمنُ, خلافا لابن الرفعة ... (قوله خلافا لابن الرفعة) أي في تجويزه لنفسه ومولِّـيْه ... وكتب السيد عمر البَصْرِيُّ ما نصه : قوله خلافا لابن الرفعة إلخ كلام ابن الرفعة وجيهٌ جدًّا من حيث المعنى, لكن ترجيحهم مَنْعَ توكيله للهبَّة من نفسه يردُّه من حيثُ النقلُ
Dan tidak boleh bagi wakil dan orang yang dibawah pengampuannya (muwalli) untuk membeli (barang tersebut) bagi dirinya sendiri, meskipun perbuatan itu telah diizinkan dan ditetapkan harganya. Berbeda dengan pendapat Ibnu al-Rif'ah, yaitu tentang bolehnya perbuatan tersebut bagi yang bersangkutan dan orang yang dibawah pengampuannya Sayyid Umar al-Bishri menulis: "Ucapan Ibnu al-Rif ah...dst, adalah pendapat yang sangat bagus/bermutu dari segi makna. Meskipun demikian, (jumhur berpendapat) bahwa yang lebih kuat ialah tentang tidak bolehnya.
§ Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh wa Adillatuhu, V/4094
وروي عن الإمام مالك أنه يجوز للوكيل أن يشتري الشيء لنفسه ... وبه يتبيَّنُ أنَّ الحنفية لا يُجيزون مطلقا بيع الوكيل لنفسه, وأما الجمهور فلا يُجيزون هذا البيع إلا إن أَذن له الموكِّل بالبيع
Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wakil tidak boleh membeli sesuatu untuk dirinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa ulama madzhab Hanafi secara mutlak tidak membolehkan wakil melakukan penjualan untuk (kepada) diri sendiri. Sementara itu, Jumhur (mayoritas ulama) tidak mermbolehkan cara penjualan tersebut kecuali pihak yang mewakilkan mengizinkan penjualan kepada diri sendiri.
§ Munzir Qahf, Mu'alajah al-'Ajz fi al-Mizaniyyah al 'Ammah fi al-Nizham h. 14 dan 16.
ويمكن إصدارُ صكوكٍ إجارةٍ لقاءَ أصولٍ ثابتةٍ موجودةٍ فعلا, يتمُّ تمليكها لحاملى الصكوك, واستـئْجارُها منهم, طما يمكن صدورها لقاءَ أصولٍ ثابتةٍ, تقوم الحكومة بشرائها وكالةً عن حملة الصكوك, ثم استئجارِها بعد ذلك منهم.
Penerbitan shukuk (obligasi) ijarah dapat dilakukan terhadap (untuk) aktiva (asset) tetap yang telah ada. Kepemilikan aktiva tersebut beralih ke pemegang shukuk, dan (karena itu), penyewaan dilakukan dari mereka. Demikian juga, shukuk ijarah dapat diterbitkan terhadap (untuk) aktiva tetap di mana pemerintah membeli aktiva tersebut sebagai wakil dari pemegang shukuk, kemudian menyewanya dari mereka.
أما إذا كان عرض صكوك الإجارة للجمهور من أجل حديقةٍ عامةٍ لم يكن موجودةً من قبلُ, فإن الحكومة لا تستطيع أن تستعمل الحصيلة في غير بناء الحديقة, لأنها إنما تتصرَّف بالمال تصرُّفَالوكيل عن مالكه
Jika shukuk ijarah ditawarkan kepada publik untuk kepentingan taman umum yang belum ada (belum dibangun), maka pemerintah tidak dapat menggunakan dana terkumpul untuk selain pembangunan taman. Hal itu karena pemerintah dalam penggunaan dana tersebut hanya berstatus sebagai wakil dari pemiliknya.
§ Kitab I'anah al-Thalibin, jilid 111/77-78 :
(لا بما سيجب كدين قرضٍ) سيقع ... وذلك كأن قال : أقرِضْ هذا مائةً وأنا ضامنها, فلا يصحّ ضمانُه لأنه غير ثابت. وقد تقدم للشارح في فضل القرض ذكر هذه المسألة وأنه يكون ضامنا فيها. وعبارته هناك : ولو قال : أقرِضْ هذا مائةً ... وأنا لها ضامن فأقرضَه المائة أو بعضها كان ضامنا على الأوجه. فيكون ما هنا من عدم صحة الضمان منافيا لما مرَّ عنه من أنَّ الأوجهَ الضمانُ
"(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban, seperti hutang dari akad qardh) yang akan dilakukan.... Misalnya ia berkata: `Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.' Penjaminan tersebut tidak sah, karena hutang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu kewajiban (hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: `Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan hutang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut pendapat yang paling kuat (aitjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."
§ Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:
(ويشترط في المضمون) وهو الدَّيْنُ...(كونه) حقاًّ (ثابتا) حالَ العقد, فلا يصح ضمان مالم يجبْ... (وضحّح القديم ضمان ما سيجب) كثمن ما سيبيعه أو ما سيقرضه, لأن الحاجة قد تدعو إليه
"(Hal yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin hutang yang belum menjadi kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap hutang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan dihutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.”
§ Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
يجوز عقدُ الإجارة على المنافع المباحة ... ولأن الحاجة إلى المنافع كالحجة إلى الأعيان, فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجرة على المنافع
"Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan... karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat."
§ Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222 :
والكفالة بالمال هي التي يلتزم فيها الكفيلُ إلتزاماً مالياً
"Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajiban memberikan jaminan dalam bentuk harta."
§ Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:
من عليه الدَّيْنُ إذا أراد السفر أو أراد غريْمُه منْعَه نظرنا : فإن كان محِلُّ الدَّيْنِ قبل محِلِّ قدومه من السفر مثل أن يكون سفرُه إلى الحج لا يقوم إلا في سفر ودينُه يحِلُّ في الـمُحَرَّم أو ذي الحجة, فله منعه من السفر, لأن عليه ضرراً في تأخير حقه عند محِلِّه , فإن أقام ضمينا أو دفع رهناً يَفِيْ بالدَّيْنِ عند المحِلِّ, فله السفر, لأن الضرر يزول بذلك
"Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo hutang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo hutang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan."
§ Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:
التعويض : هو تَغْطِيَةُ الضرر الواقع بالتَّعَدِّيْ أو الخطأِ : (87)
الأصل العام في الضمان أو التعويض : هو إزالة الضرر عَيْناً, كإصلاح الحائط... أو جَبْرُ المُتْلَفِ وإعادته صحيحا كما كان عند الإمكن كإعادة المسكور ضحيحا, فإن تعذر ذلك وجب التعويض المِثْلِيُّ أو النَّقْدِيُّ (93)
وأما ضياع المصالح والخَسَارَةُ المنتظرةُ غير المؤكّدة (أو المُسْتَقْبَلَةُ) أو الأضرار الأدبية أو المعنوية فلا يعوَّض عنها في أصل الحكم الفقهي, لأن محل التعويض هو المال الموجود المحقق فعلا والمُتَقَوَّمُ شرعا (96)
"Ta'widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan" (h. 87).
"Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:
(i) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding...
(ii) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang" (h. 93).
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaatkannya" (h. 96).
§ Pendapat 'Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma'had al-`Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
ضمان المطل مداره على الضرر الحاصل فعلا من جراء التأخير في السَّداد, وكان الضرر نتيجةً طبيعيةً لعدم السداد (115)
"Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut."
§ Pendapat ulama yang membolehkan ta'widh sebagaimana dikutip oleh 'Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-Ma'had al `Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
الضرر يزال حسب قواعد الشريعة, ولا إزالة إلا بالتعويض, ومعاقبةُ المَدِيْن المماطل لا تفيد الدَّائِنَ المضرورَ.
تأخير أداء الحق يشبه الغصبَ, وينبغي أن يأخذ حكمه, وهو أن الغاصب يضمن منافعَ المغصوبِ مدَّةَ الغصب عند الجمهور, إلى جنْب ضمانه قيمة المغصوب لو هلك (15-16)
"Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari'ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak."