Sejarah diartikan secara sederhana sebagai ilmu tentang asal usul dan perkembangan peristiwa yang telah terjadi. Menurut Taufik Abdullah sejarah dapat dilihat dalam beberapa sisi, yaitu sejarah dapat digunakan sebagai nasehat misalnya dengan mengutip kata-kata Sukarno “jangan sekalisekali melupakan sejarah” ini berarti sejarah adalah sebuah kearifan yang dapat membimbing kita dalam mengarungi hidup saat ini dan merintis hari depan. Sejarah dapat juga dimaknai sebagai “guru” seperti “....sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa....”. Dalam bidang filsafat, Hegel mengatakan bahwa “sejarah adalah proses ke arah cita kemanusian yang tertinggi”.
Kemudian bagaimanakah sejarah sebagai ilmu? Sejarah sebagai Disiplin Ilmu dapat dilihat sebagai berikut:
1. Perhatian utama sejarah adalah masa lalu. Selanjutnya masa lalu barulah diangap ada, sebagai sasaran kajian, kalau terdapat bekas dan bukti yang bisa diteliti.
a. Kajian sejarah hanya akan memperhatikan peristiwa yang menyangkut langsung perilaku manusia di masa lalu. Gempa bumi, banjir, komet yang jatuh ke bumi, gerhana matahari dan sekian macam peristiwa berada di luar khusus perhatian ilmu sejarah. Hal ini termasuk natural history. Semua peristiwa alam itu barulah dianggap penting jika langsung berkaitan dengan pola perilaku manusia (seperti usaha manusia menanggulangi banjir, kepercayaan tentang makna gerhana), atau langsung mengubah nasib manusia. Contohnya meletusnya gunung esuvius di zaman Eropa Kuno yang menenggalamkan Kota Pompei, meletusnya Gunung Tambora di abad ke-9 yang melenyapkan dua kerajaan di Pulau Sumbawa.
b. Secara metodologis dan teknis, sejarah umat manusia dibagi atas dua zaman: zaman sejarah dan zaman pra-aksara. Manusia memasuki zaman sejarah bila zaman itu menghasilkan bukti-bukti tertulis. Disebut zaman pra-aksara karena hanya meninggalkan ekas-bekas tak tertulis, seperti fosil, alat-alat, dan lukisan batu.
c. Secara metodologis dan teknis pula, sumber tertulis di atas kertas atau yang didapatkan secara lisan menjadi sasaran penelitian calon sejarawan. Tulisan tua dan kuno dan tertulis dalam bahasa arkais yang terpahat di batu, lempengan tembaga, dan sebagainya diselenggarakan oleh ilmu arkeologi dengan segala abangnya.
d. Apakah semua tindakan manusia di masa lampau yang tertentu itu harus masuk rekonstruksi sejarah? Konsep “sejarah total” hanya bertolak dari sikap yang mengharuskan sejarawan untuk memperhitungkan semua dimensi kehidupan sosial dalam usaha merekonstruksi peristiwa sejarah.
2. Corak penulisan sejarah dibedakan menjadi dua:
a. Penulisan sejarah umum, yang menguraikan perkembangan sejarah dari suatu bangsa atau suatu wilayah dan bahkan suatu lokalitas dari zaman ke zaman seperti “Sejarah Indonesia” atau “Sejarah Eropa” atau “Jakarta di Abad ke-20”.
b. Penulisan sejarah khusus, yang ditentukan oleh tema tertentu. Corak sejarah ini disebut juga sejarah tematis. Corak penulisan sejarah seperti ini umpamanya ialah “Budaya Kuliner Zaman Kolonial”, “Reformasi Agraria di Awal Abad Ke-20”, “Pertempuran Lima Hari di Semarang” dan sebagainya. Dengan kata lain, judul-judul ini hanya tertarik pada aspek tertentu atau peristiwa tertentu saja; kuliner, gerakan keagamaan, dan pertempuran yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu.
Bila kita ingin mempelajari sejarah ekonomi maka perlu kita membaca buku karya Anne Booth. Ini yang dimaksud dengan pendekatan tematik integratif, Sartono Kartodirdjo menyebutnya dengan (multidimensional approach), endapat Kuntowijoyo sejalan dengan hal itu. Pendekatan sejarah secara tematik integratif berarti mendeskripsikan suatu peristiwa sejarah terkait dengan konteks kekinian, dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip ilmu sejarah (kronologis). Untuk lebih mudahnya dalam menjelaskan sebuah peristiwa sejarah diharapkan unsur-unsur ekonomi, sosial, seni, teknologi dapat masuk dalam penjelasannya, untuk lebih lanjut dapat dibaca dalam buku Metodologi Sejarah.
Bila kita berbicara tentang rentang waktu yang lama yang berkesinambungan dengan kondisi saat ini kita dapat membaca teori ernand Braudel, atau Le Roy Laduray, teori ini dikenal dengan sejarah total (Total History).
3. Monumen, Kronik, dan Sejarah
Sebagaimana yang disampaikan oleh Taufik Abdullah dalam makalah yang berjudul “Nasionalisme dalam Perspektif Kesejarahan Indonesia” bahwa, selama ini pelajaran sejarah telah diredusir sebagai pelajaran yang berusaha memberi pengetahuan dan pemahaman tentang dinamika perjalanan kehidupan masyarakat, tidak lagi dijadikan sebagai pengetahuan yang diperlukan, pelajaran sejarah telah diturunkan tingkatnya menjadi menjadi sekedar pengetahuan umum belaka.
Di sekolah, tidakkah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa lalu diberitahukan dan diajarkan? Dalam kehidupan berbangsa, tidakkah tanggal-tanggal tertentu yang dianggap penting diperingati dan malah dirayakan juga?
Yang diperkenalkan itu sebenarnya tidak lebih dari “kronik” dan yang diperingati itu adalah peristiwa yang telah dijadikan “monumen”, yang bangun dengan kata-kata. Tetapi keduanya bukan atau lebih tepat, belum, bisa disebut sejarah. Jika kronik hanya mencatat “apa”, “siapa”, bila” dan “di mana”, maka monumen adalah tonggak peringatan untuk mengenang pristiwa yang dianggap penting dan menentukan.
Jika kronik hanyalah rentetan peristiwa tanpa makna maka monumen adalah peristiwa dalam sejarah yang telah dijadikan sebagai mnemonic device atau alat pengingat tentang suatu peristiwa yang secara simbolik dianggap mewakili sesuatu-baik mengenai persatuan, kemenangan atau lainnya. Tetapi peristiwa masa lalu yang diwakili monumen itu tidak memperlihatkan dan memang tidak bermaksud untuk menunjukkan adanya dialog antara hasrat atau keinginan subjektif dengan realitas objektif yang dihadapi. Monumen adalah hasil pilihan yang bertolak dari keinginan untuk menjadikan suatu peristiwa sebagai mitos integratif.
Peristiwa di masa lalu yang dipilih untuk dijadikan monumen adalah suatu discourse (wacana) ketika sejarah sarat dengan hasrat mitologis.
Dalam monumen ini gambaran-gambaran dari realitas masa lalu dan hasrat normatif yang subjektif bisa menemukan afinitas yang akrab. Hanya saja andaikan hasrat integratif terpenuhi, kearifan dari dinamika dan sifat kesejarahan, yang berusaha mengisahkan masa lalu, dalam suasana kritis dan akademis yang sesunguhnya bisa tertinggal dengan begitu saja.
Sejarah tidak sama dengan kronik, yang merupakan daftar peristiwa yang dianggap penting; sejarah berbeda pula dari monumen yang menjadi alat pengingat peristiwa yang mempunyai nilai subjektif. Sebagai disiplin keilmuan, sejarah adalah hasil untuk memahami masa lalu-masa yang tidak bertepi dan tidak berbatas itu. Oleh karena itu, sejarah baru mungkin bisa didapatkan setelah sekian pertanyaan diajukan. Dinamika dari aspek kehidupan apakah yang ingin diketahui dalam konteks waktu dan lokasi tertentu? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah, yang bertolak dari hasrat (pertanyaan) yang subjektif berusaha mendapatkan pengetahuan yang objektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dalam suatu rentangan waktu.
Sejarah tidak pernah tampil dalam kepolosan murni seakan-akan uraiannya hanyalah salinan saja dari apa yang disampaikan sumber tentang peristiwa yang terjadi di suatu saat di lokasi tertentu. Sejarah adalah juga hasil dari pergumulan intelektual dan akademis yang dipacu oleh hasrat subjektif yang ingin tahu tentang sesuatu secara objektif. Ilmu sejarah berusaha memahami peristiwa di masa lalu itu berdasarkan bukti dan kesaksian yang dipancarkan peristiwa yang menarik perhatian itu. Maka di waktu aspek-aspek kronik ( apa, siapa, di mana, dan bila) telah mendapatkan kepastian (historical certainty) maka kisah kesejarahan pun harus dilakukan. “Bagaimanakah hal itu terjadi?” Tetapi timbul juga masalah ketika peristiwa itu harus direkonstruksi—“bagaimana kisahnya?”—bisakah sang sejarawan mengelak dari keharusan yang terkena pada syarat-syarat pengkisahan, narasi? Jika semua harus dikisahkan, bagaimana hal itu bisa dilakukan?
Dan, tidak kurang pentingnya, bagaimanakah melakukannya tanpa didampingi kemampuan bahasa dan kejernihan retorika?
Pengkisahan sejarah tidak bisa terlepas dari kepribadian sang pengisah.
Siapapun bisa mengatakan kisah yang disampaikan sejarawan A lebih menarik dan lebih bisa dipercaya dari yang disampaikan sejarawan B. Jika hal ini saja belum cukup maka masalah lainpun muncul pula.
Bukankah setiap peristiwa—apapun mungkin coraknya—terjadi dalam konteks waktu, sosial dan geografis tertentu pula? Tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi dalam suatu ke-vacum-an. Karena itulah setiap peristiwa hanya bisa direkonstruksi dan dipahami jika struktur dari konteks tempat dan waktu terjadinya diketahui dan dimengerti pula. Meskipun berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan, peristiwa sejarah bisa saja mempunyai corak yang berbeda-beda—mulai dari yang bersifat politik kekuasaan sampai yang bernuansa kegiatan kebudayaan yang estetik. Peristiwa sejarah yang bersifat politik tidak bisa direkonstruksi, apalagi dipahami dengan baik, tanpa pengetahuan dasar tentang sosiologi dan ilmu politik, bahkan juga geografi. Begitu halnya dengan sejarah ekonomi tidak bisa dipahami tanpa bantuan ilmu ekonomi yang memadai. Dan begitulah seterusnya. Karena itulah sejarah dikatakan orang juga sebagai ilmu sosial yang melihat peristiwa sosial dalam rentangan waktu, yang diakronis (berkesinambungan).
Karena lain dari kronik, yang hanya mencantumkan kejadian tanpa pengisahan yang mendalam, masa lalu bisa terasa berbeda ketika telah disentuh oleh pengkisahan kesejarahan. Pemahaman tentang peristiwa terpantul dalam gaya pengisahan dan pilihan kata.
Meskipun demikian, kisah sejarah—apapun gaya pengisahannya, baik dilihat sebagai suatu tragedi maupun komedi atau apa saja— barulah sebagian dari keharusan sejarah. Sebab bukankah semua peristiwa harus diterangkan juga, “mengapa hal itu terjadi”? Ketika jawab hendak diberikan maka bukan saja pengetahuan teori tentang masyarakat dan dinamika sejarah dan sebagainya yang ikut berperan, semacam kesadaran filosofis tentang hakekat kemanusiaan tidak arang diperlukan pula, betapapun mungkin hal ini tidak tampil secara jelas dalam pengkisahan. Begitulah sebuah peristiwa harus dilihat dari konteks waktu dan ruang, serta akibat yang menyertainya, itu keberlanjutan dari tinjauan sejarah. Jadi suatu peristiwa sebaiknya dikaji dengan berbagai pendekatan untuk melihat hubungan sebab akibat itu. Perubahan yang berkelanjutan dari hubungan sebab akibat itulah yang disebut dengan sinkronik.
Dengan pemahaman akan disiplin ilmu yang disebut sejarah seperti inilah pengertian yang mendalam tentang dinamika masyarakat lebih mungkin didapatkan. Dengan pendekatan seperti ini pula perspektif masa depan lebih mungkin bisa dibayangkan.
Sementara sejarah sebagai kisah berbentuk narasi yang bertujuan untuk memberikan pemahaman pada peserta didik. Dalam kaitannya dengan ini, sejarah dapat diberikan untuk menanamkan sikap patriotisme, memberikan semangat, keteladanan, dan inspirasi untuk memotivasi pada peserta didik. Dalam kurikulum 2013, pengertian sejarah lebih ditekankan pada sejarah sebagai kisah, yaitu sejarah sebagai instrumen pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks sejarah sebagai kisah, penting untuk memilih pembabakan waktu yang digunakan sebagai pembelajaran pada siswa namun tidak keluar dari konteks sejarah sebagai ilmu. Karena itulah dalam buku siswa digunakan pra-aksara, bukan prasejarah.
Sumber : buku k13 kurtilas sejarah indonesia kelas X
Kemudian bagaimanakah sejarah sebagai ilmu? Sejarah sebagai Disiplin Ilmu dapat dilihat sebagai berikut:
1. Perhatian utama sejarah adalah masa lalu. Selanjutnya masa lalu barulah diangap ada, sebagai sasaran kajian, kalau terdapat bekas dan bukti yang bisa diteliti.
a. Kajian sejarah hanya akan memperhatikan peristiwa yang menyangkut langsung perilaku manusia di masa lalu. Gempa bumi, banjir, komet yang jatuh ke bumi, gerhana matahari dan sekian macam peristiwa berada di luar khusus perhatian ilmu sejarah. Hal ini termasuk natural history. Semua peristiwa alam itu barulah dianggap penting jika langsung berkaitan dengan pola perilaku manusia (seperti usaha manusia menanggulangi banjir, kepercayaan tentang makna gerhana), atau langsung mengubah nasib manusia. Contohnya meletusnya gunung esuvius di zaman Eropa Kuno yang menenggalamkan Kota Pompei, meletusnya Gunung Tambora di abad ke-9 yang melenyapkan dua kerajaan di Pulau Sumbawa.
b. Secara metodologis dan teknis, sejarah umat manusia dibagi atas dua zaman: zaman sejarah dan zaman pra-aksara. Manusia memasuki zaman sejarah bila zaman itu menghasilkan bukti-bukti tertulis. Disebut zaman pra-aksara karena hanya meninggalkan ekas-bekas tak tertulis, seperti fosil, alat-alat, dan lukisan batu.
c. Secara metodologis dan teknis pula, sumber tertulis di atas kertas atau yang didapatkan secara lisan menjadi sasaran penelitian calon sejarawan. Tulisan tua dan kuno dan tertulis dalam bahasa arkais yang terpahat di batu, lempengan tembaga, dan sebagainya diselenggarakan oleh ilmu arkeologi dengan segala abangnya.
d. Apakah semua tindakan manusia di masa lampau yang tertentu itu harus masuk rekonstruksi sejarah? Konsep “sejarah total” hanya bertolak dari sikap yang mengharuskan sejarawan untuk memperhitungkan semua dimensi kehidupan sosial dalam usaha merekonstruksi peristiwa sejarah.
2. Corak penulisan sejarah dibedakan menjadi dua:
a. Penulisan sejarah umum, yang menguraikan perkembangan sejarah dari suatu bangsa atau suatu wilayah dan bahkan suatu lokalitas dari zaman ke zaman seperti “Sejarah Indonesia” atau “Sejarah Eropa” atau “Jakarta di Abad ke-20”.
b. Penulisan sejarah khusus, yang ditentukan oleh tema tertentu. Corak sejarah ini disebut juga sejarah tematis. Corak penulisan sejarah seperti ini umpamanya ialah “Budaya Kuliner Zaman Kolonial”, “Reformasi Agraria di Awal Abad Ke-20”, “Pertempuran Lima Hari di Semarang” dan sebagainya. Dengan kata lain, judul-judul ini hanya tertarik pada aspek tertentu atau peristiwa tertentu saja; kuliner, gerakan keagamaan, dan pertempuran yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu.
Bila kita ingin mempelajari sejarah ekonomi maka perlu kita membaca buku karya Anne Booth. Ini yang dimaksud dengan pendekatan tematik integratif, Sartono Kartodirdjo menyebutnya dengan (multidimensional approach), endapat Kuntowijoyo sejalan dengan hal itu. Pendekatan sejarah secara tematik integratif berarti mendeskripsikan suatu peristiwa sejarah terkait dengan konteks kekinian, dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip ilmu sejarah (kronologis). Untuk lebih mudahnya dalam menjelaskan sebuah peristiwa sejarah diharapkan unsur-unsur ekonomi, sosial, seni, teknologi dapat masuk dalam penjelasannya, untuk lebih lanjut dapat dibaca dalam buku Metodologi Sejarah.
Bila kita berbicara tentang rentang waktu yang lama yang berkesinambungan dengan kondisi saat ini kita dapat membaca teori ernand Braudel, atau Le Roy Laduray, teori ini dikenal dengan sejarah total (Total History).
3. Monumen, Kronik, dan Sejarah
Sebagaimana yang disampaikan oleh Taufik Abdullah dalam makalah yang berjudul “Nasionalisme dalam Perspektif Kesejarahan Indonesia” bahwa, selama ini pelajaran sejarah telah diredusir sebagai pelajaran yang berusaha memberi pengetahuan dan pemahaman tentang dinamika perjalanan kehidupan masyarakat, tidak lagi dijadikan sebagai pengetahuan yang diperlukan, pelajaran sejarah telah diturunkan tingkatnya menjadi menjadi sekedar pengetahuan umum belaka.
Di sekolah, tidakkah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa lalu diberitahukan dan diajarkan? Dalam kehidupan berbangsa, tidakkah tanggal-tanggal tertentu yang dianggap penting diperingati dan malah dirayakan juga?
Yang diperkenalkan itu sebenarnya tidak lebih dari “kronik” dan yang diperingati itu adalah peristiwa yang telah dijadikan “monumen”, yang bangun dengan kata-kata. Tetapi keduanya bukan atau lebih tepat, belum, bisa disebut sejarah. Jika kronik hanya mencatat “apa”, “siapa”, bila” dan “di mana”, maka monumen adalah tonggak peringatan untuk mengenang pristiwa yang dianggap penting dan menentukan.
Jika kronik hanyalah rentetan peristiwa tanpa makna maka monumen adalah peristiwa dalam sejarah yang telah dijadikan sebagai mnemonic device atau alat pengingat tentang suatu peristiwa yang secara simbolik dianggap mewakili sesuatu-baik mengenai persatuan, kemenangan atau lainnya. Tetapi peristiwa masa lalu yang diwakili monumen itu tidak memperlihatkan dan memang tidak bermaksud untuk menunjukkan adanya dialog antara hasrat atau keinginan subjektif dengan realitas objektif yang dihadapi. Monumen adalah hasil pilihan yang bertolak dari keinginan untuk menjadikan suatu peristiwa sebagai mitos integratif.
Peristiwa di masa lalu yang dipilih untuk dijadikan monumen adalah suatu discourse (wacana) ketika sejarah sarat dengan hasrat mitologis.
Dalam monumen ini gambaran-gambaran dari realitas masa lalu dan hasrat normatif yang subjektif bisa menemukan afinitas yang akrab. Hanya saja andaikan hasrat integratif terpenuhi, kearifan dari dinamika dan sifat kesejarahan, yang berusaha mengisahkan masa lalu, dalam suasana kritis dan akademis yang sesunguhnya bisa tertinggal dengan begitu saja.
Sejarah tidak sama dengan kronik, yang merupakan daftar peristiwa yang dianggap penting; sejarah berbeda pula dari monumen yang menjadi alat pengingat peristiwa yang mempunyai nilai subjektif. Sebagai disiplin keilmuan, sejarah adalah hasil untuk memahami masa lalu-masa yang tidak bertepi dan tidak berbatas itu. Oleh karena itu, sejarah baru mungkin bisa didapatkan setelah sekian pertanyaan diajukan. Dinamika dari aspek kehidupan apakah yang ingin diketahui dalam konteks waktu dan lokasi tertentu? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah, yang bertolak dari hasrat (pertanyaan) yang subjektif berusaha mendapatkan pengetahuan yang objektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dalam suatu rentangan waktu.
Sejarah tidak pernah tampil dalam kepolosan murni seakan-akan uraiannya hanyalah salinan saja dari apa yang disampaikan sumber tentang peristiwa yang terjadi di suatu saat di lokasi tertentu. Sejarah adalah juga hasil dari pergumulan intelektual dan akademis yang dipacu oleh hasrat subjektif yang ingin tahu tentang sesuatu secara objektif. Ilmu sejarah berusaha memahami peristiwa di masa lalu itu berdasarkan bukti dan kesaksian yang dipancarkan peristiwa yang menarik perhatian itu. Maka di waktu aspek-aspek kronik ( apa, siapa, di mana, dan bila) telah mendapatkan kepastian (historical certainty) maka kisah kesejarahan pun harus dilakukan. “Bagaimanakah hal itu terjadi?” Tetapi timbul juga masalah ketika peristiwa itu harus direkonstruksi—“bagaimana kisahnya?”—bisakah sang sejarawan mengelak dari keharusan yang terkena pada syarat-syarat pengkisahan, narasi? Jika semua harus dikisahkan, bagaimana hal itu bisa dilakukan?
Dan, tidak kurang pentingnya, bagaimanakah melakukannya tanpa didampingi kemampuan bahasa dan kejernihan retorika?
Pengkisahan sejarah tidak bisa terlepas dari kepribadian sang pengisah.
Siapapun bisa mengatakan kisah yang disampaikan sejarawan A lebih menarik dan lebih bisa dipercaya dari yang disampaikan sejarawan B. Jika hal ini saja belum cukup maka masalah lainpun muncul pula.
Bukankah setiap peristiwa—apapun mungkin coraknya—terjadi dalam konteks waktu, sosial dan geografis tertentu pula? Tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi dalam suatu ke-vacum-an. Karena itulah setiap peristiwa hanya bisa direkonstruksi dan dipahami jika struktur dari konteks tempat dan waktu terjadinya diketahui dan dimengerti pula. Meskipun berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan, peristiwa sejarah bisa saja mempunyai corak yang berbeda-beda—mulai dari yang bersifat politik kekuasaan sampai yang bernuansa kegiatan kebudayaan yang estetik. Peristiwa sejarah yang bersifat politik tidak bisa direkonstruksi, apalagi dipahami dengan baik, tanpa pengetahuan dasar tentang sosiologi dan ilmu politik, bahkan juga geografi. Begitu halnya dengan sejarah ekonomi tidak bisa dipahami tanpa bantuan ilmu ekonomi yang memadai. Dan begitulah seterusnya. Karena itulah sejarah dikatakan orang juga sebagai ilmu sosial yang melihat peristiwa sosial dalam rentangan waktu, yang diakronis (berkesinambungan).
Karena lain dari kronik, yang hanya mencantumkan kejadian tanpa pengisahan yang mendalam, masa lalu bisa terasa berbeda ketika telah disentuh oleh pengkisahan kesejarahan. Pemahaman tentang peristiwa terpantul dalam gaya pengisahan dan pilihan kata.
Meskipun demikian, kisah sejarah—apapun gaya pengisahannya, baik dilihat sebagai suatu tragedi maupun komedi atau apa saja— barulah sebagian dari keharusan sejarah. Sebab bukankah semua peristiwa harus diterangkan juga, “mengapa hal itu terjadi”? Ketika jawab hendak diberikan maka bukan saja pengetahuan teori tentang masyarakat dan dinamika sejarah dan sebagainya yang ikut berperan, semacam kesadaran filosofis tentang hakekat kemanusiaan tidak arang diperlukan pula, betapapun mungkin hal ini tidak tampil secara jelas dalam pengkisahan. Begitulah sebuah peristiwa harus dilihat dari konteks waktu dan ruang, serta akibat yang menyertainya, itu keberlanjutan dari tinjauan sejarah. Jadi suatu peristiwa sebaiknya dikaji dengan berbagai pendekatan untuk melihat hubungan sebab akibat itu. Perubahan yang berkelanjutan dari hubungan sebab akibat itulah yang disebut dengan sinkronik.
Dengan pemahaman akan disiplin ilmu yang disebut sejarah seperti inilah pengertian yang mendalam tentang dinamika masyarakat lebih mungkin didapatkan. Dengan pendekatan seperti ini pula perspektif masa depan lebih mungkin bisa dibayangkan.
Sementara sejarah sebagai kisah berbentuk narasi yang bertujuan untuk memberikan pemahaman pada peserta didik. Dalam kaitannya dengan ini, sejarah dapat diberikan untuk menanamkan sikap patriotisme, memberikan semangat, keteladanan, dan inspirasi untuk memotivasi pada peserta didik. Dalam kurikulum 2013, pengertian sejarah lebih ditekankan pada sejarah sebagai kisah, yaitu sejarah sebagai instrumen pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks sejarah sebagai kisah, penting untuk memilih pembabakan waktu yang digunakan sebagai pembelajaran pada siswa namun tidak keluar dari konteks sejarah sebagai ilmu. Karena itulah dalam buku siswa digunakan pra-aksara, bukan prasejarah.
Sumber : buku k13 kurtilas sejarah indonesia kelas X