Kita tidak mengetahui Siapa yang akan menjadi wali

Di zaman Nabi (saw), hidup seseorang perampok jalanan yang terkenal jahat.  Ia biasa turun ke jalan setelah tengah malam.  Jika ia menemukan seseorang yang berjalan sendirian, ia akan menangkapnya, merampoknya, kadang-kadang memukuli atau membunuhnya, kemudian ia akan kembali ke rumahnya.  Tidak ada yang dapat menangkapnya.  Nabi (saw) sering mengutuknya, dengan mengatakan ‘Ia adalah orang yang sangat jahat, aku tidak akan menyalatinya, dan aku tidak akan menguburinya di pemakaman Muslim.
Setelah sekian tahun, perampok jalanan itu pun meninggal dunia.  Karena Nabi (saw) biasa mengutuknya, anak-anak menyeretnya di jalan-jalan di Madinah kemudian melemparkannya ke dalam sebuah sumur yang kering.  Segera setelah mereka melemparnya ke dalam sumur, Allah berbicara kepada Nabi (saw), “Wahai Nabi-Ku tercinta, pada hari ini salah satu di antara Wali-Ku telah meninggal dunia.  Kau harus pergi dan memandikannya, membersihkannya, mengkafaninya, menyalatinya dan menguburkannya.”  Nabi (saw) terkejut, karena sepanjang hidupnya beliau telah mengutuk orang itu.  Sekarang ketika ia telah meninggal, Allah mengatakan bahwa ia adalah seorang Wali.  Bagaimana mungkin ia menjadi Wali?
Tetapi tidak ada yang dapat menggugat ilmu Allah, bahkan tidak pula Nabi-Nya (saw).  Jika Allah ingin menjadikan seorang perampok menjadi wali, tidak ada orang yang dapat bertanya, “Mengapa?”  Kita harus menerimanya.  Itulah sebabnya menurut ajaran Sufi, termasuk ajaran Tarekat Naqsybandi, kalian harus memandang orang lain lebih baik daripada kalian.  Kalian tidak tahu apakah Allah akan mengangkat derajat orang itu lebih tinggi daripada kalian, siapa yang bisa mengetahui?  Tidak ada yang tahu.  Oleh sebab itu tidak ada orang yang dapat menggugatnya.  Jangan memandang rendah orang lain seolah-olah kalian lebih hebat daripada mereka.  Kalian tidak tahu apakah dalam pandangan Allah orang itu adalah seorang Wali atau bukan.
Siapa tahu?  Oleh sebab itu senantiasa pandanglah orang lain lebih tinggi daripada kalian.  Tunjukkan hormat kepada mereka dan bersikaplah tawaduk terhadap mereka.  Jangan tunjukkan ego dan kesombongan.  Rahmat Allah begitu besar sehingga kalian dilarang untuk melihat pada apa yang orang lakukan di sisi luarnya.  Kalian tidak boleh menyebut mereka gila atau mengkritik perilaku buruk mereka.  Biarkan mereka.  Mereka mempunyai Tuhan yang akan menilai perbuatan mereka.  Lihatlah diri kalian sendiri.  Jadilah orang dengan perilaku yang baik.  Jangan mencampuri urusan orang lain.  Bukan tugas kalian untuk meluruskan mereka.  Tugas kalian hanyalah memperbaiki diri kalian.  Perbaiki diri kalian dan tinggalkan orang lain pada Tuhannya.  Ini adalah pemahaman sejati dan merupakan ajaran Sufisme; tinggalkan orang lain pada Tuhannya dan ubahlah diri kalian sendiri.
Jika kalian mengajari ego kalian untuk tidak mencampuri orang lain, kalian akan mendapati diri kalian hidup dalam kebahagiaan, karena pada saat kalian melihat orang lain, kalian hanya akan melihatnya sebagai hamba dari Tuhan yang sama dengan kalian sehingga Tuhan kadang-kadang akan mengampuni apa yang mereka lakukan.  Jangan mengatakan, “Kau melakukan perbuatan yan salah dengan minum, bermain wanita, melakukan ini itu.”  Tinggalkan mereka pada Tuhannya.  Ajari mereka secara umum.  Jangan fokus dan spesifik pada seseoang.
Allah mengatakan kepada Nabi (saw), “Wahai Rasulullah, bawa dia dan bersihkan dia.”  Nabi (saw) segera memanggil Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dan berkata, “Wahai Abu Bakar (r), kita harus pergi dan menguburkan perampok jalanan yang telah meninggal dunia.”  Abu Bakar ash-Shiddiq (r) berkata, “Wahai Rasulullah (saw), kau berkata bahwa kau tidak ingin menguburkannya di pemakaman Muslim!”  Nabi (saw) menjawab, “Tidak!  Allah memberitahuku bahwa ia adalah seorang Wali!”  
Apa yang dilakukan oleh perampok itu selama hidupnya hingga ia menjadi seorang wali?  Ia membunuh, merampok, dan mencuri sepanjang hidupnya.  Nabi (saw) masuk ke dalam sumur lalu mengangkat jenazah orang itu dengan tangannya sendiri dan dibantu para Sahabatnya.  Beliau lalu membawanya ke rumahnya.  Beliau membersihkannya, memandikannya dan mengkafaninya.  Beliau juga menyalatinya, kemudian membawanya dari masjid menuju Pemakaman Baqi, perjalanan sejauh lima belas menit berjalan kaki.  Namun saat itu perlu dua jam bagi Nabi (saw) untuk membawanya dari masjid menuju pemakaman.
Seluruh Sahabat terheran-heran dengan cara berjalan Nabi (saw).  Beliau (saw) telah mengambilkan wudu untuk jenazah dengan tangannya sendiri, memandikan dan menyalatkannya.  Sekarang beliau membawanya ke kuburnya dengan jalan berjinjit.  Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah (saw), mengapa engkau berjalan berjinjit?”  Beliau berkata, “Allah memerintahkan seluruh Wali dari Timur dan Barat, seluruh malaikat dari ketujuh Langit dan seluruh makhluk spiritual untuk hadir dan mengikuti perjalanan keranda wali itu.  Begitu banyak yang memenuhi jalan sehingga aku tidak bisa menemukan tempat untuk meletakkan kakiku.  Sepanjang hidupku, tidak pernah aku seheran ini.”  
Setelah mereka menguburinya, Nabi (saw) tidak berbicara dengan siapapun, beliau segera kembali ke rumahnya dengan gemetar dan menggigil.  Beliau duduk bersama Abu Bakr ash-Shiddiq (r) bertanya pada dirinya sendiri, apa yang telah dilakukan oleh Wali itu, yang sepanjang hidupnya merupakan seorang perampok, tetapi pada akhir hayatnya mendapat kemuliaan begitu tinggi dari Allah.  Abu Bakr ash-Shiddiq (r) berkata, “Wahai Rasulullah (saw), aku malu untuk bertanya mengenai apa yang kusaksikan hari ini.  Itu begitu mengherankan.” Nabi (saw) menjawab, “Wahai Abu Bakr ash-Shiddiq (r), aku pun lebih terkejut daripada engkau.  Aku menunggu Jibril (as) untuk datang dan mengabariku apa yang terjadi.”
Ketika Jibril (as) datang, Nabi (saw) berkata, “Wahai Jibril apa yang terjadi?”  Jibril (as) menjawab, “Wahai Nabi (saw), jangan bertanya kepadaku.  Aku juga merasa heran.  Namun demikian, jangan heran, karena Allah dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang.  Dia mengatakan agar engkau bertanya pada putri orang itu apa yang dilakukan semasa hidupnya.”  
Nabi (saw) segera pergi bersama Abu Bakr ash-Shiddiq (r) ke rumah perampok itu.  Sekarang menteri atau sekretaris negara, tidak, bahkan seorang manager dari sebuah perusahaan memperlakukan setiap orang seolah-olah mereka adalah perampok di depan pintunya.  Mereka tidak menunjukkan hormat maupun kerendahan hati.  Nabi (saw), tidak memandang kekuatan dan statusnya sebagai insan kamil, sebagai Habibullah, beliau dengan tawaduk pergi ke rumah wali itu untuk bertanya kepada putrinya apa yang telah dilakukan oleh ayahnya selama hidupnya.
Beliau (saw) berkata, “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku, bagaimana ayahmu hidup.”  Ia berkata, “Wahai Rasulullah (saw), aku sangat malu terhadapmu.  Apa yang akan kukatakan kepadamu?  Ayahku adalah seorang pembunuh, seorang perampok.  Aku tidak pernah melihatnya melakukan sesuatu yang baik.  Ia merampok dan mencuri siang dan malam, kecuali selama satu bulan dalam setahun.  Ketika bulan itu tiba, ia berkata, “Ini adalah bulan Allah,” karena ia mendengarmu berkata, “Rajab adalah bulan allah, Sya’ban adalan bulannya Nabi (saw) dan Ramadan adalah bulan umat.”  Jadi ia berkata, “Aku tidak peduli dengan bulannya Nabi (saw), atau bulannya umat, aku hanya peduli dengan bulan Tuhanku.  Oleh sebab itu, aku akan duduk di kamarku, menutupnya dan melakukan khalwat di bulan ini.”
Nabi (saw) bertanya, “Khalwat seperti apa yang dilakukan olehnya?”  Ia berkata, “Wahai Rasulullah (saw), pada suatu hari ia pergi ke jalan mencari orang yang akan dirampoknya.  Ia menemukan seorang orang tua berumur sekitar tujuh puluh atau delapan puluh tahun.  Ia memukulnya hingga tidak sadar dan merampoknya.  Ia menemukan sehelai lipatan kertas di dalam kantongnya.  Ia membukanya dan menemukan sebuah doa di sana.  Ia sangat menyukai doa itu.  Setiap tahun ketika bulan Rajab tiba–bulannya Allah, ayahku biasa duduk dan membaca doa itu siang dan malam sambil berurai air mata, ia terus membacanya, kecuali ketika ia mau makan atau mengambil wudu.  Setelah bulan Rajab berlalu ia akan bangun dan berkata, “Bulan Allah telah berlalu.  Sekarang gilirian kesenanganku,” ia lalu kembali merampok dan mencuri selama sebelas tahun lainnya.”
Doa yang biasa dibaca oleh orang itu adalah doa yang sangat penting dan sangat dianjurkan untuk dibaca sebanyak tiga kali sehari di bulan Rajab.  Mawlana Syekh Nazim berkata bahwa doa ini memurnikan diri kalian dari semua dosa dan menjadikan  kelian bagaikan orang yang baru dilahirkan.  Ini adalah doa yang sangat terkenal di kalangan Sufi.
Ketika Nabi (saw) meminta anak itu membawakan kertas berisi doa tadi, beliau menciumnya dan menggosokkan kertas itu ke seluruh tubuhnya.  Saya menasihati kalian semua agar tidak melupakan doa itu, bacalah selama bulan Rajab.  Allah akan memberi kalian apa yang dikehendaki-Nya, sesuai dengan niat kalian.
Allah (swt) mengatakan kepada Nabi (saw), “Wahai Nabi-Ku tercinta, orang itu datang dan bertobat kepada-Ku pada bulan yang paling berharga selama setahun.  Untuk itulah, karena ia telah berkorban, paling tidak satu bulan dalam setahun untuk-Ku, Aku telah mengampuni seluruh kesalahannya dan aku telah mengubah seluruh dosanya menjadi hasanah.  Kaena ia mempunyai begitu banyak dosa, kini ia mempunyai begitu banyak hasanah, dan ia menjadi seorang wali besar.
Shaykh Hisham Kabbani
12932689_990806947640325_2007774596417809527_nhttps://percikanhikmah.wordpress.com/2016/04/12/kisah-wali-rajab/