C I N T A


Syeikh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî pernah berkata, “Barang siapa mencintaiku, walau sepeninggalku, maka ia termasuk muridku.”
Namun, cinta itu memiliki tanda-tanda. Dan tanda-tanda cinta adalah shidq (kesungguhan) dalam meneladani orang yang dicintai, baik dalam perbuatan, niat, keyakinan maupun ucapan.
Habîb ‘Umar bin Seqqâf berkata, “Janganlah mengaku-aku, karena shidq mempunyai tanda-tanda.”
Diriwayatkan bahwa beberapa orang berkunjung ke rumah Syiblî. Mereka mengetuk pintu, memanggil namanya.
“Siapa?” tanya Syiblî.
“Kami, sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.
Syiblî membukakan pintu kemudian melempari mereka dengan batu. Mereka lari berpencaran. Syiblî lalu memanggil mereka, “Wahai para pendusta, kalian mengatakan bahwa kalian adalah sahabatku. Namun, kalian lari ketika kulempari. Kalian tidak shidq (sungguh-sungguh) dalam mencintaiku. Kalian hanya ingin memalingkan aku dari ibadah.”
Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh Syeikh Sya’rânî. Beliau hendak menguji kesungguhan cinta para sahabatnya. Beliau menulis permintaan bantuan keuangan di atas lembaran-lembaran kertas. Kertas itu nanti akan ia bagikan kepada sahabat-sahabatnya sesuai dengan kemampuan keuangan mereka. Ada yang mendapat permintaan bantuan sebesar 50 dirham, 100 dirham, dan ada pula yang 200 dirham.
Setelah sahabat-sahabat beliau datang, kertas itu beliau bagikan. Mereka membaca angka yang tertulis di kertas itu lalu saling pandang.
“Syeikh meminta berapa darimu?” mereka saling bertanya setelah keluar dari rumahnya.
“Ia meminta 50 dirham,” jawab salah seorang.
“Ia minta 100 dirham,” jawab yang lain.
“Mengapa ia minta kepadaku 200 dirham?” tanya yang lain.
Mereka heran dengan perbuatan sang syeikh.
“Mari kita pulang saja, syeikh kita ini ternyata cinta dunia.”
Mereka akhirnya memutuskan persahabatannya dengan Syeikh Sya’rânî.
Melihat rencananya berhasil, Syeikh Sya’rânî merasa lega, “Sekarang jernihlah pikiranku dan tenanglah ibadahku.”
(Habib Muhammad bin Hadi Asseggaf,Tuhfatul Asyrof)