Dari kajian Feqih
Apakah SUATU AMALIYAH jika Nabi TIDAK MELAKUKAN, lantas hal tersebut menunjukkan sebuah LARANGAN / KEHARAMANNYA sehingga tidak boleh dilakukan???
Apakah SUATU AMALIYAH jika Nabi TIDAK MELAKUKAN, lantas hal tersebut menunjukkan sebuah LARANGAN / KEHARAMANNYA sehingga tidak boleh dilakukan???
JAWABAN BERDASARKAN TINJAUAN USHULIYAH :
Setidaknya ada tujuh alasan yang mendasari bahwa TARKU Nabi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengharamkan bahkan memvonis syirik suatu perkara yang dilakukan oleh para Ulama' di kemudian hari, antara lain dasarnya adalah:
Pertama,
Hukum haram hanya bisa ditetapkan dengan kalimat larangan, seperti: ولاتقربوا الزنى,
kalimat pengharaman, seperti: حرمت عليكم الميتة
atau kalimat yang menunjukkan makna ancaman, seperti: من غش فليس مني
Kedua,
Allah SWT di dalam Al-Qur'an menyatakan:
وما آتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا
(Apa yang telah diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah dan Apa yang dilarang darimu, maka tinggalkanlah!)
Perhatikan pada konteks frasa ayat di atas, di mana Allah SWT menyatakan: (dan “APA” yang dilarang oleh Rasul darimu, maka tinggalkanlah!”)
Pada ayat ini, Allah SWT TIDAK MENYATAKAN:
(DAN “APA-APA” yang dilarang oleh Rasul).
Kosakata “APA” dengan “APA-APA” ditinjau dari segi سماعي (rasa pendengaran), menunjukkan PENGERTIAN yang benar benar JAUH BERBEDA.
Ketiga,
Sebuah hadits:
ذروني ما تركتم فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه مااستطعتم وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه )رواه مسلم
“Biarkanlah apa adanya masalah yang kutinggalkan untuk kalian. Sesuungguhnya orang-orang sebelum kamu mendapatkan celaka karena mereka banyak tanya dan suka mendebat para Nabi mereka. Oleh karena itu, bila kuperintahkan mengerjakan sesuatu, maka laksanakanlah semampumu dan apabila aku larang kalian mengerjakan sesuatu, maka hentikanlah segera.”
Perhatikan konteks hadits! Nabi SAW dalam hadits tersebut hanya memerintahkan kita untuk menjalankan perintah semampu kita dan menjauhi larangan2nya. Dan pesan tersurat dari hadits ini pula adalah “bahwa beliau tidak mengatakan bahwa apa yang tidak aku kerjakan, maka tinggalkanlah!” Cermati baik2 arti dari hadits tersebut!
Dengan demikian, maka tidak mungkin bagi hadits ini digunakan untuk menghukumi, bahwa apa2 yang tidak dikerjakan oleh Nabi, lantas dilarang, atau bahkan MUSYRIK. TIDAK SAMA SEKALI.
Empat,
Para pakar hukum telah membuat standar SUNNAH Nabi yang dapat dijadikan pijakan hukum, yakni segala yang terdiri atas perbuattan, ucapan dan ketetapan Nabi SAW. Adapun apa2 yang tidak dikerjakan oleh Nabi, tidak termasuk dari ketiga hal tersebut.
Lima,
Hukum adalah pesan Allah SWT
(الحكم هو خطاب الله)
Adapun perkara yang menunjukkan atas pesan itu adalah : Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Dalam hal ini, maka TARKU Nabi (apa2 yang tidak dilakukan oleh Nabi) adalah tidak termasuk yang bisa dijadikan pijakan hukum.
Enam,
Ada sebuah qaidah bahwasannya PERKARA YANG MASIH MEMILIKI BEBERAPA KEMUNGKINAN YANG BELUM JELAS, MAKA TIDAK DAPAT DIJADIKAN HUKUM. Ini berarti, TARKU NABI adalah merupakan bagian yang tidak bisa dijadikan pijakan hukum, karena ketidak jelasan masalah.
Tujuh,
TARKU berarti KETIADAAN tindakan oleh Nabi. KETIADAAN tindakan adalah sebuah ASAL dari wujudnya PERKARA BARU yang sebelumnya TIDAK ADA, sehingga QAIDAH USHULIYAH yang semestinya berlaku dalam hal ini adalah الأصل في الأشياء إباحة
(Asal-asalnya sesuatu adalah BOLEH), karena tidak ada QARINAH (Penjelasan) yang menyebutkan atas LARANGANNYA.
Semoga bermanfaat !!! Copaz
https://www.facebook.com/abdurrahman.navis/posts/10208660802096658
Setidaknya ada tujuh alasan yang mendasari bahwa TARKU Nabi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengharamkan bahkan memvonis syirik suatu perkara yang dilakukan oleh para Ulama' di kemudian hari, antara lain dasarnya adalah:
Pertama,
Hukum haram hanya bisa ditetapkan dengan kalimat larangan, seperti: ولاتقربوا الزنى,
kalimat pengharaman, seperti: حرمت عليكم الميتة
atau kalimat yang menunjukkan makna ancaman, seperti: من غش فليس مني
Kedua,
Allah SWT di dalam Al-Qur'an menyatakan:
وما آتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا
(Apa yang telah diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah dan Apa yang dilarang darimu, maka tinggalkanlah!)
Perhatikan pada konteks frasa ayat di atas, di mana Allah SWT menyatakan: (dan “APA” yang dilarang oleh Rasul darimu, maka tinggalkanlah!”)
Pada ayat ini, Allah SWT TIDAK MENYATAKAN:
(DAN “APA-APA” yang dilarang oleh Rasul).
Kosakata “APA” dengan “APA-APA” ditinjau dari segi سماعي (rasa pendengaran), menunjukkan PENGERTIAN yang benar benar JAUH BERBEDA.
Ketiga,
Sebuah hadits:
ذروني ما تركتم فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه مااستطعتم وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه )رواه مسلم
“Biarkanlah apa adanya masalah yang kutinggalkan untuk kalian. Sesuungguhnya orang-orang sebelum kamu mendapatkan celaka karena mereka banyak tanya dan suka mendebat para Nabi mereka. Oleh karena itu, bila kuperintahkan mengerjakan sesuatu, maka laksanakanlah semampumu dan apabila aku larang kalian mengerjakan sesuatu, maka hentikanlah segera.”
Perhatikan konteks hadits! Nabi SAW dalam hadits tersebut hanya memerintahkan kita untuk menjalankan perintah semampu kita dan menjauhi larangan2nya. Dan pesan tersurat dari hadits ini pula adalah “bahwa beliau tidak mengatakan bahwa apa yang tidak aku kerjakan, maka tinggalkanlah!” Cermati baik2 arti dari hadits tersebut!
Dengan demikian, maka tidak mungkin bagi hadits ini digunakan untuk menghukumi, bahwa apa2 yang tidak dikerjakan oleh Nabi, lantas dilarang, atau bahkan MUSYRIK. TIDAK SAMA SEKALI.
Empat,
Para pakar hukum telah membuat standar SUNNAH Nabi yang dapat dijadikan pijakan hukum, yakni segala yang terdiri atas perbuattan, ucapan dan ketetapan Nabi SAW. Adapun apa2 yang tidak dikerjakan oleh Nabi, tidak termasuk dari ketiga hal tersebut.
Lima,
Hukum adalah pesan Allah SWT
(الحكم هو خطاب الله)
Adapun perkara yang menunjukkan atas pesan itu adalah : Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Dalam hal ini, maka TARKU Nabi (apa2 yang tidak dilakukan oleh Nabi) adalah tidak termasuk yang bisa dijadikan pijakan hukum.
Enam,
Ada sebuah qaidah bahwasannya PERKARA YANG MASIH MEMILIKI BEBERAPA KEMUNGKINAN YANG BELUM JELAS, MAKA TIDAK DAPAT DIJADIKAN HUKUM. Ini berarti, TARKU NABI adalah merupakan bagian yang tidak bisa dijadikan pijakan hukum, karena ketidak jelasan masalah.
Tujuh,
TARKU berarti KETIADAAN tindakan oleh Nabi. KETIADAAN tindakan adalah sebuah ASAL dari wujudnya PERKARA BARU yang sebelumnya TIDAK ADA, sehingga QAIDAH USHULIYAH yang semestinya berlaku dalam hal ini adalah الأصل في الأشياء إباحة
(Asal-asalnya sesuatu adalah BOLEH), karena tidak ada QARINAH (Penjelasan) yang menyebutkan atas LARANGANNYA.
Semoga bermanfaat !!! Copaz
https://www.facebook.com/abdurrahman.navis/posts/10208660802096658