Menistakan agama

islamuna.info Googlenya Aswaja
TIDAK SENGAJA MENISTAKAN AGAMA, BAGAIMANA HUKUMNYA?
Oleh: Taha Ahmadmun
(14/10/16) Beberapa ulama Malikiyah, seperti al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) dan ad-Dardir (w. 1201 H) menerangkan, orang melakukan suatu kekufuran (penistaan agama) kemudian mengatakan hal itu dilakukannya tanpa sengaja, karena terpelesetnya lisan dan semisalnya, maka tetap menjadikannya berstatus kafir. Dalam as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa (II/231), al-Qadhi Iyadh berkata:
ﻟَﺎ ﻳُﻌْﺬَﺭُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺑِﺎﻟْﺠَﻬَﺎﻟَﺔِ ﻭَﻟَﺎ ﺑِﺪَﻋْﻮَﻯ ﺯَﻟَﻞِ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ .
_Siapapun tidak dianggap uzur dalam mengucapkan kekufuran, dengan alasan ketidaktahuan atau dengan dalih terpelesetnya lisan._
Sedangkan ad-Dardir dalam as-Syarh al-Kabir (IV/310) menyampaikan pendapat senada:
ﻟَﺎ ﻳُﻌْﺬَﺭُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺑِﺎﻟْﺠَﻬْﻞِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺴُّﻜْﺮِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺘَّﻬَﻮُّﺭِ ﻭَﻟَﺎ ﺑِﺪَﻋْﻮَﻯ ﺯَﻟَﻞِ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ .
_Siapapun tidak dianggap uzur dalam mengucapkan kekufuran, dengan alasan ketidaktahuan, dalam kondisi mabuk, banyaknya perkataan sehingga tidak terkontrol atau dengan dalih terpelesetnya lisan._
Sementara di kalangan Syafi’iyyah, dua ulama yang sering berbeda ijtihad, Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w. 1004 H), dalam kasus ini justru sepakat, bahwa terpelesetnya lisan dalam mengucapkan kekufuran/penistaan terhadap agama tidak menyebabkannya menjadi kafir. Dalam Nihayah al-Muhtaj (VII/414), penulis yang dijuluki as-Syafi’i as-Shaghir menyatakan:
( ﺃَﻭْ ﻗَﻮْﻝِ ﻛُﻔْﺮٍ ‏) ﻋَﻦْ ﻗَﺼْﺪٍ ﻭَﺭَﻭِﻳَّﺔٍ، ﻓَﻠَﺎ ﺃَﺛَﺮَ ﻟِﺴَﺒْﻖِ ﻟِﺴَﺎﻥٍ ﺃَﻭْ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩٍ ...
Atau memutus Islam dengan ucapan kufur dari kesengajaan dan kesadaran penuh, maka ucapan kufur yang muncul karena terpelesetnya lisan atau keterpaksaan, sama sekali tidak menyebabkan kekufuran ...
Dalam Tuhfah al-Muhtaj(IX/81-82) Ibn Hajar menegaskan:
( ﺃَﻭْ ﻗَﻮْﻝِ ﻛُﻔْﺮٍ ‏) ﻋَﻦْ ﻗَﺼْﺪٍ ﻭَﺭَﻭِﻳَّﺔٍ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﻔْﻬِﻤُﻪُ ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﺍﻟْﺂﺗِﻲ ﺍﺳْﺘِﻬْﺰَﺍﺀً ﺇﻟَﺦْ، ﻓَﻠَﺎ ﺃَﺛَﺮَ ﻟِﺴَﺒْﻖِ ﻟِﺴَﺎﻥٍ ﺃَﻭْ ﺇﻛْﺮَﺍﻩٍ ...
_Atau memutus Islam dengan ucapan kufur dari kesengajaan dan kesadaran penuh,―sebagaim
ana ungkapan penulis berikutnya yang memberi pemahaman seperti itu, yaitu ucapannya: ‘karena bermaksud meremehkan’―, maka ucapan kufur yang muncul karena terpelesetnya lisan atau keterpaksaan, sama sekali tidak menyebabkan kekufuran ..._
Semuanya ini bila pelakunya adalah muslim. Lalu bagaimana bila pelakunya non muslim?
Dalam kutipan Ismail Haqqi )w. 1127 H) dalam Ruh al-Bayan (III/299), menurut Imam as-Syafi’i, bila pelakunya tidak masuk Islam, maka dihukum mati tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebab, dalam kondisi seperti itu ia tidak berhak diberi jaminan keamanan, baik berupa akad zimmah maupun akad 'ahd. Ini menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, at-Tsauri dan ulama kota Kuffah yang menjadi pengikutnya, pelakunya tersebut tidak dihukum mati, namun hanya dita'zir dan direhabilitasi. Ismail Haqqi merilis kutipannya:
ﻓِﻲ ﻫَﺪِﻳَّﺔُ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ : ﺍَﻟﺬِّﻣِّﻲِّ ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺮَّﺡَ ﺑِﺴَﺒِّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﺃَﻭْ ﻋَﺮَﺽَ ﺃَﻭِ ﺍﺳْﺘَﺨَﻒَّ ﺑِﻘَﺪْﺭِﻩِ ﺃَﻭْ ﻭَﺻَﻔَﻪُ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻛَﻔَﺮَ ﺑِﻪِ، ﻓَﻠَﺎ ﺧِﻠَﺎﻑَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻓِﻲ ﻗَﺘْﻠِﻪِ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﺴْﻠِﻢْ . ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺬِّﻣَّﺔُ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻌَﻬْﺪُ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺬَﺍ . ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻝُ ﻋَﺎﻣَّﺔِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ، ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥَّ ﺃَﺑَﺎ ﺣَﻨِﻴﻔَﺔَ ﻭَﺍﻟﺜَّﻮْﺭِﻱَّ ﻭَﺃَﺗْﺒَﺎﻋَﻬُﻢَﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻜُﻮﻓَﺔِ . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻟَﺎ ﻳُﻘْﺘَﻞُ، ﻟِﺄَﻥَّ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ ﺃَﻋْﻈَﻢُ، ﻟَﻜِﻦْ ﻳُﻌْﺰَﺭُ ﻭَﻳُﺆَﺩَّﺏُ .
_Dalam kitab Hadiyyah al-Mahdiyyin_: ‘Non muslim zimmi ketika terang-terangan mencela Nabi Muhammad ’alaihis salam, mengganggu atau meremehkan derajatnya, atau menyifatinya dengan sifat selain sifat yang menyebabkan kekufurannya, maka menurut as-Syafi’i tidak ada perbedaan pendapat dalam memberinya hukuman mati bila ia tidak masuk Islam. Sebab, akad zimmah dan akad ‘ahd tidak diberikan kepadanya pada kondisi seperti itu. Ini juga menjadi pendapat mayoritas ulama, selain Abu Hanifah, at-Tsauri dan para pengikut mereka di kota Kufah. Mereka berpendapat bahwa non muslim zimmi tersebut tidak dihukum mati, sebab kesyirikan yang ada padanya lebih besar (daripada perbuatannya tersebut), namun ia dita’zir dan direhabilitasi._
Demikian sekelumit silang pendapat di kalangan ulama terkait konsekuansi penistaan agama. Wajar-wajar saja bukan? _Wallahu ‘a’lam bis shawab._