Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan
seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang
penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas
rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah
dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan
bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai
saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini
disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan
mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah
Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo,
seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan
santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan
‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo
dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu
dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu
Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen
meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa
Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja
(Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial
Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi
(paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton.
Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari
Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena
Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak
akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan
pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini
untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua
orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan
Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang
berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan
tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan
Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro
dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi
ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk
mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan
yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran
Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran
Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat.
Strategi perang gerilya yang dipergunakan
oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh
kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang
dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal
perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat
mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia.
Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk
mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan
Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia
Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di
Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan
Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin
oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari
Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan
Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan
Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan
persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda
me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh
Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar
pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro
telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan
Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan
Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan
Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda
terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda
untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda
mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan
Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro
di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku
Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda
Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat
Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung
Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa,
pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong,
markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa
mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi,
dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7
Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi
surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan
bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi,
dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock
diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825.
Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya
dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi
karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang
dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang
diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan
kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock
sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan
pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan
lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade
pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan
pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta
menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono
V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan
pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi
juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas,
Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas,
menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan.
Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan
kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas
besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan
Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826)
pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan
berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke
daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos
dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.
Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial
Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang
didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran
yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi
Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan
Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai
kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan
se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng
itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa;
hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah
operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini
menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.
Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh
Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul,
Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede,
Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah
timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban,
Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistim benteng ini memang dapat
melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah
berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara
psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.
Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick
von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran
Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih
kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.
Penyerahan Pangeran Natapraja dan
Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab
dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan
daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah
dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di
medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak
menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta
telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah
pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda.
Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan
Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai
Begowonto.
Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha
diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan
diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah
pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan
Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di
Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu
hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan
oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya
syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk
memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima
oleh Kiai Mojo.
Perundingan yang gagal pada bulan Agustus
1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran
antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di
daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer
Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan
kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara
kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh
Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa,
sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira.
Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan
syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat
ditentang delegasi Belanda.
Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti
oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan
Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan
Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober
1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan
Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya
berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn
berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga
memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah
pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota
Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah
kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar
Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah
Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah
payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi
ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan,
termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di
kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas
besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih
mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau
daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di
selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena
daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer,
diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28
April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20
orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan
Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu
itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan
Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat
adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh
Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan
meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah
Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil
memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya
pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil
mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan
menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha
berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah
Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828.
Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan
Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi
banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda
diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit,
pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga
kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam
itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga
dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan
pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan
gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan
berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta.
Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir
gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828,
dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.
Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo
beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti
oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan
Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit
Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan
akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji
dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan
perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran
ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan
nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang
dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak
oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan
pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap
dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang
lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai
Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50
pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai
Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan
pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai
Badren, Kiai Kasan Basari.
Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke
Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock.
Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk
kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya
diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang
lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
Pada awal Januari 1829, Komisaris
Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai
Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya
di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas
per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda
dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang
berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan
Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam,
serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang
berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah
(Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar
pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin
selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda
mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock
mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti
oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang
isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan
pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De
Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda
kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai.
Taktik licik Belanda ini mempengaruhi
pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan
Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat
diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan
Ramadhan.
Dalam kesempatan gencatan senjata ini
Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada
beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran
Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh
tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata berjalan tiga
bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran
dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di
antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh
Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di
Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor
Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada
bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan
pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan
tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De
Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan
kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang
menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak
lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan
Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah.
Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan
para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh
pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have.
Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi
bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi
dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah
menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan
dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran
Belanda.
Operasi militer untuk menangkap Pangeran
Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak
berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah
menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran
Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan
usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang
terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan
berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28
Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan
operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di
desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah
pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van
Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger.
Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh
pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai
syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.
Operasi militer terus ditingkatkan oleh
Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro,
sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom
dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn.
Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan
semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh
Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika
Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat
Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak
berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro.
Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah
dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan
pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan
pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi,
pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3
Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di
kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi
militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari
Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat
dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan dengan operasi militer Belanda
yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh,
sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah
kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman.
Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan
Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan
Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan
banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh
yaitu Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi militer yang
ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7
Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk
keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari
Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi)
beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada
Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang
makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda,
kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan
lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada
Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan
Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada
tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang
sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung
Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9
September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak
40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829 atas nama
pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman
tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau
mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang
berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia
Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai
seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan
hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds)
dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”.
Pengumuman yang menyayat hati ini belum
lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama
dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan
yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang
Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas
Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta
rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi
Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran
Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk
membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran
Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda.
Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa
oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan
Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan
pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang
Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara
berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran
Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng
Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan
Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di
sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah,
panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan.
Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan
saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya.
Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada
permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah
cukup berat; yaitu:
(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-inenawar syarat-syarat ini
dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali
basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu
untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20
Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada
Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha
me¬nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali
apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut
membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan
hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah
sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama
makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus
disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat
jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber
1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan
keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus
dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat
sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin
mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia
Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi
syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada
Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £
5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah
serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau
secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat
lain¬nya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal
23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk
menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan
pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock
dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi,
Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai
Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis
Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami
oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya
sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi
yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran
sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati
di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya Alibasah dengan
pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan
pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi
itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro
yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa
yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang
komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga;
Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta
pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi
kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti
Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa
pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari
1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh
pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih
Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa
dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas
tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha
perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab
pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara
Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda
dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah
Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat
dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus
dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia;
setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada
saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De
Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di
Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan,
gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih
terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh
karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan
pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang,
markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan
Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De
Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba.
Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan
perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk
melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro
dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai
perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah
bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri,
Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang
sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan
pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan
membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan
perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De
Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron
dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang
dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah.
Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya
harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan
akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam
07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk
memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba.
Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan
pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi
Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki
gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal
De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal
De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu
Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah
Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock
disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers
dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor
Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan
mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang
lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung
keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana
telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali
berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan
pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh
kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada
di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika
terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat
langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut
Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada
babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung
memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi
tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi
perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro
terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya
tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu
dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu
jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah
Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”
Ketika pihak Jenderal De Kock terus
mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro
selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan
tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di
bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”.
Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak
mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu
De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat
dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama
akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda
sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk
mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan
rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk
menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock
berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan
marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat,
karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke
tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan
kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab:
“Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”
Tiba-tiba Jenderal De Kock
menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk
menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti.
Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah
ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke
dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan
pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat
menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk
selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro
beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang
dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam
pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan
stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855
Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa
tawanan selama duapuluh lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh
patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang
Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan
berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah
yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang
Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi
dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro
sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan
dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya
telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam
di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro
dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi
karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan,
perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar
membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik
dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat,
ternyata telah menjadi watak kepribadian pe¬nguasa kolonial
Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun
Belanda-Kristen Protestan.
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/01/perang-jawa-3-1825-1830-perjuangan-islam-melawan-penjajah/