Taufiq
Ismail dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri ikut
aktif dalam demonstrasi mahasiswa untuk menumbangkan Orde Lama pada
tahun 1965. Puisi-puisi yang menggambarkan peristiwa demonstrasi itu
dikumpulkan dalam buku Tirani (1966) dan Benteng
(1966), (Waluyo, 2003:122). Jadi hakikat puisi, khususnya puisi yang
dijadikan objek ini salah satunya merupakan representasi dari diri
penyair, yaitu Taufiq Ismail.
Ketika
Taufiq Ismail mulai menulis kumpulan puisi dalam “Tirani” pada sekitar
tahun 1966, gejolak antara relasi politik dan sastra masih banyak
diperbincangkan. Kata "tirani" berasal kata “tiran” dalam bahasa Yunani
bermakna seorang aristokrat pada zaman dahulu di Yunani dan tirani
sendiri merupakan model kekuasaan yang dipegang oleh satu penguasa yang
tiran atau semena-mena. Taufik mungkin sudah paham akan konsekuensi
terhadap dirinya apabila membuat sajak-sajak yang beraliran demonstrasi
politik. Adapun kumpulan puisi Tirani yang secara general mengandung nuansa yang sama, yaitu pada puisi Kita Adalah Pemilik Sah Republik ini, Dari Catatan Seorang Demonstran, Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya merupakan
beberapa puisi yang bernuansa demonstrasi dan mengimplikasi hegemoni
perjuangan, sedangkan potret pengorbanan tergambar pada kumpulan puisi
“Tirani” yang berjudul Karangan Bunga, Depan Sekretariat Negara, dan lain sebagainya.
Berikut merupakan sajak-sajak puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail :
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
(Tirani, 1966)
Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah”
karya Taufiq Ismail ini mengandung makna yang sangat dalam. Jika
benar-benar diresapi, puisi tersebut mengandung sebuah potret
pengorbanan dari para pejuang dan mengimplikasi hegemoni untuk
melanjutkan perjuangan. Disamping itu keunikan pemilihan kata dan
penyimbolan-penyimbolan yang terdapat dalam puisi tersebut menarik untuk
dikaji agar mampu memperoleh makna yang bulat.
Sesuai
judul artikel ini yaitu “Implikasi Hegemoni Perjuangan dan Potret
Pengorbanan”, maka penulis mengungkapkan definisi dari masing-masing
kata berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata “hegemoni” bermakna
pengaruh kepemimpinan, dominasi kekuasaan. Kata “perjuangan” adalah
usaha yg penuh dengan kesukaran dan bahaya. Dan kata “pengorbanan”
memiliki arti proses memberikan sesuatu sebagai pernyataan kebaktian,
kesetiaan. Sedangkan kata “implikasi” bermakna keterlibatan atau keadaan
terlibat, dan kata “potret” merupakan sebuah gambaran atu lukisan.
Hegemoni
adalah proses penciptaan, perawatan, dan reproduksi makna dan praktik
yang menguasai kehidupan masyarakat. Hegemoni berakibat kepada situasi
di mana satu kelompok yang berkuasa menggunakan autoritas sosial dan
kepemimpinan terhadap kelompok-kelompok subordinat lewat kemenangan
konsensus, tanpa harus melalui ancaman fisik. (Santoso, 2007)
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat difokuskan analisis puisi “Sebuah Jaket
Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail dengan kajian terhadap potret
pengorbanan dan perjuangan yang tergambar dalam puisi tersebut, serta
sejauh mana seruan perjuangan tersebut mampu menghegemoni pembaca untuk
mengimplikasikannya.
**
Puisi
“Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail merupakan puisi yang
memiliki banyak jenis berdasarkan berbagai sudut pandang makna yang
terkandung dari macam-macam puisi. Puisi ini termasuk puisi elegi karena
mengungkapkan perasaan duka dan berisi ratapan-ratapan penyair. Disini
penyair menceritakan pengalamannya yang banyak menemui rintangan dan
hambatan dalam berjuang. Dari sajak-sajak berikut inilah tampak sebuah
potret pengorbanan yang disampaikan penyair.
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
....................
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Selain
itu puisi ini juga berjenis demonstrasi karena secara tidak langsung
mengajak pembaca untuk melakukan dan meneruskan perjuangan agar tidak
semata-mata terhenti oleh kematian, sajak-sajak tersebut secara tidak
langsung dapat menghegemoni rakyat Indonesia untuk bersatu membangun
kekuatan politik agar dapat melakukan revolusi ke arah yang lebih baik,
berikut bait yang menggambarkan hegemoni perjuangan agar diimplikasikan.
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
.................
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
Implikasi
Hegemoni Perjuangan dan Potret Pengorbanan dalam Puisi “Sebuah Jaket
Berlumur Darah” Tergambar pada Struktur Fisik dan Struktur Batin
Karya
sastra yang bermutu merupakan penafsiran kehidupan. Sebuah karya sastra
dihargai karena ia berhasil menunjukkan segi-segi baru dari kehidupan
yang kita kenal sehari-hari. Karya sastra bukan bertugas mencatat
kehidupan sehari-hari, tetapi menafsirkan kehidupan itu, memberikan
arti kepada kehidupan itu agar kehidupan tetap berharga dan lebih
memanusiakan manusia. (Sumardjo dan Saini, 1997)
Unsur-unsur
puisi tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan sebuah struktur.
Seluruh unsur merupakan kesatuan, unsur yang satu dengan unsur yang
lainnya menunjukkan hubungan keterjalinan satu dengan yang lainnya.
Puisi terdiri atas dua struktur yaitu struktur fisik dan struktur batin.
(Waluyo, 1987: 29)
Pada
struktur batin puisi terdapat diksi, yaitu pilihan kata yang dipilih
oleh penyair dalam puisinya. Diksi puisi “Sebuah Jaket Berlumur darah”
sangatlah unik dan sarat makna, terlihat dari judul puisinya saja sudah
menggambarkan sebuah penderitaan dan pengorbanan, yaitu sebuah
perjuangan yang dilumuri darah pada ujungnya. Penyair memilih kata /jaket/
di sini menunjukkan sebuah identitas atau almamater dari mahasiswa,
karena sebelum puisi ini tercipta telah terjadi demonstrasi
besar-besaran oleh mahasiswa yang memperjuangkan negara dari ancaman
penguasa tiran, yaitu PKI. Kata /darah/ mengindikasikan adanya perjuangan yang besar. Pada sajak /duka yang agung/ dan /kepedihan bertahun-tahun/
dapat disimpulkan bahwa adanya rasa duka dan rasa sakit yang mendalam
dan sudah lama tersimpan serta bisa diartikan bahwa potret kejadian
tersebut telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Pada bait selanjutnya penyair menggunakan kalimat /Sebuah sungai membatasi kita/, disini dapat dibayangkan adanya pembatas atau hambatan dalam berjuang, dilanjutkan sajak /Di bawah terik matahari Jakarta/ mengindikasikan kejadian tersebut terjadi pada pagi atau siang hari di kota Jakarta. /Antara penindasan dan kebebasan/
dalam hal ini penyair menyuguhkan dua kata yang berlawanan, sehingga
lebih tampak perjuangan yang sebenarnya. Sajak yang digunakan
selanjutnya /Berlapis senjata dan sangkur baja/ yang bisa memperkuat bahwa hambatan /sungai/ adalah orang-orang yang bersenjata dan bersangkur baja, yaitu aparat keamanan dan kepolisian.
Pada
bait berikutnya penyair mulai mengimplikasi hegemoni pada pembaca agar
bisa mengerti dan merenung bahsawanya jika kita mundur atau meninggalkan
perjuangan ini, maka kita akan menjadi pengecut karena selamanya
dijajah oleh tirani dan ketidakadilan kekuasaan. Hal ini tercermin dalam
pemilihan tata bahasa dalam bait /Akan mundurkah kita sekarang/,
/Seraya, mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’/, /Berikrar setia
kepada tirani/, /Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?/.
Bait keempat terdapat kata /spanduk kumal/ yang
mengisyaratkan adanya spanduk-spanduk atau slogan-slogan dari para
pejuang, yaitu mahasiswa yang tersebar luas berisi kritik politik
kekuasaan dan pemberantasan ketidakadilan. Dan kalimat /Menunduk bendera setengah tiang/
menunjukkan simbol adanya penghormatan tertinggi atas pejuang yang
mengalami kematian atau gugur dalam perjuangan. Dilanjutkan pada bait
terakhir diakhiri dengan baris /LANJUTKAN PERJUANGAN/, penggunaan huruf kapital mengindikasikan adanya penegasan dan memperkuat statement
perjuangan, yaitu melanjutkan perjuangan dari pahlawan yang telah
gugur, meskipun akan menghadapi resiko dan halangan. Sedangkan untuk
penggunaan kata /kami/ dan /mereka/ merupakan simbol
dari masyarakat secara universal dari berbagai lapisan, karena penyair
mungkin beranggapan bahwa perjuangan merupakan milik dan hak semua
orang.
Struktur
batin selanjutnya adalah citraan atau pengimajian merupakan kata atau
serangkaian kata yang diungkapkan oleh penyair berdasarkan pengalaman
indrawi atau panca indra. Pengimajian dalam puisi dibagi menjadi tiga,
yaitu imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif), dan imaji
cita rasa-sentuh-raba (taktil). (Waluyo, 1987)
Dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” penyair banyak menggunakan imaji visual seperti kalimat /Kami semua menatapmu/
yang berada pada bait pertama dan terakhir lebih mampu menghadirkan
potret atau gambaran dari sebuah pengorbanan dan perjuangan yang memang
benar-benar terlihat dengan panca indera. Selanjutnya pada kalimat /Spanduk kumal itu/, /Ya spanduk itu/ telihat
bahwa penyair melihat sebuah spanduk yang sudah lama terpasang hingga
kumal, sehingga dapat ditarik makna bahwa perjuangan ini sudah lama
ditegakkan. Dalam kalimat /Melalui kendaraan yang melintas/, /Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan/ menunjukkan
bahwa penyair melihat kendaraan, abang beca, dan kuli-kuli pelabuhan,
sehingga lebih meyakinkan bahwa kejadian itu faktual dan disaksikan oleh
orang-orang tersebut.
Disamping itu puisi ini juga menyuguhkan imaji auditif seperti pada kalimat /Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa/, /Mereka berkata/, /Semuanya berkata/, /LANJUTKAN PERJUANGAN!/, penyair
mendengar teriakan-teriakan dan seruan untuk berjuang dengan keras dan
semangat sehingga seruan perjuangan dalam puisi tersebut mampu
mengimplikasi hegemoni pembaca untuk melakukan perjuangan terhadap
bangsa dengan berevolusi ke arah yang lebih baik.
Imaji yang terakhir dalam puisi ini adalah imaji rasa atau perasaan yang terdapat pada kalimat /Telah berbagi duka yang agung/, /Dalam kepedihan bertahun-tahun/, sudah
jelas bahwa penyair ingin menggambarkan perasaan duka dan kepedihan
yang beralut-larut sehingga potret pengorbanan jiwa dan raga sungguh
terasa jelas.
Kata
konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang.
Terdapat beberapa kata konkret dalam puisi karya Taufiq Ismail ini,
diantaranya ada kata /jaket/ yang bermakna sebuah identitas atau almamater mahasiswa. Kata /sungai/ merupakan simbol dari aparat keamanan atau kepolisian yang menghambat pemberontakan. Frase /bendera setengah tiang/
melambangkan kematian atau keguguran. Penggunaan simbol-simbol diatas
dimungkinkan agar pembaca lebih bisa menggali makna-makna yang
tersembunyi dibalik kata-kata puisi yang singkat dan padat dan tersirat
potret pengorbanan dan perjuangan yang sesungguhnya.
Versifikasi
yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi
pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Ritma adalah
tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi, (Abdurrosyid,
2009). Dalam puisi ini terdapat beberapa pengulangan kata, seperti pada
kalimat /Spanduk kumal itu/, /Ya spanduk itu/, kata “spanduk”
diulang dua kali untuk memperkuat keberadaan spanduk-spanduk yang berisi
perlawan terhadap kekuasaan. Dan pengulangan juga terdapat pada kata /mereka berkata/, /semuanya berkata/,
hal ini menunjukkan bahwa penyair memang mempertegas kata “berkata”
yang artinya semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali menyerukan kata
perjuangan sehingga mampu menghegemoni pembaca untuk membayangkan
gentingnya dan menggebu-gebunya perjuangan pada saat itu agar mampu
mengimplikasi hegemoni perjuangan pada pembaca.
Metrum
adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola
tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan
tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun itu
tetap saja. (Pradopo, 2005:40). Metrum dalam puisi “Sebuah Jaket
Berlumur Darah” mempunyai tekanan keras dan tekanan lemah. Pada
bait-bait pertama bertekanan lemah karena lebih bernuansa kesedihan dan
keharuan atas gugurnya seorang pahlawan, namun pada bait-bait terakhir
mempunyai tekanan yang keras karena tampak sindiran dan seruan untuk
melanjutkan perjuangan.
Tipografi
yang disajikan memang sengaja dibuat biasa dan sederhana agar terkesan
lebih serius sehingga gagasan bisa diungkapkan secara langsung.
Penyajian tipografinya rata kiri biasa dan tidak ada tipografi khusus
yang menarik dalam puisi tersebut. Jumlah baris tiap bait bervariasi.
Tipografi yang sederhana ini menunjukkan keseriusan penyair dalam
menyampaikan implikasi hegemoni perjuangan dan potret pengorbanan yang
tergambar dalam puisi tersebut sehingga pembaca hanya terfokus pada
kandungan makna dalam diksi dan lain-lain, jadi tipografi bukan menjadi
prioritas penyair dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah”.
Selain
ditanamkan dalam struktur fisik, Taufiq Ismail juga menanamkan
implikasi hegemoni perjuangan dan potret pengorbanan yang tergambar pada
struktur batin dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” seperti yang
terdapat pada tema. Tema adalah gagasan pokok atau subject matter
yang diungkapkan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu
begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama
pengucapannya. Puisi ini bertemakan patriotisme dan nasionalisme yang
tergambar dalam perjuangan dan pengorbanan golongan tertentu. Jaket berlumur darah
sebagai objek menggambarkan semangat perjuangan yang tiada berakhir
sampai menumpahkan darah untuk memperjuangkan sebuah kebebasan dan
kesejahteraan. Disamping itu puisi ini juga bertemakan protes atau
kritik sosial, karena penyair yang ikut serta merasakan luapan emosi
perjuangan pada saat itu terinspirasi dan terdorong untuk memotret
peristiwa demontrasi mahasiswa untuk memperotes kesewenangan dan
penindasan yang dilakukan oleh penguasa yang tiran, yaitu PKI.
Selain
tema, struktur batin yang lain adalah perasaan. Pada hakikatnya dalam
menciptakan puisi, suasana penyair ikut diekspresikan dan harus dapat
dihayati oleh pembaca. Pengungkapan rasa erat kaitannya dengan latar
belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang
pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan.
Dari
segi perasaan penyair, penyair seolah-olah memiliki perasaan yang
menggebu-gebu untuk menyalurkan semangat perjuangan agar pembaca
terhegemoni untuk melanjutkan perjuangan dari para pahlawan yang gugur.
Dan pada hakikatnya penyair merupakan aktivis dalam demontrasi
mahasiswa, jadi kejadian yang diceritakan pada puisi tersebut sudah
menyatu dalam diri dan emosi penyair. Dari segi perasaan pembaca,
pembaca dapat mengaitkan diksi yang dipilih oleh penyair dengan realitas
yang ada pada masa lampau, potret pengorbanan dan perjuangan yang
divisualisasikan dalam bentuk puisi mampu menghegemoni pembaca untuk
berimplikasi dalam melanjutkan perjuangan yang telah lama disuarakan
oleh para pejuang yang gugur pada saat itu.
Herman
Waluyo dalam “Teori dan Apresiasi Puisi” mengatakan bahwa nada
merupakan sikap penyair terhadap pembaca, dan nada juga mempunyai
relevansi dengan tema dan perasaan. Adapun suasana adalah keadaan jiwa
pembaca setelah membaca puisi itu, dengan kata lain ialah akibat
psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Taufiq Ismail
menyampaikan tema puisi ini dengan nada yang sedih dan terharu dalam
memotret kejadian yang menimpa dirinya dan para pejuang yang
mengorbankan semuanya untuk melawan ketidakbenaran serta bernada marah
dan emosi kepada pemerintahan yang tiran. Penyair juga bernada tegas
mengimplikasi pembaca agar terhegemoni untuk bekerja sama membangun
semangat dalam melanjutkan perjuangan. Melalui puisi ini penyair dapat
menyadarkan masyarakat akan ketertindasannya sehingga timbul semangat
emansipatoris.
Suasana
yang ditimbulkan jika membaca puisi ini ialah rasa keprihatinan dan
kebanggaan atas pengorbanan yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut
sampai terjadi pertumpahan darah. Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah”
ini mampu membangkitkan semangat untuk berani melawan kekuasaan,
terlihat penyair menceritakan kejadian demonstrasi dalam puisi tersebut
yang kurang berhasil karena aparat dan kekuasaan yang sulit terkalahkan
sehingga mengakibatkan keguguran. Alhasil dari nada puisi, penyair
tersebut mampu mempengaruhi pembaca untuk terlibat dalam melanjutkan
perjuangan para demonstran tersebut.
Amanat
merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya karena
kebanyakan penyair mempunyai kepentingan atau maksud tertentu dalam
menciptakan puisi untuk disampaikan terhadap pembaca. Amanat tersirat
dibalik kata-kata yang disusun dan juga berada dibalik tema yang
diungkapkan. Adapun amanat yang ingin disampaikan oleh Taufiq Ismail
dalam puisinya “Sebuah Jaket Berlumur Darah” adalah “Lanjutkan
perjuangan dan jangan menyerah untuk melawan penindasan dan kesewenangan
oleh penguasa tiran. Kebebasan dan kemakmuran rakyat itu harus
diperjuangkan walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Dan gugur dalam
berjuang itu sangatlah mulia dan pantas untuk kita sebut sebagai sang
pahlawan”.
Seruan Perjuangan Taufiq Ismail dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” Dapat Mengimplikasi Hegemoni Pembaca
Dalam
puisi ini Taufiq Ismail berusaha melakukan komunikasi dengan para
pembaca melalui sajak-sajaknya yang berisi perjuangan sebuah kelompok
yang memiliki satu paham atau doktrin dengan dirinya. Taufiq Ismail
sengaja menggunakan kata ganti “mereka dan kami” yang merupakan kata
ganti jamak yang bersifat universal, karena pada saat itu penyair
berada pada satu ikatan perjuangan dengan kelompoknya. Hal ini secara
sadar atau tidak sadar mampu menghegemoni pembaca agar mengimplikasikan
dirinya untuk berjuang dalam satu ikatan universal dalam menggapai satu
tujuan tertentu.
Disamping itu, dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” penyair menggunakan dua kata perjuangan yaitu dalam kalimat /Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan/ dan /LANJUTKAN PERJUANGAN/.
Hal ini mempunyai makna yang sangat mendalam jika benar-benar dihayati.
Makna kata ‘perjuangan’ yang pertama menunjukkan berhentinya perjuangan
yang dilakukan oleh pahlawan yang gugur pada saat itu, namun juga
mempunyai makna sindiran terhadap masyarakat bahwa kematian sang
pahlawan bukan merupakan terhentinya perjuangan kita sebagai masyarakat
yang bisa seenaknya ditindas oleh kekuasaan, karena kalimat selanjutnya
yang bermakna “akankah kita tetap menjadi pelayan atau buruh yang
diperalat oleh penguasa tiran?” memperkuat sindiran tersebut. Dari
kalimat yang sarat makna tersebut pembaca pasti tersindir dan tidak akan
mau menjadi pecundang yang tidak mendapat kebebasan sehingga secara
tidak sadar akan terhegemoni berjuang akibat seruan perjuang penyair.
Selanjutnya kata ‘PERJUANGAN’ kedua yang menggunakan huruf kapital sudah
jelas akan adanya penegasan dan seruan dengan sangat untuk melanjutkan
perjuangan dan perjuangan tidak boleh berhenti hanya karena gugurnya
para pejuang dan penggunaan kata ‘perjuangan’ ini sedikit banyak akan
berdampak pada psikologis pembaca sehingga akan memancing emosi dan
semangat pembaca untuk memperjuangkan apa yang selama ini tengah
diperjuangkan.
suber : http://ayu-candra-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-85997-Umum-IMPLIKASI%20HEGEMONI%20PERJUANGAN%20DAN%20POTRET%20PENGORBANAN%20DALAM%20PUISI%20%E2%80%9CSEBUAH%20JAKET%20BERLUMUR%20DARAH%E2%80%9D%20%20KARYA%20TAUFIQ%20ISMAIL.html