sajak-sajak puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail

Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri ikut aktif dalam demonstrasi mahasiswa untuk menumbangkan Orde Lama pada tahun 1965. Puisi-puisi yang menggambarkan peristiwa demonstrasi itu dikumpulkan dalam buku Tirani (1966) dan Benteng (1966), (Waluyo, 2003:122). Jadi hakikat puisi, khususnya puisi yang dijadikan objek ini salah satunya merupakan representasi dari diri penyair, yaitu Taufiq Ismail.

Ketika Taufiq Ismail mulai menulis kumpulan puisi dalam “Tirani” pada sekitar tahun 1966, gejolak antara relasi politik dan sastra masih banyak diperbincangkan. Kata "tirani" berasal kata “tiran” dalam bahasa Yunani bermakna seorang aristokrat pada zaman dahulu di Yunani dan tirani sendiri merupakan model kekuasaan yang dipegang oleh satu penguasa yang tiran atau semena-mena. Taufik mungkin sudah paham akan konsekuensi terhadap dirinya apabila membuat sajak-sajak yang beraliran demonstrasi politik. Adapun kumpulan puisi Tirani yang secara general mengandung nuansa yang sama, yaitu pada puisi Kita Adalah Pemilik Sah Republik ini, Dari Catatan Seorang Demonstran, Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya merupakan beberapa puisi yang bernuansa demonstrasi dan mengimplikasi hegemoni perjuangan, sedangkan potret pengorbanan tergambar pada kumpulan puisi “Tirani” yang berjudul Karangan Bunga, Depan Sekretariat Negara, dan lain sebagainya.

Berikut merupakan sajak-sajak puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail :

Sebuah Jaket Berlumur Darah

 

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai ke mana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN!

(Tirani, 1966)

 

Puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufiq Ismail ini mengandung makna yang sangat dalam. Jika benar-benar diresapi, puisi tersebut mengandung sebuah potret pengorbanan dari para pejuang dan mengimplikasi hegemoni untuk melanjutkan perjuangan. Disamping itu keunikan pemilihan kata dan penyimbolan-penyimbolan yang terdapat dalam puisi tersebut menarik untuk dikaji agar mampu memperoleh makna yang bulat.

Sesuai judul artikel ini yaitu “Implikasi Hegemoni Perjuangan dan Potret Pengorbanan”, maka penulis mengungkapkan definisi dari masing-masing kata berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata “hegemoni” bermakna pengaruh kepemimpinan, dominasi kekuasaan. Kata “perjuangan” adalah usaha yg penuh dengan kesukaran dan bahaya. Dan kata “pengorbanan” memiliki arti proses memberikan sesuatu sebagai pernyataan kebaktian, kesetiaan. Sedangkan kata “implikasi” bermakna keterlibatan atau keadaan terlibat, dan kata “potret” merupakan sebuah gambaran atu lukisan.

Hegemoni adalah proses penciptaan, perawatan, dan reproduksi makna dan praktik  yang menguasai  kehidupan masyarakat. Hegemoni berakibat kepada situasi di mana satu kelompok yang berkuasa menggunakan autoritas sosial dan kepemimpinan  terhadap  kelompok-kelompok subordinat lewat kemenangan konsensus, tanpa harus melalui ancaman fisik. (Santoso, 2007)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat difokuskan analisis puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail dengan kajian terhadap potret pengorbanan dan perjuangan yang tergambar dalam puisi tersebut, serta sejauh mana seruan perjuangan tersebut mampu menghegemoni pembaca untuk mengimplikasikannya.

 

**

Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufiq Ismail merupakan puisi yang memiliki banyak jenis berdasarkan berbagai sudut pandang makna yang terkandung dari macam-macam puisi. Puisi ini termasuk puisi elegi karena mengungkapkan perasaan duka dan berisi ratapan-ratapan penyair. Disini penyair menceritakan pengalamannya yang banyak menemui rintangan dan hambatan dalam berjuang. Dari sajak-sajak berikut inilah tampak sebuah potret pengorbanan yang disampaikan penyair.

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
....................
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

 

Selain itu puisi ini juga berjenis demonstrasi karena secara tidak langsung mengajak pembaca untuk melakukan dan meneruskan perjuangan agar tidak semata-mata terhenti oleh kematian, sajak-sajak tersebut secara tidak langsung dapat menghegemoni rakyat Indonesia untuk bersatu membangun kekuatan politik agar dapat melakukan revolusi ke arah yang lebih baik, berikut bait yang menggambarkan hegemoni perjuangan agar diimplikasikan.

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

.................

Pesan itu telah sampai ke mana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN!

 

Implikasi Hegemoni Perjuangan dan Potret Pengorbanan dalam Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” Tergambar pada Struktur Fisik dan Struktur Batin

Karya sastra yang bermutu merupakan penafsiran kehidupan. Sebuah karya sastra dihargai  karena ia berhasil menunjukkan segi-segi baru dari kehidupan yang kita kenal sehari-hari. Karya sastra bukan bertugas mencatat kehidupan sehari-hari, tetapi  menafsirkan  kehidupan itu, memberikan arti kepada kehidupan itu agar kehidupan tetap berharga dan lebih memanusiakan manusia. (Sumardjo dan Saini, 1997)

Unsur-unsur puisi tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan sebuah struktur. Seluruh unsur merupakan kesatuan, unsur yang satu dengan unsur yang lainnya menunjukkan hubungan keterjalinan satu dengan yang lainnya. Puisi terdiri atas dua struktur yaitu struktur fisik dan struktur batin. (Waluyo, 1987: 29)

Pada struktur batin puisi terdapat diksi, yaitu pilihan kata yang dipilih oleh penyair dalam puisinya. Diksi puisi “Sebuah Jaket Berlumur darah” sangatlah unik dan sarat makna, terlihat dari judul puisinya saja sudah menggambarkan sebuah penderitaan dan pengorbanan, yaitu sebuah perjuangan yang dilumuri darah pada ujungnya. Penyair memilih kata /jaket/ di sini menunjukkan sebuah identitas atau almamater dari mahasiswa, karena sebelum puisi ini tercipta telah terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa yang memperjuangkan negara dari ancaman penguasa tiran, yaitu PKI. Kata /darah/ mengindikasikan adanya perjuangan yang besar. Pada sajak /duka yang agung/ dan /kepedihan bertahun-tahun/ dapat disimpulkan bahwa adanya rasa duka dan rasa sakit yang mendalam dan sudah lama tersimpan serta bisa diartikan bahwa potret kejadian tersebut telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Pada bait selanjutnya penyair menggunakan kalimat /Sebuah sungai membatasi kita/, disini dapat dibayangkan adanya pembatas atau hambatan dalam berjuang, dilanjutkan sajak /Di bawah terik matahari Jakarta/ mengindikasikan kejadian tersebut terjadi pada pagi atau siang hari di kota Jakarta. /Antara penindasan dan kebebasan/ dalam hal ini penyair menyuguhkan dua kata yang berlawanan, sehingga lebih tampak perjuangan yang sebenarnya. Sajak yang digunakan selanjutnya /Berlapis senjata dan sangkur baja/ yang bisa memperkuat bahwa hambatan /sungai/ adalah orang-orang yang bersenjata dan bersangkur baja, yaitu aparat keamanan dan kepolisian.

Pada bait berikutnya penyair mulai mengimplikasi hegemoni pada pembaca agar bisa mengerti dan merenung bahsawanya jika kita mundur atau meninggalkan perjuangan ini, maka kita akan menjadi pengecut karena selamanya dijajah oleh tirani dan ketidakadilan kekuasaan. Hal ini tercermin dalam pemilihan tata bahasa dalam bait /Akan mundurkah kita sekarang/, /Seraya, mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’/, /Berikrar setia kepada tirani/, /Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?/.

Bait keempat terdapat kata /spanduk kumal/ yang mengisyaratkan adanya spanduk-spanduk atau slogan-slogan dari para pejuang, yaitu mahasiswa yang tersebar luas berisi kritik politik kekuasaan dan pemberantasan ketidakadilan. Dan kalimat /Menunduk bendera setengah tiang/ menunjukkan simbol adanya penghormatan tertinggi atas pejuang yang mengalami kematian atau gugur dalam perjuangan. Dilanjutkan pada bait terakhir diakhiri dengan baris /LANJUTKAN PERJUANGAN/, penggunaan huruf kapital mengindikasikan adanya penegasan dan memperkuat statement perjuangan, yaitu melanjutkan perjuangan dari pahlawan yang telah gugur, meskipun akan menghadapi resiko dan halangan. Sedangkan untuk penggunaan kata /kami/ dan /mereka/ merupakan simbol dari masyarakat secara universal dari berbagai lapisan, karena penyair mungkin beranggapan bahwa perjuangan merupakan milik dan hak semua orang.

Struktur batin selanjutnya adalah citraan atau pengimajian merupakan kata atau serangkaian kata yang diungkapkan oleh penyair berdasarkan pengalaman indrawi atau panca indra. Pengimajian dalam puisi dibagi menjadi tiga, yaitu imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif), dan imaji cita rasa-sentuh-raba (taktil). (Waluyo, 1987)

Dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” penyair banyak menggunakan imaji visual seperti kalimat /Kami semua menatapmu/ yang berada pada bait pertama dan terakhir lebih mampu menghadirkan potret atau gambaran dari sebuah pengorbanan dan perjuangan yang memang benar-benar terlihat dengan panca indera. Selanjutnya pada kalimat /Spanduk kumal itu/, /Ya spanduk itu/ telihat bahwa penyair melihat sebuah spanduk yang sudah lama terpasang hingga kumal, sehingga dapat ditarik makna bahwa perjuangan ini sudah lama ditegakkan. Dalam kalimat /Melalui kendaraan yang melintas/, /Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan/ menunjukkan bahwa penyair melihat kendaraan, abang beca, dan kuli-kuli pelabuhan, sehingga lebih meyakinkan bahwa kejadian itu faktual dan disaksikan oleh orang-orang tersebut.

Disamping itu puisi ini juga menyuguhkan imaji auditif seperti pada kalimat /Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa/, /Mereka berkata/, /Semuanya berkata/, /LANJUTKAN PERJUANGAN!/, penyair mendengar teriakan-teriakan dan seruan untuk berjuang dengan keras dan semangat sehingga seruan perjuangan dalam puisi tersebut mampu mengimplikasi hegemoni pembaca untuk melakukan perjuangan terhadap bangsa dengan berevolusi ke arah yang lebih baik.

Imaji yang terakhir dalam puisi ini adalah imaji rasa atau perasaan yang terdapat pada kalimat /Telah berbagi duka yang agung/, /Dalam kepedihan bertahun-tahun/, sudah jelas bahwa penyair ingin menggambarkan perasaan duka dan kepedihan yang beralut-larut sehingga potret pengorbanan jiwa dan raga sungguh terasa jelas.

Kata konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Terdapat beberapa kata konkret dalam puisi karya Taufiq Ismail ini, diantaranya ada kata /jaket/ yang bermakna sebuah identitas atau almamater mahasiswa. Kata /sungai/ merupakan simbol dari aparat keamanan atau kepolisian yang menghambat pemberontakan. Frase /bendera setengah tiang/ melambangkan kematian atau keguguran. Penggunaan simbol-simbol diatas dimungkinkan agar pembaca lebih bisa menggali makna-makna yang tersembunyi dibalik kata-kata puisi yang singkat dan padat dan tersirat potret pengorbanan dan perjuangan yang sesungguhnya.

Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Ritma adalah tinggi rendah, panjang   pendek, keras lemahnya bunyi, (Abdurrosyid, 2009). Dalam puisi ini terdapat beberapa pengulangan kata, seperti pada kalimat /Spanduk kumal itu/, /Ya spanduk itu/, kata “spanduk” diulang dua kali untuk memperkuat keberadaan spanduk-spanduk yang berisi perlawan terhadap kekuasaan. Dan pengulangan juga terdapat pada kata /mereka berkata/, /semuanya berkata/, hal ini menunjukkan bahwa penyair memang mempertegas kata “berkata” yang artinya semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali menyerukan kata perjuangan sehingga mampu menghegemoni pembaca untuk membayangkan gentingnya dan menggebu-gebunya perjuangan pada saat itu agar mampu mengimplikasi hegemoni perjuangan pada pembaca.

Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun  suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. (Pradopo, 2005:40). Metrum dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” mempunyai tekanan keras dan tekanan lemah. Pada bait-bait pertama bertekanan lemah karena lebih bernuansa kesedihan dan keharuan atas gugurnya seorang pahlawan, namun pada bait-bait terakhir mempunyai tekanan yang keras karena tampak sindiran dan seruan untuk melanjutkan perjuangan.

Tipografi yang disajikan memang sengaja dibuat biasa dan sederhana agar terkesan lebih serius sehingga gagasan bisa diungkapkan secara langsung. Penyajian tipografinya rata kiri biasa dan tidak ada tipografi khusus yang menarik dalam puisi tersebut. Jumlah baris tiap bait bervariasi. Tipografi yang sederhana ini menunjukkan keseriusan penyair dalam menyampaikan implikasi hegemoni perjuangan dan potret pengorbanan yang tergambar dalam puisi tersebut sehingga pembaca hanya terfokus pada kandungan makna dalam diksi dan lain-lain, jadi tipografi bukan menjadi prioritas penyair dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah”.

Selain ditanamkan dalam struktur fisik, Taufiq Ismail juga menanamkan implikasi hegemoni perjuangan dan potret pengorbanan yang tergambar pada struktur batin dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” seperti yang terdapat pada tema. Tema adalah gagasan pokok atau subject matter yang diungkapkan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Puisi ini bertemakan patriotisme dan nasionalisme yang tergambar dalam perjuangan dan pengorbanan golongan tertentu. Jaket berlumur darah sebagai objek menggambarkan semangat perjuangan yang tiada berakhir sampai menumpahkan darah untuk memperjuangkan sebuah kebebasan dan kesejahteraan. Disamping itu puisi ini juga bertemakan protes atau kritik sosial, karena penyair yang ikut serta merasakan luapan emosi perjuangan pada saat itu terinspirasi dan terdorong untuk memotret peristiwa demontrasi mahasiswa untuk memperotes kesewenangan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa yang tiran, yaitu PKI.

Selain tema, struktur batin yang lain adalah perasaan. Pada hakikatnya dalam menciptakan puisi, suasana penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Pengungkapan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan.

Dari segi perasaan penyair, penyair seolah-olah memiliki perasaan yang menggebu-gebu untuk menyalurkan semangat perjuangan agar pembaca terhegemoni untuk melanjutkan perjuangan dari para pahlawan yang gugur. Dan pada hakikatnya penyair merupakan aktivis dalam demontrasi mahasiswa, jadi kejadian yang diceritakan pada puisi tersebut sudah menyatu dalam diri dan emosi penyair. Dari segi perasaan pembaca, pembaca dapat mengaitkan diksi yang dipilih oleh penyair dengan realitas yang ada pada masa lampau, potret pengorbanan dan perjuangan yang divisualisasikan dalam bentuk puisi mampu menghegemoni pembaca untuk berimplikasi dalam melanjutkan perjuangan yang telah lama disuarakan oleh para pejuang yang gugur pada saat itu.

Herman Waluyo dalam “Teori dan Apresiasi Puisi” mengatakan bahwa nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, dan nada juga mempunyai relevansi dengan tema dan perasaan. Adapun suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu, dengan kata lain ialah akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Taufiq Ismail menyampaikan tema puisi ini dengan nada yang sedih dan terharu dalam memotret kejadian yang menimpa dirinya dan para pejuang yang mengorbankan semuanya untuk melawan ketidakbenaran serta bernada marah dan emosi kepada pemerintahan yang tiran. Penyair juga bernada tegas mengimplikasi pembaca agar terhegemoni untuk bekerja sama membangun semangat dalam melanjutkan perjuangan. Melalui puisi ini penyair dapat menyadarkan masyarakat akan ketertindasannya sehingga timbul semangat emansipatoris.

Suasana yang ditimbulkan jika membaca puisi ini ialah rasa keprihatinan dan kebanggaan atas pengorbanan yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut sampai terjadi pertumpahan darah. Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” ini mampu membangkitkan semangat untuk berani melawan kekuasaan, terlihat penyair menceritakan kejadian demonstrasi dalam puisi tersebut yang kurang berhasil karena aparat dan kekuasaan yang sulit terkalahkan sehingga mengakibatkan keguguran. Alhasil dari nada puisi, penyair tersebut mampu mempengaruhi pembaca untuk terlibat dalam melanjutkan perjuangan para demonstran tersebut.

Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya karena kebanyakan penyair mempunyai kepentingan atau maksud tertentu dalam menciptakan puisi untuk disampaikan terhadap pembaca. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan. Adapun amanat yang ingin disampaikan oleh Taufiq Ismail dalam puisinya “Sebuah Jaket Berlumur Darah” adalah “Lanjutkan perjuangan dan jangan menyerah untuk melawan penindasan dan kesewenangan oleh penguasa tiran. Kebebasan dan kemakmuran rakyat itu harus diperjuangkan walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Dan gugur dalam berjuang itu sangatlah mulia dan pantas untuk kita sebut sebagai sang pahlawan”.

Seruan Perjuangan Taufiq Ismail dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” Dapat Mengimplikasi Hegemoni Pembaca

Dalam puisi ini Taufiq Ismail berusaha melakukan komunikasi dengan para pembaca melalui sajak-sajaknya yang berisi perjuangan sebuah kelompok yang memiliki satu paham atau doktrin dengan dirinya. Taufiq Ismail sengaja menggunakan kata ganti “mereka dan kami” yang merupakan kata ganti jamak yang bersifat universal, karena pada saat itu penyair  berada pada satu ikatan perjuangan dengan kelompoknya. Hal ini secara sadar atau tidak sadar mampu menghegemoni pembaca agar mengimplikasikan dirinya untuk berjuang dalam satu ikatan universal dalam menggapai satu tujuan tertentu.

Disamping itu, dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” penyair menggunakan dua kata perjuangan yaitu dalam kalimat /Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan/ dan /LANJUTKAN PERJUANGAN/. Hal ini mempunyai makna yang sangat mendalam jika benar-benar dihayati. Makna kata ‘perjuangan’ yang pertama menunjukkan berhentinya perjuangan yang dilakukan oleh pahlawan yang gugur pada saat itu, namun juga mempunyai makna sindiran terhadap masyarakat bahwa kematian sang pahlawan bukan merupakan terhentinya perjuangan kita sebagai masyarakat yang bisa seenaknya ditindas oleh kekuasaan, karena kalimat selanjutnya yang bermakna “akankah kita tetap menjadi pelayan atau buruh yang diperalat oleh penguasa tiran?” memperkuat sindiran tersebut. Dari kalimat yang sarat makna tersebut pembaca pasti tersindir dan tidak akan mau menjadi pecundang yang tidak mendapat kebebasan sehingga secara tidak sadar akan terhegemoni berjuang akibat seruan perjuang penyair. Selanjutnya kata ‘PERJUANGAN’ kedua yang menggunakan huruf kapital sudah jelas akan adanya penegasan dan seruan dengan sangat untuk melanjutkan perjuangan dan perjuangan tidak boleh berhenti hanya karena gugurnya para pejuang dan penggunaan kata ‘perjuangan’ ini sedikit banyak akan berdampak pada psikologis pembaca sehingga akan memancing emosi dan semangat pembaca untuk memperjuangkan apa yang selama ini tengah diperjuangkan.

  suber : http://ayu-candra-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-85997-Umum-IMPLIKASI%20HEGEMONI%20PERJUANGAN%20DAN%20POTRET%20PENGORBANAN%20DALAM%20PUISI%20%E2%80%9CSEBUAH%20JAKET%20BERLUMUR%20DARAH%E2%80%9D%20%20KARYA%20TAUFIQ%20ISMAIL.html