Alat Musik Tradisional Kacapi
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Kacapi sudah ada sejak berabad-abad lalu, mulanya dari negeri Cina, namun dahulu dikenal dengan nama ghuzeng. Kacapi pada umumnya dipakai untuk mengiringi lagu-lagu yang sifatnya lembut dan mendayu. Kini alat musik kacapi tidak hanya populer di negeri asalnya Cina, daerah Sunda merupakan di mana alat musik kacapi pertama kali populer di Indonesia.
Kacapi merupakan alat musik tradisional Sunda (Jawa Barat) yang dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan Kacapi Suling (pertunjukan seni musik tradisional Sunda). Kata kacapi dalam bahasa Sunda juga merujuk pada sejenis tanaman sentul, yang dipercaya dahulu kayunya digunakan untuk membuat alat musik kacapi.
Alat musik kacapi merupakan alat musik klasik yang selalu mewarnai kesenian di tanah Sunda (Jawa Barat). Membuat alat musik kacapi tidaklah mudah. Untuk bahan baku alat musik kacapi terbuat dari kayu kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, jika ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti halnya kacapi yang dibuat tempo dulu. Namun, saat ini senar kacapi lebih banyak menggunakan kawat baja.
Berdasarkan fungsinya, kacapi terbagi menjadi:
1. Kacapi parahu (perahu) atau kacapi indung
Kacapi parahu (perahu) atau kacapi indung merupakan suatu kotak resonansi yang bagian bawahnya diberi lubang resonansi untuk memungkinkan suara keluar. Sisi-sisi jenis kecapi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai perahu. Di masa lalu, kacapi ini dibuat langsung dari bongkahan kayu dengan memahatnya.
Kacapi parahu memimpin musik dengan cara memberikan intro, bridges, dan interlude juga menentukan tempo. Untuk tujuan ini, digunakan kacapi parahu dengan 18 atau 20 dawai.
Kacapi parahu adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan alam pantun Sunda. “Pantun Sunda diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 Masehi” (Dewi Nia Mayakania, 1993, hlm. 62).
Hingga saat ini belum ada yang menggali nilai-nilai tersembunyi di balik kacapi parahu, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi parahu maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya. Pada umumnya, kacapi parahu hanya dikenal sebagai alat musik yang berfungsi mengiringi vokal Tembang Sunda Cianjuran. Pada penyajian Tembang Sunda Cianjuran ini, kacapi parahu memiliki peranan yang sangat dominan. Kacapi parahu berperan sebagai pemberi rasa laras terhadap penembang; berperan sebagai pemberi aba-aba terhadap penembang; berperan sebagai penuntun lagu; dan berperan sebagai pembawa irama lagu.
Kacapi parahu terbuat dari golondongan yang dibobok seperti lubang pada lesung dan pada dasarnya diberi lubang memanjang. Di atasnya ditutup dengan papan kayu dan pada papan tersebut terdapat kawat yang direntangkan. Ujung kawat yang satunya dimasukkan ke lubang mata itik dan digulungkan pada pureut kayu begitu dengan ujung kawat yang satunya dipasangkan pada ujung kacapi sebelah kanan. Pureut ini berfungsi sebagai pengatur nada, untuk melaraskan atau menyurupkan.
2. Kacapi rincik atau kacapi siter
Kacapi rincik atau kacapi siter merupakan kotak resonansi dengan bidang rata yang sejajar. Serupa dengan kacapi parahu, lubangnya ditempatkan pada bagian bawah. Namun, sisi bagian atas dan bawahnya membentuk trapesium.
Kacapi rincik memperkaya iringan musik dengan cara mengisi ruang antar nada dengan frekuensi-frekuensi tinggi, khususnya dalam lagu-lagu yang bermetrum tetap seperti dalam Kacapi Suling atau Sekar Panambih. Untuk tujuan ini, digunakan kacapi rincik yang berukuran lebih kecil dengan dawai yang berjumlah sampai 15.
Pada kacapi rincik bahan yang digunakan sama dengan kacapi parahu, tapi pureutnya terbuat dari besi dan ditempatkan di sebelah kanan kacapi, fungsinya pun sama dengan pureut pada kacapi parahu.
Kacapi merupakan alat musik petik yang menghasilkan suara ketika senar digetarkan. Tinggi rendah nada dihasilkan dari panjang pendeknya dawai. Nada dalam kacapi Sunda memiliki 5 (pentatonis) tangga nada, yaitu Da, Mi, Na, Ti, La.
Referensi
Mayakania, D. N. (1993). Perkembangan Tembang Sunda Cianjuran 1920-1990. (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.