Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

Prasejarah merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana catatan sejarah yang tertulis belum ada. Batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai dikenalnya tulisan. Berdasar ilmu arkeologi, zaman prasejarah atau sering disebut juga zaman batu, dibagi menjadi tiga zaman, yakni zaman paleolitikum(zaman batu tua), mesolitikum (zaman batu tengah), dan neolitikum (zaman batu baru).
Zaman mesolitikum (10.000-4000 tahun yang lalu) atau zaman batu tengah merupakan zaman peralihan dari zaman paleolitikum ke zaman neolitikum. Pada zaman mesolitikum alat-alat batu pada zaman ini sudah dihaluskan terutama bagian yang dipergunakan. Alat-alat dari tulang dan juga flakes, yang dibuat sejak zaman paleolitikum, mengambil bagian penting dalam zaman mesolitikum.
Manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah ras melanosoide. Ras ini merupakan rumpun bangsa negroid. Bangsa ini merupakan gelombang pertama yang berimigrasi ke Indonesia dan berasal dari daratan Asia tepatnya dari Yunan Utara bergerak menuju selatan memasuki daerah Hindia dan terus ke Indonesia. Bangsa melanosoide memiliki ciri-ciri, antara lain kulit kehitam-hitaman, badan kekar, rambut keriting, mulut lebar, dan hidung mancung. Bangsa ini sampai sekarang masih terdapat sisa-sisa keturunannya, seperti Suku Sakai/Siak di Riau, dan Suku Papua Melanosoide yang mendiami Papua dan Papua Barat.
Homo Sapiens dari ras melanosoide yang hidup pada zaman mesolitikum hidup menetap, namun terkadang juga masih berpindah-pindah atau semi nomaden. Mereka hidup menetap di gua-gua atau di pinggir pantai, sehingga disebut dengan abris sous rocheyakni gua-gua yang digunakan sebagai tempat tingal dan perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
Suatu corak istimewa dari zaman mesolitikum adalah peninggalan-peninggalan yang disebut dengan istilah bahasa Denmark kjokkenmoddinger, yang berarti sampah dapur. Sampah dapur banyak ditemukan di sepanjang pantai Sumatera Timur Laut di antara Aceh dan Medan. Bekas-bekas tersebut menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal di dalam rumah-rumah bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian kepala. Kulit-kulit siput dan kerang yang dibuang selama waktu bertahun-tahun akhirnya membentuk bukit kerang yang tinggi. Bukit-bukit inilah yang disebut kjokkenmoddinger. Dari kjokkenmonddinger ini ditemukan juga bekas manusia, seperti tulang belulang, dan pecahan tengkorak serta gigi.

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum
Kjokkenmoddinger

Tempat penemuan kedua dari kebudayaan mesolitikum adalah abris sous roche, yakni gua yang dipakai sebagai tempat tinggal. Gua-gua ini sebenarnya menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberikan perlindungan terhadap hujan dan panas. Di dalam dasar gua ini ditemukan banyak peninggalan kebudayaan. Penyelidikan pertama terhadap abris sous roche dilakukan oleh van Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponogoro, Madiun, dari tahun 1928-1931. Alat-alat yang ditemukan, seperti ujung panah dan flakes, batu-batu penggilingan, kapak-kapak yang sudah diasah, alat-alat dari tulang, dan tanduk rusa.

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum
Abris Sous Roche

Pada zaman mesolitikum dihasilkan sejumlah bentuk benda seni yang sebagian besar dibuat dari batu dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya:

1. Pebble (kapak genggam)

peble (kapak genggam)

Pebble sering disebut juga kapak sumatera karena kapak ini paling banyak ditemukan di pesisir timur Sumatera, yaitu Langsa dan Medan. Kapak ini terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Sisi luarnya yang sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi dalam dikerjakan lebih lanjut sesuai kebutuhan.

2. Hache courte (kapak pendek)

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum

Kapak pendek bentuknya kira-kira setengah lingkaran dan seperti halnya kapak genggam, dibuat dengan memecahkan batu dan tidak diasah. Bagian yang tajam terdapat pada sisi lengkung.

3. Pipisan (batu-batu penggiling)

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum

Pada kjokkenmoddinger ditemukan batu-batu penggiling beserta landasannya. Pipisan ini ternyata tidak hanya digunakan untuk menggiling makanan tetapi digunakan untuk menghaluskan cat merah. Adapun kegunaan dari cat merah tersebut belum diteliti secara pasti, tetapi ada kemungkinan penggunaannya berhubungan dengan keagamaan/sihir, di mana merah berarti darah sebagai tanda dan sendi kehidupan. Cat merah diulaskan ke badan memiliki maksud agar bertambah kekuatan dan tenaga hidupnya.

4. Flakes

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum

Pada zaman tersebut juga ditemukan alat-alat lain berupa serpihan-serpihan yang disebut dengan flakes yang terbuat dari batu-batu biasa tetapi ada juga yang terbuat dari batu berwarna (caldeson). Flakes berukuran kecil dan tajam. Peralatan ini terutama ditemukan di sekitar daerah Sangiran, Pacitan, Ngandong, Lahat, Sumbawa, Sulawesi, dan Flores. Flakes berfungsi untuk menguliti hewan buruan, mengiris daging, atau memotong umbi-umbian.

5. Sampung bone culture

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum

Sampung bone culture merupakan istilah dari benda-benda yang terbuat dari tulang hewan. Diberi nama sampung bone culture karena pertama kali ditemukan di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo. Benda-benda dari tulang ini juga ditemukan di Gua Besuki, Bojonegoro, Jawa Timur, Pulau Timor, Rote, Gua Leang Patae, Lomoncong, Sulawesi Selatan yang penduduknya adalah Suku Toala. Alat-alat dari tulang ini digunakan untuk berburu, atau sebagai anak panah.

6. Lukisan dinding batu

Kesenian Indonesia Zaman Mesolitikum


Lukisan dinding zaman mesolitikum ini ditemukan di sekitar Teluk Triton dan Teluk Bisyari, Kecamatan Kaimana atau di sekitar Kampung Maimai, Sisir, dan Namamota. Lukisan-lukisan ini masih menyimpan misteri dan keunikan yang seakan menceritakan suatu zaman dengan suatu kehidupan tertentu. Daya tarik Kaimana Rock Painting ini terletak pada letak dan bahan pewarna yang digunakan. Letak lukisan-lukisan ini terdapat pada tebing-tebing batu yang tinggi dan secara akal sehat manusia tidak mungkin dijangkau, apalagi untuk teknologi pada zaman itu. Bahan cat atau pewarna yang digunakan hingga kini masih misteri, umumnya lukisan-lukisan ini berwarna merah darah dan hingga kini tidak pudar. Lukisan dinding Kaimana bukan saja finger print, tetapi terdapat lukisan ikan, binatang, tengkorak, dan matahari.