berbangsa dan bernegara status non muslim seperti di Indonesia adalah muwathin atau warganegara yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dan setara sebagaimana warganegara lainnya.
Terminologi dalam Kitab Fikih kita ada Darul Islam dan Darul Kuffar. Sementara warga negara yang terdapat dalam Darul Islam ada beberapa sebutan:
1. Kafir Harbi, yaitu orang yang memerangi umat Islam dan boleh diperangi
2. Kafir Dzimmi, orang yang membayar jizyah untuk mendapatkan perlindungan. Tidak boleh diperangi.
3. Kafir Mu'ahad, orang yang melakukan perjanjian damai dalam beberapa tahun. Tidak boleh diperangi.
4. Kafir Musta'min, orang yang meminta perlindungan. Tidak boleh diperangi.
Yang dimaksud keputusan Munas NU bahwa Non Muslim di Indonesia tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut. Sehingga disebut warga negara dalam nation state.
ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﻨْﻴَﺔِ ﻣِﻦْ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟِﺎﺳْﺘِﺤْﻠَﺎﻝِ ﻭَﺭَﺩِّ ﺍﻟْﻤَﻈَﺎﻟِﻢِ ﻟَﻮْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻴَﻬُﻮﺩِﻱٍّ ﺃَﻭْ ﻣَﺠُﻮﺳِﻲٍّ ﻳَﺎ ﻛَﺎﻓِﺮُ ﻳَﺄْﺛَﻢُ ﺇﻥْ ﺷَﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺍﻫـ . ﻭَﻣُﻘْﺘَﻀَﺎﻩُ ﺃَﻥْ ﻳُﻌَﺰَّﺭَ ﻟِﺎﺭْﺗِﻜَﺎﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﺃَﻭْﺟَﺐَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢَ . ﺍﻟﺒﺤﺮ ﺍﻟﺮﺍﺋﻖ، ٥ / ٤٧ .
Artinya: "Dalam kitab Al Qunyah dari Bab Al Istihlal dan Raddul Madhalim terdapat keterangan: "Andaikan seseorang berkata kepada Yahudi atau Majusi: 'Hai Kafir', maka ia berdosa jika ucapan itu berat baginya (menyinggungnya). Konsekuensinya, pelakunya seharusnya ditakzir karena melakukan tindakan yang membuatnya berdosa." (Dikutip dari kitab Al Bahrur Raiq, Juz 5 halaman 47).
Ini yang melatari bahwa dalam konteks sosial kemasyarakatan seorang muslim semestinya tidak memanggil non muslim dengan panggilan yang sensitif 'Hai Kafir', seiring dalam ranah akidah Islam tetap mantap menganggap mereka sebagai kafir atau orang yang tidak beriman.
Jadi intinya, Hasil Bahtsul Masail Munas tetap menghukumi non muslim sebagai Kafir, namun merekomendasikan jangan sebut Non Muslim Indonesia ini dengan Kafir(walau statusnya kafir) karena demi terjaganya ukhuwah wathoniyah.
Sumber : http://www.muslimoderat.net/2019/03/
meluruskan-orang-orang-bodoh-ta
k.html#ixzz5gvmCMs00