Cara menjadi wali Allah

Catatan Pengajian Kliwonan 20 Januari 2017
Sebetulnya Bab wilayah atau kewalian dalam kitab Jami' Ushul fi al-Auliya adalah hanya untuk pengetahuan kita semua. Dari pelajaran itu kita ambil poin-poinnya saja. Adapun ahwal (perbuatan) dan amaliah para wali Allah sulit untuk bisa kita takar.
Jangan ingin menjadi wali. Tapi yang seharusnya kita lakukan adalah bertanya, apa sebab beliau diangkat oleh Allah Swt. menjadi waliNya? Sebabnya hanya satu, yang terdiri dari dua hal, yakni ketaatannya kepada dua orangtua dan gurunya. Ini yang perlu kita tiru.
Kalau orang awam melakukan mujahadah malam, ibadah malam, membaca dzikir, membaca ayat sekian, membaca tasbih sekian, (hal itu dilakukan) menunggu kalau utangnya banyak, mendapat musibah dan cobaan. Atau (mendapat) sesuatu yang menjadikan susah pada dirinya, baru dia mencari kuncinya untuk mendekat kepada Allah Swt. Saat sudah berhasil terkadang lupa lagi pada Allah. Wajar-wajar saja karena kita tingkatannya orang awam, allahumma ma'lum, salah 3 dapatnya 7, salah 5 dapat(nilai)nya masih 8.
Tapi kalau tingkatan para wali Allah, benar semua malah dapatnya nol. Kenapa, karena tidak merasa. Apa yang telah dikerjakan tidak ke pribadi, melainkan dikembalikan semua dari dan kepada Allah Swt. Tidak merasa memiliki. Kalau menghadap kepada Allah Swt., ia melupakan semua yang sudah dibacanya, sudah dapat sekian khataman setiap malamnya, berdzikir sekian ribu kali. Beliau (wali Allah) tidak pernah mengingat-ingatnya di hadapan Allah Swt. Itu semata-semata ketaatan kepada Allah Swt.
Saat mendapatkan ijazah 'Bismillah' (misalnya) dari seorang kiai, dibaca sekian kali agar usahanya lancar, tokonya laris, rejekinya banyak, untungnya banyak, dan lain sebagainya. Ketika dibaca (diamalkan) yang dibayangkan adalah usaha lancar, toko laris, rejeki dan untung yang banyak, ia lupa kepada Allah Swt, karena yang diingat adalah khasiatnya Bismillah (bukan Allah). Akhirnya mampir dulu, sehingga pantas jika tidak diberi langsung. Jika hatinya lepas (dari hal tersebut) dan betul-betul hanya ingat Allah, maka pasti akan diberi langsung.
Para wali Allah akan malu jika melakukan hal demikian. Para wali di hadapan Allah Swt. itu faqir, tidak merasa punya amaliah kebaikan sedikit pun dan tidak pula merasa bisa begini dan begitu. Hatinya selalu dibersihkan, tashfiyatul qulub watazkiyatun nufus, terus berusaha (bermujahadah) setiap malamnya.
Nah kalau tingkatan kita (awam), boro-boro. Alhamdulillah ada hadits Baginda Nabi Saw., "Kelak manusia akan dikumpulkan dengan orang-orang yang dicintainya." Kita bisa berdoa, "Allahumma amin". Semoga dikumpulkan bersama beliau, setiap shalat kita membaca "Ihdinasshirathal mustaqim". Dan berdoa (QS. an-Nisa ayat 69-70):
ﻣَﻊَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﻧْﻌَﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻴِّﻴﻦَ ﻭَﺍﻟﺼِّﺪِّﻳﻘِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟﺸُّﻬَﺪَﺍﺀِ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴﻦَ ۚ ﻭَﺣَﺴُﻦَ ﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﺭَﻓِﻴﻘًﺎ
ﺫَٰﻟِﻚَ ﺍﻟْﻔَﻀْﻞُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ۚ ﻭَﻛَﻔَﻰٰ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠِﻴﻤًﺎ
Kunci yang pertama taat kepada dua orangtua, ini tangga/pintu yang paling luar biasa. Yang kedua adalah taat kepada guru. Taat kepada dua orangtua bukan sekadar taat-taat saja. Tapi ketaatan itu selalu menggugah kembali jasa-jasa orangtua kita pada diri kita. Kalau kita sering dzikrul walidain, mengingat dua orangtua, nasihatnya, bahkan jika sempat ditulis. Itu merupakan bagian dari dzikrul walidain, taat kepada dua orangtua. Karena dengan menceritakan kedua orangtua akan menambahkan kecintaan kepada mereka.
Nah bagaimana kalau Baginda Nabi Saw. Kalau kita sering membaca shalawat, otomatis akan semakin "dzikrun Nabiy" (mengingat Nabi), dan lama-lama akan muncul haya', malu kepada Baginda Nabi Saw.
Sifat manusiawi, timbul perasaan luar biasa jika cintanya kepada lawan jenis diterima. Dia akan menjaga cintanya betul-betul dan berusaha selalu jujur. Sangat takut putus cinta. Padahal diterimanya cinta tersebut dari lawan jenis tidak menjadi jaminan selamat dari siksa neraka. Tapi kepada dan dari Baginda Nabi Saw. itu menjadi jaminan, illa man aba (kecuali yang enggan/lari).
Ketika ayat turun, "Walasaufa yu'thika Rabbuka fatardha", Rasulullah tidak ridha kalau salah satu ummatnya masuk ke dalam api neraka, kecuali orang yang "aba", yang lari dari Baginda Nabi Saw. Jaminan bagi yang cinta kepada Nabi Saw., pasti akan mendapatkannya sebagaimana permintaan Nabi Saw. kepada Allah Swt. Anehnya, kita tidak pernah takut putus cinta kepada Baginda Nabi Saw.
Padahal saat seseorang putus cinta dengan lawan jenisnya, dia gandrung, bikin puisi sendiri, bikin sajak sendiri. Kalau dengar lagu-lagu yang berkenaan dengan waktu dia bercinta dengan seseorang masih terngiang sekalipun bagi orang lain tidak enak. Tapi orang ini senang karena lagu itu mempunyai kenangan, dingat-ingat terus. Masa dengan Baginda Nabi Saw. tidak, aneh bin ajaib, mestinya kita harus takut putus cinta dengan Baginda Nabi Saw.
Berangkat dari birrul walidain tadi dan berangkat dari taat kepada para masyayikh (guru) kita, itulah kunci-kuncinya. Meskipun ilmunya sundul langit jika dengan dua orangtuanya tidak taat, jangan diharap ilmunya manfaat. Begitu juga kaya sekaya apapun tapi sama orangtua tidak taat, jangan diharap dunianya barokah, bagai air yang cepat habis.
Maka dari itu kita tadi mendengarkan keterangan bab wilayah (kewalian), kita hanya mengambil khulashah (ringkasan) orang-orang yang diangkat oleh Allah Swt. menjadi para waliNya, yakni dengan birrul walidain dan taat kepada gurunya. Itulah yang menjadi sebab mengantar dirinya mendapat "Ridhallah fi ridhal walidain". Kita kembalikan juga "Ridhallah fi ridha rasulih", untuk ummat. Dan kita mengharapkan ridha Rasulullah Saw., karena apakah ridha orangtua lebih bernilai dari ridha Nabi Saw.? Untuk bisa menggapai keridhaan Nabi Saw. harus mencapai keridhaan orangtuanya. Baru kita akan mencapai ridha Allah Swt.
(Disampaikan oleh Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya pada Pengajian Rutin Jum'at Kliwon, 20 Januari 2017).
#LiputanAdmin