Sayyidi Muhammad Alawi menulis di dalam kitabnya:
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ
)ذكريات ومناسبات لسيد محمد بن علوى الملكى ص 155-156(
“Dari ‘Ala’ bin Charits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syu’ab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)
1. Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al-‘Ala’ bin Al-Harits adalah seorang Tabiin yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah. Prediksi Al-Baihaqi, Al-‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makhul. Imam Ahmad menilai Al-‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu Hatim berkata: “Tidak ada murid Makhul yang lebih terpercaya dari pada Al-‘Ala’”. Ibnu Hajar menyebut Al-‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fikih, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)
2. Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadis Mursal sebagai hadis yang dapat diterima (Hadis Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya Sahabat atau Tabiin yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.
وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
)مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469(
“Ibnu
Taimiyah ditanyai soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab:
Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban
sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama
salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan
shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca
surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah
yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú’ Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)
Nishfu Sya’ban Diamalkan Sebagian Tabi’in
Malam Nishfu Sya’ban dilakukan pertama kali oleh para Tabi’in (generasi setelah Sahabat Nabi) di Syam Syria, seperti Khalid bin Ma’dan (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Makhul (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Luqman bin ‘Amir (al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya ‘jujur’) dan sebagainya. Mereka mengagungkannya dan beribadah di malam tersebut. Dari mereka inilah kemudian orang-orang mengambil keutamaan Nishfu Sya’ban. Ketika hal ini menjadi populer di berbagai Negara, maka para ulama berbeda-beda dalam menyikapinya. Ada yang menerima, di antaranya adalah para ulama di Bashrah (Irak). Namun kebanyakan ulama Hijaz (Makkah dan Madinah) mengingkarinya seperti Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ulama Madinah dan pendapat beberapa ulama Malikiyah mengatakan: “Semuanya adalah bid’ah“.
Malam Nishfu Sya’ban dilakukan pertama kali oleh para Tabi’in (generasi setelah Sahabat Nabi) di Syam Syria, seperti Khalid bin Ma’dan (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Makhul (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Luqman bin ‘Amir (al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya ‘jujur’) dan sebagainya. Mereka mengagungkannya dan beribadah di malam tersebut. Dari mereka inilah kemudian orang-orang mengambil keutamaan Nishfu Sya’ban. Ketika hal ini menjadi populer di berbagai Negara, maka para ulama berbeda-beda dalam menyikapinya. Ada yang menerima, di antaranya adalah para ulama di Bashrah (Irak). Namun kebanyakan ulama Hijaz (Makkah dan Madinah) mengingkarinya seperti Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ulama Madinah dan pendapat beberapa ulama Malikiyah mengatakan: “Semuanya adalah bid’ah“.
Ulama Syam berbeda-beda dalam melakukan ibadah malam Nishfu Sya’ban. Pertama, dianjurkan dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid. Misalnya Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lainnya, mereka memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, memakai celak mata dan berada di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rahuwaih (salah satu Imam Madzhab yang muktabar), dan beliau mengatakan tentang ibadah malam Nishfu Sya’ban di masjid secara berjamaah: “Ini bukan bid’ah“. Dikutip oleh Harb al-Kirmani dalam kitabnya Al-Masail. Kedua, dimakruhkan untuk berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban untuk shalat, mendengar cerita-cerita dan berdoa. Namun tidak dimakruhkan jika seseorang salat (sunah mutlak) sendirian di malam tersebut. Ini adalah pendapat Al-Auza’i, imam ulama Syam, ahli fikih yang alim. Inilah yang paling tepat, InsyaAllah. (Syaikh al-Qasthalani dalam Mawahib al-Ladunniyah II/259 yang mengutip dari Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif 151)
Baru-baru ini penulis dapat kabar dari kawan yang baru selesai Umrah ke tanah suci, bahwa umat Islam Indonesia dibagikan gratis buku kecil oleh orang-orang Arab mengenai larangan melakukan amalan di malam Nishfu Sya’ban. Justru ini aneh, sebab di masa lampau para penduduk Makkah antusias menyambut malam Nishfu Sya’ban. Al-Fakihani berkata:
ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيْهَا لِفَضْلِهَا . وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيْمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلُّوْا وَطَافُوْا وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحِ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يَخْتُمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ وَيَصِلُوْا ، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِـ الْحَمْدِ ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ وَأَخَذُوْا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَشَرِبُوْهُ وَاغْتَسَلُوْا بِهِ وَخَبَؤُوْهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى ، يَبْتَغُوْنَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ ، وَيُرْوَى فِيْهِ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ (أخبار مكة للفاكهني – ج 5 / ص (23
“(Bab
tentang amaliah penduduk Makkah di malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan
mereka di malam tersebut karena keutamaannya). Penduduk Makkah, dari
dulu hingga sekarang, jika bertemu dengan malam Nishfu Sya’ban maka
kebanyakan orang laki-laki dan perempuan mendatangi Masjidil Haram,
mereka salat, tawaf, beribadah di malam harinya hingga pagi dengan
membaca al-Quran di Masjidil Haram, hingga mengkhatamkan al-Quran
keseluruhannya dan melanjutkan. Orang-orang diantara mereka yang
melakukan salat di malam tersebut 100 rakaat, diawali dengan Hamdalah
setiap rakaatnya, al-Ikhlas 100 kali, mereka juga mengambil air zamzam
lalu meminumnya, menyiramkannya, dan diberikan kepada orang sakit dari
mereka, adalah karena mengharap berkah di malam tersebut. Telah
diriwayatkan beberapa hadis yang banyak tentang malam Nishfu Sya’ban” (Syaikh al-Fakihani, Akhbar Makkah 5/23).
(Catatan)
Ulama
Syafiiyah menegaskan bahwa salat 100 rakaat di malam Nishfu Sya’ban
adalah bid’ah yang buruk, hadisnya adalah hadis palsu (I’anat
ath-Thalibin)
Amaliyah Malam Nishfu Sya’ban Menurut Imam Ahmad
ثُمَّ قَالَ: “وَلَا يُعْرَفُ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ كَلَامٌ فِي لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ، وَيُخَرَّجُ فِي اسْتِحْبَابِ قِيَامِهَا عَنْهُ رِوَايَتَانِ، مِنَ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِي قِيَامِ لَيْلَتَيِ الْعِيْدِ؛ فَإِنَّهُ فِي رِوَايَةٍ لَمْ يَسْتَحِبَّ قِيَامَهَا جَمَاعَةً؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ، وَاسْتَحَبَّهَا فِي رِوَايَةٍ؛ لِفِعْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ اْلأَسْوَدِ لِذَلِكَ، وَهُوَ مِنَ التَّابِعِيْنَ، فَكَذَلِكَ قِيَامُ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، لَمْ يَثْبُتْ فِيْهَا شَيْءٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ، وَثَبَتَ فِيْهَا عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَعْيَانِ فُقَهَاءِ أَهْلِ الشَّامِ” (لطائف المعارف، لابن رجب، ص263(
“Ibnu
Rajab al-Hanbali berkata: “Tidak diketahui pendapat dari Imam Ahmad
tentang Malam Nishfu Sya’ban. Dan dikembangkan (dianalogikan) dalam
anjuran ibadah di malam Nishfu Sya’ban dari Imam Ahmad terdapat 2
riwayat. Dari dua riwayat tersebut adalah tentang ibadah di malam hari
raya. Dalam 1 riwayat Imam Ahmad tidak menganjurkan melakukannya secara
berjamaah, sebab tidak ada riwayat dari Nabi Saw dan para sahabatnya.
Dan di riwayat lain Imam Ahmad menganjurkannya, karena dilakukan oleh
Abdurrahman bin Zaid bin Aswad. Ia dari kalangan Tabiin. Demikian halnya
dengan ibadah di malam Nishfu Sya’ban, tidak ada riwayat sahih dari
Nabi dan para sahabat. Dan secara sahih telah dilakukan oleh sekelompok
ulama dari Tabiin dari ulama-ulama ahli fikih kota Syam” (al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif 263)
Membaca Surat Yasin
وَأَمَّا
قِرَاءَةُ سُوْرَةِ يس لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُعَاءِ
الْمَشْهُوْرِ فَمِنْ تَرْتِيْبِ بَعْضِ أهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ عِنْدِ
نَفْسِهِ قِيْلَ هُوَ الْبُوْنِى وَلاَ بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ. (أسنى
المطالب فى أحاديث مختلفة المراتب ص 234(
“Adapun
pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib
merupakan hasil ijtihad sebagian ulama, konon ia adalah Syeikh Al Buni,
dan hal itu tidak apa-apa.” (Asná al-Mathálib, 234)
Ulama Wahabi Menilai Sahih Hadis Nishfu Sya’ban
Ulama
Wahabi, Nashiruddin al-Albani yang biasanya menilai lemah (dlaif) atau
palsu (maudlu’) terhadap amaliyah yang tak sesuai dengan ajaran mereka,
kali ini ia tak mampu menilai dlaif hadis tentang Nishfu Sya’ban, bahkan
ia berkata tentang riwayat berkiut: “Hadis ini sahih” (Baca as-Silsilat
ash-Shahihah 4/86)إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ (صحيح (اهـ السلسلة الصحيحة للالباني (4/ 86(
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu
Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang
musyrik dan musyahin (orang munafik yang menebar kebencian antar sesama
umat Islam)”. (HR Thabrani fi Al Kabir no 16639, Daruquthni fi
Al Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban no 5757, Ibnu Abi Syaibah
no 150, Al Baihaqi fi Syu’ab al Iman no 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad
2389. Peneliti hadis Al Haitsami menilai para perawi hadis ini sebagai
orang-orang yang terpercaya. Majma’ Al Zawaid 3/395)
Ulama
Wahabi Syaikh Albani menyebut 7 sahabat yang meriwayatkan hadis Nishfu
Sya’ban. Tentu hal ini sudah mendekati kualitas Mutawatir, yang menurut
sebagian ulama hadis minimal 10 perawi.
Syaikh Albani berkata:قَالَ الْأَلْبَانِي فِي “السِّلْسِلَةِ الصَّحِيْحَةِ” 3 / 135 : حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ ، رُوِيَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ مِنْ طُرُقٍ مُخْتَلِفَةٍ يَشُدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا وَهُمْ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَبُوْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِي وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو وَأَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِي وَأَبُوْ هُرَيْرَةَ وَأَبُوْ بَكْرِ الصِّدِّيْقُ وَعَوْفُ بْنُ مَالِكٍ وَعَائِشَةُ .
“Ini
(Hadis Nishfu Sya’ban) adalah HADIS SAHIH. Diriwayatkan dari banyak
sahabat dengan jalur riwayat yang berbeda-beda, yang saling menguatkan.
Mereka adalah Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah al-Khusyani, Abdullah bin
Amr, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Auf bin
Malik dan Aisyah” (as-Silsilah ash-Shahihah 3/135)
Mufti al-Azhar: Doa Nishfu Sya’ban Bersumber Dari Sahabat Nabi
حدثنا أبو معاوية عن عبد الرحمن بن إسحاق عن القاسم بن عبد الرحمن عن عبد الله بن مسعود قال ما دعا قط عبد بهذه الدعوات إلا وسع الله عليه في معيشته يا ذا المن فلا يمن عليك يا ذا الجلال والإكرام يا ذا الطول والإنعام لا إله إلا أنت ظهر اللاجئين وجار المستجيرين ومأمن الخائفين إن كتبتني عندك في أم الكتاب شقيا فامح عني أسم الشقاء وأثبتني عندك سعيدا موفقا للخير فإنك تقول في كتابك يمحوا الله ما يشاء ويثبت وعنده ام الكتاب
مصنف ابن أبي شيبة – (ج 6 / ص 68(
وهو
دعاء لم يرد عن النبى صلى الله عليه وسلم قال بعض العلماء إنه منقول
بأسانيد صحيحة عن صحابيين جليلين ، هما عمر بن الخطاب وعبد الله بن مسعود
رضى الله عنهما ، وعمر-من الخلفاء الراشدين الذى أمرنا الحديث بالأخذ
بسنتهم ، ونص على الاقتداء به وبأبى بكر الصديق فى حديث آخر، وأصحاب الرسول
كالنجوم فى الاقتداء بهم كما روى فى حديث يقبل فى فضائل الأعمال .
فتاوى الأزهر – (ج 10 / ص 131(
فتاوى الأزهر – (ج 10 / ص 131(