“Tetap,” jawab pria itu. Namanya Amir Sjarifuddin.
“Pastikah?”
“Pasti.”
Hening. Lalu serdadu itu melanjutkan, “Kristus digantung dengan kepala di atas. Kamu akan digantung dengan kepala di bawah. Sebab setiap murid harus bersedia berkorban lebih berat daripada Sang Guru…”
Amir pun digantung dengan kepala di bawah. Manusia mana yang bisa menanggung kebiadaban semacam itu? Ia kepayahan, nyaris mati. Tapi, prajurit-prajurit itu tak bermaksud menghabisi nyawa Amir. Dia pun diturunkan.
Pada Januari 1943, bersama aktivis Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) lain, Amir ditangkap. Tuduhannya menggalang kekuatan anti-Jepang. Pada Februari 1944, vonis mati jatuh. Sepupunya, Goenoeng Moelia, mendengar kabar itu dan segera menemui Mohammad Hatta, penasihat pemerintahan militer Jepang di Indonesia. Hatta diberitahu kondisi Amir dan dimintai pertolongan.
Pada Oktober 1945, akhirnya Amir menghirup udara kebebasan. Dari penjara Lowokwaru di Malang itu, dia dibawa ke Surabaya, lalu menuju Jakarta dengan kereta api. Kesehatannya buruk, badan kerempeng, gigi rusak karena siksaan. Dia ditunggu sebagai Menteri Penerangan dari sebuah republik yang baru lahir.
Setiba di Jakarta, Amir segera menggelar konferensi pers dengan para jurnalis asing. Dia menegaskan, “Saya adalah seorang demokrat sampai ke tulang sumsum. Perjuangan kemeredekaan di zaman pemerintahan Jepang saya lanjutkan dengan ratusan kawan dengan cara underground. Pada tanggal 30 Januari 1943, saya dan 54 kawan seperjuangan ditangkap. Tiga orang di antaranya sudah ditembak mati…Semua itu menunjukkan bahwa cerita-cerita di luar bahwa Pemerintah RI adalah boneka Jepang, tidak benar sama sekali…”
Sukarno, orang yang menunjuknya sebagai Menteri Penerangan, bukan kawan baru buat Amir. Mereka telah bersama di Partai Indonesia (Partindo) sejak 1933. Keduanya sama-sama orator yang memesona.
AMIR LEBIH MUDA ENAM tahun ketimbang Sukarno. Ia dilahirkan di Tapanuli Selatan pada 1907. Ayahnya adalah seorang jaksa, bernama Djamin gelar Baginda Soripada Harahap. Djamin pindah ke Islam untuk menikahi Basunu Siregar, anak seorang saudagar di Tapanuli Utara. Mereka punya tujuh anak dengan Amir sebagai si sulung. Amir memperoleh gelar Sutan Gunung Soaloon. Namun predikat kebangsawanan itu tak pernah dipakainya seumur hayat.
Pada usia 14, setelah menamatkan sekolah dasar berbahasa Belanda, Amir dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studi. Dia belajar di sebuah sekolah negeri atau gymnasium di Leiden dan Haarlem, tinggal bersama sebuah keluarga Calvinis konservatif dan kemudian dengan seorang janda mantan misionaris. “Di sinilah saya mulai belajar dan menghargai kesusasteraan dan filsafat,” tulis Amir dalam sebuah otobiografis ringkas yang disimpan Arsip Kerajaan Belanda.
Pada 1926, setahun sebelum Amir pulang dari Belanda, ayahnya kehilangan jabatan sebagai jaksa. Baginda Soripada lalu mendapat pekerjaan di Tarutung, bukan sebagai jaksa melainkan karyawan biasa di birokrasi Hindia Belanda.
Dia pun pulang ke Hindia Belanda dan menetap di Jakarta: masuk sekolah tinggi hukum, Rechts Hoogeschool. “Di sini, setelah tahun pelajaran kedua, saya berkenalan dengan politik,” aku Amir. Ia menjadi anggota Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) dan redaktur majalah mahasiswa Indonesia Raja.
Amir tinggal di asrama Indonesis-Clubgebouw di Jalan Kramat 106, di dekat Senen. Penghuni asrama ini kebanyakan mahasiswa kedokteran, STOVIA, da berbagai sekolah tinggi lain. Pada 1928-1931, yang tinggal di Indonesis-Clubgebouw di antaranya adalah Amir, Muhammad Yamin, Assat, Abas, Abu Hanifah, dan sejumlah mahasiswa lain.
Mereka merupakan segelintir kaum pribumi yang beruntung bisa sekolah untuk meraih gelar sarjana – tentu lantaran orangtua mereka juga bukan orang sembarangan. Tapi, mereka bukan anak-anak orang kaya yang mengisi waktu dengan hura-hura. Mereka dekat dengan bacaan-bacaan serius dan aktivitas politik.
“Karena masing-masing memiliki cukup perasaan kritis terhadap apa-apa yang terjadi di Indonesia dan dunia, serta terang mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan buat membicarakan dan memperdebatkan soal-soal politik, kultur, masyarakat, kolonialisme Belanda, teori-teori politik dan hal-hal sehari-hari. Ini sering terjadi ketika habis makan malam pukul 8,” kenang Abu Hanifah.
Pernah berbulan-bulan mereka memperdebatkan revolusi Prancis. Masing-masing mempunyai jago sendiri. Yamin mengagumi Marat, Assat memilih Danton, Abu Hanifah menunjuk Mirabeau, sementara Amir mengidolakan Robespierre. Diskusi bisa sangat sengit tapi tak ada persoalan pribadi sesudahnya.
“Kalau telah capek, pukul 1 malam, kami kumpulkan uang buat cari kopi plus sate atau soto ke Pasar Senen. Judul percakapan sudah berubah, lebih ke soal-soal yang dekat dengan hati pemuda,” tulis Abu Hanifah.
Rata-rata dari mereka terpesona dengan ide kaum kiri, terutama karena menanam tujuan menolong kaum proletar. Namun, menurut Abu Hanifah, tidak ada yang terlalu terpengaruh dengan ajaran komunis.
TRAGEDI MENIMPA AMIR PADA Juni 1931. Ibunya bunuh diri. Tak jelas penyebabnya. Sejak Baginda Soripada pensiun sebagai jaksa, Basunu terpukul. Aktivitas politik Amir kian membuat dirinya depresi.
Setelah ibunya meninggal dunia, Amir pindah ke Kristen – agama yang dianut kakeknya. Dia menikah dengan Djaenah Harahap di Gereja HKBP Kernolong, Jakarta, pada 1935. Ini pernikahan yang menghebohkan karena mereka satu marga.
Amir sendiri kian larut dalam kegiatan politik. Karena tulisan-tulisannya di majalah Partindo, Benteng, dia dipenjara dari Desember 1933 sampai Juni 1935. “Desember 1933, saya menyelesaikan studi dan dua hari kemudian saya dimasukkan ke penjara Jakarta. Lalu dikirim ke Sukamiskin sampai tahun 1935. Tahun itu saya dikeluarkan dari penjara dan menjadi pengacara,” tulis Amir.
Pada 1937, Amir Sjarifuddin bersama sejumlah tokoh lain mendirikan Gerindo, wadah politik yang mengikat berbagai unsur gerakan nasional setelah PKI dilarang pemerintah Hindia Belanda dan PNI dibubarkan.
Menjelang Jepang tiba, pejabat senior Hindia Belanda, Van der Plas, menyerahkan 25 ribu gulden ke Amir. Dengan duit itu, dia diminta menggalang gerakan bawah tanah melawan Jepang. Buat Amir, fasisme adalah lawan sejati demokrasi. Tak mungkin bersekutu dengannya. Di depan mata, fasisme itu berwujud tentara-tentara cebol dan bermata sipit, datang dari Tokyo dan sekitarnya.
Sial, catatan soal gerakan ini jatuh ke tangan aparat Jepang. Tak lama berselang, puluhan orang, termasuk Amir, dicokok. Pria yang mahir menggesek biola tersebut dipenjara dan mesti menghadapi rangkaian siksa.
Namun Amir baru menemui ajal pada 1948. Ironisnya, di tangan para tentara RI pasca-Peristiwa Madiun. Pengagum Kristus itu ditembak bersama-sama para pengikut komunis. Usianya 41, sama dengan ibunya saat menghadap Tuhan. Dia dieksekusi dengan Injil di tangan.
——–
Sumber:
- Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin, Abu Hanifah, Prisma, Agustus 1977
- Amir Sjarifuddin 75 Tahun, Jacques Lecrec, Prisma, Desember 1982
- 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa, Gerry van Klinken, LKiS, 2010
- http://kilasbalik.net/2016/05/07/amir-sjarifuddin-lahirnya-seorang-pejuang/