Muslimedianews ~ Bani
Israil yang selamat dari pengejaran Firaun, masih tak percaya akan
kebesaran Allah dalam peristiwa yang nyata dihadapan mata mereka. Laut
yang terbelah menjadi sebuah lembah panjang, nampak sangat mustahil bagi
mereka. Mereka juga melihat Firaun dan bala tentaranya tenggelam
dilahap ombak. Mereka bergembira atas kemenangan dan berhasil kabur dari
kejaran Firaun, Sang Penindas.
Nabi Musa memimpin mereka yang selamat menuju sebuah pulau. Mereka
bergerak menuju Pulau Sinai. Di tempat tersebutlah, Musa hendak
mengajarkan kepada mereka tentang ajaran Allah. Bukanlah hal mudah
baginya karena kebiasaan mereka selama hidup bertahun-tahun di Mesir
yang menyembah berhala dan menyembah Firaun.
Kisah di Perjalanan
Sebelum sampai di Pulau Sinai, Nabi Musa dan Bani Israil melewati gurun
yang tandus lagi panas, matahari menyengat hebat. Mereka semua kehausan
dan takut akan kematian. Namun, bagi sebagian dari mereka yang beriaman,
tak merasa khawatir sedikitpun. Mereka yakin bahwa Nabi Musa dan Allah
akan menolong mereka.
Atas hal itulah, mereka meminta Nabi Musa agar berdoa kepada Allah
memohon pertolongan. Saat anak-anak, para wanita dan orang tua menderita
kehausan, Malaikat turun ke bumi dan mewayuhkan kepada Musa. Malaikat
berkata, “Pukul batu itu dengan tongkatmu!” Musa segera menuju batu yang
dimaksud, letaknya berada di kaki gunung. Ia memukulkan tongkatnya dan
batu itu pecah mengeluarkan dua belas mata air. Jumlah yang sesuai
dengan suku Bani Israil yang mengikuti Nabi Musa.
Setelah itu, mereka pergi ke sebuah daerah luas untuk menetap. Dalam
perjalanan, mereka melihat orang-orang mengelilingi berhala. Lalu mereka
minta kepada Musa agar membuatkan Tuhan. Hal itu membuat Musa marah dan
mencoba menyadarkan mereka. Mereka masih tak percaya akan adanya Tuhan.
Namun, mereka terdiam dengan jawaban Musa, tapi mereka juga tetp keras
kepala.
Allah mengirimkan Manna dan Salwa untuk mereka makan. Manna yang seputih
salju, turun dari langit di semak berduri. Rasanya manis dan Bani
Israil mengumpulkannya di pagi hari dan memakannya. Salwa yakni sejenis
burung puyuh yang terbang tinggi di langit. Allah menunjukkan
kebesaran-Nya agar mereka menyebah kepada-Nya.
Kaum yang Keras Kepala
Di setiap kesempatan, mereka selalu meminta Musa untuk menunjukksn
Tuhan-Nya. Musa ingin menguatkan hati dan keimanan mereka, maka pergilah
ia ke gunung Al-Thur bersama tujuh puluh orang dari Bani Israil yang
mengikutinya. Ia pun menunjuk saudaranya, Harun sebagai penggantinya
ketika ia berpergian.
Nabi Musa mendapat perintah dari Allah agar menetap di gunung Al-Thur
selama empat puluh hari. Saat waktunya tiba, Musa meminta agar ia bisa
melihat Allah. Allah berkata padanya, “Kamu sekali-kali tidak akan
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” (Q.S.
Al-A’raf ayat 143).
Waktu berlalu dan Nabi Musa menoleh ke sebuah gunung tinggi. Kejadian
mengerikan terjadi. Cahaya kuat menutup gunung itu, guntur menyambar dan
terjadi ledakan mengerikan yang menghancurkan gunung itu. Tanah-tanah
di bawah Nabi Musa berdiri bergetar dan membuatnya jatuh lalu pingsan.
Saat sadar ia tak melihat gunung yang kemarin ia lihat.
Ia mencoba menyadarkan Bani Israil bahwa tak akan bisa melihat Allah.
Secara mata telanjang, mereka pasti tak sanggup seperti apa yang telah
dialami Nabi Musa. Allah itu terletak di hati masing-masing. Musa
mencoba mengingatkan kaumnya, namun mereka bersikeras terhadap pendirian
mereka. Maka tanh pun bergetar membuat ketakutan diantara mereka.
Muncullah halilintar memecah langit dan mengahantam mereka hingga tewas.
Saat itu, Musa meminta pengampunan atas dosa-dosa Bani Israil. Allah
mengampuninya karena Allah hendak membersihkan hati mereka dari
kekafiran. Mereka sebenarnya juga hendak melihat turunnya Taurat. Musa
meminta Allah memberikan ‘lembaran-lembaran suci’ mengenai tata hukum.
Allah memberikannya setelah kejadian tewasnya tujuh puluh orang Bani
Israil yang mengikutinya.
Saat Nabi Musa meninggalkan kaumnya, mereka telah berkhianat pada Musa
dan Allah. Tersebutlah Samiri yang membuat sebuah sesembahan bagi
mereka. Mereka tidak menyembah Allah, melainkan menyembah sapi betina
dari emas. Saat Nabi Musa pulang dan melihat kaumnya menyembah sapi
betina emas, ia marah kemudian membakarnya. Ia juga mengusir Samiri.
Sapi Betina
Adapula kejadian di masa itu, seseorang telah dibunuh dan mayatnya
dibuang di jalan. Bani Isarail mendatangi Musa agar memecahkan masalah.
Allah mewahyukan agar mereka menyembelih sapi betina. Mereka terkejut
dan mengatakan apakah Musa sedang mengejek mereka.
Allah memerintahkan mereka agar menyembelih sapi betina. Namun mereka
keras kepala dan mencoba menanyakan detail sapi betina yang seperti apa.
Melalui wahyu Allah, bahwa sapi betina yang dimaksud adalah sapi betina
yang tak tua dan tak muda, warnanya kuning tua, belum dipakai membajak
tanah ataupun mengairi tanaman, tidak bercacat dan tidak ada belangnya.
Setelah terasa detail, mereka pun segera mencarinya dan menemukan sapi
yang dimaksud adalah milik seorang anak yatim. Mereka kemdian mebelinya
dan membawakannya kepada Musa. Sapi itu disembelih dan kemudian diambil
sebagian dagingnya dan dipukulkan kepada orang yang meninggal. Tiba-tiba
orang tersebut hidup dan menjelaskan siapa yang membunuhnya.
Allah hendak melengkapi rahmat-Nya kepada Bani Israil. Melalui wahyu
yang diturunkan Allah kepada Musa, ia menyuruh kaumnya masuk ke Tanah
Suci (Palestina). Mnamun mereka membangkang perintah itu. Dengan bahasa
rayuan dan manja, mereka meminta agar Allah mengusir orang-orang tiran
di sana.
Mereka semua ingin hidup enak dan bergantung kepada mukjizat Nabi Musa.
Mereka enggan memasuki kota itu. Dari ribuan orang, dua orang bangkit
dan megatakan untuk menyerbu kota itu. Tapi Bani Israil yang penakut
mencari-cari alasan agar mereka tak perang dengan orang tiran di sana.
Nabi Musa kebingungan menghadapi kaum yang keras kepala ini. Mereka lagi
dan terus ingkar dengan Musa. Ia berdoa kepada Allah dan Allah pun
murka kepada kaum Bani Israil. Azab Allah pun tiba. Mereka dihukum
dengan pengembaraan di alam liar gurun pasir Sinai selama empat puluh
tahun. Mereka hidup di tempat yang berbeda-beda selama masa tersebut.
Diceritakan ulang oleh Danny Setiawan Ramadhan dari buku “The Greatest Stories of Al-Qur’an” karya Syekh Kamal As Sayyid