“RUQYAH” Bukan Mengeluarkan Jin dari Tubuh Manusia, Tapi Justru Membantu Memasukkan untuk Menguasai Kesadarannya

Ruqyah menurut bahasa artinya membaca-kan .mantra. atau .jampi-jampi. kepada orang sakit. Sedangkan menurut istilah, ruqyah ialah cara penyembuhan terhadap orang sakit. Ruqyah telah dilakukan sejak zaman sebelum islam datang. Kemudian pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan syari‘at Islam dibenarkan oleh Baginda Nabi . Dengan istilah lain ruqyah adalah membacakan mantra atau jampi-jampi kepada orang sakit, baik dengan ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim maupun do‘a-do‘a supaya orang sakit mendapat kesembuhan dari Allah .
Sebagaimana contoh yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah  yang tersebut di dalam hadits di bawah ini:

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri  berkata: Sesungguhnya beberapa orang dari kalangan Sahabat Rasulullah  sedang berada dalam perjalanan. Mereka pergi ke salah sebuah kampung Arab dan mereka berharap agar boleh menjadi tamu kepada penduduk kampung tersebut. Namun ternyata penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang bertanya: Apakah ada di antara kamu yang bisa menjampi?, karena ketua atau penghulu kampung kami terkena sengat. Salah seorang dari para Sahabat menjawab: Ya, ada. Lalu beliau menemui ketua kampung tersebut dan menjampinya dengan surah al-Fatihah. Kemudian ketua kampung tersebut sembuh, maka
Sahabat tersebut diberi beberapa ekor kambing. Beliau tidak mau menerimanya dan mengajukan syarat: Aku akan menyampaikannya kepada Nabi , beliau pun pulang menemui Nabi  dan menyatakan pengalaman tersebut. Beliau berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku hanya menjampi dengan surah al-Fatihah. Mendengar kata-kata itu, Rasulullah  tersenyum dan bersabda: Tahukah engkau, bahwa al-Fatihah itu memang merupakan jampi. Kemudian baginda bersabda lagi: Ambillah pemberian mereka dan pastikan aku mendapatkan bagian bersama kamu.


• Riwayat Bukhari di dalam Kitab Pengobatan hadits nomor 5295.

• Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4080.

• Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Sholat hadits nomor 1989.


Menurut hadits Nabi  di atas yang dimaksud dengan Ruqyah adalah membacakan mantra atau jampi-jampi, baik dengan ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim maupun kalimat do‘a-do‘a kepada orang yang sakit supaya sakitnya menjadi sembuh. Ruqyah bukan dilakukan kepada orang yang sehat wal afiat dan sadar—karena alasan-alasan tertentu—kemudian menjadi hilang ingatan atau kesadarannya karena dikuasai makhluk jin, sebagaimana yang setiap saat dapat kita lihat dari tayangan televisi akhir-akhir ini. 

Kita perlu bertanya; mengapa orang dibacakan ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim bisa kehilangan kesadaran dan kesurupan jin...? dan yang dikatakan oleh para pelaku .ruqyah. tersebut malah mengeluarkan jin...? Benarkah itu.....? Marilah kita ikuti jawabannya insya Allah. 

Makhluk jin adalah makhluk yang lebih kuat daripada manusia. Jin diciptakan Allah  dari api sedang manusia diciptakan dari debu. Mereka dapat melihat manusia dari dimensi yang manusia tidak bisa melihat mereka. Mereka bisa dengan leluasa memasuki tubuh manusia, manusia tidak dapat memasuki tubuh mereka. Bahkan nenek moyang jin itu yang dahulu hidup di surga—sebelum mendapatkan julukan Iblis—sesungguhnya namanya adalah al-=Abid atau orang yang ahli ibadah.

Iblis pernah mendapat perintah Allah  memimpin sepasukan malaikat untuk membersihkan bumi dari makhluk jin yang lebih dahulu mendiami Bumi. Hal itu karena bumi nantinya akan dihuni manusia. Akan tetapi akibat al-Abid membangkang perintah Allah untuk sujud(mengabdi) kepada manusia, Nabi Adam , akhirnya dia mendapat laknat dan namanya diganti menjadi Iblis. Sejak itu di hatinya sudah tergores rasa permusuhan yang mendalam kepada manusia.

Konon ketika Nabi Adam  masih berbentuk tanah liat, belum mendapatkan ruh kehidupan dan diletakkan Allah  di halaman surga selama 40 tahun. Melihat kesempurnaan dan keserasian tubuh Nabi Adam yang lebih indah daripada tubuhnya sendiri, al-=Abid merasa kagum dengan bentuk tubuh makhluk baru tersebut. Dalam hati al-=Abid berkata: .Untuk Apa Allah  menciptakan makhluk seindah ini ?. =Al-Abid kemudian memasuki urat jalan darahnya, mempelajari anggota tubuh dalam makhluk yang belum bernyawa itu. 

Al =Abid kemudian duduk di dalam hati makhluk baru tersebut sambil berkata: .Hai makhluk baru, nanti ketika kamu sudah sudah hidup, kamu harus tunduk kepadaku. Di surga ini tidak boleh ada makhluk yang lebih berkuasa daripada diriku. Semua penduduk surga harus hidup dibawah perintahku, termasuk malaikat yang pernah aku pimpin untuk membersihkan bumi dari makhluk jin.. Hal itu karena al-=Abid merasa paling dekat kepada Allah . Namun apa jadinya, ternyata al-=Abid dan malaikat diperintahkan sujud kepada Nabi Adam. Oleh karena al-=Abid meresa lebih baik darinya, maka al-=Abid menolak perintah Allah tersebut.

Iblis dengan segala kekuatan dan bala tentaranya kemudian bersumpah untuk memper-daya anak manusia dan membelokkannya dari jalan yang lurus, sehingga Iblis dan balaten-taranya yaitu para setan jin yang terkutuk telah ditetapkan oleh Allah  sebagai musuh utama manusia. Allah  berfirman:

 Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.QS.Fathir:35/6.

Untuk itu, manusia harus waspada kepada tipudaya setan jin dan memperlakukannya sebagai musuh yang utama. Memperlakukan setan sebagai musuh itu adalah termasuk juga mengenali secara mendalam akan kekuatan dan kelemahannya, taktik, strategi tipudayanya, senjata-senjata dan kendaraan yang dijadikan alat perang serta balatentara untuk menguasai manusia. Kalau tidak, manusia akan dengan mudah dapat diperdaya oleh mereka. 
Sasaran utama tipudaya mereka adalah kesadaran dan hati manusia. Hal itu supaya manusia—dengan sadar maupun tidak—menjauhi jalan-jalan Allah  dan meninggalkan berdzikir kepada-Nya. Manusia akan dijadikan tentara-tentara bentukan mereka (wali-wali setan) untuk membantu perjuangan mereka dalam mengalahkan musuh-musuh setan yang utama, yaitu hamba-hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah  yang selalu berbuat ikhlas dalam mengabdi dan beribadah. 

Kepada hamba Allah yang ikhlas itu setan jin tidak mempunyai kekuatan untuk dapat mengalahkan secara langsung kecuali melalui tentara bentukan tersebut, yaitu manusia yang hatinya lalai dan telah jauh meninggalkan Tuhannya. Allah  mengabarkan hal tersebut dengan firman-Nya:

 Allah adalah (Walinya) Pelindungnya orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran dan kemusyrikan) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (wali-wali)nya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran dan kemusyrikan). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. QS.AlBaqoroh:2/257. 

Juga firman Allah :
 Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah bala tentara setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya bala tentara setan itulah golongan yang merugi.QS.Al-Mujaadilah:58/19.

Lebih detail lagi adalah firman Allah :
 Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. QS.Al-Furqon:25/31.

Wilayah kesadaran manusia adalah bagian yang paling utama yang harus mendapatkan perhatian dan penjagaan dengan bersungguh-sungguh. Itu adalah anugerah tuhan yang paling utama bagi manusia yang tidak seharusnya dipertaruhkan dengan sesuatu yang belum pasti. Terlebih dengan alasan yang dibuat-buat dan ditakut-takuti dengan tidak masuk akal. Yang pasti adalah kesadaran itu. Apabila dirasakan sehat, ya berarti sehat dan tidak ada jin di dalamnya. Jangan karena sekedar sering kentut dan susah tidur kemudian orang takut di dalam tubuhnya ada jin selanjutnya kesadaran itu justru yang dikorbankan kepada jin, sehingga berakibat menjadi hilang ingatan karena kesurupan jin seperti orang gila walau hanya sebentar. Hal tersebut bukan sekedar kesalahan tetapi bahkan kebodohan. 

Dengan kesadaran itu, manusia di dalam keadaan bagaimanapun supaya tetap dapat berdzikir atau ingat kepada Allah : ”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat” (QS.An-Nur/37), selanjutnya supaya manusia dapat bersyukur atas segala anugerah dan kenikmatan yang telah diturunkan kepada-nya. Dengan dzikir dan syukur itu berarti manusia dapat melaksanakan pengabdian yang hakiki. Itulah jalan-jalan utama yang menjadi sasaran setan untuk dihalangi. Untuk itu manusia harus selalu menjaga kesadarannya. 

 Yang menjadi pokok permasalahan di dalam pelaksanaan “ruqyah”, ketika orang yang asalnya sadar—hanya khawatir ada jin di dalam tubuhnya, dengan tanda-tanda yang kesannya dibuat-buat sebagaimana yang mereka ajarkan—maka kesadarannya dipertaruhkan. Mereka minta diruqyah, ketika diruqyah, mereka menjadi tidak sadar dan bahkan sampai muntah-muntah dan kencing di tempat.

Mengapa yang demikian itu dikatakan mengeluarkan jin dari tubuh manusia…..?. Seharusnya yang dikatakan mengeluarkan jin itu, mengeluarkan jin dari wilayah kesadaran manusia yang sudah terlanjur dikuasai oleh jin. Yaitu ketika manusia sedang kesurupan makhluk jin dan dibacakan ayat-ayat suci al-Qur‘an kemudian menjadi sadar sebagaimana semula. Bukan sebaliknya, dengan bacaan ayat-ayat suci al-Qur‘an orang yang asalnya sadar malah menjadi tidak sadar. 

Barangkali karena banyak kalangan kurang memahami, sesungguhnya makhluk jin dapat bebas keluar masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalan darahnya, baik untuk sekedar memberi informasi maupun mengadakan tipudaya kepada manusia bahkan langsung melalui hatinya. Demikian pula, jin bisa tinggal di dalam lubang hidung manusia sekedar untuk beristirahat. (Pada pembahasan berikutnya akan penulis ketengahkan dalilnya insya Allah), 

Kawasan yang tidak dapat dimasuki jin—karena memang dijaga oleh Allah —adalah wilayah kesadaran manusia. Allah menjaga wilayah kesadaran itu supaya manusia sebagai makhluk yang paling dimuliakan tidak dapat dikuasai jin melalui kesadarannya. Hal tersebut karena manusia sebagai kholifah Allah di muka bumi supaya dapat menjalankan pilihan hidupnya dengan sadar, melaksanakan hak “Hurriyatul Irodah” atau kebebasan dalam memilih dan menentukan jalan hidup dengan kesadaraan penuh, bukan dengan kesadaran yang dijajah oleh siapapun. Karena dengan itu kelak manusia harus mampu mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya dengan sadar pula. 

Seharusnya orang yang sedang tidak sadarkan diri diruqyah menjadi sadar, bukan malah sebaliknya. Orang yang sedang sakit akibat ganguan jin diruqyah menjadi sembuh, bukan yang sembuh malah menjadi terluka akibat tusukan jin pada wilayah kesadarannya yang bahkan kadang-kadang bisa berakibat sakit yang berkepanjangan. 
Untuk itu kita renungkan lagi tentang kegiatan yang mereka katakan ruqyah itu. Bukankah yang diruqyah adalah orang yang  sadar kemudian menjadi tidak sadar? Ketika tidak sadar, para pelaksana ruqyah tersebut bersusah-susah mengeluarkan jin yang terlanjur menguasai kesadaran itu, bahkan dengan tenaga dalam (katanya) sampai-sampai dengan mengeluarkan keringat segala…?. Kalau yang asalnya sadar kemudian menjadi tidak sadar dan disadarkan lagi, bukankah yang demikian itu berarti memasukkan tidak mengeluarkan..?. Inilah pokok pembahasan yang paling utama. 

Dengan pelaksanaan itu sejatinya manusia telah mengundang jin untuk menguasai kesadarannya sendiri. Berarti manusia tanpa sadar telah melukai alat atau sarana penunjang kehidupannya yang paling vital yaitu akal. Karena tanpa akal manusia menjadi gila. Akibat perbuatan itu, suatu saat jin dapat dengan mudah menguasai kesadaran manusia itu kembali, terutama ketika pikiran mereka sedang tidak mampu menanggung beban berat. 

Luka pada wilayah kesadaran manusia akibat kesurupan jin itu akan membekas untuk selama-lamanya. Orang tersebut akan menjadi orang yang dalam hidupnya pernah hilang ingatan atau gila walaupun hanya sebentar. Siapapun yang menyaksikan hal tersebut harus cepat-cepat sadar bahwa yang demikian itu adalah aib besar bagi kesucian asal usul/garis silsila atau kesucian nama besar garis keturunan. 

Siapa yang tidak malu menjadi keturunan orang yang pernah gila atau pernah hilang ingatannya…? Ibarat gelas kaca ketika sudah terlanjur pecah, sesempurna apapun orang dapat menyambungnya, bekas pecah itu selamanya akan tetap kelihatan. Demikian pula wilayah kesadaran manusia, luka itu akan membekas untuk selama-lamanya.

Akibat yang paling berbahaya, ketika suatu saat rasional manusia terpaksa harus menanggung beban kehidupan yang agak berat, menghadapi musibah misalnya, sehingga orang tersebut harus memeras akal untuk mencari solusi. Oleh karena dahulu wilayah rasional itu pernah luka, maka luka itu akan mudah kambuh lagi sehingga menjadi stres, atau paling tidak kekuatan dan daya tahannya berkurang. Kalau hal itu terjadi akibat perbuatan yang disengaja, berarti manusia dengan sengaja telah berbuat kebodohan dengan merusak diri sendiri bahkan kesucian garis keturunannya. Ironisnya sarana untuk merusak kehidupan manusia itu adalah ayat-ayat suci Al-Qur‘an al-Karim yang semestinya obat untuk menyembuhkan sakit manusia, tidak hanya kesadarannya bahkan juga hatinya.

Konkritnya, ketika manusia dengan sengaja berkonsentrasi mendengarkan ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim yang dibaca dengan irama yang syahdu. Tanpa terasa manusia justru cenderung terjebak memaksakan kehendak nafsu sahwat untuk bisa berbuat khusu‘1 (bukannya khusu‘ tapi mengkhusu‘-khusu‘kan diri).
1 Berbuat khusu’ itu artinya semeleh atau pasrah untuk mengikuti arus kehendak dan takdir Allah pada saat itu, bukan mengkondisikan diri supaya dapat khusu’.
2 Wilayah emosional itu juga disebut quwatul hayaliyah, yaitu alam manusia yang ada di dalam jiwanya yang dimensinya berdekatan dengan dimensi jin. Simak buku Ilmu Laduni.

Terlebih ketika tujuan amal itu bukan semata melaksanakan bentuk pengabdian yang hakiki kepada Allah , bahkan dengan sengaja dan persiapan secara rasional telah mengarah kepada dimensi jin, atau bertawajjuh kepada dimensi jin, maka dengan amal perbuatan tersebut sejatinya manusia telah terjebak kepada dominasi kemauan emosional (nafsu syahwat) yang wilayahnya2 di dalam jiwa manusia sangat berdekatan dengan wilayah dimensi jin.

Dengan konsentrasi tersebut ketika batas-batas ruang wilayah rasional semakin terdesak
oleh dorongan emosional, sehingga keadaan manusia menjadi sadar dan tidak sadar, berarti saat itu manusia benar-benar telah mendekati wilayah dimensi jin. Artinya dengan kekuatan emosionalnya sendiri manusia telah membuka benteng pertahanan rasionalnya mengundang jin untuk menguasai jiwa raganya melalui wilyah kesadaran tersebut.

Ini adalah urusan yang halus-halus yang jarang dimengerti kecuali orang yang ahli mujahadah dan riadhoh di jalan Allah atau juga disebut orang yang mengembarakan ruhaniyah. Dengan pengembaraan ruhanaiyah itu berarti manusia sedang mengadakan perjalanan keluar masuk antara dua alam berbeda yang ada dalam jiwanya sendiri, yaitu alam lahir dan alam batin. Batas antara dua alam itulah kedudukan alam jin berada. Oleh karena itu, tanpa bimbingan guru ahlinya, jiwa para pengembara dengan kendaraan ruqyah tersebut sebagian besar malah diterkam jin, karena jiwa yang lemah itu terlebih dahulu tersesat di alam jin.

ALASAN PERTAMA :
Menjual Ayat dengan Harga Murah
 
Firman Allah  al-Qur‘an al-Karim Surat al-Isra‘/ayat, 17/82-84.
 “Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian  Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia: dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.”. QSAl-Isra.:17/82-83.

Ayat 82 di atas menunjukkan bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat sesuatu yang dapat menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman. Namun bagi orang-orang yang zalim, al-Qur‘an itu hanya menambah kerugian belaka. Siapakah yang dimaksud orang yang zalim tersebut…? Ayat selanjutnya menyatakan,  yaitu orang-orang yang: “Apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya mereka berpaling dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”. QS:17/83. 

Ayat-ayat di atas menegaskan dengan gamblang bahwa al-Qur‘an tidak hanya untuk mengobati jasmani manusia saja tetapi yang paling utama adalah ruhani dan kesadarannya. Terhadap orang yang zalim, yaitu orang-orang yang pola pikirnya tidak sehat karena di hatinya ada penyakit hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan dari Allah dan mudah putus asa apabila mendapatkan musibah. Kepada orang tersebut al-Qur‘an itu bahkan hanya akan menambah kerugian belaka. Apabila ayat tersebut dikaitkan dengan hadits Rasulullah  di bawah ini : 
 Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri  berkata: Sesungguhnya beberapa orang dari kalangan Sahabat Rasulullah  sedang berada dalam perjalanan. Mereka pergi ke salah sebuah kampung Arab dan mereka berharap agar boleh menjadi tamu kepada penduduk kampung tersebut. Namun ternyata penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang bertanya: Apakah ada di antara kamu yang bisa menjampi? Karena ketua atau penghulu kampung kami terkena sengat. Salah seorang dari para Sahabat menjawab: Ya, ada. Lalu beliau menemui ketua kampung tersebut dan menjampinya dengan surah al-Fatihah. Kemudian ketua kampung tersebut sembuh, maka Sahabat tersebut diberi beberapa ekor kambing. Beliau tidak mau menerimanya dan mengajukan syarat: Aku akan menyampaikannya kepada Nabi , beliau pun pulang menemui Nabi  dan menyatakan pengalaman tersebut. Beliau berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku hanya menjampi dengan surah al-Fatihah. Mendengar kata-kata itu, Rasulullah  tersenyum dan bersabda: Tahukah engkau, bahawa al-Fatihah itu memang merupakan jampi (Ruqyah). Kemudian baginda bersabda lagi: Ambillah pemberian mereka dan pastikan aku mendapatkan bagian bersama kamu.

• Riwayat Bukhari di dalam Kitab Pengobatan hadits nomor 5295.

• Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4080.

• Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Sholat hadits nomor 1989.

Dengan itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam al-Qur‘an al-Karim terdapat dua kemanfaatan bagi manusia, yaitu kemanfaatan batin dan kemanfaatan lahir. Kemanfaatan batin sebagai ilmu pengetahuan dan hidayah, maka hanya kepada orang-orang yang beriman saja al-Qur‘an dapat menjadi penawar (obat), rahmat dan juga petunjuk (hidayah) sebagaimana yang telah ditegaskan Allah  dengan firman-Nya yang lain: 

Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, - (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, QS..Al-Baqoroh:2/2-3.

Namun bagi orang-orang yang berbuat zalim atau orang-orang yang pola pikirnya tidak sehat karena di dalam hatinya ada penyakit hasud dan putus asa, al-Qur‘an al-Karim itu tidak akan membawa kemanfaatan apa-apa kecuali hanya menambah kerugian belaka. 

Adapun kemanfaatan yang lahir, yaitu sebagai jampi atau ruqyah. Katika al-Qur‘an
(surat al-Fatihah) dibacakan kepada orang yang jasmaninya sedang sakit, dengan izin Allah  orang tersebut menjadi sembuh. 

Jadi, di dalam memahami ayat-ayat al-Qur‘an al-Karim seharusnya orang tidak hanya melihat aspek yang lahir saja, tetapi juga yang batin. Hal itu karena al-Qur‘an diturunkan di dunia bukan hanya untuk menyembuhkan jasmani manusia saja tetapi yang lebih penting adalah ruhaninya. Artinya untuk keselamatan hidup umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. 

Para orientalis barat—yang keahliannya tentang al-Qur‘an dan ilmu keislaman melebihi orang-orang beriman—sengaja mempelajari al-Qur‘an dan agama Islam bukan untuk kepentingan membela agama Islam tetapi justru untuk menghancurkannya. Mereka membuka lembaga-lembaga tinggi pendidikan Islam tetapi dengan tujuan supaya dapat meracuni aqidah orang-orang Islam melalui murid-murid yang mereka didik. 

Hal itu karena mereka tidak mampu menghancurkan Islam dari luar, maka mereka berusaha menghancurkannya dari dalam. Yaitu dengan ilmu Islam dan orang-orang Islam yang
mereka didik dan mereka persiapkan dengan segala perencanaan yang matang. Untuk itu seyogyanya setiap pribadi yang beriman harus waspada terhadap gerakan mereka, barangkali tanpa kita sadari mereka telah menyusupkan rencara jahatnya itu di dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam, yaitu melalui pelaksanaan ruqyah—yang mereka sebut sebagai amaliyah yang paling sesuai dengan syari‘at islam(ruqyah syar‘iyah)—yang mereka kembangkan secara besar-besaran dewasa ini. 

Apabila orientasi orang dalam memandang al-Qur‘an al-Karim hanya terbatas pada aspek yang lahir saja. Hanya untuk menyembuhkan penyakit manusia yang lahir saja bukan penyakit yang batin sebagaimana pelaksanaan “Ruqyah” yang sekarang sedang marak di mana-mana. Maka jadilah akhir-akhir ini kita lihat di sana-sini banyak bermuculan orang menjual dan menawarkan rekaman wahyu Ilahi yang suci dan mulia itu dengan pola dagang seperti tukang dagang obat di pinggir jalan, yakni dengan melaksanakana atraksi sulap terlebih dahulu baru kemudian menjual obatnya.

 Mereka bahkan berdagang dengan pola penawaran marketing biaya tinggi melalui promosi yang dimuat dihalaman-halamam depan  majalah-majalah yang bersifat islami…?. Seperti paranormal menawarkan jasa-jasa perdukunan di majalah-majalah perdukunan yang telah mentradisi selama ini. Gejala apakah gerangan yang sedang terjadi ……? Bukankah model seperti itu justru melecehkan ayat-ayat yang suci? Karena ayat-ayat itu dijual hanya untuk memenuhi keuntungan pribadi dan golongan….? Itulah yang dimaksud menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah yang terlarang oleh al-Qur‘an itu sendiri…..? sebagaimana yang telah ditegaskan Allah  dengan firman-Nya:
  
 “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa”. QS.Al-Baqoroh:2/41.

Semoga kita selalu mendapatkan hidayah dan perlindungan Allah  dari kesalahan fatal yang tidak kita sadari sehingga dapat menghancurkan diri sendiri serta umat manusia secara keseluruhan.


ALASAN KEDUA :
Beramal Tanpa Bimbingan Guru

Firman Allah  surat al-A‘raaf ayat 201. Allah  berfirman: 
 “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” QS.Al-A.raaf:7/201.

Yang dimaksud dengan “Thooifum minasy-Syaithon” atau was-was dari setan dari ayat di atas, bentuk wujudnya kadang-kadang berupa bisikan di dalam hati manusia di luar bisikan hatinya sendiri. Bisikan itu terkadang bahkan dirasakan lebih dominan daripada bisikan hatinya sendiri. 

Seperti orang melihat orang lain misalnya, menurut penilaiannya, orang yang dilihat itu adalah orang baik, karena secara lahir orang tersebut saat itu sedang berbuat kebajikan. Namun bisikan hati itu berkata lain. Katanya, meski secara lahir orang tersebut sedang melakukan sholat dan bershodaqoh, sejatinya hatinya penuh dengan riya‘ dan kemunafikan. 

Dengan bisikan seperti itu, hati orang tersebut menjadi bingung, karena akalnya berkata A sedangkan hatinya berkata B. Terjadi perang batin yang berkepanjangan di dalam isi dadanya sendiri. Semakin lama perang batin itu menjadi semakin berkecamuk sehingga orang tersebut tidak sempat memikirkan urusan yang lain. Klimaksnya, ketika kebingungan itu semakin memuncak akhirnya orang tersebut tidak sadarkan diri dan kesurupan jin. Apabila keadaan tersebut tidak segera mendapatkan pengobatan yang benar, orang yang dihantui kebingungan itu lama-lama bisa jadi menjadi gila.

Tanda-tanda awalnya, adanya perubahan yang mencolok dalam prilaku hidup orang tersebut. Seorang yang asalnya periang mendadak menjadi pendiam, tidak suka bicara dan bergaul dengan orang lain, sering mengurung diri di dalam kamar dan berbicara sendiri. Merasa benar sendiri sehingga selalu menolak setiap pendapat orang lain. 

Kadang-kadang mengaku didatangi ruh para Wali, bahkan katanya mendapat ilmu langsung dari para Wali dan para Nabi. Para wali dan para Nabi itu diakui datang sendiri ke kamarnya. Yang lebih parah lagi, diantara mereka ada yang mengaku pernah bertemu langsung dengan Allah. Mereka melaksanakan mi‘roj seperti mi‘rojnya Baginda Nabi dan mendapat wahyu dari-Nya. Ketika penyakit itu semakin parah, mereka kemudian meninggalkan seluruh pemilikan duniawinya, bahkan anak istri dan keluarganya yang dahulu sangat dicintai. Menjadi musafir selama hidupnya, berjalan sepanjang jalan tidak tentu arah dan tujuan. 

Banyak kasus seperti ini kita temui di masyarakat. Anehnya kebanyakan orang yang terkena penyakit seperti itu justru dari kalangan orang yang ahli wirid-wirid khusus dan mujahadah di tempat-tempat sepi. Mengapa demikian..? Karena wirid-wirid khusus dan mujahadah yang ditekuni itu dilaksanakan tanpa mendapat bimbingan dari seorang guru ahlinya, yaitu guru-guru mursyid sejati yang dapat mentarbiyah kehidupan ruhani manusia. 

Hal itu, karena wirid-wirid dan mujahadah itu hanya didasari kemauan emosional dan rasional belaka yang ujung-ujungnya duniawi sehingga kehidupan spiritual (ruhani) manusia menjadi gersang. Dengan yang demikian itu, setan jin terfasilitasi masuk ke wilayah kesadaran manusia untuk menjadi pembimbing ibadah dengan memanfaatkan lemahnya perlindungan rasional kerena saat itu wilayah rasional sedang terdesak dorongan emosional. 

Konkritnya, ketika rasional manusia dalam kondisi lemah akibat terdesak intensitas emosional yang sedang memuncak,—meski itu akibat konsentrasi di dalam membaca kalimat dzikir atau ayat-ayat al-Qur‘an, sehingga keadaan manusia menjadi sadar dan tidak sadar, saat-saat seperti itulah yang sangat ditunggu setan jin untuk memasukkan sulthon (tehnologi) nya di dalam jiwa manusia,—di saat wilayah rasional itu menjadi terluka akibat desakan emosional. Dengan tehnologi ghaib itu setan jin kemudian mengirimkan sinyal was-wasnya kepada manusia dari jarak jauh. 

Hakikat di balik rahasia kejadian seperti itulah yang disinyalir Rasulullah  dengan sabdanya yang artinya: “Barang siapa beramal tanpa guru maka gurunya adalah setan”. Perhatikan dengan seksama karena hal ini adalah urusan yang samar dan halus yang harus mendapatkan perhatian bagi orang yang tekun menjalankan mujahadah. Urusan pelik yang tidak banyak diketahui dan dimengerti oleh kalangan awam. 

Kebanyakan kalangan awam itu mengira, asal sudah melaksanakan ibadah atau membaca ayat-ayat suci al-Qur‘an berarti mereka akan menjadi orang baik. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Justru saat orang beribadah dengan tekun itu berarti mereka sedang pasang badan untuk menjadi musuh setan. Oleh karenanya, orang yang sedang beribadah itulah yang menjadi target operasi setan yang paling utama. 

Dalam hal ini setan tidak harus menghalangi mereka untuk meninggalkan ibadahnya, tapi dengan ibadah itu bagaimana mereka masuk neraka. Yaitu ketika dengan ibadah itu hati orang malah menjadi sombong. Merasa benar sendiri dan paling sesuai dengan syari‘at agama Islam, sehingga pelaksanaan ruqyah yang sedang marak itu, oleh pelaksananya dinamakan “ruqyah syar.iyyah” sedangkan ruqyah yang dilaksanakan orang lain yang caranya tidak sama dengan cara mereka—hanya karena mereka belum mengerti ilmunya, dikatakan ruqyah yang berbau syirik atau “ruqyah syirkiyyah”. Demikianlah fenomena telah berbicara, maka setan menjadi betah tinggal bersama orang-orang sombong.

Adapun maksud ayat di atas: “Orang yang bertakwa kepada Allah apabila sedang dirimpa was-was dari setan, maka berdzikirlah (tadzakkaruu.)QS.Al-A.raaf:7/201. Yang dimaksud berdzikir itu, boleh jadi dengan sholat, dengan membaca kalimah thoyyibah atau wirid-wirid dan dengan membaca ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim. Dengan dzikir dan wirid itu supaya mereka menjadi sadar sehingga mengetahui terhadap sesuatu yang terjadi pada diri mereka.
 
Maksudnya, dengan membaca ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim itu, seharusnya orang yang jasadnya sedang terserang penyakit jin atau orang yang sedang kesurupan jin menjadi sadar, tidak malah sebaliknya. Orang yang sehat wal afiat dan sadar menjadi hilang ingatan atau gila karena sedang kesurupan jin walau sebentar, bahkan muntah-muntah dan mengotori masjid dengan air kencing yang najis. Bukankah yang demikian itu berarti memasukkan penyakit dan barang najis baik di dalam tubuh manusia maupun di tempat ibadah, bukan mengeluarkannya? Mengapa yang demikian itu dikatakan “ruqyah syar.iyyah”?

Contoh kasus yang lain: Suatu saat datang kepada penulis seseorang yang lahirnya kelihatan segar-bugar dan sewat wal afiat, akan tetapi dia mengaku sakit. Penyakitnya itu bukan di dalam jiwanya bukan di dalam kesadarannya, akan tetapi di saat-saat tertentu di dalam dadanya didatangi tamu aneh yang tidak diundang.
Ceritanya, akhir-akhir ini dia dibuat bingung oleh bisikan yang bersumber dari dalam dadanya sendiri. Awalnya ada bisikan kalimat “Lailaha illallah”, dzikir ghaib itu berbunyi sendiri di luar kemauannya. 

Awalnya dia senang, betapa tidak, kalimat dzikir itu seakan-akan pengingat dari Allah supaya dia selalu ingat kepada-Nya, karena dia memang orang yang ahli mujahadah bahkan kadang-kadang dengan melaksanakan kholwat di tempat-tempat yang sepi seorang diri. Kehadiran dzikir ghaib di dalam dadanya itu disambut dengan positif. Akan tetapi lama-kelamaan dzikir ghaib itu ritmenya semakin meningkat bahkan akhirnya hampir-hampir mendominasi seluruh waktu hidupnya sehingga kehidupannya menjadi terganggu, bahkan yang terakhir setiap malam hampir tidak dapat tidur sama sekali. 

Saat itulah dia mulai sadar bahwa yang sedang dialami itu bukan hal yang positif akan tetapi negatif. Walaupun dengan adanya bisikan dzikir ghaib itu dia banyak mendapat kelebihan yang dapat dipergunakan untuk membantu dan menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongannya. Sayangnya kesadaran itu sudah terlambat, hidupnya sudah terlanjur dikuasai oleh bisikan ghaib yang tidak diketahui asal-usulnya itu. Alhamdulillah berkat kemauannya yang kuat untuk mengobati dirinya sendiri dan pertolongan Allah  kepada hamba-Nya yang mau bertaubat, dengan terapi latihan panjang, akhirnya dia sekarang terbebas dari bisikan kalimat dzikir yang telah menyiksa itu. 

Mengapa ada kejadian seperti itu…? Penyebabnya sejatinya sama, orang tersebut senang beramal dengan amalan khusus (wirid-wirid khusus) akan tetapi dilaksanakan dengan tanpa guru ruhaniyah yang membimbing. Oleh karena itu, tidak selalu menjadi jaminan bahwa dzikir dengan kalimat “Lailaha illallah“ sekalipun atau bacaan ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim, dapat menjadi obat bagi manusia manakala cara membacanya tidak benar. Seperti orang naik sepeda motor, seharusnya sepeda motor itu sebagai sarana untuk membantu mempermudah hidup manusia, manakala dikendarai oleh orang yang belum ahli dalam mengendarai sepeda motor, maka boleh jadi sepeda motor itu dapat mempercepat kematian. 

Seharusnya orang-orang yang seperti contoh di atas itulah yang diruqyah supaya penyakit yang ada dalam hati mereka menjadi sembuh, dan penderitaannya menjadi sirna. Ruqyah bukan untuk melukai kesadaran orang yang sehat menjadi kemasukan makhluk jin, menjadi hilang ingatan atau gila walau sebentar. Kalau seandainya saat itu orang yang kesurupan jin pasca di ruqyah itu tidak dapat disembuhkan, siapa yang akan bertanggungjawab dari aib yang memalukan itu….?


ALASAN KETIGA :
Membaca dalam Keadaan Lalai
 
Firman Allah  Surat al-Hajj ayat 52.
  “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan (nafsu syahwat), setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS.Al-Hajj:22/52.

Ayat di atas semakin memberi kejelasan. Jangankan manusia biasa, seorang Rasul dan Nabi sekalipun, mereka tetap berpotensi terkena was-was setan. Di dalam mereka menyampaikan tugas risalah dan nubuwah kepada umatnya, baik di saat melaksanakan dzikir, fikir dan munajat maupun pengabdian dan jihad, apabila di dalam ritual itu terdapat kesalahan yang fatal, maka setan jin segera menyusupkan sulthon atau was-wasnya ke dalam hati mereka. Itu bisa terjadi
disebabkan terbukanya ruang kosong (melamun urusan duniawi) di dalam wilayah kesadaran manusiawi sehingga disaat-saat seperti itu kemauan nafsu syahwat (emosional) berbalik menjadi pendorong ibadah. 

Hanya saja Allah memberikan pertolongan kepada hamba-hamba-Nya yang sholeh dengan pernyataan-Nya: “yang menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya”, sehingga yang sudah dimasukkan jin itu dapat dicabut kembali. Hal itu, karena setan jin memang sudah sangat dekat kepada manusia bahkan ada yang bertempat tinggal di dalam dadanya: “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” (QS.An-Nas/5). Kepada orang yang sedang beribadah seperti itu, tipudaya setan jin itu bukan untuk menghalanginya dari ibadah, tetapi membelokkan arah tujuannya. 

Contohnya: Ketika ibadah dan mujahadah yang awalnya dapat dilakukan dengan ikhlas semata bentuk pengabdian kepada Allah, namun oleh karena amal yang utama itu tidak terbimbing secara ruhaniyah oleh guru-guru ahlinya, ketika terjadi kelengahan dalam konsentrasi sehingga saat itu emosional dominan menjadi pendorong kemauan manusia dalam beribadah, maka setan jin dengan sendirinya terfasilitasi memasukkan was-wasnya kepada orang yang sedang ibadah itu. 

Di dalam kesendirian ibadah di alam sepi, seperti orang berkholwat malam di dalam kamar pribadi misalnya, datangnya was-was setan itu awalnya bisa jadi berbentuk suara orang berdzikir dengan berjama‘ah yang terdengar dari kejauhan. Semakin lama suara itu semakin menusuk perasaan. Keadaan tersebut sejatinya memang suasana yang dikondisikan setan jin untuk memutuskan konsentrasi ibadah.

Oleh karena tidak banyak orang memahami rahasia di balik kejadian seperti itu, maka suara dzikir yang menusuk kesadaran itu dikira anugerah yang didatangkan Allah kepada mereka sebagai buah ibadah yang ditunggu-tunggu. Ketika suara-suara itu semakin diikuti perasaan, ditarik di dalam hati sambil menunggu apa yang akan terjadi, antara sadar dan tidak sadar, selanjutnya kesadaran manusia itu ditarik masuk ke dalam dimensi alam jin. Itulah perangkap yang ditebarkan setan jin kepada orang yang beribadah secara khusus itu.

 Proses datangnya was-was setan seperti itu jauh lebih halus dan lebih samar daripada perangkap jin yang ditebarkan di dalam proses orang diruqyah. Oleh karenanya, seandainya orang-orang yang sedang beribadah itu tidak mendapatkan pertolongan Allah, yaitu sistem perlindungan yang sudah dibangun untuk menangkal gangguan setan bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam ayat tersebut di atas: Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Barangkali tidak ada seorang pun dari para ahli ibadah itu terhindar dari jebakan setan jin tersebut. 

Pada saat orang diruqyah, setan jin tidak harus bersusah payah mengkondisikan suasana seperti datangnya suara dzikir itu. Sebabnya, sejak awal, dengan konsentrasi yang dipaksakan itu, manusia sendiri sejatinya yang mengkondisi-kan dirinya masuk ke dalam perangkap setan jin sehingga demikian mudah orang yang diruqyah itu kesurupan jin. Ironisnya, orang yang sedang masuk perangkap jin itu justru malah dianggap gejala positif dari ruqyah yang sedang mereka laksanakan. 

Hal itu membuktikan bahwa para pelaksana ruqyah itu sedikitpun belum berpengalaman di dalam urusan dunia jin dan jebakannya atau barangkali mereka itu adalah orang yang sudah terjebak tipu daya itu, sehingga hal yang sedemikian membahayakan itu sedikitpun tidak pernah mereka sadari.

Mereka bahkan melaksanakan ruqyah itu dengan penuh kebanggaan dan kesombongan. Seakan-akan hanya mereka sendiri yang tidak melakukan perbuatan syirik dan bid.ah di dalam melakukan ruqyah itu, sedangkan ruqyah yang dilaksanakan orang lain yang caranya tidak sama dengan cara mereka dan jimat-jimat yang dikumpulkan sebelum pelaksanaan ruqyah itu mereka anggap perbuatan syirik. 

Bukan wilayah syirik atau tidak syirik yang menjadi tujuan pokok penulisan ini. Wilayah itu adalah wilayah hukum syari‘at yang memerlukan kecermatan di dalam mengambil keputusan hukum. Penulisan ini terbatas hanya urusan yang lebih sederhana dan kasat mata saja, yaitu demi keselamatan hidup anak cucu kita akibat kesalahan yang kita perbuat sendiri. Menjaga mereka dari bahaya setan jin yang setiap saat selalu siap menerkam mangsanya.

Contoh lagi: was-was setan itu tidak hanya berupa suara dzikir saja tapi juga penampakan-penampakan yang mampu memalingkan tujuan ibadah. Godaan setan jin jenis ini jauh lebih berbahaya daripada suara dzikir tersebut, karena yang diserang oleh penampakan itu bukan kesadaran manusia tapi hatinya. Hal itu juga disebabkan terjadinya kelengahan di dalam konsentrasi ibadah, terlebih lagi apabila tujuan ibadah itu ujung-ujungnya urusan duniawi, seperti ingin kaya mendadak atau menjadi orang sakti mandra guna. Terhadap orang seperti itu, dengan kekuatan sihirnya setan jin mampu memunculkan penampakan tersebut bukan melalui pandangan mata lahir maupun mata batin yang disebut matahati, tapi melalui indera hayaliyah manusia yang disebut “Quwwatul Hayaliyah”..

Ketika kekhusu‘an ibadah itu terputus oleh urusan duniawi yang muncul dalam ruang hayal secara manusiawi, penampakan itu kemudian datang dalam bentuk gambar yang sejatinya sudah ada di dalam hayalan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, apabila yang diangan-angan oleh orang yang beribadah itu ingin berjumpa dengan ruhnya Wali, maka munculnya penampakan itu dalam ujud sosok seorang Wali. 

Selanjutnya penempakan itu memperde-ngarkan suara di dalam dada manusia. Mengaku ruh seorang Wali dan berkata: .Saat ini kamu telah menjadi orang sempurna, menjadi muridku yang utama, selanjutnya kamu harus mengikuti aku untuk meningkatkan kemuliaanmu dengan tambahan wirid dan laku yang harus kamu jalani. Hal tersebut kadang-kadang harus dilakukan dengan merendam diri (kum-kum) di sendang atau datang ke pantai dan gua-gua yang ada di dalam hutan. Di tempat itu terkadang mereka ditunjukkan (dalam hayalan) harta karun ghaib yang masih diselimuti bayangan. Katanya lagi; .Saatnya nanti harta karun itu menjadi milikmu, untuk bekal perjuanganmu, untuk biaya membangun pondok pesantren dan lain-lain.. 

Kejadian seperti itu seringkali dikira hal yang positif oleh orang yang ahli wirid khusus itu. Padahal itu adalah tipudaya setan yang mampu menjadikan mereka lupa diri, menjadi orang gila kehormatan dan kemuliaan. Itulah jebakan setan jin yang mematikan. Dengan jebakan itu supaya manusia menjadi sombong dan takabbur, merasa punya linuwih, merasa lebih mulia daripada orang lain, yang kemudian arah ibadah menjadi bergeser dan berubah. Ibadah yang asalnya mencari ridho-Nya dan surga menjadi mencari kehormatan dan harta benda serta linuwih duniawi. Allah  memberikan sinyalemen dengan firman-Nya:

 “Dan setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam”. QS.Al-Ankabut:29/38.

Pencarian harta karun ghaib itu kemudian menjadi trend, menjadi tujuan utama dari mujahadah yang dilakukan oleh sebagian kalangan, baik dengan sendiri-sendiri maupun berjama‘ah4. 
4 Pencarian harta karun ghaib ini pun akhir-akhir ini sedang marak, malah dilakukan oleh sebagian tokoh agama dan masyarakat. Pencarian itu bahkan pernah dilakukan seorang pejabat negara, Mentri Agama saat itu. Dengan kekuasaan yang sedang diduduki dia menyuruh orang membongkar situs purbakala dengan cara yang tidak benar. Dia mencari harta karun ghaib gara-gara mengikuti kata-kata dukun yang dipercaya. Dengan alasan harta karun itu nantinya dapat digunakan untuk membayar hutang negara. 

Harta-harta karun ghaib tersebut kemudian dicarinya dengan bersungguh-sungguh melebihi pencariannya kepada keridhoan Allah  seperti tujuan awal ibadah, sehingga yang disembah sekarang bukan Allah, tapi setan-setan yang telah menguasai jalan pikiran dan kesadarannya. Setan-setan itu dijadikan layaknya berhala dalam hayalan yang setiap saat wangsit-wangsitnya sangat ditunggu di setiap mereka melaksanakan mujahadah di tempat-tempat yang sepi.  

Apabila keadaannya sudah seperti itu, siapapun orangnya, mereka sulit dapat diingatkan kecuali ketika harta pemilikannya sudah habis-habisan akibat tertipu oleh orang-orang yang memanfaatkan kebodohan mereka. Allah  telah memberikan peringatan dengan firman-Nya:

 “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. QS.Yaasin:36/60.

Para pelaksana mujahadah tersebut bisa dikategorikan sebagai orang yang sombong, orang yang masuk perangkap setan jin yang mematikan, parmeternya, manakala setelah menjalankan ibadah itu mereka melihat orang lain lebih hina daripada dirinya. Mereka merasa mempunyai derajat lebih tinggi daripada orang-orang lain. Apabila perasaan tersebut dilahirkan dengan ucapan maupun perbuatan maka orang tersebut telah menjadi orang takabbur.

Apabila jalan ibadah itu benar dan jalan yang lurus sehingga dengan ibadahnya seorang hamba dapat wusul kepada Tuhannya. Hamba tersebut bukannya merasa mulia, tetapi justru merasa lebih hina daripada orang lain. Menjadi semakin mengenali kedho‘ifan dan kelemahan basyariyahnya, mengenali aib-aibnya, mengenali keterbatasan kemampuannya, semakin kelihatan dosa-dosanya, sehingga dapat meningkatkan semangat untuk melaksanakan taubatan nasuha. 

Itulah tanda-tanda seorang hamba yang mengenali Tuhannya atau berma‘rifat kepada Allah . Dihadapan siapa saja, mereka selalu merasa hina tapi orang lain melihatnya sebagai orang yang mulia. Yang demikian itu karena Nur Kemuliaan Allah telah memancar melalui perbuatan dan akhlakul karimahnya. Terlebih apabila ibadah dan dzikir itu telah membuahkan rasa syukur, hatinya gembira karena telah mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari tuhannya, berarti jalan ibadah yang ditempuh itu sudah benar. Yang demikian itu telah diisyaratkan Allah  dengan firman-Nya:

 “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat-Ku)”. QS.Al-Baqoroh:2/152.

Dengan uraian diatas urusannya menjadi semakin jelas. Apabila pelaksanaan “ruqyah” tersebut masuk di dalam kategori pelaksanaan ibadah kepada Allah, maka seharusnya hasilnya tidak hanya menjadikan manusia asalnya tidak sadar menjadi sadar saja, akan tetapi lebih tinggi lagi dari itu, yaitu menjadikan para pelakunya mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya. 

Kalau hasil “ruqyah” tersebut ternyata malah sebaliknya, bahkan menjadikan orang sadar menjadi lupa ingatan, menjadi gila walau sebentar, apalagi dengan mengotori mesjid yang suci lagi mulia dengan muntahan dan air kencing yang najis, berarti pelaksaan .ruqyah. itu jelas bukan termasuk amal ibadah.  Padahal amaliyah tersebut dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur‘an al-Karim, maka hal itu dikhawatirkan justru merupakan perbuatan pelecehan terhadap ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim. Kita berlindung kepada Allah dari kesalahan fatal yang tidak disengaja.
 

ALASAN KEEMPAT :
Sihir Jin Yang Ditiupkan

Firman Allah  Qur‘an Surat al-Hijr/ayat 15/42. Qur‘an Surat Shod/ayat 82/85. Qur‘an Surat an-Nahl/ ayat 16/100
  “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat”. QS.Al-Hijr:15/42.

Seandainya .ruqyah. itu adalah sebuah ritual ibadah yang dilakukan seorang hamba Allah. Ruqyah tersebut  bukan perbuatan orang yang menyimpang dan mengikuti langkah setan sehingga menjadi sesat, dan bukan perbuatan syirik seperti yang diakui para pelakunya di setiap kali pelaksanaan .ruqyah. akan di mulai. Mereka dengan demonstrasi mengumpulkan dan membakar jimat-jimat yang dianggap syirik, dengan pernyataan ayat di atas seharusnya orang yang diruqyah itu tidak dapat kesurupan setan jin meski sesaat. 

Kalau ternyata sebaliknya, boleh jadi ayat-ayat suci yang dibacakan dalam .ruqyah. itu sudah disusupi pengaruh sihir yang ditiupkan setan jin. Hal tersebut sebagaimana yang disinyalir Allah  dengan firman-Nya (surat al-Hajj ayat 52): “melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu”, maka kita lihat, betapa keadaan para pelaku ruqyah itu tidak ubahnya seperti tukang sihir yang sedang membacakan mantra-mantra. Ketika ayat-ayat suci itu dibacakan, para pendengar yang khusu‘ itu seketika bergelimpangan tidak sadarkan diri dan kesurupan jin secara massal. 

Bukankah hal itu seperti yang terjadi di dalam permainan kuda lumping? Setelah pimpinan rombongannya membacakan mantra-mantra, para pemain itu seketika tidak sadarkan diri dan kesurupan jin. Namun bedanya, kuda lumping adalah tontonan yang mengasyikkan sedang pelaksanaan .ruqyah. tersebut adalah tontonan yang mengerikan dan menjijikkan. 

Hal tersebut, karena orang yang diruqyah dan para pemaian kuda lumping itu sama-sama tidak mendapatkan perlindungan dari Allah sehingga sedemikian mudah kesadaran mereka dikuasai makhluk jin. Allah  telah menegaskan pula dengan firman-Nya:
  “Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”. QS.Shod:82/85.

Iblis bersumpah di hadapan Allah  akan menyesatkan seluruh anak Adam kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas. Kepada hamba yang ikhlas itu kekuatan setan jin sedikitpun tidak dapat menembus benteng pertahanan yang melindungi mereka. Demikian itu yang dinyatakan Iblis di hadapan Allah  yang telah diabadikan Allah dengan firman-Nya di atas. 

Dengan pernyataan Iblis tersebut dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa yang menunjukkan suatu kehebatan dari bentuk pelaksanaan amal ibadah adalah, manakala ibadah itu mendapat perlindungan Allah  dari kekuatan setan jin untuk menguasai kesadaran manusia, tidak malah sebaliknya. Namun kenyataannya, mengapa kehebatan ruqyah itu justru indentik dengan orang kesurupan jin? Orang yang sedang kesurupan jin itu justru dianggap oleh mereka sebagai gejala positif dari  pelaksanan ruqyah tersebut ? Mengapa ada pemikiran yang sedemikian melencengnya dari syari‘at Allah? Ironisnya lagi justru hal tersebut diakui paling sesuai dengan syari‘at Islam?  

Lebih jelas lagi Allah  menyatakan dengan firman-Nya: 
Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin (beryatawalla) dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” QS.An-Nahl:16/100.

Penegasan Allah  itu maksudnya: bahwa hanya kepada orang-orang yang mengambil setan sebagai wasilah atau beryatawalla dan orang-orang yang telah berbuat syirik saja, setan jin dapat memperdaya mereka sehingga kesadaran mereka dapat dikuasai walau hanya sebentar. Sedangkan kepada hamba Allah yang ikhlas, setan jin tidak mempunyai kekuatan untuk memperdaya mereka.

Firman Allah  ............... . “yatawallaunahu” artinya mengambil orang lain sebagai wali atau berwasilah kepada orang tersebut. Apabila itu dipraktekkan dalam pelaksanaan amal ibadah maka yang dimaksud adalah bertawassul atau melaksanakan tawassul kepada orang yang ditawassuli. Untuk kaitan ini seorang ahli thoriqoh bertawassul kepada Rasulullah  melalui guru-guru mursyidnya. Hal itu supaya dapat terjadi hubungan ruhaniyah secara berkesinambungan (robithoh) antara orang yang bertawassul dengan orang-orang yang ditawassuli sampai kepada Rasulullah .

Dalam istilah lain melaksanakan interaksi ruhaniyah, yaitu dengan menghadirkan guru mursyid secara ruhaniyah di dalam perasaan ruhaniyah di saat melaksanakan ibadah kepada Allah  untuk diajak bersama-sama dalam menghadapkan wijhah atau bertawajjuh kepada Allah . Dengan yang demikian itu, supaya kekhusu‘an ibadah yang dilaksanakan lebih terfasilitasi dan do‘a-do‘a yang dipanjatkan lebih mendapat kemudahan untuk dibukanya pintu ijabah dari Allah . 

Adapun firman Allah  di atas menyatakan: Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin (beryatawalla). Ayat di atas mengandung maksud, bahwa kekuatan setan jin hanya dapat menguasai orang-orang yang di dalam pelaksanaan ibadah mereka dengan beryatawalla kepada setan jin atau menghadirkan setan jin di dalam perasaan di saat sedang melaksanakan ibadah itu. Hal tersebut contohnya, seperti konsentrasi yang dilaksanakan orang-orang yang diruqyah di saat mereka mendengarkan ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim sedang dibaca. 

Pelaksanaan ini kurang banyak dimengerti dan difahami oleh banyak kalangan, lebih-lebih bagi orang yang mendalami agamanya hanya secara syari‘at saja. Hanya orang-orang yang berthoriqoh saja yang setiap saat mendapatkan bimbingan dan tarbiyah langsung dari guru-guru mursyidnya. Mereka bisa merasakan dan mengetahui rahasia keadaan tersebut, terlebih lagi bagi mereka yang benar-benar telah mendalami hakikat berthoriqoh. 

Seperti itulah apa yang terjadi di dalam pelaksanaan “ruqyah”. Ketika orang-orang yang mendengarkan ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim itu, pikirannya menerawang memikirkan jin (apakah di dalam tubuhnya ada jin atau tidak)  sambil memaksakan diri untuk berbuat khusu‘. Tanpa disadari justru yang dilaksanakan itu adalah “beryatawalla” kepada setan jin. Dalam kondisi inilah, jin dapat menusuk dan menguasai wilayah kesadaran orang tersebut dengan mudah. 
Hal itu karena hakikatnya setan jin telah dipersilahkan sendiri untuk datang dan menusuk wilayah kesadaran mereka. Buktinya, meski mereka masih merasakan sakit dan lemas akibat wilayah kesadaran mereka dimasuki jin dan yang lainnya masih lelah karena habis mengeluarkan jin dari wilayah kesadaran temannya, mereka tetap saja merasa bangga, dan menurut mereka perbuatan itu bukan termasuk perbuatan syirik. 

Sesungguhnya perbuatan itu hakikatnya adalah syirik di dalam amal perbuatan “asy Syirku Fil „Amali”. Itu identik dengan perbuatan jin yang memang selalu bersyirik ria dengan manusia. Sebagaimana yang telah ditegaskan Allah  dengan firman-Nya:

 “Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak”. QS:17/64.

Barangkali karena perbuatan mereka belum pernah memakan korban yang fatal. Hati mereka merasa aman-aman saja dengan apa yang mereka perbuat. Memang manusia sering belum mau sadar sebelum mereka terjepit disebabkan menghadapi keadaan yang sangat berat sehingga benar-benar tidak mampu menanggungnya. Karenanya, hendaknya kita selalu waspada dan berhati-hati di dalam berbuat, terlebih ibadah yang bersinggungan dengan dimensi jin, diantaranya seperti pelaksanaan .ruqyah. itu. Apabila Allah  tidak melindungi hamba-Nya, maka tidak seorangpun dapat selamat dari ancaman setan jin yang sudah dinyatakan iblis di hadapan Allah dengan hanya satu alasan saja: “Jin dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat jin”.

Konsep kehati-hatian itu sejatinya seder-hana. Apabila manusia mampu berbuat hanya didasari niat ibadah yang ikhlas. Semata melaksanakan pengabdian yang hakiki untuk menegakkan hak rububiyah Allah. Meski pekerjaan yang dilakukan itu menolong orang-orang yang sedang kesurupan jin secara massal misalnya. Insya Allah seorang hamba akan mendapatkan perlindungan seperti yang terkandung di dalam pernyataan Allah  dengan firman-Nya: 

 “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat”. QS.Al-Hijr:15/42.
 

ALASAN KELIMA :
Ancaman Yang Mengelilingi

Firman Allah  al-Qur‘an Surat al-A‘raaf (7) ayat 16-17.
 “Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at)”. (QS.Al-A.Raaf:7/16-17).

Akibat Iblis membangkang dan menolak perintah Allah  untuk bersama-sama malaikat sujud (mengabdi) kepada Nabi Adam , Iblis mendapat laknat dan dihukum Allah Yang Maha Adil dengan vonis .Tersesat untuk selama-lamanya., maka Iblis menjawab hukuman itu dengan menyampaikan ancaman yang ditujukan kepada Nabi Adam  beserta anak turunnya sampai hari kiyamat dengan pernyataan yang diabadikan Allah  di dalam ayat di atas: (saya benar-benar akan menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, - kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at). QS:7/16-17). 

Sejak itu genderang perang dikumandang-kan. Sejak itupula peperangan terjadi dimana-mana bahkan sampai hari kiyamat nanti. Yang menjadi korban pertama adalah Nabi Adam  dengan istrinya, sehingga beliau berdua harus turun dari kebahagiaan dan kemuliaan yang abadi di surga, menderita di dalam kehinaan di dunia fana. Allah  memberikan peringatan kepada anak manusia dengan firman-Nya:

 “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.(QS.Al-A.Raaf:7/27).

Medan perangnya adalah dalam rongga dada anak cucu Nabi Adam dan tujuan utama perang supaya manusia secara keseluruhan tidak mampu bersyukur kepada Allah  sehingga mereka menjadi kufur nikmat yang akhirnya hidup bersama-sama dengan Iblis dan bala tentaranya di neraka jahannam untuk selama-lamanya. Wal.iyaadzu Billah.

Dalam rangka mensikapi dan menganti-sipasi ancaman tersebut dan secara khusus dihubungkan dengan pelaksanaan .ruqyah., maka timbul beberapa pertanyaan:
 
1. Mengapa justru orang yang rajin beribadah kepada Allah  yang mendapatkan perhatian serius dari setan jin dalam melancarkan tipu dayanya sehingga yang paling sering kesurupan jin juga mereka, bukan orang-orang yang sedang berbuat maksiat …?.

2. Bukankah yang dibaca dalam pelaksanaan ruqyah itu adalah ayat-ayat yang telah dijaga kesuciannya oleh Allah  dengan suatu pernyataan firman-Nya:
 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS.Al-Hijr:15/9).

3. Mengapa para pelaku “ruqyah” tersebut dapat kesurupan setan jin hingga hilang ingatan….?

Pertanyaan pertama: Mengapa orang yang beribadah kepada Allah  yang mendapat-kan perhatian serius dari setan jin dalam rangka melancarkan tipu dayanya sehingga yang paling sering kesurupan jin justru mereka, bukan orang-orang yang sedang berbuat maksiat …?.

Jawabannya: Karena orang yang sedang beribadah adalah orang-orang yang sudah menempuh jalan yang lurus atau jalan menuju surga, maka merekalah musuh-musuh utama setan jin. Caranya, setan jin tidak menghalangi orang yang sedang ibadah meninggalkan ibadahnya, karena hal tersebut pekerjaan yang sangat berat bagi setan jin serta banyak menguras energi, tetapi setan jin melakukannya dengan tipudaya supaya manusia dengan kemauan sendiri manusia meninggalkan ibadahnya. Tujuan  ibadah itulah yang menjadi sasaran utama, supaya tujuan itu berbelok arah. Ibadah yang dilakukan itu tidak menghantarkan manusia menuju surga tetapi menuju jalan kehancuran manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti dengan siksa neraka. 

Konkritnya, tanpa terasa—dengan ibadah itu—manusia digiring setan hanya untuk memperturutkan nafsu syahwat belaka sehingga dengan ibadah itu sesungguhnya manusia secara hakiki telah berbuat maksiat kepada Allah . Ibadah itu dilaksanakan bukan sebagai perwujudan rasa syukur atas kenikmatan yang sudah dimiliki, tetapi malah dijadikan sarana untuk meminta dan menuntut harapan yang diingini nafsu sahwatnya.

Itulah tugas utama setan jin selama hidupnya di dunia. Mereka sebagai tentara-tentara Iblis yang setia, sangat terlatih di dalam menjalankan tugasnya itu. Kita berlindung kepada Allah  dari kejahatan setan yang terkutuk. 
Hikmahnya (karena apa saja yang diciptakan Allah  untuk hamba-Nya yang beriman pasti akan membawa hikmah yang baik): Secara qudroti (akibat kesalahan yang disengaja dengan cara membangkang) Iblis dan setan tercipta menjadi bagian yang jelek (negatif) bagi kehidupan. Disisi lain, hamba-hamba Allah yang sholeh menjadi bagian yang baik (positif). 

Secara sunnah memang alam ini diciptakan secara berpasang-pasangan. Yang demikian itu, supaya di dalamnya ada keseimbangan dalam kehidupan serta terciptanya sistem seleksi secara alami. Hal itu bertujuan agar setiap kebaikan dan kebajikan dapat teruji dan yang sudah baik akan tampak tingkat kualitas kebaikannya serta mendapat kesempatan untuk meningkatkan derajat itu di sisi Allah Rabbul ‘Alamin. 

Oleh sebab itu, seseorang yang melaksana-kan amal kebajikan dan ibadah hendaklah sangat berhati-hati. Mereka harus mengantisipasi dorongan hawa nafsu serta segala taktik dan tipu daya setan yang mengancam sejak dini, supaya ibadah itu tidak dijadikan sarana oleh setan untuk menghancurkan manusia melalui hawa nafsunya sendiri. Sungguh jalan-jalan ibadah itulah yang menjadi perhatian utama setan jin sedangkan hawa nafsu manusia adalah kendaraan setan yang paling utama untuk mempardaya manusia karena: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. QS: Yusuf ayat 53.

Dalam rangka membelokkan dan menga-burkan arah tujuan ibadah, jalan ibadah itu dihadang dan didatangi setan jin. Mereka datang dari empat penjuru: “kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka(QS:7/16-17). Yang demikian itu, supaya ibadah itu menjadi bukan ibadah lagi, menjadi jauh dari norma-norma ibadah yang hakiki. Ibadah itu akhirnya hanya menjadi alat bantu untuk berbuat riya‘ dan ajang perbuatan pamer bahkan berbangga-banggaan sesama manusia. 

Tujuan ibadah itu supaya tidak semata-mata mencari ridho Allah  dan surga, tetapi mencari kesaktian dan popularitas duniawi. Dengan ibadah itu mereka jadikan sekaligus sebagai ladang penghasilan dan kesempatan berdagang. Menjadi sarana untuk mengatur strategi politik dan kepentingan organisasi, supaya ibadah itu tidak menjadi tuntunan tetapi menjadi tontonan yang laku diperjualbelikan di televisi. 
Bukan persoalan tersebut yang menjadi tujuan pokok penulisan, tetapi meluruskan pelaksanaan “ruqyah” sedang marak itu, supaya yang dikatakan pengobatan islami itu tidak mengakibatkan banyak orang menjadi korban. Supaya yang mereka katakan ruqyah syar’iyah itu tidak menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit dan malapetaka yang menimpa banyak orang, baik jasmani maupun ruhani. 

Ketika pelaksanaan ibadah (yang ditekuni secara khusus) tanpa mendapatkan bimbingan yang benar dari seorang guru ahlinya, kerapkali ibadah-ibadah khusus itu justru menjadi sebab orang menjadi gila. Kalau bukan gila dalam arti hilang ingatan dan kesadaran sebagaimana yang telah dicontohkan di dalam kejadian-kejadian di atas, ada lagi gila yang lebih bahaya dari itu, yaitu gila dalam arti lupa diri atau yang disebut gila kemuliaan dan kehormatan. Gila pangkat dan gila dunia bahkan gila dipuji orang. 

Berangkat dari situ, supaya setan jin dapat dengan mudah meracuni pola fikir serta merusak aqidah orang beriman. Mencetak manusia menjadi sombong dan takabbur sehingga mereka merasa benar sendiri. Merasa dirinya yang paling benar dan paling mulia, hanya amalannya yang paling benar menurut syari’at agama dan yang paling bersih dan murni dari perbuatan syirik dan bid’ah, tidak seperti orang berharap mendapatkan perlindungan kepada jimat-jimat dan orang-orang datang ke kuburan-kuburan untuk minta berkah kepada kuburan yang jelas-jelas perbuatan syirik. 

Makanya, sasaran pertama dan utama setan jin dalam melancarkan serangan kepada manusia setiap kali ada kesempatan dan peluang yang terbuka adalah kesadaran manusia itu. Yaitu merusak manusia melalui kesadarannya, melalui pilihan hidupnya sendiri. Sebabnya, “Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” QS:An-Najm/39. Terlebih lagi jika setan jin itu dapat menguasai manusia secara total melalui wilayah kesadaran tersebut. 

Oleh karena itu, ketika orang-orang yang sedang takut dan khawatir itu di ”ruqyah” secara massal, gejala yang tampak adalah kesadaran manusia itu menjadi hilang. Orang yang asalnya sadar dan sehat wal afiat menjadi tidak sadar dan kesurupan setan jin sampai muntah-muntah dan kencing di masjid. Dengan alasan itu penulis menyimpulkan bahwa perbuatan itu adalah identik dengan perbuatan setan jin. 

Tanda-tanda yang kasat mata saja, akibat diruqyah itu orang menjadi kerasukan setan jin. Dengan tanda-tanda tersebut merupakan gejala paling nyata bahwa setan jin telah bersyirik ria dengan manusia melalui perbuatan tersebut. Setan jin sudah menjadi satu dengan mereka baik lahir maupun batinnya dengan tujuan merusak manusia, baik secara lahir maupun batin pula melalui wilayah kesadarannya.

Pertanyaan kedua: Bukankah yang dibaca dalam pelaksanaan “ruqyah” itu adalah ayat-ayat yang telah dijaga kesuciannya oleh Allah  dengan suatu pernyataan firman-Nya:

 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS.Al-Hijr:15/9).
 
Jawabannya: Al-Qur‘an al-Karim memang dijaga oleh Allah . Penjagaan itu dilakukan sepanjang kehidupan ini masih ada baik secara lahir maupun batin. Secara lahir oleh hamba-hamba Allah  yang sholeh yang di dalam dadanya telah menjadi tempat simpanan atau perbendaharaan al-Qur‘an yang terjaga, yaitu para hafidz dan hafidzoh yang mulia yang selalu dengan tekun menjaga hafalannya dengan ikhlas semata-mata melaksanakan bentuk pengabdian yang hakiki kepada Allah . Secara bathin melalui sistem penjagaan yang dirahasiakan-Nya.  

Bukan hanya al-Qur‘an yang harus dijaga oleh pembacanya, tetapi orang-orang yang membaca itu. Sungguh seharusnya mereka menjaga diri sendiri sejak dini dari niat yang salah dan dari hal-hal yang negatif. Mereka harus menjaga diri dari dorongan nafsu syahwat dan hawa nafsu syaithoniyah yang dapat menjerumus-kan manusia dalam perbuatan jelek yang dapat menjadi penyebab kehancurannya sendiri. 

Manakala yang mendasari bacaan al-Qur‘an itu hanya dorongan nafsu syahwat saja atau bahkan dorongan hawa nafsu syaithoniyah, maka penggunaan al-Qur‘an itu tidak hanya dapat membantu makhluk jin untuk menguasai kesadaran manusia. Perbuatan tersebut dapat menghancurkan langit dan bumi serta isinya. Allah  telah menegaskan dengan firman-Nya:
 
 “Andaikata kebenaran (Al-Qur.an) itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS.Al-Mu.minun:23/71).

Oleh sebab itu, hilangnya kesadaran manusia akibat diruqyah itu barangkali hanyalah sebab awal supaya melalui bekas luka yang ada di wilayah kesadaran tersebut setan jin dapat meremot atau memancarkan perintah rahasia mereka kepada manusia dengan sesuka hati. Dengan perintah jarak jauh itu supaya manusia terlena di dalam kehidupan duniawi. 

Menjadikan manusia lupa diri. Hidupnya hanya untuk menumpuk harta kekayaan meski dengan menghalalkan segala cara. Menjarah sana sini dengan menyalahgunakan kepercayaan dan jabatan. Ingin menjadi yang paling unggul sehingga ibadah dijadikan sarana dan alat bantu untuk memperturutkan hawa nafsu. Jalan kehidupan menjadi carutmarut. Orang tidak dapat membedakan mana yang tontonan dan mana yang tuntunan. Akhirnya, manusia tinggal menunggu kepastiannya, ketika peringatan dan musibah tidak dihiraukan, kehancuran total bisa jadi menjadi pilihan. Kita berlindung dari tipudaya setan yang terkutuk.

Pertanyaan ketiga: Mengapa para pelaku atau orang yang sedang diruqyah dapat hilang ingatan bahkan menjadi lebih seram daripada para pemain kuda lumping yang sedang kesurupan….?
 
Jawabannya: karena aktifitas kehidupan makhluk jin itu sudah sangat dekat dengan aktifitas kehidupan manusia dalam segala hal terutama di dalam urusan harta benda dan anak-anak. Mereka selalu berusaha atau bersekutu dengan perbuatan manusia, bahkan jalan darah manusia menjadi jalan-jalan mereka menuju hati manusia. Lubang-lubang anggota tubuh manusia dijadikan tempat istirahat dan tempat tidur mereka. Mereka bermalam di tempat-tempat itu di saat manusia yang menjadi tanggungan dan target operasinya sedang tidur. Rasulullah  mengabarkan hal itu dengan sabdanya:

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah  berkata: Nabi telah bersabda: Apabila seseorang dari kamu bangun dari tidur, maka hendaklah dia memasukkan air ke dalam hidung dan menghembusnya keluar sebanyak tiga kali karena sesungguhnya setan bermalam di dalam lubang hidungnya di saat manusia tidur” .

• Riwayat Bukhari di dalam Kitab Permulaan Kejadian hadits nomor 3052.

• Riwayat Muslim di dalam Kitab Bersuci hadits nomor 351.

• Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Bersuci hadist nomor 89.

Dalam riwayat lain Rsulullah  bersabda:
م
“Diriwayatkan dari Sofiah binti Huyai  berkata: Pada suatu malam ketika Nabi  sedang beriktikaf aku datang menghampiri baginda. Setelah puas berbincang-bincang dengan baginda, akupun berdiri untuk pulang. Rasulullah  ikut berdiri untuk mengantarku. Tempat tinggal Sofiah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba datang dua orang Ansar. Ketika mereka melihat Nabi  mereka mempercepatkan langkahnya. Lalu Nabi bersabda: Perlahankanlah langkahmu. Sesungguhnya ini adalah Sofiah binti Huyai. Kedua orang ansor itu berkata Maha suci Allah, wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah  bersabda Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia. Sebenarnya aku khawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua”

1. Riwayat Bukhori di dalam Kitab I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751.

2. Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041.

3. Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342.

4. Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769.

Itulah sekelompok setan jin yang mendapat tugas dari pimpinan mereka untuk menjaga manusia. Dengan kebebasan mereka keluar masuk di dalam tubuh manusia itu, kapan saja mereka siap membidik manusia yang sedang lengah dengan tipudaya maupun jeratnya. 

Ketika manusia beribadah dengan hati lalai karena ibadah itu hanya didasari dorongan emosional dan rasional belaka. Mereka bertawajjuh atau menghadirkan setan jin—sebagaimana contoh pelaksanaan “ruqyah” yang sedang marak akhir-akhir ini. Terlebih ketika tujuan ibadah itu telah terkontaminasi dengan kepentingan duniawi, bagaikan mendapatkan fasilitas yang luas, jin penjaga manusia itu segera berebut menguasai kesadaran manusia untuk mendapat pujian dari pimpinan mereka. Padahal di dalam kesempatan yang lain, perbuatan itu bagi mereka sulit untuk dikerjakan. 

Dalam pelaksanaan .ruqyah., jin itu lebih terfasilitasi untuk melaksanakannya. Sebagai bukti, jin sedemikian mudah menguasai manusia melalui kesadarannya seketika itu juga. Saat para pembaca mantra atau jampi-jampi itu sedang membacakan ayat-ayat suci al-Qur‘an al-Karim dengan irama yang syahdu, jin penjaga manusia itu segera menyergap para pendengar yang tidak mengerti dan lalai itu. Mereka menjadikan mangsanya bergelimpangan bagaikan orang kena sihir dan hipnotis. 

Selanjutnya orang-orang yang sedang mencari kesembuhan itu malah tidak sadarkan diri bahkan sebagian mereka ada yang terkencing-kencing di dalam masjid yang selama ini mereka sucikan. Artinya, disamping para pelaku “ruqyah” itu membuat sakit para pengikutnya sendiri, mereka juga membuat najis tempat yang selama ini mereka hormati dengan air kencingnya sendiri. Hal itu menunjukkan, bahwa ancaman Iblis dihadapan Allah sudah dibuktikan. Pertempuran untuk sementara telah mereka menangkan.

Bacaan al-Qur‘an yang dibaca para Ustadz dengan irama syahdu di hadapan orang yang diruqyah itu akhirnya malah berfungsi sama seperti bacaan mantra yang dibaca para pimpinan kuda lumping di depan rombongan yang mau beraksi. Dalam arti, bacaan itu sama-sama menjadi penyebab orang kesurupan jin. 

Bedanya, para pemain kuda lumping itu sudah terlatih dalam permainannya sehingga dampak negatif dari perbuatan tersebut tidak sampai berakibat fatal, sedangkan orang yang meruqyah dan yang diruqyah, mereka sama-sama tidak mengerti bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu dapat membahayakan jiwanya. Dalam ketidakmengertian itu, apabila ternyata perbuatan tersebut menimbulkan dampak negatif, maka dampak negatif pelaksanaan ruqyah itu akan lebih membahayakan para pelakunya daripada dampak negatif pelaksanaan kuda lumping.


ALASAN KEENAM :
Jin yang Mana yang Akan Dikeluarkan dari Tubuh Manusia….?
 
DALIL-DALIL HADITS NABI .

Timbul pertanyaan lagi, kalau yang dikatakan “ruqyah” itu mengeluarkan jin dari tubuh manusia yang sedang dalam keadaan sadar…? Pertanyaannya, jin yang mana yang akan dikeluarkan dari tubuh manusia itu…?. Dalam kaitan ini penulis mengetengahkan tiga buah hadits Rasulullah . 

Oleh karena dimensi jin adalah dimensi ghaib bagi indera lahir manusia (tidak dapat dilihat mata), maka hanya wahyu tuhan yang berhak membicarakannya, bukan mitos-mitos yang dihasilkan dari persangkaan manusia: “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan. Sesung-guhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”(An-Najm/28). Sedangkan manusia wajib mengimani wahyu itu. Kalau tidak, berarti mereka akan tersesat jalannya. Adapun kedudukan hadits shoheh adalah sejajar dengan wahyu. Hal itu dinyatakan Allah  melalui firman-Nya: yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), QS: 53/3-4. 

Tiga hadits tersebut, masing-masing akan kita ikuti pembahasannya di bawah ini :
 “Sesungguhnya syaithan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.

Atau dengan kalimat yang lain seperti yang telah diketengahkan di dalam bahasan di atas:
“Diriwayatkan dari Sofiah binti Huyai  berkata: Pada suatu malam ketika Nabi  sedang beriktikaf aku datang menghampiri baginda. Setelah puas berbincang-bincang dengan baginda, akupun berdiri untuk pulang. Rasulullah  ikut berdiri untuk mengantarku. Tempat tinggal Sofiah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba datang dua orang Anshar. Ketika mereka melihat Nabi  mereka mempercepatkan langkahnya. Lalu Nabi bersabda: Perlahankanlah langkahmu. Sesungguhnya ini adalah Sofiah binti Huyai. Kedua orang ansor itu berkata Maha suci Allah, wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah  bersabda Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia. Sebenarnya aku khawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua”
• Riwayat Bukhori di dalam Kitab I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751.
• Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041.
• Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342.
• Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769.

Ternyata setan jin dapat dengan mudah keluar masuk bahkan bertempat tinggal di dalam anggota tubuh manusia melalui jalan darahnya. Supaya setan jin tidak terlalu leluasa menjajah tubuh manusia, maka sempitkanlah jalan darah itu dengan lapar atau ibadah puasa. Artinya, manusia harus selalu mengendalikan kemauan nafsu syahwatnya, baik melalui ibadah puasa maupun ibadah-ibadah yang lain. Itulah yang disebut mujahadah di jalan Allah. 

Yang disebutkan di atas adalah konsep langit yang harus diketahui dan diterapkan oleh manusia di bumi. Selain wahyu tidak ada yang dapat mengetahui rahasia itu. Sebagian kalangan mengira rumah jin itu hanya di tempat-tempat yang angker saja, seperti di pohon beringin tua misalnya. Ketika jin penunggu pohon beringin itu dikhawatirkan masuk di dalam tubuhnya, maka tubuh itu diruqyah. Padahal rumah jin itu ternyata di dalam tubuhnya sendiri. Oleh sebab itu, ketika diruqyah segera saja jin yang di dalam tubuh itu menampakkan diri. 

Jadi orang-orang yang takut terkena gangguan jin, caranya tidak harus diruqyah, tapi melaksanakan mujahadah di jalan Allah dengan benar. Hadits kedua adalah sebagai berikut:
 “Tidaklah dari salah satu diantara kalian kecuali sesungguhnya Allah telah mewakilkan temannya dari jin, mereka bertanya: “Apakah engkau juga ya
Rasulullah?”, Rasul  menjawab: “Dan juga kepadaku, hanya saja sesungguhnya Allah telah menolongku mengalahkannya, maka ia masuk islam, maka ia tidak memerintah kepadaku kecuali dengan kebaikan”. (HR Muslim) 

Ternyata dalam diri Rasulullah  pun ada jin yang hidup. Hanya saja berkat pertolongan Allah  kepada Baginda Nabi , jin itu masuk islam. Jin itu bukan menjadi setan jin melainkan menjadi Qorin (teman) yang baik. Selanjutnya, jin qorin itu tidak memberikan informasi kepada Baginda Nabi  kecuali informasi yang baik dan dalam hal kebaikan. Hal itu, karena Nabi adalah seorang hamba yang ma.shum atau terjaga.

Untuk itu manusia harus selalu bermujaha-dah di jalan Allah  baik dengan puasa maupun dzikir serta dengan ibadah-ibadah yang lain agar manusia benar-benar bersih dari karakter manusiawi sehingga terjaga dan terbebas dari upaya setan jin untuk menggoda dan menguasai melalui wilayah kesadaran mereka. Mujahadah yang demikian itu dinamakan tazkiyah. Apabila tazkiyah itu berhasil dilaksanakan dengan sempurna, berarti manusia sudah benar-benar terjaga dari was-was setan yang ada dalam hatinya. Namun demikian, kebersihan hati itu ada parameternya yaitu seperti yang telah disampai-kan Nabi  dalam haditsnya di bawah ini: 

“Kalau sekiranya syaithan tidak meliputi hati anak Adam, pasti dia akan melihat alam kerajaan langit”.

 Maksudnya: Sekiranya setan jin yang ada di dalam tubuh manusia tidak mampu lagi mengadakan tipudaya di dalam hatinya, maka pandangan matahati manusia dapat menembus alam malakut atau alam kerajaan langit dimana Lauh Makfudz berada. Artinya pandangan mata manusia (dengan izin Allah ) menjadi tembus pandang sehingga ia mampu melihat alam ghaib, baik ghaibnya alam malakut yang ada di langit maupun ghaibnya alam malakut yang ada di dalam isi dada manusia. 

Apabila tanda-tanda seperti itu belum tampak pada diri seseorang, berarti di dalam hati orang tersebut masih berpotensi mendapatkan was-was dari setan. Hal tersebut berarti di dalam tubuh manusia itu masih terdapat banyak setan jin yang setiap saat siap menusuk dan menguasai wilayah kesadarannya. 

 Sungguh seandainya Allah  tidak melindungi manusia barangkali tidak ada seorang
pun yang dapat selamat dari kejahatan setan jin yang terkutuk. Allah  telah menegaskan dengan firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS.An-Nur:24/21).
Apa saja yang menyebabkan kekejian berarti itu perbuatan keji dan apa saja yang menyebabkan kemungkaran berarti perbuatan mungkar. Apabila sesuatu yang dikerjakan manusia itu ternyata menjadi penyebab timbul-nya penyakit—seperti pelaksanaan ruqyah itu—maka hakikatnya itu adalah penyakit, bahkan sumber penyakit. Hal tersebut, apabila dilaksanakan oleh seseorang dengan sengaja, berarti orang tersebut telah mengikuti langkah-langkah setan. Itulah pengertian yang terkandung di dalam ayat di atas. 

Lebih jelas lagi firman Allah :

 “Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”.(QS.An-Nisa.:4/83).

Maksudnya, tidak ada yang dapat menye-lamatkan manusia dari ancaman setan jin kecuali hanya karunia (fadhol) Allah . Namun demikian, karunia itu tidak datang dengan sendirinya kecuali dengan sebab yang diusahakan seorang hamba di dunia. Itulah yang disebut amal, yaitu perpaduan antara ilmu, iman dan perbuatan agar dengan itu manusia tidak memperturutkan langkah-langkah setan. Oleh sebab itu, selama hidupnya manusia harus beramal secara benar. Tentunya dengan amal yang mendapatkan bimbingan dari guru ahlinya. Sebabnya, karena selama hidup itu pula ancaman Iblis tetap membidik kehidupan manusia.

Bukan semata karena manusia mempunyai kesaktian yang ampuh sehingga mereka dapat
menolak kekuatan setan jin. Ketika—diruqyah itu—yang kesurupan jin hanya sebagian kecil dari mereka. Hal itu disebabkan semata fadhol (keutamaan) Allah  dan rahmat-Nya yang diturunkan kepada hamba-hamba yang beriman. Kalau tidaklah demikian:  “tentulah kamu semua akan mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu)”. QS:4/83.

Hal tersebut, tidak dipahami oleh banyak kalangan kecuali oleh para ahli thoriqoh yang sepanjang hidupnya telah melatih diri untuk mengadakan pengembaraan ruhaniyah di jalan Allah . Merekalah para ahli salik (berjalan di jalan Allah) yang dalam perjalanannya kadang-kadang sering bersinggungan dengan dunia (dimensi) jin. Namun demikian, berkat karunia Allah itu, meski mereka tidak dapat melihat jin dengan mata kepala (bashoro), tetapi dengan pancaran matahati (bashiroh) yang cemerlang, mereka dapat merasakan keberadaan mahluk ghaib yang ada di sekitar kehidupannya.

Hendaklah kita selalu berhati-hati dalam melaksanakan amal ibadah, apalagi yang bersinggungan secara langsung dengan wilayah dimensi alam jin. Sebagaimana yang banyak kita lihat dari pelaksanaan apa yang mereka katakan sebagai ruqyah tersebut. Apakah pelaksanaan
seperti itu benar-benar telah sesuai dengan pelaksanaan ruqyah secara sar.iyyah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah  dan para ulama‘ salafush-sholeh terdahulu yang telah terlebih dahulu melaksanakan ruqyah dengan cara yang benar..? Kalau tidak, maka yang seharusnya menyembuhkan penyakit itu malah boleh jadi menjadi sumber panyakit yang membahayakan kehidupan manusia secara luas. 

Seperti orang menyalakan api. Apabila api itu dimanfaatkan dengan benar, api itu akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, manakala salah dalam pelaksanaan-nya, maka justru akan menjadi sebab kehancuran manusia. Terlebih lagi dengan menyalakan api dimensi jin yang secara qudroti tercipta lebih kuat daripada api dunia dan ditakdirkan sebagai ancaman bagi kelestarian hidup manusia, baik jasmani maupun ruhaninya.

Yang harus kita teliti ulang adalah aspek pelaksanaan Ruqyah itu. Bukan aspek definisi ruqyah serta dalil-dalil yang mereka jelaskan. Pelaksanaan itu boleh jadi ada yang perlu diluruskan oleh ahlinya.

Konkritnya, yang dinamakan ruqyah (sebagaimana yang telah ditulis oleh para Ulama. ahlinya baik di dalam buku maupun di dalam VCD yang mereka terbitkan) adalah alat atau sarana untuk pencegahan dan pengobatan orang sakit, baik akibat gangguan jin maupun sebab yang lain. Sarana penyembuhan yang islami, bersih dan murni, baik dari perbuatan syirik maupun perbuatan bid‘ah. Ruqyah bukan alat untuk mengetahui (diagnosa) apakah di dalam tubuh manusia ada jin atau tidak.
 
Namun demikian, oleh karena manusia lebih menyukai hal-hal yang sifatnya instan dan yang dapat dijadikan pertunjukan bahkan untuk bangga-banggaan, maka kebanyakan mereka yang awam menyukai tontonan yang mengerikan itu. Sedangkan untuk mengetahui hasil dari ruqyah yang sesungguhnya. Oleh karena hal itu membutuhkan ilmu pengetahuan yang khusus dan keyakinan yang kuat serta tidak dapat diketahui secara cepat, baik oleh penderitanya maupun pelakunya, maka ruqyah yang sesungguhnya itu kurang diminati oleh banyak kalangan. 

Tidak demikian dengan pelaksanaan .ruqyah. yang kedua (yang akhir-akhir ini banyak disiarkan oleh beberapa media penyiaran dan juga dilaksanakan di mana-mana tempat dengan penuh kebanggaan) oleh karena reaksinya dapat cepat dilihat, maka ia lebih cepat dapat diterima di tengah-tengah masyarakat, terutama bagi kalangan yang masih awam. Tanpa sadar bahwa pelaksanaan itu akan berdampak sangat memba-hayakan bagi kehidupannya sendiri. Allah  jauh-jauh telah memberi peringatan kepada hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

 “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS.Al-Hadid:57/16).
 
Jadi, yang harus diteliti ulang bukan dalil-dalilnya akan tetapi niat dan pelaksanaannya. Sebelum mereka akan menerima akibat yang fatal sehingga dengan perbuatan itu justru akan menghancurkan mereka sendiri, sehingga menyebabkan mereka menjadi putus asa.
Wal’iyadzu billah. Allah  telah memberikan memperingatkan lagi dengan firman-Nya:
 
 “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”(QS.Al-An.am:6/44).

Tanda-tanda suatu perbuatan masih membutuhkan penelitian dan kajian ulang adalah kebanggaan yang ada di dalam hati kita terhadap apa-apa yang sedang kita perbuat. Kita merasa aman bahwa apa yang kita perbuat adalah pasti benar, terlebih apabila hal itu mampu diekspresi-kan dengan menyalahkan dan mensyirikkan perbuatan orang lain. Padahal yang menilai benar atau tidaknya sebuah amal ibadah hanyalah Allah. Yang membayar pahalanya juga Allah . 

Adapun manusia, mereka hanya melak-sanakan apa-apa yang sudah dipahaminya dari firman-firman Allah. Hanya hasil penafsiran yang belum tentu selalu benar. Oleh karena itu,  kebanggaan hati itu boleh ada, yaitu ketika .saat itu. kita mengetahui bahwa dosa-dosa kita sudah diampuni oleh Allah , sedangkan .nanti., sesudah itu tidak ada lagi kesempatan untuk mengulang berbuat dosa. Apabila datangnya ajal kematian kita belum seperti itu, berarti besok harinya setelah matahari berganti, sejak di alam barzah kita masih mempunyai pekerjaan rumah.

SUMBER : BUKU MENGUAK ALAM JIN